PENDAHULUAN

Sejak munculnya gerakan Reformasi pada tahun 1500-an, khususnya Reformasi Martin Luther (1517), Gereja Katolik Roma (GKR) menganggap Gereja Reformasi atau Protestan sebagai musuh dan bahkan bidat. Kecaman demi kecaman disampaikan GKR kepada para Reformator seperti Martin Luther yang dianggap sebagai penyesat.[1] Kutukan ini tidak hanya dikenakan kepada para Reformator itu saja bahkan kepada para pengikut Reformator itu sendiri pun pihak GKR terus bermusuhan. Memang harus diakui bahwa sejak munculnya gerakan Reformasi perbedaan ajaran di antara GKR dan Protestan semakin jauh. Banyak hal yang diprotes oleh Reformator kepada GKR baik dalam ajaran maupun dalam ritus-ritus keagamaan itu sendiri.

Dengan adanya gerakan Reformasi ini maka kedua belah pihak baik GKR dan Protestan semakin menggali dan mengembangkan doktrin-doktrinnya. Di satu sisi GKR membaharui diri dari dalam dan melawan doktrin-doktrin Protestan melalui Konsili-konsili dan hasil Konsili-konsili ini mau melawan doktrin yang dikeluarkan oleh pihak Protestan. Sementara itu, pihak Protestan pun semakin gencar melawan praktik-praktik GKR yang dianggap tidak sesuai dengan iman Protestan. Secara umum doktrin yang berseberangan di antara GKR dan Protestan adalah Sakramen, Mariologi, pemahaman tentang Kitab Suci sebagai sumber kebenaran, penafsiran Kitab Suci, simbol-simbol atau ikon-ikon, devosi-devosi kepada orang kudus,  dan doktrin yang selalu diperdebatkan adalah doktrin tentang keselamatan (soteriologi) khususnya tentang pembenaran oleh iman.

Pertikaian doktrin antara GKR dan Protestan ini sudah berlangsung selama lebih kurang lima abad sejak tahun 1500-an hingga tahun 1990-an. Jurang pemisah di antara GKR dan Protestan ini bagi kalangan Protestan khususnya Lutheran sudah perlu diperbaiki kembali. Kerinduan untuk menjembatani pertemuan di antara GKR dan Protestan ini pun dimulai dengan membahas salah satu di antara perbedaan itu yakni doktrin pembenaran oleh iman.

Makalah ini akan membahas dan menguraikan sejarah pertemuan GKR dan Protestan dalam sebuah dokumen yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 31 Oktober 1999 di Augsburg yakni “Dokumen Deklarasi Bersama tentang Pembenaran oleh Iman“ (Joint Declaration on the Doctrine of Justification by Faith).

  1. 1. PEMAHAMAN TENTANG AJARAN PEMBENARAN OLEH IMAN

1.1    DEFINISI PEMBENARAN

Menurut KUBI, kata “membenarkan” adalah membuat supaya benar; meluruskan; membetulkan, memperbaiki, mengatakan benar, menganggap benar. Pembenaran itu sendiri berarti proses, perbuatan, cara membenarkan.[2] Menurut Kamus Teologi, justification adalah anugerah penyelamatan berupa pembenaran membuat manusia berkenan dan diterima oleh Allah. Pembenaran datang karena iman akan Yesus Kristus (Rm. 1:17; 9:30-31), bukan dari pekerjaan hukum (Rm. 3:28; Gal. 2:16).[3] Sementara dalam Kamus Alkitab, kata kerja ‘membenarkan’ lebih berkenaan dengan pemulihan hubungan, daripada menjadikan, atau seolah-olah menjadikan sifat yang baru.[4]

Istilah “pembenaran” dan kata kerja “membenarkan” mempunyai arti “masuk ke dalam suatu hubungan yang benar dengan Allah”, atau mungkin juga “dijadikan benar di hadapan pandangan Allah”. Ajaran pembenaran dilihat sebagai berhubungan dengan pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang individu supaya diselamatkan. Pertanyaan ini di sepanjang sejarah gereja masih terus diperdebatkan bahkan mengalami kekacauan. Mengapa? Menurut McGrath ada beberapa faktor yang menyebabkannya. Pertama, tidak adanya pengumuman resmi dari gereja mengenai masalah ini selama lebih dari seribu tahun. Kedua, ajaran mengenai pembenaran tampaknya telah menjadi topik perdebatan yang disukai di antara teolog-teolog periode akhir Abad Pertengahan dengan hasil bahwa sejumlah pendapat yang tidak proporsional atas persoalan itu masuk ke dalam peredaran.[5]

Menurut Thiessen, dari pembawaannya, setiap orang bukan saja merupakan anak si jahat, tetapi juga seorang yang melakukan pelanggaran dan kejahatan (Rm. 3:23; 5:6-10; Ef. 2:1-3; Kol. 1:21; Tit. 3:3). Ketika dilahirkan kembali maka seseorang menerima hidup dan perangai yang baru; ketika mengalami pembenaran, ia menerima kedudukan yang baru. Pembenaran dapat dijelaskan sebagai tindakan Allah yang menyatakan sebagai benar orang yang percaya kepada Kristus.[6] Menurut Ladd, “Pokok gagasan pembenaran ialah penyataan Allah, hakim yang adil, bahwa orang yang percaya kepada Kristus, sekalipun penuh dengan dosa, dinyatakan benar – dipandang sebagai benar, karena di dalam Kristus orang tersebut telah memasuki suatu hubungan yang benar dengan Allah”.[7]

Pembenaran merupakan suatu tindakan deklaratif, bukanlah sesuatu yang dikerjakan di dalam manusia, tetapi sesuatu yang dinyatakan tentang manusia. Pembenaran tidak menjadikan seseorang benar, tetapi hanya menyatakan dia benar. Menurut Thiessen, ada beberapa hal yang tecakup dalam pembenaran:[8] (1) pembenaran adalah penghapusan hukuman. Artinya, hukuman yang seyogianya dikenakan kepada manusia telah ditiadakan oleh dan di dalam kematian Kristus, yang menanggung hukuman dosa-dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib (Yes. 53:5-6; 1 Pet. 2:24).[9] (2) Pembenaran adalah pemulihan hubungan baik.  Artinya orang yang telah dibenarkan kini menjadi sahabat Allah (2 Taw. 20:7; Yak. 2:23). (3) Pembenaran adalah penghitungan kebenaran. Dihitung artinya dianggap sebagai atau dimasukkan dalam bilangan. Yang dimasukkan bukanlah kebenaran sebagai sifat Allah, tetapi yang diperhitungkan ialah kebenaran yang disediakan Allah bagi mereka yang percaya kepada Kristus. Oleh karena itu, orang yang telah dibenarkan itu telah diampuni dosanya dan telah dihapus hukumannya; ia juga telah memperoleh kembali hubungan baik dengan Allah melalui penghitungan kebenaran Kristus.

1.2    DASAR ALKITABIAH AJARAN PEMBENARAN OLEH IMAN

Pembenaran bukan hanya merupakan salah satu manfaat yang besar dari kematian Kristus, tetapi juga merupakan ajaran yang pokok dalam kekristenan, karena hal itu membedakan kekristenan sebagai agama anugerah dan iman. Dan anugerah dan iman merupakan dasar dalam ajaran tentang pembenaran.

Kata yang dipergunakan untuk “membenarkan” di dalam Perjanjian Lama (PL) adalah hitsdik (Ibrani), yang dalam sebagian besar pemakaiannya berarti “secara yuridis mengumumkan bahwa keadaan seseorang selaras dengan tuntutan hukum” (Kel. 23:7; Ul. 25:1; Ams. 17:15; Yes. 5:23).[10] Artinya, kata pembenaran itu lebih bersifat hukum. Kata kerja lainnya adalah qdx (tsadaq). Istilah ini lebih bersifat religius daripada etis. Kata kerja ini artinya “sesuai dengan tolok-ukur yang diberikan”; dalam bentuk hiphil kata kerja ini artinya “menyatakan sebagai benar atau membenarkan”.[11]

Kata yang digunakan dalam Perjanjian Baru (PB) lebih variatif seperti: (1) ‘dikaio-o’ yang berarti “menyatakan bahwa seseorang benar” dan kadang-kadang juga dipakai untuk menunjuk suatu pernyataan pribadi sesuai menurut hukum (Mat. 12:37; Luk. 7:29; Rm.3:4). (2) ‘Dikaios’ . Kata ini dipakai dalam kaitan dengan manusia jika manusia dalam penilaian Tuhan mempunyai hubungan yang sesuai dengan hukum. (3) ‘Dikaiosis’ , pembenaran yang dijumpai di dua tempat, yaitu Rm. 4:25, 5:18 yang menunjukkan tindakan Tuhan yang menyatakan bahwa manusia bebas dari kesalahan dan dapat diterima oleh-Nya.[12] Berdasarkan data tersebut, maka pembenaran dalam PB merupakan tindakan Allah yang bersifat hukum atau menyatakan kita benar seperti halnya keputusan hakim yang membebaskan seorang terdakwa.[13]

Membenarkan berarti menyatakan benar. Baik kata Ibrani (tsadaq) maupun kata Yunani (dikaio-o) berarti mengumumkan putusan yang menyenangkan, menyatakan benar. Konsep ini tidak berarti menjadikan benar, tetapi menyatakan kebenaran. Hal itu merupakan konsep dalam persidangan, sehingga membenarkan berarti memberikan putusan benar. Perhatikan perbedaan antara membenarkan dan menyatakan salah dalam Ul. 25:1; 1Raj. 8:32; dan Ams. 17:15. Sama halnya seperti menyatakan salah tidak membuat seseorang jahat, demikian pula menyatakan benar tidak menjadikan seseorang benar. Namun demikian, mempersalahkan atau membenarkan itu berarti mengumumkan keadaan yang benar dan sesungguhnya dari orang itu. Akan tetapi, orang yang jahat memang sudah jahat pada waktu putusan hukuman diumumkan. Demikian juga, orang yang benar memang sudah benar pada waktu putusan pembenaran diumumkan.[14]

Dalam Perjanjian Baru (PB), pembenaran oleh iman ini kita temukan dalam perumpamaan Tuhan Yesus tentang orang Farisi dan pemungut cukai (Luk. 18:9-14). Orang Farisi dan pemungut cukai pergi ke Bait Allah  untuk berdoa. Orang Farisi  bangga dan sombong terhadap apa yang telah diperolehnya, mengucap syukur kepada Allah atas kekudusan dan moralitasnya yang baik. Hal yang kontras, pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. Yesus menyimpulkan bahwa tindakan pemungut cukai ini disebut sebagai dedikaiomenos (perfek pasif dari dikaio-o). Kata Yunani dedikaiomenos dalam Lukas 18:14 diterjemahkan bervariasi: “justified” (KJV/AV; RV; RSV), “justified before God” (NIV), “acquitted of sins” (NEB), “at rights with God” (JB), “in the right with God” (TEV) dan “orang yang dibenarkan Allah” (LAI).[15]

Dalam Perjanjian Lama (PL), kata yang digunakan untuk menerjemahan sdq (bahasa Ibrani) adalah kata Yunani dikaioo. Para ahli menyetujui kata ini dikaitkan dengan keadilan di dalam perjanjian yang Allah buat dalam pemilihan umat Israel. Dikaioo merujuk pada hukum tanah dan tradisi dalam penafsiran mereka. Dalam kenyataan, tidak ada kata di dalam PL Ibrani yang secara harfiah berarti “sebuah pengadilan” (a court). Kata yang biasa digunakan adalah “pintu kota” (the gate of the city). Kata Ibrani sdq berarti “menjadi benar” atau “menyatakan menjadi benar”.[16]

Dalam tulisan-tulisan Paulus, pembenaran oleh iman ditemukan dalam surat Galatia dan Roma, namun masih ditemukan juga dalam tulisan-tulisan lainnya seperti dalam Filipi 3:9-11 dan Titus 3:3-7. Ajaran pembenaran oleh iman bukanlah berita yang aktual yang harus dikhotbahkan kepada orang kafir oleh Paulus. Namun, pembenaran oleh iman ini merupakan penjelasan bagaimana Injil didasarkan pada tema-tema PL mengenai kebenaran Allah dan iman manusia. Ajaran pembenaran oleh iman ini ditujukan Paulus kepada orang kafir di Galatia.[17] Menurut Paulus, pembenaran manusia di dalam Allah tidak tergantung pada banyaknya atau sedikitnya ia mematuhi hukum Taurat; manusia dibenarkan oleh anugerah semata-mata. Manusia tidak dapat mengusahakan sendiri anugerah itu, tetapi harus menerimanya dari kasih Allah di dalam Yesus Kristus.[18] Bagi Paulus, iman bukanlah suatu perbuatan, melainkan sebaliknya penerimaan anugerah Allah dalam Yesus Kristus (bnd. Rm. 1:6-7) dan dengan demikian justru iman itulah merupakan inti dan sumber dari kehidupan rohani, termasuk perbuatan-perbuatan (bnd. Rm. 9:31-10:3).[19] Maksud Allah membenarkan manusia oleh karena iman (Rm. 3:30; Gal. 3:8) adalah bahwa Ia menerima manusia, bukan karena manusia itu beriman (karena manusia itu benar), melainkan karena kebaikan-Nya sendiri. Kebenaran manusia bukanlah dasar bagi kebenaran Allah. Sebaliknya kebenaran Allah adalah kesempatan bagi manusia untuk menerima (= percaya kepada) kebenaran Allah itu. Dengan membenarkan manusia yang berdosa, Allah tidak berarti membenarkan dosa manusia itu sendiri. Kebenaran oleh iman bukanlah asuransi hidup kekal, melainkan kesempatan baru yang diberikan Allah kepada manusia yang dilumpuhkan dosa, untuk hidup sebagai anak-anak-Nya.[20]

Dalam surat Roma, secara ringkas dapat dikatakan, ajaran Paulus tentang pembenaran didasarkan pada kenyataan bahwa semua manusia telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah (3:23), entah dia adalah orang Yahudi atau bukan, dan oleh anugerah-Nya telah dibenarkan dengan cuma-cuma melalui penebusan dalam Yesus Kristus (3:24). Karena itulah dalam ayat 21 dikatakan bahwa tanpa hukum Taurat pembenaran Allah telah dinyatakan, seperti yang disaksikan dalam Kitab Taurat dan Kitab-kitab Para Nabi. Dasar untuk memperolehnya bukanlah perbuatan tetapi berdasarkan iman (3:27), karena manusia dibenarkan karena iman, bukan karena melakukan hukum Taurat (3:28). Mengenai iman, Paulus tidak memberikan rumusan pengertian yang eksplisit. Van den End[21] mengatakan bahwa makna dari kata “iman” dalam pengajaran Paulus ini baru dapat dilihat sepenuhnya jika dipertentangkan dengan “perbuatan hukum Taurat”. Keselamatan melalui hukum Taurat akan berpasangan dengan sikap manusia yang berusaha memenuhi tuntutan Taurat itu. Sedangkan keselamatan tanpa hukum Taurat berpasangan dengan sikap yang sama sekali lain, yaitu sikap manusia yang mengharapkan keselamatan sepenuhnya dari rahmat Allah saja. Itulah iman. Mengenai perbuatan, Rasul Paulus sangat pesimis terhadap setiap upaya manusia untuk melakukan setiap tuntutan Hukum Taurat. Dalam ayat 20, dengan tegas Rasul Paulus menyatakan bahwa tidak seorang pun yang dapat dibenarkan di hadapan Allah karena melakukan hukum Taurat. Justru oleh hukum Taurat orang mengenal dosa. Ajaran Rasul Paulus ini sebenarnya merupakan refleksi dari perjalanan kehidupannya, sekaligus menjadi keyakinannya. Bagaimanapun juga, dalam keadaan yang sangat jauh dari iman kepada Kristus bahkan menjadi penganiaya jemaat, dia diterima oleh Allah untuk perkerjaan Pemberitaan Injil. Perbuatan-perbuatan yang dulu dianggapnya baik karena didasarkannya pada ketaatan kepada Taurat, justru menjadi suatu hal yang dianggapnya sebagai suatu hal yang tidak berguna.[22] Manusia dibenarkan oleh iman, artinya kita boleh memiliki damai dengan Allah karena kita percaya dengan segenap hati, bahwa apa yang Yesus katakan kepada kita tentang Allah adalah benar.[23] Roma 1:16-17 berbunyi: “Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya. Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis, orang benar akan hidup oleh iman”. Kebenaran Allah adalah tindakan Allah yang mendirikan dan memelihara hubungan yang ‘benar’ antara diri-Nya dengan manusia dan antara manusia dengan sesama. Maka, kalau manusia mau memiliki kebenaran, datangnya harus dari Allah.[24]

Di bagian lain, Yakobus memberikan kontribusi pengajaran teologis yang cukup kontroversial mengenai hubungan iman (faith), perbuatan-perbuatan baik (works) dan pembenaran (justification). Yakobus menekankan kepercayaan yang benar harus diikuti dengan perbuatan yang benar (Yak. 2:17, 20, 26). Dia mengkhawatirkan tentang orang-orang yang membatasi iman hanya dengan pengakuan verbal saja (2:19) atau berpura-pura, tidak bersungguh-sungguh mengharapkan yang baik (15-16). Iman seperti ini adalah iman yang mati (17, 26) dan bebal (20) serta tidak akan bermanfaat pada hari penghakiman (14). Iman seperti ini, diakui oleh banyak orang yang tidak sama dengan iman yang diajarkan oleh Yakobus. Yakobus melihat iman sebagai sebuah keyakinan, ketetapan hati yang tidak terselubung bagi Allah dan Kristus (2:1) yang diuji dan disaring dengan pencobaan-pencobaan (1:2,4) dan yang mengandung berkat Allah dalam doa (1:5-8; 5:14-18).[25]

Adalah salah jika menganggap konsep iman milik Yakobus sebagai bagian lain atau berbeda dengan ajaran Paulus atau Kristen. Sebaliknya, ajaran Paulus dan Yakobus sepakat dan saling melengkapi. Sebagaimana Paulus sendiri mengatakan di Galatia 5:6, “hanya iman yang bekerja oleh kasih” yang berkenan kepada Allah, dan Yakobus mencatat, “iman tanpa perbuatan adalah mati”. Di sisi lain, Yakobus dan Paulus dianggap tidak sepakat: mengajarkan iman sebagai syarat pembenaran. Paulus menekankan bahwa, iman saja cukup untuk membenarkan: “karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat” (Rom.3:28). Sedangkan, Yakobus mengklaim bahwa, “manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman” (Yak. 2:24). Beberapa orang telah melihat dua perspektif ini sebagai kontradiksi, dan menganggapnya sebagai dua reprensentasi permasalahan doktrin keselamatan dalam gereja perdana. Padahal dalam pengertian yang sebenarnya tidaklah seradikal itu. Berdasarkan konteks masing-masing, dan dengan berhati-hati memperhatikan penggunaan istilah-istilah kunci yang mereka gunakan, maka kita dapat dengan mudah mengharmoniskan kedua pandangan ini.[26]

Pertama, Paulus dan Yakobus mengkombinasikan dua permasalahan yang berbeda. Paulus mempertentangkan suatu kecenderungan orang Yahudi yang mengandalkan Hukum Taurat untuk keselamatan. Sedangkan, Yakobus berjuang melawan sikap yang membelokkan doktrin ortodoks; oleh iman saja. Secara wajar, apa yang mereka katakan dalam kasus ini merupakan dua perspektif yang berbeda.

Kedua, Paulus mengklaim bahwa seseorang tidak dapat dibenarkan atas dasar perbuatan hukum yang menyebutkan bahwa pekerjaan baik yang mendahulu pertobatan. Sedangkan Yakobus berbicara tentang pekerjaan baik yang berasal dan dihasilkan oleh iman: pekerjaan baik didahului oleh pertobatan. Pekerjaan baik yang dilakukan sebagai akibat dari iman di dalam Kristus.

Ketiga, yang paling penting di sini adalah masalah pembenaran (justification). Dalam membicarakan tentang pembenaran ini, Paulus dan Yakobus sedang berbicara tentang dua hal yang berbeda. Paulus menggunakan kata kerja bahasa Yunani, dikaioo, justify, untuk menggambarkan dinamika aktivitas rahmat Allah yang memberikan kepada orang berdosa sebuah status baru. Status baru bagi orang berdosa ini didasarkan pada kesatuan orang berdosa dengan Kristus melalui iman. Oleh sebab itu, menurut Paulus, dikaioo adalah sebuah tema yang merujuk kepada pemindahan seseorang dari kuasa dosa dan kematian ke dalam kuasa kekudusan dan kehidupan. Sedangkan Yakobus menggunakan istilah dikaioo, dengan arti yang didukung dalam Perjanjian Lama, dalam sumber-sumber Yahudi, dan di dalam Injil Matius (misalnya, di 12:37). Yakobus merujuk kepada sebuah keputusan yang didasarkan pada fakta-fakta dan kasus-kasus aktual: Allah membenarkan seseorang berdasarkan perbuatan yang berdasarkan iman. Paulus melihat pada permulaan kehidupan Kristen. Sedangkan, Yakobus melihat akhir kehidupan Kristen. Paulus membuat menjelaskan bahwa oleh iman saja kita masuk ke dalam sebuah persekutuan dengan Allah. Sedangkan Yakobus mengajarkan bahwa persekutuan atau hubungan dengan Allah itu diteguhkan dan ditunjukkan dengan perbuatan yang keluar dari iman inilah yang akan digunakan oleh Allah pada saat penghakiman terakhir sebagai bukti dari kemurnian kesatuan kita dengan Kristus.

1.3    PANDANGAN AUGUSTINUS DAN THOMAS AQUINAS TENTANG AJARAN PEMBENARAN OLEH IMAN

Ajaran Protestan khususnya Luther tentang pembenaran oleh iman pada dasarnya tidak terlepas dari pengaruh ajaran Augustinus dari Hippo atau para teolog-teolog lain pada Abad  Pertengahan. Hal ini dibuktikan oleh G.S.Faber dalam karyanya The Primitive Doctrine of Justification (1837) yang mengklaim bahwa pengajaran Protestanisme memiliki substansi yang sama dengan pengajaran Yunani mula-mula dan Bapa-bapa Gereja Latin.[27]

Misalnya saja Augustinus, dia mengerti bahwa kata ‘membenarkan’ (‘to justify’) berarti ‘memegang’ (‘to hold just’) atau  ‘menghitung’ (‘to account just’).[28] Dalam bukunya Confessiones, Augustinus membahas banyak hal tentang keterbatasan kebebasan manusia dan perlunya rahmat ilahi.[29] Pandangan Augustinus tentang keselamatan (rahmat) hanya dapat dipahami kalau mengingat pandangannya mengenai dosa, yakni sebagai suatu kuasa yang mengurung, membelenggu dan memperbudak manusia. Kuasa dosalah yang disebut “dosa asal”. Karena dosa Adam, manusia sudah masuk ke dalam lingkaran setan yang mengurungnya. Artinya, apa saja yang secara konkret diperbuat oleh manusia, hanya mengukuhkan saja perbudakannya terhadap dosa, biarpun perbuatan konkret itu dilakukannya secara bebas dan atas tanggung jawab sendiri. Dari dirinya sendiri manusia tidak dapat keluar dari lingkaran ini. Secara harfiah manusia berada dalam kuasa setan. Yang dapat menyelamatkan manusia dari kuasa dosa itu hanyalah Allah. Dan, Allah memang membebaskan manusia dari “lingkaran setan” itu. Tindakan Allah itulah yang oleh Augustinus disebut “rahmat”. Istilah rahmat dipakainya karena tindakan Allah itu bukan karena jasa atau hak manusia, melainkan semata-mata karena anugerah bebas dari Allah yang diberikan-Nya dengan cuma-cuma. Dari dalam kebebasan cinta kasih-Nya Allah masuk ke dalam hati manusia dan mengubahnya secara radikal.[30]

Secara ringkas pengajaran Agustinus tentang pembenaran dapat diringkas sebagai berikut:[31] (1) Kebenaran Allah di dalam pengajaran Paulus bukan sebuah atribut Allah, tetapi dengan demikian Allah membenarkan dan memberikan keselamatan pada orang berdosa. Augustinus menggunakan surat Roma sebagai dasar pembenarannya (Rm.1:17; 3:21). (2) Membenarkan artinya membuat benar. Augustinus memutuskan bahwa justificare berarti “membuat benar”. Augustinus menyakini orang berdosa dijadikan benar di dalam pembenaran. (3) Pembenaran terlihat dalam keseluruhan hidup orang Kristen. Pembenaran terlihat melalui baptisan, di mana saat itu Allah mengampuni dosa. Sejak baptisan itu maka orang berdosa telah dibenarkan sepanjang perjalanan kehidupannya. (4) Pembenaran oleh iman dan kasih. Bagi Augustinus, untuk menerima Injil dan otoritas Gereja perlu iman, dan iman membutuhkan kasih. (5) Anugerah Allah mempersiapkan kehendak bebas manusia bagi pembenaran dan menguatkan kehendak bebas dalam pembenaran. Augustinus membuat pembedaan anugerah operatif dan anugerah kooperatif di dalam pembenaran orang percaya. Augustinus beranggapan setiap manusia memiliki kehendak bebas tetapi kebebasan yang sepantasnya. Manusia berdosa membutuhkan bantuan anugerah ilahi di dalam hidupnya.

Berbeda dengan Thomas Aquinas. Thomas[32] mengajarkan Allah sebagai “ada yang tak terbatas” (ipsum esse subsistens). Allah adalah “ada yang tertinggi”, yang mempunyai keadaan yang paling tinggi. Allah adalah penggerak yang tidak bergerak. Tampak sekali pengaruh filsafat Aristoteles dalam pandangannya. Dunia ini dan hidup manusia terbagi atas dua tingkat, yaitu tingkat adikodrati dan kodrati, tingkat atas dan bawah. Tingkat bawah (kodrati) hanya dapat dipahami dengan mempergunakan akal. Hidup kodrati ini kurang sempurna dan ia bisa menjadi sempurna kalau disempurnakan oleh hidup rahmat (adikodrati). “Tabiat kodrati bukan ditiadakan, melainkan disempurnakan oleh rahmat,” demikian kata Thomas Aquinas.

Mengenai manusia, Thomas mengajarkan bahwa pada mulanya manusia memunyai hidup kodrati yang sempurna dan diberi rahmat Allah. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, rahmat Allah (rahmat adikodrati) itu hilang dan tabiat kodrati manusia menjadi kurang sempurna. Manusia tidak dapat lagi memenuhi hukum kasih tanpa bantuan rahmat adikodrati. Rahmat adikodrati itu ditawarkan kepada manusia lewat gereja. Dengan bantuan rahmat adikodrati itu manusia dikuatkan untuk mengerjakan keselamatannya dan memungkinkan manusia dimenangkan oleh Kristus.

Mengenai pembenaran, Thomas menguraikannya dalam tiga hal dalam tulisannya.[33] Pertama, Thomas mendiskusikannya dalam hubungannya dengan sakramen tobat dalam karyanya Commentary on the Sentences of Peter Lombard (1252 dan 1256). Permulaan pembenaran sebagai proses membuat benar dapat dilihat dalam baptisan. Restorasi pembenaran dilihat sebagai efek anugerah Allah melalui sakramen tobat. Kedua, dalam tulisannya Quaestiones Disputate de Veritate (1256-1259). Baptisan adalah sakramen yang melaluinya pembenaran dimulai, dengan sakramen tobat dan perjamuan kudus memberikan proses pembenaran. Dan ketiga, diskusi yang matang tentang topik ini diulasnya dalam Summa Theologiae (Blackfriars edition, vol. 30). Dalam buku ini, Thomas secara ringkas menjelaskan: (1) anugerah diberikan kepada manusia dari luar manusia sebagai hasil pekerjaan Roh Kudus yang bekerja di dalam nama Yesus Kristus. (2) Anugerah dimasukkan ke dalam esensi jiwa dan tinggal di dalamnya. (3) Anugerah tidak perlu bagi manusia untuk memenuhi tujuannya di dalam kodratnya sebagai manusia, tetapi penting bagi manusia untuk memperoleh hidup yang kekal. Mengenai pembenaran, Thomas berkeyakinan bahwa Anugerah sekaligus membenarkan dan menguduskan orang berdosa. Pembenaran orang yang tidak benar adalah akibat operatif anugerah. Allah sendiri yang membuat proses pembenaran itu. Allah adalah Pemindah supernatural, dan orang yang tidak benar dipindahkan-Nya menjadi baik. Dikatakan pembenaran sebab pembenaran adalah proses orang berdosa menjadi memliki kebenaran supernatural. Dengan memperhatikan pembenaran sebagai proses atau perpindahan, pembenaran boleh dikatakan memiliki empat unsur logika yang membedakan yakni: “pembangkitan anugerah” (the infusion of grace), perpindahan pemilihan bebas langsung kepada Allah oleh iman, perpindahan pilihan bebas langsung kepada dosa, dan pengampunan dosa. Lebih dalam Thomas beranggapan, di dalam proses pembenaran baptisan Kristen memperoleh keuntungan akibat operatif anugerah (gratia cooperans).

1.4    PANDANGAN PROTESTAN TENTANG AJARAN PEMBENARAN OLEH IMAN

Pandangan Protestan tentang pembenaran oleh iman ini lahir dari hasil pergumulan dari para reformator atas doktrin yang dipahami GKR dan para Bapa-bapa Gereja. Tema besar pertama dari pemikiran Reformasi adalah ajaran tentang pembenaran oleh iman.[34] Rumusan doktrin pembenaran ini banyak ditemukan dalam dokumen-dokumen Reformasi seperti dalam Buku Konkord, Luther’s Work, Rumus Konkord, Konfesi Augusburg, Institutio, Katekismus Heidelberg, Pengakuan Iman Reformasi (1561), dan lain sebagainya.

Dokumen-dokumen tersebut membahas doktrin pembenaran oleh iman. Misalnya, dalam Konfesi Augsburg disebutkan, kita tidak dapat memperoleh pengampunan dosa dan kebenaran di hadapan Allah dengan kebaikan, perbuatan baik atau kekudusan kita, melainkan kita menerima pengampunan dosa dan menjadi benar di hadapan Allah hanya oleh anugerah, demi Kristus melalui iman, ketika kita percaya bahwa Kristus menderita bagi kita dan demi dosa kita agar kita memperoleh kehidupan yang kekal.[35] Buku Konkord (The Book of Concord) mengatakan, manusia yang berdosa dibenarkan di hadapan Allah dan diselamatkan semata-mata hanya oleh iman dalam Yesus Kristus sendiri sehingga hanya Kristus sajalah kebenaran kita. Ia adalah Allah dan manusia yang sesungguhnya karena di dalam Dia hakikat ilahi dan manusia dipadukan yang satu dengan yang lain (Yer. 23:6; 1 Kor. 1:30; 2 Kor. 5:21).[36] Lebih lanjut dikatakan, kebenaran manusia semata-mata hanya oleh anugerah Allah, tanpa pekerjaan, jasa, atau kebajikan kita yang mendahuluinya sehingga kita diterima oleh Allah ke dalam anugerah-Nya dan kita dianggap benar. Iman adalah satu-satunya alat dan jalan untuk menerima Kristus dan di dalam Yesus Kristus kita mendapatkan “kebenaran yang menolong di hadapan Allah” dan bahwa demi Yesus Kristus iman seperti itu diperhitungkan menjadi kebenaran (Rm. 4:5).[37]

Pada awal kehidupan Luther sebagai seorang biarawan, ia dikungkungi oleh perasaan bersalah yang muncul dari dirinya sendiri dan ketidakmampuannya untuk menemukan perdamaian dengan Allah. Selama periode kehidupannya ini, ia merasa sangat terganggu dengan persoalan tentang  dirinya sendiri dan tentang arti dari kalimat dalam Surat Paulus, “Orang benar akan hidup oleh iman” (Rm. 1:17).[38] Tidak mengherankan jika Luther menyimpulkan bagian surat yang di dalamnya ia mencatat pencerahannya yang luar biasa itu dengan ungkapan:[39]

Kalau kamu mempunyai iman yang benar bahwa Kristus adalah Juruselamatmu, maka saat itu juga kamu menggapai Allah yang rahmani karena iman menuntun kamu masuk dan membukakan hati dan kehendak Allah sehingga kamu akan melihat anugerah yang murni dan kasih yang meluap. Hal ini adalah untuk melihat Allah dalam iman sehingga kamu akan memandang hati-Nya yang ramah, kebapaan, yang di dalamnya tidak ada kemurkaan maupun ketidakramahan. Ia yang melihat Allah sebagai yang murka tidak melihat Dia secara benar, tetapi melihat hanya melalui tirai, seolah-olah awan gelap telah turun melintasi wajah-Nya.

Pandangan Luther tentang pembenaran ini dimulai dalam kuliah-kuliah yang disampaikannya kepada mahasiswanya. Pada mulanya Luther adalah seorang pengikut yang setia dari pandangan via moderna. Allah telah mendirikan suatu perjanjian (pactum) dengan manusia. Melalui perjanjian itu Allah wajib membenarkan siapa saja yang mencapai persyaratan minimum tertentu (quod in se est). Akibatnya, Luther mengajarkan bahwa Allah memberikan anugerah-Nya kepada orang yang rendah hati sehingga semua orang yang merendahkan hatinya di hadapan Allah dapat mengharapkan untuk dibenarkan seperti yang sudah selayaknya. Oleh karena orang-orang berdosa melihat kebutuhan mereka akan anugerah dan datang kepada Allah agar Ia mengaruniakannya, maka ini berarti menempatkan Allah di bawah kewajiban untuk melakukan hal itu, dengan demikian membenarkan orang berdosa. Dengan kata lain, orang-orang berdosa memegang inisiatif, dengan datang kepada Allah: orang berdosa dapat melakukan sesuatu yang memberikan keyakinan bahwa Allah menjawab dengan membenarkan dia.[40]

Menurut Luther, iman yang benar membenarkan kita tanpa hukum Taurat dan perbuatan baik melalui anugerah Allah yang nyata di dalam diri Yesus Kristus (LW.25). Perbuatan baik sama seperti buah pohon. Buah pohon yang baik tidak membuat pohon yang baik, maka perbuatan baik tidak bisa membenarkan seseorang. Tetapi perbuatan baik datang dari orang yang telah dibenarkan oleh iman sama seperti buah pohon yang baik berasal dari pohon yang telah tumbuh dengan baik (LW. 35-36).[41] Luther mengajarkan bahwa perbuatan baik tidak berbagian dalam keselamatan. Perbuatan baik merupakan hasil atau buah dari keselamatan, tetapi tidak pernah bagian keselamatan.[42] Bagi Lutheran, Hukum Taurat tidak dapat membebaskan kita dari dosa atau kebenaran kita, tetapi janji pengampunan dosa dan pembenaran telah diberikan oleh sebab Kristus. Dia telah diberikan kepada kita untuk mengadakan penebusan dosa duni ini dan telah dipilih sebagai perantara dan juru damai. Janji ini tidak bersyaratkan jasa kita, melainkan pengampunan dosa dan pembenaran diberikan dengan cuma-cuma. Seperti Paulus berkata, “Tetapi jika hal itu terjadi karena kasih karunia, maka bukan lagi karena perbuatan, sebab jika tidak demikian, maka kasih karunia itu bukan lagi kasih karunia” (Rm.11:6). Pendamaian tidak terletak pada jasa kita karena jika hal itu terletak pada jasa kita, maka hal itu menjadi tak berguna (Apol. IV.40-42).[43] Pembenaran itu bukan persetujuan terhadap satu lakon (perbuatan) yang tertentu melainkan terhadap pribadi itu keseleluruhan… Kita dibenarkan bila kita berpegang kepada Kristus, Juru-damai, dan percaya bahwa demi Dia, Allah bermurah hati kepada kita. Jangan diharapkan pembenaran tanpa Kristus, Juru-damai itu (Apol. IV. 222).[44]

Lebih dalam Luther mengatakan bahwa dalam pembenaran, Allah adalah aktif, dan manusia adalah pasif. Ungkapan “pembenaran oleh anugerah melalui iman” (sola fide) memberikan arti dari ajaran itu dengan lebih jelas; pembenaran orang berdosa didasarkan atas anugerah dan diterima melalui iman. Luther berkata, “Anugerah Allah yang membenarkan kita demi Kristus hanya melalui iman, tanpa perbuatan-perbuatan baik, sedangkan iman dalam pada itu berlimpah dalam perbuatan-perbuatan baik”. Artinya ajaran tentang pembenaran hanya oleh iman merupakan suatu penegasan bahwa Allah melakukan segala sesuatu yang perlu untuk keselamatan. Bahkan iman itu sendiri adalah pemberian Allah, bukan perbuatan manusia.[45] Keyakinan Luther bahwa keselamatan hanya diperoleh berdasar kasih karunia melalui iman (sola gratia dan sola fide), diungkapkan dengan jelas di dalam penafsiran dan pengandalan gereja-gereja Lutheran atas Alkitab, dan dalam cara mereka merayakan Perjamuan Kudus. Di dalam pemberitaan Firman dan pelayanan Perjamuan Kudus selalu ditekankan pengakuan dosa dan pengampunan yang disediakan Allah lewat pengorbanan Kristus.[46]

Menurut Luther, hakikat pembenaran mengubah status sebelah luar dari orang berdosa dalam pandangan Allah (coram Deo), sedangkan kelahiran kembali mengubah sifat dasar bagian dalam dari orang berdosa itu.[47] Bagi Luther, orang-orang berdosa mempunyai kebenaran di dalam diri mereka sendiri. Mereka tidak mempunyai apa pun di dalam diri mereka yang dapat dianggap sebagai dasar bagi keputusan yang mahamurah dari Allah untuk membenarkan mereka. “Kebenaran yang asing dari Kristus” (iustitia Christi aliena) membuat jelas bahwa kebenaran yang membenarkan orang-orang berdosa adalah di luar mereka.[48] Bagi Luther, iman yang membenarkan tidak lain dari keyakinan akan kemurahan Allah yang mengampuni dosa demi Kristus. Trente sendiri sepenuhnya mengakui bahwa kehidupan Kristen dimulai melalui iman, jadi sebenarnya sangat dekat dengan pandangan Luther.[49] Bagi Luther, seseorang dapat benar-benar yakin akan keselamatannya. Keselamatan didasarkan pada kesetiaan Allah pada janji-janji kemurahan-Nya.[50]

Menurut Ernst Ziegler, istilah “pembenaran oleh iman” secara mencolok tidak terdapat di dalam tulisan-tulisan para reformator Swiss. Zwingli melihat Reformasi sebagai sesuatu yang mempengaruhi gereja dan masyarakat yang bersifat moral dan spiritual. Tekanan pembenaran iman tidak ditemukan dalam ajaran Zwingli. Namun bagi Zwingli, pembenaran iman itu cenderung untuk memperlakukan Kristus sebagai suatu teladan moral yang dari luar daripada suatu kehadiran yang pribadi sifatnya di dalam diri orang percaya. Tidak benar mengatakan bahwa Zwingli mengajarkan pembenaran oleh perbuatan dalam periode awal dari pembaruannya. Ide-ide Zwingli mengenai pembenaran iman ini lebih dekat dengan Luther. Bagi Luther, Kitab Suci menyatakan janji-janji Allah, yang memulihkan kembali dan menghiburkan orang percaya. Bagi Zwingli, Kitab Suci menyatakan tuntutan-tuntutan moral yang dibuat Allah untuk orang-orang percaya.[51]

Bagi Bucer,[52] pembenaran itu ada dua tahap yang dikenal dengan “pembenaran ganda” . Tahap pertama, “pembenaran orang yang tidak beriman” (iustificatio impii) yang terdiri atas pengampunan yang penuh kemurahan dari Allah atas dosa manusia (bagi Protestan: = “pembenaran”). Tahap kedua, “pembenaran orang salah” (iustificatio pii) yang terdiri atas suatu tanggapan ketaatan manusia akan tuntutan-tuntutan moral dari Injil (bagi Protestan: = kelahiran kembali). Dengan demikian, suatu hubungan kausal didirikan antara pembenaran dan kelahiran kembali. Orang berdosa tidak dapat disebut telah dibenarkan kecuali jika keduanya terjadi. Sedangkan menurut Calvin, iman mempersatukan orang pecaya dengan Kristus di dalam suatu “kesatuan mistis”. Persatuan dengan Kristus ini mempunyai dampak rangkap dua yang disebut sebagai anugerah ganda yakni: pertama, persatuan antara orang percaya dengan Kristus membawa secara langsung para pembenaran dirinya. Melalui Kristus orang percaya dinyatakan menjadi benar dalam pandangan Allah. Kedua, oleh karena persatuan orang percaya dengan Kristus, orang percaya itu mulai melakukan proses menjadi seperti Kristus melalui kelahiran kembali.

Pada umumnya Calvin sepakat dengan Luther dalam hal pembenaran oleh iman. Calvin juga menekankan pembenaran sebagai tindakan forensik (legal), di mana Allah mendeklarasikan orang berdosa yang percaya sebagai orang benar, suatu tindakan yang dimungkinkan berdasarkan anugerah Allah. Kontras dengan Luther, Calvin memulai doktrin keselamatan dengan pemilihan Allah atas orang berdosa. Calvin memahami pemilihan untuk keselamatan sebagai tanpa syarat, karena “apabila pemilihan bergantung pada iman dan perbuatan baik manusia, maka anugerah itu tidak cuma-cuma, dan pada faktanya akan berhenti menjadi anugerah“.[53] Menurut Calvin, manusia dikatakan dibenarkan di hadapan Allah, bila ia menurut penilaian Allah dianggap benar, dan karena kebenarannya itu berkenan pada Allah. Dan dibenarkanlah barangsiapa yang tidak dianggap sebagai orang yang berdosa, tetapi sebagai orang yang benar, dan karena itu dapat bertahan di hadapan peradilan Allah, tempat semua orang yang berdosa tersungkur. Jadi, barangsiapa dalam kehidupannya menunjukkan kemurnian dan kesucian yang begitu besar di hadapan Allah, dialah yang dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya.[54] Bagi Calvin,  hanya dengan perantaraaan kebenaran Kristuslah kita dapat dibenarkan di hadirat Allah. Sama artinya bila dikatakan bahwa manusia tidak benar dalam dirinya sendiri, tetapi karena kebenaran Kristus diperhitungkan kepadanya sehingga ia mendapat bagian di dalamnya.[55]

Doktrin keselamatan Calvin menghasilkan tonggak peringatan, di mana ia menghubungkan pembenaran dengan pengudusan. Kristus tidak membenarkan seseorang yang Ia tidak juga kuduskan. Pembenaran, menurut Calvin, menjadi motivasi seseorang untuk pengudusan. Meskipun pembenaran cuma-cuma, pengudusan menjadi respons ucapan syukur dari orang percaya.[56]

Pembenaran dapat dijabarkan sebagai tindakan di mana orang berdosa yang tidak benar dibenarkan di hadapan Allah yang kudus dan adil. Kebutuhan utama dari orang yang tidak benar adalah kebenaran. Kebenaran yang tidak dimiliki inilah yang disediakan oleh Kristus kepada orang berdosa yang percaya. Pembenaran berdasarkan iman saja berarti pembenaran yang terjadi oleh karena usaha Kristus semata-mata, bukan karena kebaikan kita atau perbuatan-perbuatan baik kita.

Fokus dari perihal pembenaran terletak pada pertanyaan usaha dan anugerah atau kasih karunia. Pembenaran berdasarkan iman berarti usaha yang kita lakukan tidak cukup baik untuk menghasilkan pembenaran. Paulus menyatakan sebagai berikut: “Sebab tidak seorangpun yang dapat dibenarkan di hadapan Allah oleh karena melakukan hukum Taurat, karena justru oleh hukum Taurat orang mengenal dosa” (Rm. 3:20). Pembenaran adalah forensik, yaitu kita dinyatakan, diperhitungkan atau dianggap benar pada waktu Allah mengaruniakan kebenaran Kristus pada diri kita. Kondisi yang dibutuhkan untuk ini adalah iman.

Teologi Protestan mengakui bahwa iman merupakan alat yang menyebabkan pembenaran, dengan demikian iman merupakan alat di mana karya Kristus teraplikasi di dalam diri kita. Teologi Katolik Roma mengajarkan bahwa baptisan merupakan penyebab utama untuk pembenaran dan bahwa sakramen pengakuan dosa merupakan penyebab kedua, dalam kaitan dengan pemulihan. (Teologi Katolik Roma melihat pengakuan dosa sebagai tingkat kedua dari pembenaran bagi mereka yang telah menghancurkan jiwa mereka, yaitu mereka yang telah kehilangan anugerah pembenaran karena melakukan dosa yang fatal, seperti membunuh). Sakramen pengakuan dosa menuntut usaha pemuasan di mana umat manusia mencapai usaha yang dibutuhkan untuk mendapatkan pembenaran. Pandangan Katolik Roma menerima bahwa pembenaran berdasarkan iman, tetapi menyangkali bahwa pembenaran itu hanya berdasarkan iman. Dengan kata lain, perbuatan-perbuatan baik perlu ditambahkan untuk dapat dibenarkan.

Iman yang membenarkan adalah iman yang hidup, bukan iman pengakuan yang kosong. Iman merupakan kepercayaan yang bersifat pribadi yang bergantung kepada Kristus saja untuk keselamatan. Iman yang menyelamatkan juga merupakan iman pertobatan yang menerima Kristus sebagai Juruselamat dari Tuhan.

Alkitab mengatakan bahwa kita tidak dibenarkan oleh karena perbuatan- perbuatan baik kita, tetapi dengan apa yang diberikan kepada kita berdasarkan iman, yaitu kebenaran Kristus. Sebagai sintesis, sesuatu yang baru ditambahkan pada sesuatu yang dasar. Pembenaran kita merupakan sintesis, oleh karena kita memiliki kebenaran Kristus yang ditambahkan kepada kita. Pembenaran kita adalah berdasarkan imputasi (pelimpahan), yang artinya Allah memindahkan kebenaran Kristus kepada kita berdasarkan iman. Ini bukan merupakan “legal yang bersifat fiksi.” Allah telah melimpahkan kepada kita karya Kristus yang nyata, dan sekarang kita telah menerima karya-Nya. Ini merupakan pelimpahan yang nyata.

1.5    PANDANGAN KATOLIK TENTANG AJARAN PEMBENARAN OLEH IMAN

Ajaran pembenaran oleh iman di kalangan Katolik baru mulai dibicarakan setelah keluarnya ajaran Luther tentang pembenaran hanya oleh iman (sola fide). Mengapa Katolik menaruh perhatian atas ajaran pembenaran ini? Menurut Schmidt,[57] setidaknya ada tiga alasan yakni: pertama, pembenaran membutuhkan sebuah internalisasi kehidupan keagamaan, yang secara tajam berbeda dari bentuk eksistensi orang Kristen. Kedua, pembenaran memperbaiki aturan ilahi di dalam pembenaran, melawan kecenderungan pemusatan pada aturan manusia. Dan ketiga, pembenaran diperhitungkan sebagai sebuah deklarasi yang tersembunyi atas perang kepausan Roma. Sangat sedikit dokumen yang dipublikasikan Katolik yang membicarakan ajaran ini periode 1520-1545, misalnya karya Tommaso de Vio Cajetan, De fide et operibus (1532).

Menurut pemahaman GKR, rahmat Roh Kudus mempunyai kekuatan untuk membenarkan manusia, artinya Roh Kudus membersihkan dan memberikan kepada manusia “kebenaran Allah karena iman dalam Yesus Kristus“ (Rm. 3:22) melalui Pembaptisan.[58] Karya pertama rahmat Roh Kudus adalah pertobatan yang menghasilkan pembenaran. Manusia digerakkan oleh rahmat supaya mengarahkan diri kepada Allah dan menjauhkan diri dari dosa. Dengan demikian manusia menerima pengampunan dan pembenaran dari atas. Inilah unsur-unsur dari “pembenaran itu sendiri, yang bukan hanya pengampunan dosa, melainkan juga pengudusan dan pembaharuan manusia batin” (Konsili Trente: DS 1528). Pembenaran melepaskan manusia dari dosa, yang berlawanan dengan kasih kepada Allah dan memurnikan hatinya. Pembenaran terjadi karena prakarsa-prakarsa kerahiman Allah yang menawarkan pengampunan. Pembenaran mendamaikan manusia dengan Allah, membebaskannya dari kuasa dosa dan menyembuhkannya.[59]

Pembenaran serentak berarti bahwa orang menerima kebenaran Allah melalui iman akan Yesus Kristus. “Kebenaran” menyatakan keluhuran kasih ilahi. Pembenaran diperoleh bagi kita melalui sengsara Kristus, yang menyerahkan Diri di salib sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah dan yang darah-Nya telah menjadi alat pemulih bagi dosa semua manusia. Pembenaran itu diberikan kepada manusia melalui Pembaptisan dan Sakramen iman. Tujuan pembenaran itu sendiri adalah untuk kemuliaan Allah dan Kristus demikian juga kehidupan abadi (Konsili Trente: DS 1529).[60]

Lebih jauh menurut pemahaman Katolik, pembenaran mendasari satu kerja sama antara rahmat Allah dan kebebasan manusia. Ia terungkap dalam kenyataan bahwa manusia dengan percaya menerima Sabda Allah, yang mengajaknya untuk bertobat dan bahwa ia bekerja sama dalam kasih dengan dorongan Roh Kudus, yang mendahului persetujuan kita dan menopangnya.[61] Katolik mengakui, pembenaran adalah karya kasih Allah yang paling agung. Ia diwahyukan dalam Yesus Kristus dan diberikan oleh Roh Kudus. Santo Augustinus beranggapan bahwa “pembenaran seorang yang hidup tanpa Allah adalah karya yang jauh lebih besar daripada penciptaan langit dan bumi”, karena “langit dan bumi akan lenyap, sementara keselamatan dan pembenaran orang terpilih akan tetap tinggal”. Malahan Augustinus berpendapat, pembenaran orang berdosa melampaui penciptaan para malaikat dalam kebenaran, karena ia memberi kesaksian mengenai kerahiman yang lebih besar lagi.[62]

Bagi Katolik, pembenaran “bukanlah hanya suatu pengampunan dosa tetapi juga penyucian dan pembaruan kembali dari batin seseorang melalui penerimaan yang sukarela dari anugerah dan pemberian yang menyebabkan seseorang yang tidak benar menjadi seorang yang benar”. Pembenaran sangat erat dihubungkan dengan sakramen baptisan dan penebusan dosa. Orang berdosa mula-mula dibenarkan melalui baptisan: namun, oleh karena dosa, pembenaran itu dapat hilang. Walaupun demikian, pembenaran itu dapat dibarui kembali dengan sakramen penebusan dosa.[63]

2.      SEJARAH DEKLARASI BERSAMA TENTANG AJARAN PEMBENARAN OLEH IMAN

Pertikaian doktrin di antara GKR dan Protestan ini tidak perlu lagi diperpanjang. Perobahan dunia yang semakin cepat menuntut manusia mencari titik-titik temu yang bisa mempersatukan perbedaan yang ada baik di dalam sesama agama maupun jika memungkinkan di antara berbagai agama. Misalnya saja, salah satu usaha untuk mempertemukan GKR dan Protestan yang ‘bertikai’ selama ± 450 tahun ialah dengan dibukanya pintu dialog Katolik-Lutheran dalam bidang doktrin pembenaran oleh iman.

Salah satu hasil gerakan ekumenis yang paling menonjol adalah adanya konsensus yang dicapai atas masalah-masalah yang telah memisahkan gereja-gereja sejak abad ke 16, yaitu ajaran mengenai pembenaran, hakikat ekaristi, teologi dan struktur pelayan tertahbis, pelaksanaan kewenangan pejabat gereja, soal uskup, bahkan masalah kedudukan Paus sebagai pemimpin umat Kristiani universal. Sejumlah besar kemajuan telah dicapai selama bertahun-tahun dalam kesepakatan-kesepakaan yang dikerjakan antara para wakil dan teolog Gereja, tetapi belum ada juga yang belum bisa diterima resmi oleh Gereja-Gereja yang mensponsori dialog.

2.1    CIKAL-BAKAL LAHIRNYA DEKLARASI BERSAMA

Sebelum Deklarasi Bersama (DB) ini tercapai, kedua belah pihak Protestan dan Katolik telah memulai pembicaraan tentang DB ini. Di satu sisi, sejumlah teolog GKR telah berusaha membahas topik pembenaran ini sejak tahun 1960-an yang dipublikasikan melalui disertasi. Dua orang di antara mereka adalah: pertama, disertasi Otto H.Pesch,[64] yang menulis disertasinya setebal 1000 halaman tahun 1967 yang membahas ‘memperbaiki perbedaan’ di antara Luther dan Thomas Aquinas tentang dokrin pembenaran. Dalam karyanya ini, Pesch membicarakan sejumlah unsur doktrin pembenaran yang tersembunyi dalam DB, misalnya: hukum Taurat dan Injil / hukum Taurat dan anugerah; kuasa dosa; Propter Christum/Kristus sebagai penebus; pembenaran oleh iman/pembenaran oleh anugerah; pribadi yang berobah/pribadi yang dioperasikan anugerah. Kedua, disertasi Prof. Joseph Ratzinger (paus sekarang) di Bonn yang menginvestigasi Konfesi Augsburg (25 Juni 1530) dan respons apologetik Katolik terhadap Konfesi Augsburg tersebut. Di sisi lain, teolog Lutheran juga melakukan pembahasan DB sejak tahun 1960-an, misalnya studi atas pemikiran Thomas Aquinas oleh Hans Vorster dan Ulrich Kuhn.[65]

Usaha dialog Protestan-Katolik ini besar kaitannya dengan ulasan Hans Küng[66] dalam tesis doktoralnya yang berjudul The Doctrine of Karl Barth and a Catholic Reflection (“Pembenaran Doktrin Karl Barth dan sebuah refleksi Katolik“).[67] Dalam tesisnya ini, Küng mencoba membuka peluang dialog antara Protestan-Katolik mengenai doktrin pembenaran oleh iman itu. Küng memaparkan hal-hal yang bisa membuka peluang untuk dialog itu dengan mengatakan bahwa apa yang diputuskan di dalam Konsili Trente tentang ajaran pembenaran iman Reformasi merupakan keputusan yang salah, karena keputusan itu didasarkan atas kesalahpahaman dan kekurang-mengertian tentang ajaran pembenaran iman itu sendiri. Padahal, di dalam deklarasi Lutheran–GKR Malta Report disebutkan:  “Lutheran dan GKR setuju bahwa Injil adalah dasar atas kebebasan Kristen. Kebebasan ini digambarkan di dalam Perjanjian Baru (PB) seperti bebas dari dosa, bebas dari kuasa Hukum Taurat, bebas dari kematian, dan kebebasan melayani Allah dan sesama manusia….”[68]

Harus diakui, pemrakarsa dialog Lutheran-Katolik ini adalah dari kalangan Lutheran itu sendiri. Pada tahun 1972 sebuah pernyataan dipublikasikan oleh Komite Studi Bersama yang diundang oleh Federasi Gereja-gereja Lutheran Se-Dunia (The Lutheran World Federation [LWF]) dan Sekretariate Promosi Kesatuan Gereja Kristen (The Secretariat for Promoting Christian Unity [SPCU]). Inilah yang dikenal dengan Laporan Malta (Malta Report), yang draft akhir dokumen ini selesai dikerjakan di San Anton, Malta, tahun 1971 dan dipublikasikan atas nama ‘The Gospel and the Church’. Ulasan tentang pembenaran sangat singkat sekali, dan mengatakan, “today … a far-reaching consensus is developing in the interpretation of justification”.[69]

Setelah Laporan Malta tahun 1971, dialog internasional Lutheran-Katolik mulai produktif dilakukan dalam fase kedua. Peringatan 450 tahun Konfesi Augsburg tahun 1980 di bawah tema ‘Seluruhnya di bawah Satu Kristus’ menghasilkan sebuah deklarasi:[70]

A broad consensus emerges in the doctrine of justification, which was decisively important for Reformation (CA IV): it is solely by grace and by faith in Christ’s saving work and not because of any merit in us… Together we testify that the salvation accomplished by Christ in his death and resurrection is bestowed on and effectively appropriated by humanity in the proclaim of the gospel in the holy sacrament through the Holy Spirit.

2.2    DIALOG-DIALOG

Sejak Konsili Vatikan II, perubahan iklim dialog pun mulai berubah. Salah satu dialog yang terbaik terjadi di Amerika antara GKR dan Lutheran World Ministries, cabang Lutheran World Federation.  Seri ketujuh pertemuan ini disempurnakan tahun 1983 yang diberi judul Pembenaran Iman (Justification by Faith). Pernyataan umum pertemuan ini diterbitkan pada tahun itu dan dua tahun berikutnya dalam sebuah volume dokumen. Evangelical Lutheran Church of America (ELCA) sangat merespons dialog ini dengan positif. Menurut mereka, Injil seharusnya berfungsi sebagai kritik norma bagi seluruh orang percaya Kristen dan mempraktikkannya. Setahun berikutnya, respons lainnya bermunculan seperti dari Komisi Teologi dan Hubungan Gereja dari Gereja Lutheran Sinode Missouri (LCMS). Menurut mereka, Katolik dan Lutheran semakin dekat hubungannya sejak perjanjian Regensburg.[71] Dalam dialog ini, tercapailah sebuah Pernyataan Umum (Common Statement) yang terdiri dari tiga bab yakni: bab pertama membahas “Sejarah Perdebatan dari Augustinus hingga kini”. Bab kedua, membahas enam isu kunci: (1) Kesalahan atau kebenaran hukum; (2) orang berdosa yang dibenarkan; (3) Iman sendiri; (4) Perbuatan baik; (5) Kepuasan; (6) Pembenaran sebagai kriteria Injil yang otentik. Kesimpulan bab dua ini adalah: Lutheran dan Katolik dapat berbagi di dalam setiap perhatian masing-masing pada pembenaran dan dapat saling mengakui legitimasi perbedaan perspektif teologi dan struktur pemikiran masing-masing. Bab ketiga membahas “Perspektif bagi Rekonstruksi”.[72]

Perkembangan selanjutnya, pada awal tahun 1980-an, ketika diskusi Katolik–Protestan berlangsung di Amerika, di Jerman telah diadakan sebuah pertemuan Komisi Bersama Ekumenis (Joint Ecumenical Commission) pada tahun 1986 yang membahas Pengujian pengutukan-pengutukan pada abad keenambelas.[73] Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari kunjungan Paus ke Jerman tahun 1980. Tugas kelompok ini adalah melihat secara khusus isu pengutukan pada abad keenambelas oleh kedua belah pihak, baik dari Katolik maupun Protestan. Konsili Trente misalnya, mengutuk setiap pernyataan orang Protestan. Apakah seluruh pengutukan itu masih berlaku hingga sekarang? Kelompok ini meneliti pengutukan ini dari tiga subjek yakni: pembenaran, sakramen dan pelayanan. Tahun 1985, Komisi ini menghasilkan Laporan Singkat Akhir yang diterbitkan di Jerman tahun 1986 yang terdiri dari lima belas esei tentang pembenaran. Laporan Akhir dari komisi ini melahirkan kontroversi, khususnya di kalangan Protestan Jerman. Respons terhadap laporan ini datang dari Sinode Am Persekutuan Gereja Evangelikal Lutheran di Jerman tahun 1994. Mereka mengidentifikasikan empat perbedaan di antara Protestan (Lutheran dan Reformed) dan Katolik tentang anugerah dan iman yaitu:[74]

  1. Pengertian anugerah sebagai pemberian Allah kepada manusia (extra nos), atau sebagai ‘realitas di dalam jiwa manusia’ (qualitas in nobis).
  2. Pengertian iman sebagai percaya pada firman Allah yang dijanjikan dalam Injil, atau ‘menyetujui pengertian pengungkapan firman Allah’ yang ditemukan di dalam pengharapan dan kasih.
  3. Pengertian tentang hubungan manusia pada Allah.
  4. Pengertian tentang hubungan dan perbedaan hukum dan Injil.

Dua tahun kemudian, Konferensi Bishop Katolik Jerman membicarakan respons positif tentang masalah ini dengan berdialog. Paus mendorong dialog tentang topik pembenaran ini dengan pihak Protestan Jerman tahun 1996. Akhirnya, respons Katolik terhadap dialog inilah yang melahirkan Deklarasi Bersama (Joint Declaration) itu.

Selain itu, pada tahun 1986 Anglican-Roman Catholic International Commission (ARCIC II) kedua menghasilkan sebuah Pernyataan Persetujuan yang berjudul Keselamatan dan Gereja yang diterbitkan pada tahun 1987.[75] Gereja dan keselamatan menelusuri aturan gereja dalam keselamatan. Kesimpulannya adalah visi gereja sebagai sakramen keselamatan dan khususnya dimensi sakramen pembenaran manusia dan pengudusan adalah samar-samar dan lemah untuk mengizinkan kita untuk menegaskan bahwa ARCIC-II telah tiba pada persetujuan substansial.

Proses lahirnya DK ini juga erat kaitannya dengan dialog Komite Gereja Katolik Roma Inggris–Methodis (1988/1992) yang mendiskusikan tema pembenaran pada sejumlah pertemuan mereka dari musim gugur 1983.[76] Diskusi tentang topik ini sangat sulit dan pada tahun 1988 mereka menghasilkan ‘pernyataan sementara’ tentang pembenaran ini. Empat tahun kemudian, Komite ini menyetujui revisi dan perkembangan pernyataan ini dan mempublikasikan ulang dalam bentuk yang baru. Dokumen ini mencatat bahwa pembenaran adalah kategori yang penting bagi Protestan, tetapi tidak pernah menjadi sebuah kategori kunci bagi Katolik. John Wesley pada awalnya menyetujui pemikiran Luther, namun kemudian dia mengkritik Luther dan mengembangkan sebuah doktrin yang baru yaitu pengudusan yang sangat berkaitan dengan ajaran Katolik.

Dari tahun 1986 hingga 1993, Komisi Bersama Lutheran-Katolik Roma telah bertemu membahas hubungan di antara pembenaran dan eklesiologi yang menghasilkan laporan yang sangat panjang yang dipublikasikan di Jerman tahun 1994 dan di dalam bahasa Inggris pada tahun yang sama. Sebuah konsensus dalam doktrin pembenaran harus membuktikan dirinya sendiri secara eklesiologis. Doktrin gereja dan pembenaran harus dimengerti dalam terang keduanya. Dalam dokumen ini ada dua pertanyaan dari kedua belah pihak: Katolik bertanya apakah pemahaman Lutheran  tentang pembenaran tidak mengurangi realitas gereja; Lutheran bertanya apakah pengertian Katolik tentang gereja tidak mengaburkan Injil sebagai doktrin pembenaran menjelaskan gereja.[77]

Sementara dialog Lutheran–Katolik berlangsung, Gereja Evangelikal dan Katolik Roma di Amerika juga melakukan diskusi informal. Orang-orang yang terlibat di dalamnya merupakan yang sangat berpengaruh seperti J.J.Packer dan Avery Dulles, tetapi diskusi mereka ini masih bersifat pribadi bukan bersifat lembaga. Pernyataan pertama adalah Katolik dan Evangelikal Bersama (Evangelicals and Catholics Together [ECT]), yang berlangsung pada tanggal 29 Maret 1994. Pernyataan ini diproklamirkan delapan pimpinan gereja Evangelikal dan tujuh pimpinan gereja Katolik Roma yang dipimpin oleh Charles Colson dan Richard John Neuhaus. Dokumen ini berisikan ringkasan pernyataan tentang pembenaran: “Kami menyatakan bersama bahwa kami dibenarkan oleh anugerah melalui iman sebab Kristus. Iman yang hidup adalah aktif di dalam kasih…“ Namun dokumen ini dikritik oleh beberapa pemimpin gereja Evangelikal dengan membuat tujuh pernyataan Resolusi atas Dialog Katolik Roma dan Evangelikal yang ditandatangani tahun 1994 oleh 33 pemimpin gereja Evangelikal.[78] Dialog Gereja Lutheran-Katolik Roma di Amerika Serikat tahun 1978 tentang pembenaran dan pada tahun Luther tahun 1983, telah menerbitkan pernyataan-pernyataan yang disetujui mengenai pokok-pokok iman, Ekaristi sebagai kurban, pelayanan tahbisan, pelayanan oleh Paus, ajaran ketidaksesatan Paus, pembenaran, maupun mengenai Maria dan para santo. Dialog Lutheran-Katolik Roma di Amerika Serikat telah mengungkap minat akan kepemimpinan paus yang diperbarui dalam terang injil bagi Gereja masa depan. Pernyataan Amerika ini dimulai dengan sejarah permasalahan pada abad keduapuluh, yang menempatkan para Reformer dan Trente dalam konteks perkembangan yang luas. Hal-hal yang dibahas dalam pernyataan ini adalah:[79] (1) Forensik Pembenaran, (2) pembenaran orang berdosa, (3) kecukupan iman, (4) jasa baik, (5) kepuasan, dan (6) pembenaran oleh iman sebagai kriteria otentisitas orang Kristen.

2.3    LAHIRNYA DEKLARASI BERSAMA (DB)

Lahirnya DB ini sangat dipengaruhi oleh kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Jerman pada tanggal 17 November 1980 dengan mengadakan pertemuan dengan Gereja Lutheran dan Reformed (Calvinis) di Mainz. Pada saat itu, Landesbischof Eduard Lohse – ketua Dewan Gereja Evangelikal Jerman [The Council of the Evangelical Church in Germany (EKD)] – menyampaikan kebutuhan kerja sama yang lebih baik dengan GKR pada Ibadah Minggu, Perjamuan Kudus dan perkawinan campur.

Maka dibentuklah sebuah Komisi Ekumenis Bersama (A Joint Ecumenical Commission). Komisi ini mengadakan pertemuan pertama pada tanggal 6-7 Mei 1981. Ketua pertemuan ini adalah Bishop Lohse dari Hannover dan bishop GKR Munich, Cardinal Joseph Ratzinger. Pada pertemuan ini dirasakan sangat perlu membahas penghapusan pengutukan-pengutukan mengenai doktrin, hal-hal praktis dalam pengakuan Lutheran abad keenambelas dan GKR.

Sejak tahun 1990-an telah dimulai gerakan dialog tentang Deklarasi Bersama, yang dibangun dalam dokumen-dokumen sebelumnya, khususnya laporan Pembenaran Iman Amerika dan laporan pengutukan-pengutukan Jerman. Tahun 1993 Lutheran-Katolik membentuk Komite Koordinasi Bersama (Joint Coordinating Committee). Komite Nasional Amerika mengirim surat segera setelah Sekjen LWF meminta penasihat LWF atas proposal ekumenikal ELCA (Evangelical Lutheran Church of Amerika) mengenai kemungkinan deklarasi ketidaklayakan pengutukan Lutheran pada GKR saat ini.

Tahun 1995 sebuah draft telah dibagikan pada gereja-gereja untuk dibahas dan dikomentari.  Dan pada tahun 1997, Deklarasi Bersama ini dipublikasikan yang diikuti dengan berbagai diskusi. LWF telah meminta anggota-anggota gereja LWF untuk memberi masukan dan jawaban bulan Mei 1998 apakah anggota-anggota gereja LWF menerima kesimpulan deklarasi bersama tersebut. Sebuah diskusi yang hangat terjadi di Jerman seperti pertemuan yang diprakarsai Frankfurter Allgemeine Zeitung. Pada bulan Januari 1998 sebuah kelompok lebih dari 150 teolog yang dipimpin Gerhard Ebeling dan Eberhard Jungel, menandatangani pernyataan oposisi pada Deklarasi Bersama ini. Tetapi akhirnya, pada saat sinode Gereja-gereja Lutheran Jerman ternyata akhirnya mereka menerima Deklarasi Bersama ini melalui pemungutan suara. Para teolog tidak merasa puas, sehingga tahun 1999 lebih dari 250 teolog menandatangani sebuah dokumen memprotes dan melawan Deklarasi Bersama itu. Dari seluruh respons yang diterima LWF dari seluruh anggota-anggota LWF, maka pada bulan Juni 1998  LWF mengeluarkan respons resmi dari LWF terhadap deklarasi ini. Sementara di pihak Katolik, penerimaan deklarasi ini tidak begitu dramatik. Gereja Katolik juga mengeluarkan sikap resmi mereka terhadap deklarasi ini pada bulan Juni 1998. Tetapi respons Katolik ini tidak sepositif respons dari gereja Lutheran.[80]

Deklarasi Bersama ini juga merupakan hasil dari kerjasama dengan Pontifical Council for Promoting Christian Unity.  Kedua lembaga ini sangat berperan aktif untuk mensosialisasikan dokumen ini di dalam berbagai kegiatan, seperti konsultasi di Columbus, Ohio, USA pada tanggal 27-30 November 2001.

Dari kiri: Bishop Dr. Christian Krause dan Edward Idris Cardinal Cassidy menandatangani Deklarasi Bersama [The Joint Declaration on the Doctrine of Justification (JDDJ)]

Deklarasi Bersama ini bersama dengan Pernyataan Resmi Lembaga dan Annex, ditandatangani di Augsburg pada Hari Reformasi, 31 Oktober 1999. Beberapa minggu kemudian, Paus Johanes Paulus II mengatakan kepada Presiden LWF bahwa dokumen ini tanpa diragukan lagi menjadi dasar yang kokoh dalam langkah dialog ekumenis selanjutnya.

Deklarasi Bersama ini berisikan Pembukaan yang berisikan konteks deklarasi bersama dalam dialog pendahuluan. Bagian pertama membahas “Pesan Alkitab tentang Pembenaran“ dan diikuti bagian kedua ringkasan “Doktrin Pembenaran sebagai masalah Ekumenis”. Bagian ketiga berisikan “Pengertian Pembenaran Iman masa kini“:[81]

Bersama kami mengaku: hanya dengan anugerah, di dalam iman dalam karya penyelamatan Kristus dan bukan sebab kebaikan dalam kehidupan, kami diterima Allah dan menerima Roh Kudus, yang membarui hati kami yang memperlengkapi dan memanggil kami melakukan perbuatan baik.

Dari kiri: Pdt. Dr. Ishmael Noko dan Bishop Dr. Walter Kasper menandatangani  Deklarasi Bersama

Bagian keempat berisikan “Perkembangan Pengertian Pembenaran”. Bagian ini memfokuskan pembahasan pada tujuh isu yakni: (1) Kekuatan manusia dan dosa dalam hubungannya dengan pembenaran, (2) Pembenaran sebagai penghapusan dosa dan membuat benar, (3) Pembenaran oleh iman dan anugerah, (4) Dibenarkan sebagai pendosa, (5) Hukum Taurat dan Injil, (6) Jaminan keselamatan dan (7) Pekerjaan baik yang dibenarkan. Bagian kelima berisikan “Pengaruh dan cakupan Jangkauan Konsensus”. Deklarasi bersama ini juga berisikan “Sumber-sumber bagi Deklarasi Bersama tentang pembenaran” dan dalam dokumen ini juga dilampirkan “Pernyataan Resmi Lembaga” seperti dari LWF.[82]

3.      RESPONS TERHADAP DEKLARASI BERSAMA TENTANG AJARAN PEMBENARAN OLEH IMAN

Ada banyak yang memberikan respons terhadap DB ini, baik yang sifatnya positif maupun negatif.  Dari sisi positif, Bishop Paul-Werner Scheele, seorang Katolik mengatakan, “I am convinced that October 31, 1999 was a kairos not only for Catholic and Lutheran Christians but for the whole of Christianity”.[83] Demikian juga pendapat seorang Reformed, Anna Case-Winters yang mengatakan, “Joint Declaration is a truly remarkable step was taken in advancing the unity of the church”.[84] Menurut Case, DB ini memberikan peluang bagi World Alliance of Reformed  Churches (WARC) untuk merespons DB, sebab dokumen DB ini merupakan dokumen terbuka untuk mengundang setiap orang untuk menyatu di dalamnya.[85] Reaksi positif juga diberikan oleh berbagai gereja di dunia ini seperti yang di Inggris, Brazil, Argentina, Chile, El Salvador, Venezuela, Australia, New Zealand dan Bangladesh.

LWF sendiri sangat menyambut baik hasil dokumen DB ini. Bahkan LWF memiliki tujuan: (1) untuk menyediakan bimbingan studi dan media lainnya dan menjadikan DB menjadi bagian katekisasi dan program pendidikan bagi orang dewasa. (2) Menciptakan petunjuk pelaksanaan liturgi dan sumber-sumber yang dihubungkan dengan DB yang adaptatif pada gereja-gereja lokal. (3) Mendesain pengertian bagi representasi dari anggota Gereja-gereja untuk membagikan bagaimana mereka menerima DB.[86]

Dari sisi negatif, di Jerman, sekitar 243 akademisi dari teolog Protestan dari berbagai fakultas teologi Protestan mengkritik dokumen DB ini.[87] Dari kalangan Katolik Jerman, reaksi kritikan hanya datang dari “Vereinigung der Initiativkreise der Katholischen Laien und Priester“. Penilaian lainnya diberikan oleh Lane[88] yang mengatakan bahwa: pertama, teologi GKR secara signifikan bergerak semakin dekat kepada doktrin Protestan. Kedua, GKR pada level tertinggi telah membuat perobahan yang signifikan dalam arahan ini, dalam DB, yang menyatakan bahwa doktrin Protestan bukan lagi untuk dikutuk.

4. PENGARUH DEKLARASI BERSAMA TENTANG AJARAN PEMBENARAN OLEH IMAN

Setelah memperhatikan sejarah DB di atas, maka akan timbul pertanyaan bagi kita sekarang, apakah pengaruh DB ini bagi umat Protestan-Katolik? Pengaruh yang sangat besar bagi kedua belah pihak adalah terciptanya sebuah “kesatuan di dalam iman” (unity in faith). Kesatuan iman bukan berarti kesatuan organisasi Gereja. Kesatuan iman adalah pusat dari DB, sebuah elemen kesatuan Gereja yang dapat dilihat (visible), misalnya persekutuan di dalam sakramen-sakramen, kesatuan di dalam pelayanan.

Sejak dideklarasikannya DB ini, maka banyak negara yang merasakan pengaruh ajaran ini di dalam kehidupan bermasyarakat dan  beriman mereka. Misalnya, di Amerika Latin, dalam kenyataannya, mereka tidak menjamin bahwa setiap orang diperlakukan menurut apa yang mereka peroleh. Seorang ibu tidak dihargai di dalam berbicara. Oleh sebab itu, doktrin pembenaran ini sangat dibutuhkan dalam politik dan bidang lainnya di Amerika Latin.[89] Pengaruh DB ini juga terlihat di beberapa negara lainnya seperti di Amerika Utara, Kanada, Namibia, Nigeria, dan Jerman.

Jika kita melihat di Indonesia, apakah pengaruh DB ini bagi Gereja, masyarakat, dan bangsa? Konsep DB ini di Indonesia tidak begitu kelihatan pengaruhnya secara langsung bagi masyarakat itu sendiri. Pengaruh dokumen ini kelihatan dalam lingkungan orang Kristen saja. Kita ambil contoh, dokumen-dokumen yang ada dalam lembaga-lembaga ekumenis sudah menunjukkan adanya kerinduan untuk mencapai kesatuan iman. PGI dalam Keputusan Sidang Raya XIV PGI di Wisma Kinasih, 29 November – 5 Desember 2004 telah memutuskan sebuah Dokumen Keesaan Gereja.[90] Dalam dokumen ini sudah terlihat adanya harapan untuk mencapai suatu kesatuan iman di seluruh anggota PGI. Dokumen Keesaan Gereja tersebut memuat beberapa keinginan untuk menyatu di bidang: (1) Pokok-Pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB), (2) pemahaman bersama iman Kristen, (3) Oikumene Gerejawi, dan (4) Tata Dasar PGI.

Pengaruh lain hubungan Protestan dengan Katolik juga tampak semakin baik. Misalnya, dahulu jika seorang pemuda Protestan menikah dengan gadis Katolik, maka oleh gereja si pemuda tadi akan mengenakan sanksi siasat gereja kepada yang bersangkutan dengan mengeluarkannya dari keanggotaan jemaat. Demikian juga sebaliknya, Katolik akan mengenakan hukuman siasat gereja kepada salah seorang warganya yang menikah dengan orang Protestan. Artinya, kedua belah pihak tidak saling mengakui keabsahan perkawinan dua orang jemaat yang tidak seiman dengan mereka. Namun sekarang, hal itu telah mengalami perobahan. Baik Protestan maupun Katolik telah mengakui keabsahan perkawinan warga jemaat yang menikah dengan agama Katolik dan atau Protestan tanpa mengenakan hukum siasat Gereja kepada yang bersangkutan.[91]

Tidak hanya dalam hal perkawinan hal ini berlaku, ke hal-hal lainnya seperti: baptisan, sidi, Perjamuan Kudus, pelayan Gereja pun sudah saling mengakui dan saling menerima.[92]


[1] Lih. Kurt Aland, A History Of Christianity, (Philadelphia: Fortress Press, Vol.II, 1986), hlm.43-75.

[2] Team Penyusun Kamus, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Ed. Ke-2, Cet.4, 1995), hlm. 114.

[3] Gerald O’Collins & Edward G.Farrugia, Kamus Teologi, (terj. I.Suharyo) (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 237.

[4] W.R.F.Browing, Kamus Alkitab, (terj. Lim Khiem Yang & Bambang Subandrijo) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hlm.315.

[5] Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, (terj.Liem Sien Kie) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hlm.115-117.

[6] Henry C.Thiessen, Teologi Sistematika, (Malang: Penerbit Gandum Mas, 2008), hlm. 421.

[7] George Eldon Ladd, A Theology of  the New Testament, (Grand Rapids: Wm.B.Eerdmans Publishing Co., 1974), hlm.437.

[8] Henry C.Thiessen, Teologi Sistematika, hlm. 422-424.

[9] bnd. Pendapat Ladd, “Doktrin pembenaran berarti bahwa sekarang ini Allah telah menyatakan pembebasan orang beriman dari penghukuman pada akhir zaman, bahkan sebelum penghukuman akhir itu terjadi.“ (George Eldon Ladd, A Theology of  the New Testament, hlm.437).

[10] Louis Berkhof, Teologi Sistematika 4: Doktrin Keselamatan, (Surabaya: Momentum, cet.ke-6,2006), hlm. 217.

[11] Millard J.Erickson, Teologi Kristen, (terj. Nugroho) (Malang: Penerbit Gandum Mas, Vol.3, 2004), hlm. 173. Millard mengutip pendapatnya ini dari Francis Brown, S.R.Driver, & Charles A.Briggs, Hebrew and English Lexicon of the Old Testament, (New York: Oxford University, 1955), hlm. 842-843; J.A.Ziesler, The Meaning of Righteousness in Paul, (Cambridege: Cambridge University, 1972), hlm. 18.

[12] Louis Berkhof, Op.Cit., hlm. 218-219.

[13] Millard J.Erickson, Op.Cit., hlm. 176-177.

[14] Bnd. R.Sudarmo, IkhtisarDogmatika, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 210-212. Menurut Sudarmo, di dalam pembenaran kita dapat membedakan 3 unsur: (1) Allah Bapa yang membenarkan, yaitu: Ia yang menganggap hak Tuhan Yesus Kristus sebagai hak orang percaya. (2) Kristus yang membenarkan, artinya: Ia juga  mencapai segala sesuatu hingga tidak dapat  diberikan kepada manusia. (3) Roh Suci membenarkan, yaitu: Ia yang melanjutkan, mengenakan pembenaran kepada orang percaya, hingga orang yang  dibenarkan merasakan kegirangan.

[15] Peter Toon, Justification and Sanctification, (London: Marshall Morgan & Scott, 1983), hlm.13.

[16] Ibid., hlm. 14.

[17] Ibid., hlm.21.

[18] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Galatia dan Efesus, (terj. S.Wismoady Wahono) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 34.

[19] J.J.Gunning, Tafsiran Alkitab: Surat Galatia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), hlm. 36.

[20] Ibid., 38-39.

[21] Th.van den End, Tafsiran Alkitab: Surat Roma, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 142-148.

[22] Christian Tanduk, “Iman, Perbuatan dan Pembenaran”  dalam http: // forumteologi.com / blog / 2007/04/24/ iman-perbuatan-dan-pembenaran.

[23] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Roma, (terj. Nanik Hardjono & Jakub Susabda) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 92.

[24] Th.van den End, Tafsiran Alkitab: Surat Roma, hlm. 151.

[25] Bnd. H.P.Hamann & W.J.Hassold, ChiRho Commentary Series: James-Jude, (Adelaide: Lutheran Pubishing House, 1986), hlm. 38-42.

[26] Walter A. Elwell, EDBT: “James” (G.R. Michigan: BakerBook, 1996), 386-387; bnd. J.J.Guning, Tafsiran Alkitab: Surat Yakobus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), hlm. 33. Paulus dan Yakobus setuju dalam hal berikut: perbuatan-perbuatan harus ada. Tetapi mereka berbeda dalam menghadapi ketidak-adaan perbuatan itu.  Yakobus memberikan kesan bahwa kita harus menyempurnakan iman dengan perbuatan, barulah kita akan dibenarkan. Paulus akan tetap mempertahankan: bila perbuatan-perbuatan sudah mulai mempunyai peran dalam hal keselamatan, maka iman itu sendiri akan dirugikan.

[27] Peter Toon, Justification and Santification, hlm.45.

[28] Anthony N.S.Lane, Justification by Faith in Catholic–Protestant Dialogue, An Evangelical Assesment, (London: T & T Clark, 2002), hlm.45.

[29] Lih. Augustinus, Pengakuan-Pengakuan, (terj.Ny.Winarsih Arifin & Th.van den End) (Jakarta & Yogyakarta: BPK Gunung Mulia & Kanisius, 1997), hlm.243-244.

[30] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika: Ekonomi Keselamatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), jilid 2, hlm.155-156; bnd. L.Berkhof, The History of Christian Doctrines, (Grand Rapids Michigan: Wm.B.Eerdmans Publishing Company, 1953), hlm.135.

[31] Peter Toon, Justification and Santification, hlm.48-50.

[32] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 19.

[33] Peter Toon, Justification and Santification, hlm.50-54.

[34] Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, hlm.111.

[35] The Augsburg Confession, (Adelaide: Lutheran Publishing House, 1980), hlm. 11; The Book of Concord, (terj.Theodore G.Tappert) (Philadelphia: Fortress Press, 1976), hlm. 31.

[36] The Book of Concord, hlm. 472-473.

[37] Ibid.,, hlm. 473-474.

[38] Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, (terj. Liem Sien Kie), (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 155. Luther menulis kerisauannya sendiri sebagai berikut: Aku sangat rindu untuk memahami Surat Paulus kepada Jemaat di Roma dan tidak ada sesuatu pun yang menghalanginya kecuali pernyataan tersebut, “kebenaran Allah”, karena aku mengambilnya dengan arti bahwa kebenaran di mana Allah itu benar dan bertindak adil dalam menghukum orang yang tidak benar.

[39] Linwood mengutip tulisan Roland Bainton, Here I Stand: A Life of Martin Luther, (New York: Abingdon Press, 1950), hlm.66 (Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, hlm. 157).

[40] Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran …, hlm.117-119.

[41] Luther’s Works, (ed. Lewis W.Spitz) (Philadelphia: Muhlenberg Press, vol.34, 1960), hlm.111.

[42] Paul Enns, The Moody Handbook of Theology 2, (terj. Rahmiati Tanudjaja) (Malang: Literatur SAAT, cet.ke-4, 2007), hlm.79.

[43] G.D.Dahlenburg, Konfesi-konfesi Gereja Lutheran, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 38-39.

[44] Ibid., 40.

[45] Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran …, hlm.129.

[46] Jan S.Aritonang, Berbagai Aliran Di Dalam dan Di Sekitar Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,  1995), hlm. 44.

[47] Alister E.McGrath, Op.Cit., hlm.147-148.

[48] Ibid., hlm.149-150.

[49] Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran …, hlm.150-151.

[50] Ibid., hlm.151-152.

[51] Ibid.,, hlm.142-144.

[52] Bnd. J.L.Ch.Abineno, Bucer & Calvin, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 71-72.

[53] Paul Enns, The Moody Handbook of Theology 2, hlm.80.

[54] Yohanes Calvin, Institutio: Pengajaran Agama Kristen, (terj.Ny.Winarsih dan J.S.Aritonang dkk.) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet.ke-6, 2008), hlm.164.

[55] Yohanes Calvin, Institutio, hlm.166-167.

[56] Paul Enns, Op.Cit., hlm.80.

[57] Alister E.McGrath, Iustitia Dei: A History of the Christian Doctrine of Justification From 1500 to the Present Day, (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), hlm.54.

[58] Lih. Katekismus Gereja Katolik, (Ende: Percetakan Arnoldus Ende, 1998), hlm.486.

[59] Ibid.

[60] Ibid., hlm.487.

[61] Ibid. Kalau Allah menjamah hati manusia melalui terang Roh Kudus, maka manusia di satu pihak bukan tidak aktif sama sekali, karena ia menerima ilham yang dapat ia tolak juga, di lain pihak ia tidak dapat mengangkat diri dengan kehendak bebasnya tanpa rahmat Allah ke dalam keadilan di hadapan Allah (Konsili Trente: DS 1525).

[62] Ibid., hlm. 488.

[63] Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran …, hlm.149.

[64] Diacu dalam Jared Wicks, “Joint Declaration on the Doctrine of Justification: The Remote and Immediate Background”, dalam Milan Opocensky & Paraic Reamonn (Ed.), Justification and Sanctification: In the Traditions of the Reformation, (Geneva: World Alliance of Reformed Churches, 1999), hlm. 131.

[65] Jared Wicks, “Joint Declaration on the Doctrine of Justification”, hlm. 132.

[66] Pastor Hans Küng (lahir 19 Maret 1928 di Sursee, Canton Lucerne), adalah seorang teolog Swiss terkemuka, dan penulis yang produktif. Sejak 1995 ia menjadi Presiden dari Yayasan untuk Etika Global (Stiftung Weltethos). Küng adalah seorang pastor Katolik Roma, tetapi Vatikan telah mencabut haknya untuk mengajar teologi Katolik.

[67] Hans Kung, Justification : The Doctrine of Karl Barth and a Catholic Reflection, (Philadelphia: The Westminster Press, 1981).

[68] Hans Kung, Justification : The Doctrine of Karl Barth …, hlm.xviii.

[69] Klaas Runia, “Justification and Roman Catholicism”, dalam D.A.Carson (Ed.), Right With God: Justification in the Bible and the World, (London: The Paternoster Press & Baker Book House, 1992), hlm. 202.

[70] Jared Wicks, “Joint Declaration …”,  hlm. 133.

[71] Anthony N.S.Lane, Justification by Faith , hlm.96.

[72] Ibid., hlm.98

[73] Anthony N.S.Lane, Justification by Faith, hlm.100.

[74] Ibid., hlm.102.

[75] Ibid., hlm.107.

[76] Anthony N.S.Lane, Justification by Faith, hlm.111.

[77] Ibid., hlm.112-113.

[78] Anthony N.S.Lane, Justification by Faith …, hlm.113-119.

[79] Jared Wicks, “Joint Declaration …”,  hlm. 134; bnd. Martien E.Brinkman, Justification in Ecumenical Dialog-Central Aspects of Christian Soteriology in Debate, (Utrecht: Interuniversity Institute for Missiology and Ecumenical Research, 1996), hlm.135-139.

[80] Anthony N.S.Lane, Justification by Faith, hlm.119-122.

[81] Ibid., hlm.123.

[82] Selengkapnya Lih. Joint Declaration On the Doctrine of Justification: The Lutheran World Federation and The Roman Catholic Church, (Grand Rapids, Michigan / Cambridge, U.K.: William B.Eerdmas Publishing Company, 2000); juga dalam Jaroslav Pelikan & Valerie Hotchkiss (Ed.), Creeds and Confessions of Faith in the Christian Tradition, (London: Yale University Press, vol.III, 2003), hlm. 877-888.

[83] Paul-Werner Scheele, “Introductory Address”, dalam Unity in Faith: The Joint Declaration on the Doctrine of Justification in a Wider Ecumenical Context, (Geneva: LWF Office for Ecumenical Affairs, 2002), hlm. 1.

[84] Anna Case-Winters, “The Joint Declaration on Justification: A Reformed Commentary Colloquium on Justification”, dalam Unity in Faith: The Joint Declaration on the Doctrine of Justification in a Wider Ecumenical Context, (Geneva: LWF Office for Ecumenical Affairs, 2002), hlm. 1.

[85] Case-Winters, “The Joint Declaration on Justification”, hlm. 2.

[86] Darlis J.Swann, “The Reception of the Joint Declaration on the Doctrine of Justification: A Report from the Lutheran World Federation”, dalam Unity in Faith: The Joint Declaration on the Doctrine of Justification in a Wider Ecumenical Context, (Geneva: LWF Office for Ecumenical Affairs, 2002), hlm. 1-5.

[87] Mattias Turk, “Report on Reaction from Different Countries to the Signing of the Joint Declaration on the Doctrine of Justification on October 31, 1999, in Augsburg”, dalam Unity in Faith: The Joint Declaration on the Doctrine of Justification in a Wider Ecumenical Context, (Geneva: LWF Office for Ecumenical Affairs, 2002), hlm. 1.

[88] Anthony N.S.Lane, Justification by Faith, hlm.228-231.

[89] Ekkehard Heise, “The Implication of the doctrine of justification in the Latin American Context” dalam Wolfgang Greive, LWF Dokumentation 45: Justification in the World’s Context, (Geneva: LWF Departement for Theology and Studies Office for Theology and Church, 2000), 203-206.

[90] Dokumen Keesaan Gereja PGI, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006); bnd. Weinata Sairin, Gereja Agama-Agama & Pembangunan Nasional, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000)

[91] Lih. Ruhut Parmahanion/Pamincangon ni GKPA, (Padangsidimpuan, Kantor Pusat GKPA) ; bnd. Ruhut Parmahanion dohot Paminsangon di HKBP, (Pearaja: Kantor Pusat HKBP).

[92] Dokumen Keesaan Gereja PGI, hlm. 89-95.

KEPUSTAKAAN

Aland, Kurt.  A History Of Christianity. Philadelphia: Fortress Press, Vol.II, 1986.

Abineno, Jl.Ch. Bucer & Calvin. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.

Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cet.1, 1995, hlm. 44.

The Augsburg Confession, Adelaide: Lutheran Publishing House, 1980

Augustinus. Pengakuan-Pengakuan. Jakarta & Yogyakarta: BPK Gunung Mulia & Kanisius, 1997.

Berkhof, L. The History of Christian Doctrines. Grand Rapids Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1953.

Barclay, William. Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Roma (terj. Nanik Hardjono & Jakub Susabda). Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.

Barclay, William. Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Galatia dan Efesus (terj. S.Wismoady Wahono). Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.

Brinkman, Martien E. Justification in Ecumenical Dialog Central Aspects of Christian Soteriology in Debate. Utrecht: Interuniversity Institute for Missiology and Ecumneical Research, 1996.

Browing, W.R.F. Kamus Alkitab (terj. Lim Khiem Yang & Bambang Subandrijo). Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007.

Berkhof, Louis. Teologi Sistematika 4: Doktrin Keselamatan. Surabaya: Momentum, 2006.

Calvin, Yohanes. Institutio: Pengajaran Agama Kristen (terj.Ny.Winarsih dan J.S.Aritonang dkk.). Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet.ke-6, 2008.

Carson, D.A. (Ed.), Right With God: Justigication in the Bible and the World. London: The Paternoster Press & Baker Book House, 1992.

Dahlenburg, G.D. Konfesi-konfesi Gereja Lutheran. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.

Dister, Nico Syukur.  Teologi Sistematika: Ekonomi Keselamatan. Yogyakarta: Kanisius, jilid 2, 2004).

Dokumen Keesaan Gereja PGI. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.

Erickson, Millard J.  Teologi Kristen (terj. Nugroho). Malang: Gandum Mas, Vol.3, 2004.

Enns, Paul.  The Moody Handbook of Theology 2 (terj. Rahmiati Tanudjaja). Malang: Literatur SAAT, cet.ke-4, 2007.

End,  Th.van den. Tafsiran Alkitab: Surat Roma. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.

Greive, Wolfgang.  LWF Dokumentation 45: Justification in the World’s Context. Geneva: LWF Departement for Theology and Studies Office for Theology and Church, 2000.

Gunning, J.J. Tafsiran Alkitab: Surat Galatia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.

Guning, J.J. Tafsiran Alkitab: Surat Yakobus. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.

Hamann, H.P. & Hassold,  W.J. ChiRho Commentary Series: James-Jude. Adelaide: Lutheran Pubishing House, 1986.

http: // forumteologi.com / blog / 2007/04/24/ iman-perbuatan-dan-pembenaran.

Joint Declaration On the Doctrine of Justification: The Lutheran World Federation and The Roman Catholic Church, Grand Rapids, Michigan / Cambridge, U.K.: William B.Eerdmans Publishing Company, 2000.

Katekismus Gereja Katolik. Ende: Nusa Indah, 1998.

Kung, Hans.  Justification : The Doctrine of Karl Barth and a Catholic Reflection. Philadelphia: The Westminster Press, 1981.

Ladd, George Eldon. A Theology of  the New Testament. Grand Rapids: Wm.B.Eerdmans Publishing Co., 1974.

Lane, Anthony N.S. Justification by Faith in Catholic–Protestant Dialogue, An Evangelical Assesment. London: T & T Clark, 2002.

Luther’s Works. (ed. Lewis W.Spitz) Philadelphia: Muhlenberg Press, vol.34, 1960.

McGrath, Alister E. Sejarah Pemikiran Reformas, (terj.Liem Sien Kie). Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.

____________ Iustitia Dei: A History of the Christian doctrine of Justification From 1500 to the Present Day. Cambridge: Cambridge University Press, 1994.

O’Collins, Gerald & Farrugia, Edward G. Kamus Teologi (terj. I.Suharyo). Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Opocensky, Milan & Reamonn, Paraic (ed.). Justification and Sanctification: In the Traditions of the Reformation. Geneva: World Alliance of Reformed Churches, 1999.

Pelikan, Jaroslav & Hotchkiss, Valerie (ed.), Creeds and Confessions of Faith in the Christian Tradition. London: Yale University Press, vol.III, 2003.

Ruhut Parmahanion/Pamincangon ni GKPA. Padangsidimpuan, Kantor Pusat GKPA.

Ruhut Parmahanion dohot Paminsangon di HKBP. Pearaja: Kantor Pusat HKBP.

Sairin, Weinata. Gereja Agama-Agama & Pembangunan Nasional. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.

Sudarmo, R. IkhtisarDogmatika. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.

Team Penyusun Kamus. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, Ed. Ke-2, Cet.4, 1995.

Thiessen, Henry C. Teologi Sistematika. Malang: Penerbit Gandum Mas, 2008.

Toon, Peter. Justification and Santification. London: Marshall Morgan & Scott, 1983.

Unity in Faith: The Joint Declaration on the Doctrine of Justification in a Wider Ecumenical Context. Geneva: LWF Office for Ecumenical Affairs, 2002.

Urban, Linwood. Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen (terj. Liem Sien Kie). Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.

Wellem, F.D.  Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.

Walter A. Elwell, EDBT: “James” G.R. Michigan: Baker Book, 1996.

Posted by: ramlyharahap | April 26, 2010

95 Dalil Dr. Martin Luther

Bantahan Dr. Martin Luther Mengenai Pertobatan dan Surat Pengampunan Dosa

Dengan keinginan dan tujuan untuk menguraikan kebenaran, perdebatan akan diadakan di Wittenberg berdasarkan pernyataan yang disetujui di bawah kepemimpinan Bapa Martin Luther, rahib Ordo St. Agustinus, Master of Arts and of acred Theology, dosen Universitas Wittenberg. Selin itu, ia meminta kepada orang yang tidak bisa hadir dan meakukan diskusi dengan kami secara lisan ten tang topik itu supaya melakukannya melalui surat untuk menggantikan ketidakhadiran mereka. Dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus. Amin.

1. Tuhan dan Guru kita Yesus Kristus, ketika Ia mengucapkan “Bertobatlah,” dan seterusnya, menyatakan bahwa seluruh hidup orang-orang yang percaya harus diwarnai dengan pertobatan.

2. Kata ini tidak boleh dimengerti mengacu kepada hukuman sakramental; maksudnya, berkaitan dengan proses pengakuan dan pelepasan (dosa), yang diberikan oleh imam-imam yang dilakukan di bawah pelayanan imam-imam.

3. Dan, pertobatan tidak hanya mengacu pada penyesalan batiniah; tidak, penyesalan batiniah semacam itu tidak ada artinya, kecuali secara lahiriah menghasilkan pendisiplinan diri terhadap keinginan daging.

4. Jadi, hukuman itu terus berlanjut selama ada kebencian pada diri sendiri – maksudnya, penyesalan batin yang sejati berlanjut: yaitu, sampai kita masuk ke dalam kerajaan surga.

5. Paus tidak memiliki kekuatan maupun kuasa untuk mengampuni kesalahan apa pun, kecuali yang telah ia diberikan dengan otoritasnya sendiri, atau oleh peraturan.

6. Paus tidak memiliki kuasa untuk mengampuni dosa apa pun, kecuali dengan menyatakan dan menjaminnya te1ah diampuni Allah; atau setidaknya ia dapat memberikan pengampunan pada kasus-kasus yang menjadi tanggung jawabnya, da1am kasus tersebut, jika kuasanya diremehkan, kesalahan akan tetap ada.

7. Allah tidak pernah mengampuni dosa apa pun, tanpa pada saat yang sama Dia menundukkan diri manusia itu, merendahkan diri da1am sega1a sesuatu, kepada otoritas imam, wakilnya.

8. Peraturan pengakuan dosa hanya dikenakan pada orang yang hidup dan tidak seharusnya dikenakan pada orang yang mati; menurut peraturan tersebut.

9. Oleh karena itu Roh Kudus berkarya da1am diri Paus me1akukan hal yang baik bagi kita, sejauh da1am keputusannya, Paus se1a1u membuat perkecualian terhadap aturan ten tang kematian dan nasib seseorang.

10. Imam-imam bertindak salah dan tanpa pengetahuan,jika dalam kasus orang yang sekarat, mengganti hukuman kanonik dengan api penyucian.

11. Benih ilalang tentang mengubah hukuman kanonik menjadi hukuman di api penyucian tampaknya tentu saja telah ditaburkan sementara para uskup tertidur.

12. Pada mulanya, hukuman kanonik dikenakan bukan sesudah, melainkan sebe1um pengampunan, sebagai ujian untuk pertobatan mendalam yang sejati.

13. Orang yang sekarat melunasi semua hukuman dengan kematian, dianggap sudah mati sesuai hukum kanon dan mendapat hak dilepaskan dari hukum kanon.

14. Kebaikan atau kasih yang tidak sempurna dari orang yang sekarat pasti menyebabkan ketakutan yang besar; dan makin sedikit kebaikan atau kasihnya, makin besar ketakutan yang diakibatkannya.

15. Rasa takut dan ngeri tersebut sudah cukup bagi dirinya sendiri, tanpa berbicara hal-hal lain, tanpa ditambah penderitaan di api penyucian karena hal itu sangat de kat dengan kengerian keputusasaan.

16. Neraka, api penyucian, dan surga tampak berbeda seperti halnya keputusasaan, hampir putus asa, dan kedamaian pikiran itu berbeda.

17. Jiwa da1am api penyucian, tampaknya harus seperti ini: saat kengerian menghilang, kasih meningkat.

18. Namun, hal itu tampaknya tidak terbukti dengan penalaran apa pun atau ayat Alkitab mana pun, api penyucian berada di luar kebaikan seseorang atau meningkatnya kasih.

19. Hal itu juga tidak terbukti; bahwa jiwa dalam api penyucian yakin dan mantap dengan berkat mereka sendiri; mereka semua, bahkan jika kita bisa sangat yakin dengan hal tersebut.

20. Oleh karena itu Paus, ketika ia berbicara ten tang pengampunan sepenuhnya dari semua hukuman, itu bukan sekadar bermakna semua dosa, melainkan hanya hukuman yang ia jatuhkan sendiri.

21. Jadi, para pengkhotbah pengampunan dosa, yang berkata bahwa dengan surat pengampunan dosa dari Paus, seseorang dibebaskan dan diselamatkan dari semua hukuman, melakukan kesalahan.

22. Sebab sesungguhnya ia tidak menghapuskan hukuman, yang harus mereka bayar dalam kehidupan sesuai dengan peraturan, bagi jiwa-jiwa di api penyucian.

23. Jika pengampunan sepenuhnya bagi semua hukuman bisa diberikan kepada seseorang, sudah tentu tidak akan diberikan kepada seorang pun kecuali orang yang paling sempurna – yaitu, kepada sangat sedikit orang.

24. Oleh karena itu sebagian besar orang pasti tertipu dengan janji pembebasan dari hukuman yang bersifat tidak pandang bulu dan sangat manis itu.

25. Kekuasaan seperti itu dimiliki Paus atas api penyucian secara umum, seperti halnya dimiliki setiap uskup di keuskupannya dan setiap imam di jemaatnya sendiri, secara khusus.

26. Paus bertindak dengan benar dengan memberikan pengampunan dosa kepada jiwa-jiwa, bukan dengan kekuasaan kunci-kunci (yang tak ada gunanya dalam hal ini), meLainkan dengan doa syafaat.

27. Orang yang berkata bahwa jiwa seseorang terlepas dari api penyucian segera setelah uang dimasukkan ke dalam peti yang menimbulkan bunyi gemerencing, berkhotbah dengan gila.

28. Sudah tentu, ketika uang yang dimasukkan dalam peti menimbulkan bunyi gemerencing, ketamakan, dan keuntungan mungkin meningkat, tetapi doa syafaat gereja tergantung pada kehendak Allah semata-mata.

29. Siapa tahu apakah semua jiwa di api penyucian ingin dibebaskan darinya atau tidak, sesuai dengan cerita yang dikisahkan tentang Santo Severinus dan Paschal?

30. Tidak ada seorang pun yang yakin tentang realita perasaan berdosanya sendiri, terlebih-lebih pencapaian pengampunan dosa seluruhnya.

31. Seperti halnya petobat sejati itu jarang, demikian juga orang yang sungguh-sungguh membeli surat pengampunan dosa itu jarang – maksudnya, sangat jarang.

32. Orang yang percaya bahwa, melalui surat pengampunan dosa, mereka dijamin mendapatkan keselamatan mereka, akan dihukum secara kekal bersama dengan guru-guru mereka.

33. Kita harus secara khusus berhati-hati terhadap orang yang berkata bahwa surat pengampunan dari Paus ini merupakan karunia Allah yang tak ternilai harganya, yang menyebabkan seseorang diperdamaikan dengan Allah.

34. Sebab kasih karunia yang disalurkan melalui pengampunan ini hanya berkaitan dengan hukuman untuk memenuhi hal-hal yang bersifat sakramen, yang ditentukan oleh manusia.

35. Orang yang mengajar bahwa penyesalan yang mendalam itu tidak diperlukan oleh orang-orang yang membeli jiwa-jiwa keluar dari api penyucian atau membeli lisensi pengakuan, tidak mengkhotbahkan doktrin Kristen.

36. Setiap orang Kristen yang merasakan penyesalan yang sejati akan mendapatkan pengampunan dosa seluruhnya yang sejati dari penderitaan dan rasa bersalah, bahkan meskipun tanpa surat pengampunan dosa.

37. Setiap orang Kristen sejati, entah yang hidup atau yang mati, mendapatkan bagian dalam semua berkat Kristus dan gereja yang diberikan kepadanya oleh Allah meskipun tanpa surat pengampunan dosa.

38. Namun, pengampunan dosa, yang dilakukan oleh Paus, tidak boleh dipandang rendah dengan cara apa pun sebab pengampunan, seperti saya katakan, merupakan pernyataan pengampunan dosa dari Allah.

39. Menekankan dampak pengampunan dosa yang besar dan pada saat yang sama menekankan pentingnya penyesalan yang sejati di mata orang-orang, merupakan hal yang paling sulit, bahkan juga untuk teolog yang paling terpelajar sekalipun.

40. Penyesalan yang sejati mendambakan dan mencintai hukuman, sementara hadiah pengampunan dosa menjadikannya lega dan membuat manusia membencinya, atau paling tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk membencinya.

41. Pengampunan dosa apostolikharus dinyatakan dengan penuh hati-hati,jika tidak, orang-orang secara salah akan menduga hal itu diletakkan pada perbuatan baik kasih lainnya.

42. Orang-orang Kristen harus diajar bahwa Paus tidak pernah berpikir bahwa pembelian surat pengampunan dosa dalam cara apa pun bisa dibandingkan dengan karya kasih karunia.

43. Orang-orang Kristen harus diajar bahwa orang yang memberi kepada orang miskin, atau memberi pinjaman kepada orang yang kekurangan, berbuat lebih baik daripada jika ia membeli surat pengampunan dosa.

44. Karena, me1alui kasih, kasih meningkat, dan manusia menjadi lebih baik; sementara melalui surat pengampunan dosa, ia tidak menjadi lebih baik, tetapi hanya lebih bebas dari hukuman.

45. Orang-orang Kristen harus diajar bahwa orang yang memandang seseorang yang kekurangan dan melewatinya, memberikan uang untuk mendapatkan pengampunan dosa, tidak sedang membeli surat pengampunan dosa dari Paus untuk dirinya sendiri, tetapi murka Allah.

46. Orang-orang Kristen harus diajar bahwa, kecuali mereka memiliki kekayaan yang berlimpah, mereka terikat untuk melakukan hal yang perlu untuk dipakai bagi keperluan rumah tangga mereka sendiri dan dengan cara apa pun tidak boleh menghamburkannya untuk mendapatkan surat pengampunan.

47. Orang-orang Kristen harus diajar bahwa, meskipun mereka bebas untuk membeli surat pengampunan dosa, mereka tidak diwajibkan untuk melakukannya.

48. Orang-orang Kristen harus diajar bahwa Paus, dalam memberikan pengampunan, memiliki kebutuhan lebih banyak dan keinginan lebih banyak agar doa yang tekun dinaikkan baginya, daripada uang yang sudah siap untuk dibayarkan.

49. Orang-orang Kristen harus diajar bahwa pengampunan dari Paus itu berguna,jika mereka tidak meletakkan kepercayaan mereka penyucian; tetapi paling berbahaya, jika melaluinya mereka kehilangan rasa takut mereka kepada Allah.

50. Orang-orang Kristen harus diajar bahwa,jika Paus mengetahui tuntutan para pengkhotbah pengampunan dosa, ia akan lebih menyukai jika Basilika St. Petrus dibakar sampai menjadi abu, daripada dibangun dengan kulit, daging, dan tulang domba-dombanya.

51. Orang-orang Kristen harus diajar bahwa, seperti halnya merupakan kewajiban, demikian juga itu merupakan harapan Paus yang jika perlu menjual Basilika St. Petrus dan memberikan uangnya sendiri kepada banyak orang, yang darinya para pengkhotbah pengampunan dosa menarik uang.

52. Sia-sialah harapan untuk mendapatkan keselamatan melalui surat-surat pengampunan dosa, bahkan sekalipun itu komisaris, tidak, bahkan Paus sendiri – harus menjanjikan jiwanya sendiri bagi mereka.

53. Orang yang, demi memberitakan pengampunan dosa, mengutuk firrnan Allah untuk meredakan ketenangan di gereja lainnya, adalah musuh Kristus dan Paus.

54. Kesalahan dilakukan terhadap firman Allah jika, dalam khotbah yang sama, waktu yang sama atau lebih lama dihabiskan untuk membahas surat pengampunan daripada untuk membahas firman Allah.

55. Menurut pikiran Paus jika surat pengampunan, yang merupakan masalah yang sangat kecil, dirayakan dengan satu bel, satu prosesi, dan satu seremoni; Injil, yang merupakan masalah yang sangat besar, seharusnya diberitakan dengan ratusan bel, ratusan prosesi, dan ratusan seremoni.

56. Kekayaan gereja yang menyebabkan Paus mengeluarkan surat pengampunan dosa, tidak cukup didiskusikan atau dikenal di antara umat Kristus.

57. Tampak jelas bahwa kekayaan tersebut bukanlah kekayaan semen tara; sebab kekayaan tersebut tidak untuk dibagikan secara gratis, tetapi hanya ditimbun oleh banyak pengkhotbah surat pengampunan dosa.

58. Kekayaan itu juga bukan kebaikan Kristus dan para Rasul; sebab tanpa peran Paus, kebaikan selalu menghasilkan kasih karunia kepada manusia rohani; dan salib, kematian, dan neraka bagi manusia lahiriah.
59. St. Lawrence berkata bahwa harta benda gereja adalah orang-orang miskin di gereja, tetapi ia berbicara menurut penggunaan kata itu pada zamannya.

60. Kami tidak tergesa-gesa berbicara jika kami berkata bahwa kunci gereja, yang diserahkan melalui kebaikan Kristus, adalah kekayaan itu.
61. Sangat jelas bahwa kuasa Paus pada hakikatnya sudah memadai untuk mengampuni hukuman dan kasus-kasus yang khusus diberikan padanya.

62. Kekayaan gereja yang sejati adalah Injil Kudus dari kemuliaan dan kasih karunia Allah.

63. Namun, kekayaan itu paling dibenci karena membuat orang yang pertama menjadi yang terkemudian.

64. Sementara kekayaan surat pengampunan dosa paling diterima karena membuat yang terakhir menjadi yang pertama.

65. Oleh karena itu kekayaan Injil adalah jala, yang pada mulanya digunakan untuk menjala orang kaya.

66. Kekayaan surat pengampunan dosa adalah jala yang sekarang digunakan untuk menjala kekayaan orang.

67. Surat pengampunan dosa, yang dipromosikan secara jelas oleh para pengkhotbah sebagai kasih karunia terbesar, dipandang sungguh-sungguh seperti itu sepanjang berkaitan dengan meningkatnya keuntungan.

68. Namun, dalam kenyataan, surat itu tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan kasih karunia Allah dan kesalehan karena salib.

69. Uskup dan imam terikat untuk menerima komisaris kepausan yang mengurusi surat pengampunan dengan segala kehormatannya.

70. Namun, mereka masih terikat untuk melihatnya dengan segenap mata mereka dan memerhatikan dengan segenap telinga mereka supaya orang-orang ini tidak mengkhotbahkan keinginan mereka sendiri, namun mengkhotbahkan apa yang diperintahkan oleh Paus.

71. Biarlah orang yang berbicara menentang kebenaran surat pengampunan dosa Paus terkucil dan terkutuk.

72. Namun, pada sisi lain, orang yang mengeluarkan segenap kemampuannya untuk menentang hawa nafsu dan penye1ewengan kebebasan para pengkhotbah pengampunan, biarlah ia diberkati.

73. Seperti halnya Paus secara adil menghardik orang yang menggunakan berbagai cara untuk merusak perdagangan surat pengampunan.

74. Terlebih-lebih jika ia menghardik orang yang, dengan dalih surat pengampunan, menggunakannya sebagai alasan untuk merusak kasih kudus dan kebenaran.

75. Berpikir bahwa sur at pengampunan Paus memiliki kuasa sedemikian sehingga mereka bisa membebaskan manusia bahkan jika – meskipun itu tidak mungkin – ia telah bersalah kepada Bunda Allah, merupakan kegilaan.

76. Sebaliknya, kami meneguhkan bahwa surat pengampunan Paus tidak bisa menghapuskan dosa paling remeh sekalipun, sepanjang hal itu terkait dengan kesalahannya.

77. Ungkapan yang mengatakan bahwa seandainya St. Petrus menjadi Paus sekarang, ia tidak bisa memberikan kasih karunia yang lebih besar, merupakan penghujatan kepada St. Petrus dan Paus.

78. Kami sebaliknya meneguhkan bahwa Paus saat ini atau Paus lain mana pun memiliki kasih karunia yang lebih besar yang dapat digunakan menurut kehendaknya – yaitu, InjiI, kuasa, karunia kesembuhan, dan sebagaimana tertulis (1 Korintus XII.9.)

79. Mengatakan bahwa salib yang dihiasi panji-panji kepausan merniliki kuasa yang sama dengan salib Kristus, merupakan penghujatan.

80. Uskup, imam, dan teolog yang mengizinkan khotbah semacam itu beredar di antara umat, harus memberikan pertanggung-jawaban.

81. Khotbah mengenai surat pengampunan dosa yang tidak terkontrol ini bukanlah hal yang mudah, bahkan juga bagi orang terpelajar, tidak bisa menyelamatkan Paus dari fitnah, atau, dalam semua peristiwa, pertanyaan kritis kaumawam.

82. Misalnya: “Mengapa Paus tidak mengosongkan api penyucian demi kasih yang paling kudus, dan kebutuhan jiwa yang mendesak – ini menjadi yang paling benar dari semua alasan – jika ia menebus jumlah jiwa yang tidak terbatas demi hal yang paling hina, uang, untuk digunakan membangun Basilika – ini menjadi alasan yang paling sepele?”

83. Sekali lagi: “Mengapa misa penguburan dan misa peringatan hari kematian masih berlanjut, dan mengapa Paus tidak mengembalikan, atau mengizinkan penarikan dana yang diwariskan untuk tujuan ini; karena hal ini merupakan kesalahan untuk berdoa bagi orang-orang yang sudah ditebus?”

84. Sekali lagi: “Apakah karena kesalehan yang baru kepada Allah dan Paus, maksudnya, demi uang, pejabat gereja mengizinkan orang yang tidak beriman dan musuh Allah untuk menebus jiwa-jiwa yang saleh dan mengasihi Allah dari api pencucian, namun tidak menebus jiwa yang saleh dan terkasih itu, berdasarkan kasih yang cuma-cuma, demi kebutuhannya jiwa-jiwa itu sendiri?”

85. Sekali lagi: “Mengapa peraturan tentang penyesalan dosa, yang sudah lama dihapuskan dan mati dalam kenyataannya karena tidak digunakan, sekarang dipatuhi lagi dengan memberikan surat pengampunan dosa, seolah-olah peraturan-peraturan tersebut masih hidup dan berlaku?”

86. Sekali lagi: “Mengapa Paus, yang kekayaannya saat ini jauh lebih banyak daripada orang yang paling kaya di antara orang kaya, tidak membangun Basilika St. Petrus dengan uangnya sendiri, sebaliknya dengan uang dari. orang-orang percaya yang miskin?”

87. Sekali lagi: “Apa yang diampuni at au dianugerahkan Paus kepada orang-orang, yang dengan penyesalan yang dalam dan sempurna, merniliki hak untuk mendapatkan pengampunan dan berkat yang sempurna?

88. Sekali lagi: “Berkat yang lebih besar apakah yang akan diterima gereja jika Paus, tidak satu kali, seperti yang ia lakukan sekarang, memberikan peng¬ampunan dosa dan berkat seratus kali sehari kepada setiap orang yang setia dalam iman?”

89. Oleh karen a keselamatan jiwa, bukannya uang, yang dicari Paus melalui surat pengampunannya, mengapa ia menunda surat-surat dan pengampunan dosa yang diberikan sejak lama karen a keduanya sama-sama manjur?

90. Untuk menindas keberatan dan argumen kaum awam dengan kekuatan semata-mata dan tidak menyelesaikannya dengan memberikan penjelasan, berarti memberi kesempatan kepada gereja dan Paus untuk dicemooh musuh-rnusuh mereka dan membuat orang-orang Kristen tidak senang.

91. jika, kemudian, pengampunan dikhotbahkan sesuai semangat dan pikiran Paus, sernua pertanyaan ini akan diselesaikan dengan mudah – tidak, bahkan tidak akan ada.

92. Jadi, menyingkirlah, semua nabi yang berkata kepada umat Kristus, “Damai, damai,” dan tidak ada damai!

93. Diberkatilah semua nabi yang berkata kepada umat Kristus, “Salib, salib,” dan tidak ada salib!

94. Orang-orang Kristen harus dinasihati untuk setia mengikuti Kristus Sang Kepala mereka melalui penderitaan, kematian, dan neraka.

95. Dan dengan demikian yakin untuk memasuki surga melalui penganiayaan, bukannya melalui damai sejahtera yang palsu.

Posted by: ramlyharahap | September 3, 2009

TEKS INDONESIA DOKUMEN DEKLARASI BERSAMA TENTANG AJARAN PEMBENARAN

DEKLARASI BERSAMA TENTANG AJARAN PEMBENARAN[1]

Pembukaan

1. Ajaran tentang pembenaran adalah bagian terpenting bagi Reformasi Lutheran pada abad ke-16. Ajaran ini dipertahankan sebagai “pasal yang pertama dan terutama”[2] dan serentak dengan itu sebagai “pengemudi serta hakim terhadap seluruh ajaran Kristen lainnya”.[3] Secara khusus, ajaran tentang pembenaran menurut rumusan para reformator dinyatakan dan dipertahankan dalam rangka menilai Gereja Katolik Roma dan teologi pada jaman itu; pada saat yang sama Gereja Katolik Roma juga mempertegas dan mempertahankan suatu ajaran tentang pembenaran dengan ciri yang berbeda. Dari sudut pandang reformasi, pembenaran merupakan inti dari seluruh perdebatan-perdebatan lainnya. Di dalam Pengakuan-pengakuan Lutheran[4] dan oleh putusan Konsili Trente yang diadakan Gereja Katolik Roma, dirumuskanlah kutukan-kutukan. Kutukan itu masih berlaku hingga hari ini dan berpengaruh pada terpisahnya kedua gereja tersebut.

2. Ajaran tentang pembenaran mempunyai tempat sangat khusus dalam tradisi Lutheran. Itulah sebabnya ajaran ini sejak semula menjadi bagian terpenting dalam dialog-dialog resmi antara Gereja Lutheran dan Katolik.

3. Sebagian dari laporan dialog-dialog tersebut perlu diperhatikan secara khusus seperti: percakapan tentang ”Injil dan Gereja” (1972)[5] dan ”Gereja dan Pembenaran” (1994)[6] yang dilakukan oleh Komisi Bersama Lutheran-Katolik Roma; dialog tentang ”Pembenaran oleh Iman” (1983)[7] yang diadakan di Amerika Serikat dan tentang ”Kutukan atas dasar ajaran pada masa reformasi – masihkah menimbulkan perpisahan?” (1986)[8] yang dilaksanakan oleh Kelompok Kerja ekumenis teolog Lutheran dan Katolik di Jerman. Beberapa laporan dialog-dialog tersebut telah disambut secara resmi oleh gereja. Salah satu contoh penting darinya adalah pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Persekutuan Gereja-gereja di Jerman pada 1994. Pernyataan itu berisi pengakuan gerejawi pada tingkat tertinggi terhadap Pengkajian atas Kutukan-kutukan.[9]

4. Seluruh laporan dialog tersebut dan juga pernyataan-pernyataan yang muncul sebagai tanggapan padanya menunjukkan bahwa cara pembahasan dan kesimpulan-kesimpulan yang dibuat tentang ajaran tentang pembenaran itu, semuanya sangat sesuai. Oleh karena itu sudah saatnyalah kini mengambil kesimpulan dan meringkaskan hasil dialog-dialog tentang pembenaran itu, sehingga gereja-gereja kita dapat memperoleh informasi tentang hasil-hasil menyeluruh dengan tepat dan bijaksana, sehingga gereja selanjutnya dimampukan untuk mengutarakan pendapatnya.

5. Hal itulah yang dimaksud Deklarasi Bersama ini, yaitu untuk menunjukkan bahwa atas dasar dialog-dialog yang telah mereka adakan tersebut, dapatlah Gereja-gereja Lutheran yang turut menandatanginya dengan GKR[10] mengemukakan pemahaman bersama tentang pembenaran kita oleh anugerah Allah melalui iman akan Kristus. Pemahaman bersama itu tentunya tidak akan memuat semua ajaran gereja tentang pembenaran; tetapi mencakup suatu persetujuan akan kebenaran dasar dari ajaran pembenaran dan menununjukkan bahwa perbedaan-perbedaan lainnya dalam hal penerapannya, tidak lagi menjadi alasan untuk kutukan-kutukan dogmatis.

6. Deklarasi kita ini bukanlah suatu penguraian yang baru dan berdiri sendiri lepas dari laporan dan dokumen-dokumen dari dialog yang lalu dan bukan juga merupakan penggantinya, tetapi sebagaimana dinyatakan oleh sumber-sumber terlampir, Deklarasi ini selalu menunjuk pada laporan-laporan dan dokumen-dokumen itu dan menggunakan argumentasi-argumentasinya.

7. Sama seperti dialog-dialog tersebut, Deklarasi Bersama ini juga yakin bahwa untuk mengatasi masalah-masalah yang menjadi perdebatan dan kutukan-kutukan pada masa lalu, gereja tentunya tidak menganggap remeh kutukan-kutukan itu dan juga tidak memungkiri masa lalunya. Sebaliknya, Deklarasi bersama ini dibentuk oleh keyakinan, bahwa gereja kita mengalami perkembangan pandangan dalam perjalanan sejarah. Perkembangan yang terjadi tidak hanya memberi kemungkinan, tetapi juga menantang gereja-gereja untuk mengkaji kutukan-kutukan serta masalah-masalah yang selama ini membawa pemisahan, dan melihatnya dari sudut pandang yang baru.

Pasal  1. Pemberitaan Alkitabiah tentang Pembenaran

8. Cara kami yang sama dalam mendengar firman Allah dalam Alkitab telah membimbing kami pada sudut pandang yang baru itu. Kita bersama-sama mendengar kabar sukacita, ”Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16). Berita sukacita ini disampaikan lagi dengan berbagai cara di dalam Kitab Suci. Dalam Perjanjian Lama (PL) kita mendengar firman Allah tentang keberdosaan manusia (Mzm. 51:1-5; Dan. 9:5dab, Pkh. 8:9dab; Ezr. 9:6dab) dan ketidaktaatan manusia (Kej. 3:1-19; Neh. 9:16dab, 26) dan juga tentang ”kebenaran” Allah (Yes. 46:13; 51:5-8; 56:1 [bnd. 53:11]; Yer. 9:24) dan ”penghakiman” (Pkh. 12:14; Mzm. 9:5dab; 76:7-9).

9. Dalam Perjanjian Baru  (PB) terdapat tema yang berbeda tentang “kebenaran”  dan “pembenaran”, seperti dalam Injil Matius (5:10; 6:33; 21:32), Yohanes (16:8-11), surat Ibrani (5:1-3; 10:37-38), dan Yakobus (2:14-26).[11] Di dalam surat-surat Paulus juga anugerah karena keselamatan diuraikan dengan berbagai cara, antara lain: ”Kristus telah membenarkan kita” (Gal. 5:1-13; bnd. Rm. 6:7), ”diperdamaikan dengan Allah” (2 Kor. 5:18-21; bnd. Rm. 5:11), ”berdamai dengan Allah” (Rm. 5:1), ”ciptaan baru” (2 Kor. 5:17), ”Hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus” (Rm. 6:11,23) atau ”dikuduskan dalam Kristus Yesus” (lih. 1 Kor. 1:2; 1:31; 2 Kor. 1:1).  Tema paling menentukan dalam hal ini adalah “pembenaran” manusia berdosa oleh anugerah Allah melalui iman (Rm. 3:23-25), yang merupakan tema penting dalam zaman Reformasi.

10. Paulus menguraikan Injil sebagai kekuatan Allah untuk keselamatan bagi orang yang jatuh di bawah kuasa dosa, sebagai pemberitaan yang menyampaikan bahwa ”kebenaran Allah yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman” (Rm. 1:16-17) dan yang menganugerahkan ”pembenaran” (Rm. 3:21-31). Dia memberitakan Kristus sebagai ”kebenaran kita” (1 Kor. 1:30); melalui pemberitaan ini Paulus mengenakan pemberitaan Yeremia tentang Allah sendiri (Yer. 23:6) pada Yesus yang bangkit. Seluruh segi-segi karya keselamatan-Nya berakar dalam kematian dan kebangkitan Kristus, sebab Dialah ”Tuhan kita, yang telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan karena pembenaran kita” (Rm. 4:25). Seluruh manusia membutuhkan kebenaran Allah, ”Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rm. 3:23; bnd. Rm. 1:18-3:22; 11:32; Gal. 3:22). Dalam surat pada jemaat Galatia (3:26) dan pada jemaat Roma (4:3-9), Paulus memahami iman Abraham (Kej. 15:6) sebagai iman pada Allah yang membenarkan orang berdosa dan dia menunjuk pada kesaksian PL untuk menggarisbawahi kabar baik yang Paulus sampaikan bahwa kebenaran ini akan diperhitungkan bagi semua orang yang seperti Abraham percaya janji Allah karena ”orang benar itu akan hidup oleh percayanya” (Hab. 2:4; bnd. Gal. 3:11; Rm. 1:17). Dalam suratnya Paulus memberitakan bahwa kebenaran Allah adalah juga kekuatan bagi mereka yang beriman (Rm. 1:17; 2 Kor. 5:21). Di dalam Kristuslah kebenaran mereka (2 Kor. 5:21). Pembenaran menjadi bagian kita melalui Kristus Yesus yang ”telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya” (Rm. 3:25; lih. 3:21-28). ”Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri” (Ef. 2:8-9).

11. Pembenaran adalah pengampunan dosa (bnd. Rm. 3:23-25; Kis. 13:39; Luk. 18:14), pembebasan dari kungkungan kuasa dosa dan kematian (Rm. 5:12-21) dan dari kutukan karena Taurat (Gal. 3:10-14). Pembenaran adalah penerimaan masuk pada persekutuan dengan Allah yang sudah berlaku kini, namun akan disempurnakan dalam Kerajaan Allah yang akan datang (Rm. 5:1-2). Pembenaran menyatukan kita dengan Kristus dan dengan kematian serta kebangkitan-Nya (Rm. 6:5).  Penyatuan ini terjadi di saat seseorang menerima Roh Kudus pada waktu baptisan dan yang memungkinkan masuk ke dalam satu Tubuh (Rm. 8:1-2, 9-11; 1 Kor. 12:12-13). Semuanya ini berasal hanya dari Allah, demi Kristus, oleh anugerah melalui iman dalam “Injil tentang Anak Allah” (Rm. 1:1-3).

12. Hidup yang dibenarkan oleh iman datang dari firman Allah (Rm. 10:17), menjadi nyata dalam kasih (Gal. 5:6) dan dalam buah Roh (Gal. 5:22). Namun karena orang-orang yang dibenarkan digoda dari dalam dan dari luar oleh berbagai kuasa dan keinginan-keinginan (Rm. 8:35-39; Gal. 5:16-21) sehingga jatuh dalam dosa (1 Yoh. 1:8, 10), mereka harus senantiasa mendengar janji-janji Allah secara baru, mengakui dosa-dosa mereka (1 Yoh. 1:9), mengambil bagian dalam darah dan tubuh Kristus, dan dianjurkan untuk hidup dengan benar berpadanan dengan kehendak Allah. Itulah sebabnya rasul menganjurkan pada orang yang dibenarkan: ”karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya” (Flp. 2:12-13). Namun demikian berita sukacita ini tetap berlaku: ”sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus” (Rm. 8:1), dan bahwa Kristus hidup di dalam mereka (Gal. 2:20); dan bahwa Kristus adalah ”kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup” (Rm. 5:18).

Pasal  2. Ajaran Pembenaran sebagai Masalah Ekumenis

13. Penyebab utama perpecahan dalam Gereja Barat pada abad keenambelas adalah tafsiran dan penerapan yang berbeda terhadap pemberitaan alkitabiah tentang  pembenaran. Itu jugalah yang mengakibatkan munculnya kutukan-kutukan. Oleh karena itu suatu pemahaman akan pembenaran sangatlah mendasar dan tidak dapat ditawar-tawar untuk mengatasi perpecahan ini. Melalui penggunaan pandangan-pandangan yang dihasilkan oleh penelitian alkitabiah masa kini dan juga penelitian modern tentang sejarah teologi dan dogma, terciptalah pendekatan yang sangat penting tentang ajaran pembenaran dalam dialog ekumenis sesudah Vatikan II. Buahnya terlihat dalam keberhasilan Deklarasi Bersama ini untuk merumuskan suatu kesepakatan akan kebenaran-kebenaran dasariah tentang ajaran pembenaran. Dari sudut pandang kesepakatan ini, kutukan-kutukan yang digunakan pada abad keenambelas, kini tidak lagi digunakan pada kedua belah pihak.

Pasal  3. Pemahaman Bersama atas Pembenaran

14. Gereja-gereja Lutheran dan GKR senantiasa dengar-dengaran pada kabar gembira yang diberitakan dalam Kitab Suci. Kesediaan mendengar seperti itu, bersama dengan percakapan teologis pada tahun-tahun belakangan ini, memungkinkan adanya pemahaman bersama akan ajaran pembenaran. Pemahaman ini mencakup kesepakatan dalam kebenaran-kebenaran dasariah; kalaupun ada penguraian lanjutan yang berbeda dalam pernyataan-pernyataan yang lebih terperinci, semuanya itu dapat dipersatukan dengan kebenaran dasariah ini.

15. Kami bersama-sama mengakui bahwa pembenaran adalah karya Allah Tritunggal. Allah Bapa mengutus anak-Nya ke dunia ini untuk menyelamatkan orang berdosa. Dasar dan syarat pembenaran adalah inkarnasi, kematian, dan kebangkitan Kristus. Oleh karena itu pembenaran berarti bahwa Kristus sendiri adalah kebenaran kita; dan kita mengambil bagian dengan kebenaran ini melalui Roh Kudus sesuai dengan kehendak Bapa. Kami bersama-sama mengakui:  hanya oleh anugerah, dalam iman akan karya penyelamatan Kristus dan bukan karena perbuatan kita, kita diterima oleh Allah dan diterima oleh Roh Kudus, yang memperbaharui hati kita serta memampukan dan memanggil kita untuk perbuatan-perbuatan baik.[12]

16. Seluruh manusia dipanggil oleh Allah untuk keselamatan di dalam Kristus. Melalui Kristus sendirilah kita dibenarkan, pada saat kita menerima keselamatan ini dalam iman. Iman itu sendiri pun adalah anugerah Allah melalui Roh Kudus yang bekerja melalui firman dan sakramen di dalam persekutuan orang percaya, melalui Roh Kudus yang pada saat yang sama memimpin orang-orang percaya ke dalam pembaharuan hidup itu yang Allah akan pimpin pada kepenuhannya di dalam kehidupan yang kekal.

17. Kami juga bersama-sama mengakui bahwa pemberitaan ajaran pembenaran mengarahkan kita pada jalan khusus menuju pusat kesaksian Perjanjian Baru, yaitu karya keselamatan Allah dalam Kristus:  ini menjelaskan pada kita bahwa sebagai orang berdosa, hidup kita yang baru itu hanyalah karena pengampunan dan anugerah yang memberi pembaharuan, yang Allah berikan bagi kita sebagai anugerah dan kita menerimanya dalam iman, tetapi kita tidak pernah memperoleh hidup seperti itu dengan cara apa pun.

18. Oleh karena itu ajaran pembenaran, yang mengemban dan memperkembang berita tersebut, lebih dari hanya suatu ajaran Kristen saja. Dia secara nyata mempunyai hubungan  dengan seluruh kebenaran-kebenaran iman, yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dalam dirinya sendiri. Dia adalah suatu ukuran yang secara terus menerus mengarahkan keseluruhan ajaran dan karya gereja pada Kristus. Jika kaum Lutheran menekankan makna khusus dari ukuran ini, mereka tidak menolak keterkaitan dan makna dari seluruh kebenaran-kebenaran iman. Bila kaum Katolik melihat dirinya sendiri tunduk dari beberapa kriteria, mereka tidak menolak kegunaan yang khusus dari pesan pembenaran. Kaum Lutheran dan Katolik mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengaku Kristus, yang melampaui segalanya dipercaya sebagai satu-satunya Perantara (1 Tim. 2:5-6) yang melaluinya Allah dalam Roh Kudus memberikan diri-Nya sendiri dan mencurahkan anugerah-Nya yang memberi pembaharuan.

Pasal  4. Pengembangan Pemahaman Bersama tentang  Pembenaran

4.1 Ketidakberdayaan Manusia dan Dosa dalam Kaitan dengan Pembenaran

19. Kami bersama-sama mengakui bahwa setiap orang, dalam rangka keselamatannya, tergantung sepenuhnya pada anugerah penyelamatan Allah. Kebebasan yang dia miliki dalam kaitan dengan manusia dan segala apa yang ada di dunia ini, bukanlah kebebasan yang berkaitan dengan keselamatan, sebab sebagai orang berdosa mereka berada di bawah penghakiman Allah dan dari dirinya sendiri tidak mampu untuk berbalik pada Allah untuk memperoleh kelepasannya, untuk memperoleh pembenaran mereka di hadapan Allah, atau mengusahakan keselamatan melalui kemampuan sendiri. Pembenaran terjadi hanya karena anugerah. Karena Katolik dan Lutheran mengaku hal ini secara bersama, maka patutlah dikatakan:

20. Ketika Katolik mengatakan bahwa manusia “turut bekerja sama” dalam mempersiapkan dan menerima pembenaran melalui persetujuannya akan  karya Allah yang membenarkan, mereka melihat persetujuan pribadi seperti itu sebagai akibat dari anugerah, bukan sebagai tindakan yang muncul dari kemampuan batin manusiawi.

21. Menurut ajaran Lutheran, manusia tidak mampu untuk turut mengusahakan keselamatannya, sebab sebagai orang berdosa, mereka dari dirinya sendiri melawan Allah dan tindakan keselamatan-Nya. Kalau mereka menekankan bahwa manusia hanya dapat menerima (secara pasif) pembenaran, melaluinya mereka mau menyatakan bahwa tidak ada kemungkinan manusia untuk turut serta membantu usaha pembenarannya, namun tidak menolak bahwa orang-orang percaya sepenuhnya terlibat secara pribadi dalam iman mereka, yang muncul karena Firman Allah.

4.2 Pembenaran sebagai Pengampunan Dosa dan Membuat Jadi Benar

22. Kami bersama-sama mengaku bahwa Allah mengampuni dosa melalui anugerah dan pada saat yang sama membebaskan manusia dari kuasa dosa yang selama ini memperbudak manusia dan memberikan anugerah hidup baru dalam Kristus. Bila manusia dalam iman mengambil bagian dalam Kristus, Allah tidak memperhitungkan dosa-dosanya dan melalui Roh Kudus Allah menumbuhkan dalam diri mereka karya kasih. Kedua segi dari anugerah Allah ini tidaklah dilihat terpisah, sebab seseorang melalui iman dipersatukan dalam Kristus, yang pada Diri-Nya sendiri adalah pembenaran kita (1 Kor. 1:30): baik pengampunan dosa maupun kehadiran Allah yang menyelamatkan. Karena Gereja Katolik dan Lutheran mengakui hal ini bersama-sama, maka dapatlah dikatakan hal berikut ini:

23. Jika Gereja Lutheran menekankan bahwa kebenaran Kristus adalah kebenaran kita, mereka ingin secara khusus menekankan, bahwa orang berdosa dianugerahi kebenaran di hadapan Allah di dalam Kristus melalui pernyataan pengampunan dosa, dan bahwa hanya di dalam kesatuan dengan Kristuslah hidup manusia diperbaharui. Kalau mereka menekankan bahwa anugerah Allah adalah kasih yang mengampuni (“kemurahan Allah”),[13] melaluinya mereka tidak menolak pembaharuan hidup orang Kristen. Malah mereka ingin menyatakan bahwa pembenaran tetap lepas dari usaha manusia dan tidak tergantung pada buah-buah pembaharuan hidup baru yang ada dalam diri  manusia, yang berasal dari anugerah itu.

24. Jika Gereja Katolik Roma menekankan pembaharuan manusia dalam ke dalam dirinya melalui penerimaan akan rahmat yang diberikan padanya sebagai anugerah bagi orang percaya,[14] mereka ingin menekankan bahwa anugerah pengampunan Allah selalu membawa anugerah hidup baru, yang di dalam Roh Kudus menjadi nyata dalam karya kasih. Melaluinya mereka tidak menolak bahwa pemberian Allah akan rakhmat dalam pembenaran tetap lepas dari karya manusia.

4.3 Pembenaran oleh Iman dan melalui Anugerah

25. Kami bersama-sama mengaku, bahwa orang-orang berdosa dibenarkan oleh iman dalam karya penyelamatan Allah di dalam Kristus. Melalui karya Roh Kudus dalam baptisan, mereka dilimpahi dengan anugerah keselamatan;  itulah yang menjadi dasar bagi keseluruhan hidup kristiani. Mereka menaruh kepercayaan mereka pada janji anugerah Allah dalam pembenaran iman, yang di dalamnya termasuk harapan akan Allah dan kasih pada-Nya. Iman yang demikian berkarya dalam kasih, sehingga orang Kristen tidak dapat dan juga seharusnya tidak tinggal diam tanpa perbuatan. Tetapi segala sesuatu yang bagi orang yang dibenarkan merupakan persyaratan atau pun buah dari anugerah iman, tidak akan pernah menjadi dasar pembenaran dan tidak pernah dapat diusahakan.

26. Menurut pemahaman gereja Lutheran, Allah membenarkan orang berdosa karena iman semata (sola fide). Di dalam iman mereka menaruh percaya sepenuhnya akan Pencipta dan Penebus mereka dan dengan demikian hidup dalam persekutuan dengan-Nya. Allah sendirilah yang menyebabkan munculnya iman, pada saat Dia menimbulkan kepercayaan yang demikian melalui firman-Nya yang penuh daya cipta. Karena karya Allah adalah ciptaan baru, maka seluruh segi-segi dalam diri manusia dipengaruhi dan dipimpin menuju suatu hidup yang penuh pengharapan dan kasih. Dalam ajaran tentang “dibenarkan oleh iman semata”, dibuatlah pembedaan, namun bukan pemisahan, antara pembenaran itu sendiri dengan pembaharuan jalan hidup seseorang yang diakibatkan oleh pembenaran itu dan yang tanpa itu iman tidak ada. Dengan demikian dasar itu ditunjukkan, yang darinya hidup yang diperbaharui muncul; dasar itu keluar dari kasih Allah yang dianugerahkan pada orang yang dibenarkan. Pembenaran dan pembaharuan dipersatukan di dalam Kristus, yang hadir dalam iman.

27. Pemahaman Gereja Katolik Roma juga melihat iman sebagai suatu yang mendasar dalam pembenaran. Sebab tanpa iman tidak akan terdapat pembenaran. Seseorang dibenarkan melalui baptisan sebagai pendengar firman dan yang percaya akan firman itu. Pembenaran orang berdosa adalah pengampunan dosa dan dijadikan benar oleh rahmat yang membenarkan, yang membuat kita menjadi anak-anak Allah. Dalam pembenaran, orang yang dibenarkan itu menerima dari Kristus iman, pengharapan dan kasih dan dengan demikian dipersatukan dengan-Nya.[15] Hubungan pribadi dengan Allah ini didasarkan sepernuhnya pada kemahamurahan Allah tetap tergantung pada karya keselamatan yang penuh daya cipta yang berasal dari rahmat Allah yang tetap setia, sehingga  seseorang dapat menyandarkan diri pada-Nya. Oleh karena itu anugerah yang membenarkan itu tidak pernah menjadi milik manusia untuk digunakan membela dirinya di hadapan Allah. Bila GKR menekankan pembaharuan hidup melalui rahmat yang membenarkan, pembaharuan dalam iman, harap dan kasih ini selalu tergantung para rahmat Allah yang tanpa alasan itu, dan pembaharuan hidup ini tidak mengakibatkan pembenaran dan inilah yang disyukuri orang di hadapan Allah (Rm. 3:27).

4.4 Orang Berdosa yang Dibenarkan

28. Kami bersama-sama mengakui bahwa dalam baptisan Roh Kudus mempersatukan manusia dengan Kristus, membenarkan dan memperbaharui orang itu sepenuhnya. Tetapi orang yang dibenarkan harus dalam keseluruhan hidupnya senantiasa bergantung pada rahmat Allah yang membenarkan dan tanpa syarat itu. Rahmat ini tanpa henti-hentinya mendapat perlawanan dari kuasa dosa yang masih melancarkan serangannya (bnd. Rm. 6:12-14) dan tidak dibebaskan dari pergumulan sepanjang hayat melawan pertentangan pada Allah dalam keinginan dari Adam yang lama (bnd. Gal. 5:16; Rm. 7:7-10). Orang yang dibenarkan harus memohon setiap hari pada Allah pengampunan dosa dalam Doa Bapa Kami (Mat. 6:12; 1 Yoh. 1:9), dan selalu dipanggil untuk pengakuan dan penyesalan dan selalu dianugerahi pengampunan dosa.

29. Gereja Lutheran memahami keberadaan orang Kristen sebagai orang yang “serentak benar dan berdosa”. Orang-orang percaya sepenuhnya benar, karena Allah mengampuni dosa-dosa mereka melalui firman dan sakramen dan menganugerahkan kebenaran Kristus yang mereka miliki dalam iman. Di dalam Kristus mereka dinyatakan benar di hadapan Allah. Bila mereka melihat diri mereka melalui Taurat, mereka juga menyadari bahwa mereka tetap sebagai orang yang berdosa sepenuhnya. Dosa masih tinggal di dalam diri mereka (1 Yoh. 1:8; Rm. 7:17,20), sebab mereka berulang-ulang berbalik pada ilah-ilah palsu dan tidak mengasihi Allah dengan kasih yang tak terbagi yang Allah sebagai Pencipta tuntut dari mereka (Ul. 6:5; Mat. 22:36-40). Pertentangan dengan Allah ini adalah benar-benar dosa. Namun demikian, kuasa dosa yang memperbudak ini dihancurkan atas dasar pemilikan orang percaya akan Kristus. Dosa tidak lagi “memerintah” orang Kristen, sebab mereka sendiri “dikuasai” oleh Kristus, dan orang yang dibenarkan terikat pada Kristus di dalam iman. Kemudian dalam hidup seperti ini orang Kristen dipimpin pada hidup yang benar. Meskipun berdosa, orang Kristen tidak lagi terpisah dari Allah, sebab setiap hari mereka kembali pada baptisan, karena orang yang sudah dilahirkan kembali oleh baptisan dengan Roh Kudus telah diampuni dari dosa-dosa ini. Oleh karena itu dosa ini tidak lagi membawa kutuk dan kematian yang kekal.[16] Oleh karena itu, bila Gereja Lutheran mengatakan bahwa orang yang dibenarkan adalah juga orang yang berdosa dan bahwa perlawanan mereka pada Allah adalah memang benar-benar dosa, mereka tidak menolak bahwa, meskipun karena adanya dosa ini, mereka tidak terpisah dari Allah dan dosa ini adalah dosa yang sudah “dikuasai”. Dalam pernyataan seperti ini mereka setuju dengan Gereja Katolik Roma, meskipun terdapat perbedaan dalam pemahaman akan dosa dan pembenaran.

30. Gereja Katolik Roma meyakini bahwa anugerah Yesus Kristus yang diberikan dalam baptisan melenyapkan apa yang benar-benar dosa “dalam pengertian sebenarnya” dan “layak menerima penghukuman” (Rm. 8:1).[17] Namun dalam diri manusia itu tetap tinggal kecenderungan yang datang dari dosa dan selalu ditundukkan pada dosa. Karena, sesuai dengan keyakinan GKR, dosa manusia selalu melibatkan unsur pribadi dan karena unsur ini selalu memunculkan kecenderungan tersebut, GKR tidak melihat kecenderungan ini sebagai dosa dalam arti yang asli. Melaluinya mereka tidak menolak bahwa kecenderungan ini tidak berhubungan dengan rencana Allah yang semula tentang kemanusiaan ini, dan bahwa kecenderungan itu pada dasarnya bertentangan dengan Allah dan tetap musuh seseorang dan orang itu akan terus bergumul dengannya sepanjang hidupnya. Bersyukur atas pelepasan oleh Kristus, mereka ingin menekankan bahwa kecenderungan yang selalu bertentangan dengan Allah tersebut tidak membawa penghakiman dan kematian kekal[18] dan tidak memisahkan orang yang dibenarkan dari Allah. Tetapi bila seseorang secara sengaja memisahkan diri dari Allah, tidaklah cukup dengan hanya melakukan Taurat, sebab mereka harus menerima pengampunan dan dialami dalam sakramen pendamaian melalui firman pengampunan dosa yang dianugerahkan bagi mereka berdasarkan karya pendamaian Allah di dalam Kristus.

4.5 Taurat dan Injil

31. Kami bersama-sama mengakui bahwa orang dibenarkan oleh iman dalam Injil “Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat” (Rm. 3:28). Kristus telah memenuhi Taurat, dan melalui kematian dan kebangkitan-Nya Dia telah menyelesaikannya sebagai suatu jalan menuju keselamatan. Kami juga mengakui bahwa perintah-perintah Allah tetap berlaku bagi orang-orang yang dibenarkan, dan bahwa Kristus telah menyatakan kehendak Allah melalui ajaran dan teladan yang Kristus berikan. Perintah Allah ini jadinya menjadi ukuran bagi kehidupan orang percaya juga.

32. Gereja-gereja Lutheran menyatakan bahwa pembedaan dan urutan yang benar dari Taurat dan Injil sangatlah penting dalam pemahaman akan pembenaran. Makna teologis Taurat adalah tuntutan dan dakwaan. Di sepanjang hidup mereka, seluruh manusia termasuk orang Kristen, karena mereka semua adalah orang berdosa, berada di bawah dakwaan ini dan dosa mereka menjadi nyata; dengan demikian di dalam iman akan Injil itu mereka tanpa ragu-ragu berbalik pada pengasihan Allah di dalam Kristus, yang merupakan satu-satunya pembenaran mereka.

33. Karena Taurat sebagai jalan menuju keselamatan telah dipenuhi dan diatasi melalui Injil, umat Katolik dapat mengatakan bahwa Kristus bukanlah pemberi Taurat seperti halnya Musa. Jika Gereja Katolik Roma menekankan bahwa orang benar terikat untuk melaksanakan perintah Allah, tidaklah dimaksudkan bahwa dengan mengatakan itu mereka menolak bahwa melalui Yesus Kristuslah Allah menjanjikan pada anak-anak-Nya anugerah hidup yang kekal.[19]

4.6 Kepastian Keselamatan

34. Kami bersama-sama mengakui bahwa orang beriman dapat mengandalkan anugerah dan janji-janji Allah. Di dalam kelemahan dan ancaman yang berat bagi iman mereka, atas dasar kuasa kematian dan kebangkitan Kristus mereka dapat bergantung pada janji Allah yang berdaya guna dalam firman dan sakramen; dengan demikianlah mereka menjadi pasti akan anugerah ini.

35. Hal ini ditekankan oleh para reformator dengan cara yang khusus: di tengah pencobaan, orang percaya kiranya jangan melihat diri mereka sendiri tetapi melihat Yesus saja, dan hanya percaya pada-Nya. Dalam percaya akan janji Allah keselamatan mereka terjamin, tetapi tidak pernah terjamin karena melihat diri sendiri.

36. Penekanan para reformator tersebut dapat dibagi-bagikan oleh umat  Katolik pada beberapa hal, yaitu: membangun iman atas kenyataan objektif dari janji Kristus, mengalihkan pandangan dari pengalaman sendiri dan percaya hanya pada firman pengampunan Kristus (bnd. Mat. 16:19; 18:18).  Melalui Konsili Vatikan ke II, umat Katolik menyatakan: memiliki iman berarti mempercayakan diri sendiri sepenuhnya pada Allah[20] yang membebaskan kita dari kegelapan dosa dan kematian, dan membangkitkan kita pada hidup yang kekal.[21] Dalam pengertian demikian, seseorang tidak dapat percaya pada Alllah serentak dengan anggapan bahwa janji Ilahi tidak dapat dipercaya. Tidak seorang pun yang meragukan kemurahan Allah dan anugerah Kristus. Namun setiap orang dapat juga memelihara keselamatannya di saat dia melihat kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangannya. Dengan mengakui kelemahannya sendiri, orang percaya tetap dapat merasa pasti bahwa Allah menginginkan keselamatannya.

4.7 Perbuatan Baik dari Orang yang Dibenarkan

37. Kami bersama-sama mengakui bahwa perbuatan baik – yaitu kehidupan kristiani di dalam iman, pengharapan dan kasih – muncul dari pembenaran dan merupakan buahnya. Jika orang yang dibenarkan hidup dalam Kristus dan bertindak dalam anugerah yang dia terima, mereka akan menghasilkan buah dalam pengertian alkitabiah. Karena orang-orang Kristen bergumul melawan dosa dalam seluruh hidupnya, buah dari pembenaran ini juga menjadi suatu kewajiban bagi mereka yang harus mereka penuhi. Itulah sebabnya Yesus dan surat-surat para rasul menasihatkan orang-orang Kristen untuk menghasilkan karya kasih.

38. Menurut pemahaman umat Katolik, perbuatan baik, yang dimungkinkan oleh rahmat dan karya Roh Kudus, mempengaruhi pertumbuhan dalam rahmat, sehingga   kebenaran yang datang dari Allah dipelihara dan persekutuan dengan Kristus diperdalam. Jika umat Katolik menyatakan ciri “jasa” dari perbuatan baik, mereka ingin mengatakan bahwa, menurut kesaksian Alkitab, upah di sorga dijanjikan atas perbuatan baik ini. Maksud mereka adalah untuk menekankan tanggungjawab seseorang untuk perbuatan mereka, bukan mempertunjukkan ciri perbuatan itu sebagai hadiah, dan juga tidak dimaksudkan untuk menolak bahwa pembenaran adalah anugerah dari rahmat yang bukan karena jasa baik.

39. Pengertian tentang pemeliharaan anugerah dan pertumbuhan dalam anugerah dan iman dikenal oleh Lutheran. Mereka mau menekankan bahwa kebenaran sebagai penerimaan melalui Allah dan ambil bagian dalam kebenaran Kristus sudahlah sempurna. Pada saat yang sama, mereka menyatakan bahwa terdapat juga pertumbuhan atas pengaruh kebenaran itu dalam hidup orang Kristen. Jika mereka melihat  perbuatan baik orang Kristen sebagai “buah” dan “tanda” pembenara dan bukan sebagai “jasa”,  mereka juga memahami hidup yang kekal menurut Perjanjian Baru sebagai “hadiah” yang tidak atas dasar jasa dalam arti pemenuhan janji Allah pada orang percaya.

Pasal  5. Makna dan Cakupan dari Kesepakatan yang Telah Dicapai

40. Pemahaman akan ajaran tentang pembenaran yang dijelaskan dalam Deklarasi ini menunjukkan bahwa di antara Lutheran dan umat Katolik terdapat suatu persesuaian akan kebenaran dasar ajaran pembenaran. Perbedaan lainnya dari segi bahasa dan penguraian teologis dan penekanan akan pemahaman pembenaran seperti yang terdapat dalam alinea 18 hingga 39, dapat diterima dilihat dari sudut pandang persesuaian ini. Oleh karena itu, dilihat dari sudut persesuaian ini, penguraian lanjutan dari Lutheran dan umat Katolik tentang ajaran pembenaran terbuka satu sama lain di dalam perbedaannya dan tidak akan menghancurkan persesuaian tentang kebenaran-kebenaran dasariah.

41. Dengan demikian, kutukan-kutukan dari abad keenambelas, sejauh itu berkaitan dengan ajaran tentang pembenaran, muncul dalam terang yang baru: ajaran gereja-gereja Lutheran yang dihadirkan dalam pernyataan ini tidak berada di bawah kutukan-kutukan dari Konsili Trente; kutukan-kutukan dalam Konfesi-konfesi Lutheran tidak dikenakan pada ajaran Gereja Katolik Roma yang terdapat dalam Deklarasi ini.

42. Melalui itu, tidak ada yang disingkirkan dari kesungguhan kutukan-kutukan itu bila dihubungkan dengan ajaran pembenaran. Beberapa darinya bukanlah tanpa alasan. Semuanya itu bukannya tidak berlaku lagi, tetapi tetaplah merupakan “peringatan tentang keselamatan” yang sebaiknya kita perhatikan dalam ajaran dan perilaku kita.[22]

43. Kesepakatan kami dalam kebenaran dasariah akan ajaran pembenaran seharusnya mempengaruhi hidup dan ajaran gereja-gereja kami dan juga tetap dipelihara. Dalam kaitan dengan itu, memang masih terdapat perbedaan penekanan yang membutuhkan penjelasan. Selain dari pokok-pokok yang lain, termasuklah di dalamnya hubungan antara Firman Allah dan ajaran gereja, demikian juga ajaran Gereja tentang  susunan pemerintahan gereja, jabatan dan sakramen, dan hubungan antara pembenaran dan etika sosial. Kami yakin bahwa kesepakatan yang telah kami capai menyuguhkan dasar yang teguh untuk penjelasan ini. Gereja-gereja Lutheran dan Gereja Katolik Roma akan terus mengusahakan pendalaman pemahaman bersama tentang pembenaran ini dan membuatnya berbuah dalam hidup dan ajaran gereja.

44. Kami mengucapkan syukur pada Tuhan atas langkah maju menuju usaha mengatasi keterpisahan gereja.  Kami memohon Roh Kudus membimbing kami selanjutnya ke arah keesaan yang terlihat, sesuai dengan kehendak Kristus.


[1] Naskah dalam bahasa Indonesia ini diambil dari terjemahan sementara dari pihak Lutheran untuk disetujui bersama oleh Keuskupan Agung Medan dan Komite Nasional (KN) – Lutheran World Federation (LWF) Indonesia dalam Seminar Sehari Lutheran – Katolik dalam rangka perayaan 5 tahun Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran antara LWF dan GKR, 30 Oktober 2004 di STFT St.Yohanes, Sinaksak Pematangsiantar, yang kemudian disunting oleh penulis untuk kepentingan penulisan tesis ini. Naskah asli dokumen ini terlampir pada lampiran tesis ini.

[2] Pasal-pasal Smalkalden, II,1; Buku Konkord: Konfesi Gereja Lutheran, hlm. 371.

[3] “Rector et judex super omnia genera doctrinarum”  Edisi Weimar untuk Karya Luther (WA), 39,I,205.

[4] Perlu dicatat bahwa beberapa gereja-gereja Lutheran hanya memasukkan Konfessi Augsburg dan Katekhismus Kecil dari Martin Luther di antara konfesi-konfssi mereka. Naskah-naskah tersebut tidak memuat kutukan-kutukan pada Gereja Katolik Roma.

[5] Laporan dari The Joint Lutheran-Roman Catholic Study Commision, terbitan Growth in Agreement (New York: Geneva 1984), hlm. 168-189.

[6] Diterbitkan oleh The Lutheran World Federation (Geneva, 1994).

[7] Lutheran and Catholic in Dialog, VII (Minneapolis, 1985).

[8] Minneapolis, 1990.

[9] “Gemeinsame Stellungnahme der Arnoldshainer Konferenz, der Vereinigten Kirche und des Deutschen Nationalkomitees des Lutherischen Weltbundes zum Dokument ‘Lehrverurteilungen – kirchentrennend?’” Őkumenische Rundschau 44 (1995): hlm. 99-102.  Lihat juga ceramah pendahuluan yang mendasari resolusi ini, bnd. Lehrverurteilungen im Gesprāch, Die ersten offiziellen Stellungnahmen aus den evangelischen Kirchen in Deutschland (Göttingen: Vandenhoeck & Ruprecht, 1993).

[10] Kata “gereja” digunakan dalam deklarasi ini untuk mencerminkan pemahaman pribadi gereja-gereja yang terlibat di sini, tanpa bermaksud memecah masalah-masalah eklesiologis yang berkaitan dengan terminologi ini.

[11] Bnd. Laporan Malta, alinea 26-30; Justification by Faith, alinea 122-147. Atas permintaan dialog di Amerika Serikat tentang Pembenaran, ayat-ayat PB di luar surat-surat Paulus disampaikan dalam “Righteousness in the New Testament, oleh John Reumann, dengan tanggapan dari Joseph A.Fitzmyer dan Jerome D.Quinn (Philadelphia dan New York: 1982), hlm. 124-180. Hasil studi ini diringkaskan dalam laporan “Justification by Faith” dalam alinea 139-142.

[12] “All Under One Christ”, alinea 14, dan dalam  Growth in Agreement, hlm. 241-247.

[13] Bnd. WA 8:106; Edisi Amerika 32:227.

[14] Bnd. Denzinger-Schönmetzer, Enchiridion symbolorum … 1528.

[15] Bnd. DS 1530.

[16]Bnd. Apologi II: 38-45; Buku Konkord, hlm.99-100.

[17]Bnd. DS 1515.

[18]Bnd. DS 1515.

[19] Bnd. DS 1545.

[20] Bnd. Dei Verbum (Vatikan II) 5.

[21] Bnd. Ibid.

[22] “Condemnations of the Reformation Era”, hlm. 27.

1.      PENDAHULUAN

A.     KATA PENGANTAR[1]

Reformasi Eropa pada abad ke-16 adalah salah satu bidang paling menarik untuk dipelajari yang dapat digarap oleh sejarawan. Reformasi itu mencakup sejumlah bidang – baik reformasi moral maupun reformasi struktur gereja dan masyarakat, pembaruan spiritualitas kekristenan, dan pembaruan atas dasar ajaran Kristen.

Buku ini ditulis dalam keyakinan bahwa terdapat banyak orang yang tidak akan puas dengan keterlibatan yang dangkal dengan Reformasi dan mengharapkan untuk berhubungan dengannya secara serius – tetapi tidak berani melakukannya karena kesulitan-kesulitan besar yang ditemui dalam usaha percobaannya untuk memahami ide-idenya. Mempelajari Reformasi tanpa mempertimbangkan ide-ide keagamaan yang memberikan “bahan bakar” untuk perkembangannya dapat disamakan dengan mempelajari Revolusi Rusia tanpa merujuk Marxisme.

Secara ringkas sebenarnya McGrath memberikan tiga kata tujuan dari buku ini yaitu: “memperkenalkan”, “menjelaskan” dan “mengkontekstualisasikan”. Buku ini bertujuan: pertama, memperkenalkan ide-ide atau paham-paham yang penting dari Reformasi Eropa selama parohan pertama abad keenam belas. Kedua, menjelaskan ide-ide atau paham-paham tentang teologi Kristen yang melandasi Reformasi seperti “pembenaran oleh iman” dan “predestinasi”. Ketiga, mengkontekstualisasikan ide-ide atau paham-paham Reformasi dengan menempatkan ide-ide atau paham-paham tersebut dalam konteks intelektual, sosial, dan politik yang sebenarnya seperti humanisme dan skolastik, ideologi-ideologi keagamaan alternatif dari Reformasi radikal dan Katolik Roma dan realitas-realitas politik dan sosial dari kota-kota kerajaan pada awal abad keenam belas.[2]

Seluruh pemikiran McGrath ini diulasnya dalam sebelas bab seperti yang diuraikan di dalam laporan buku ini.

2.      ISI BUKU

2.1    Bab I: PENDAHULUAN[3]

Menurut McGrath, para mahasiswa secara umum mendekati Reformasi dengan pola pikir yang hampir sama, mereka bagaikan pelancong-pelancong pada Abad   Pertengahan yang mendekati hutan lebat yang gelap di bagian selatan Jerman. Mereka bagaikan penjelajah yang berpetualang masuk ke daerah yang baru, tidak pasti apa yang akan mereka temukan. Bahkan lebih dalam McGrath mengatakan bahwa para mahasiswa kadang-kadang tergoda untuk mengabaikan ide-ide dan paham-paham dari Reformasi supaya mereka dapat memusatkan perhatian pada aspek-aspek sosial dan politik, sehingga konsekuensinya mereka akan gagal menangkap esensi dari Reformasi sebagai suatu fenomena sejarah dan gagal memahami mengapa Reformasi merupakan titik rujukan bagi banyak perdebatan di dalam dunia keagamaan masa kini dan di bidang lain.

Bab pendahuluan ini bertujuan untuk berkenalan dengan masalah-masalah pengantar supaya dapat mempersiapkan landasan untuk diskusi mengenai pemikiran dari Reformasi dalam bab-bab selanjutnya. Bab I ini diuraikan McGrath dalam enam pokok pikiran yaitu:

Pertama, Jeritan untuk pembaharuan. Menurut McGrath, istilah Reformasi secara langsung memberikan kesan bahwa sesuatu, yaitu kekristenan Eropa Barat, sedang diperbarui. Artinya istilah Reformasi secara umum diterima sebagai sebutan yang sesuai untuk gerakan kekristenan Eropa Barat, karena gerakan ini dihubungkan dengan pengakuan akan kebutuhan untuk pemeriksaan yang mendalam atas lembaga-lembaga, praktik-praktik dan paham-paham dari gereja Barat. Sehingga istilah Reformasi ini berbeda dengan gerekan-gerakan yang ada dalam sejarah gereja lainnya.

McGrath membuktikannya bahwa pada awal abad ke-16 tampak jelas bahwa gereja di Eropa Barat berada dalam keadaan yang sangat memerlukan pembaruan. Jeritan untuk “pembaruan yang menyeluruh” meringkaskan baik hakikat dari krisis itu maupun penyelesaian yang dirasakannya. Tata gereja yang resmi benar-benar membutuhkan pembongkaran yang menyeluruh dan birokrasi kegerejaan telah menjadi sangat tidak efisien dan korup. Moral para rohaniwan sering tampak lemah dan menjadi sumber skandal bagi jemaat mereka. Sebagian besar jabatan kegerejaan yang tinggi diperoleh melalui cara-cara yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Umumnya didasarkan atas hubungan keluarga, status politik atau status keuangan dari para kandidat dan bukan atas kualitas kerohaniaan mereka. Machiavelli memandang moral yang rendah dari zaman Renaisans Italia sebagai contoh jelek dari gereja dan kaum rohaniwannya. Bagi pengamat-pengamat yang kritis seperti Martin Luther dari Wittenberg dan Yohanes Calvin dari Jenewa, gereja telah kehilangan visi mengenai warisan intelektualnya. Para reformator itu mengumandangkan jeritan dari kaum humanis, yaitu kembali ke sumber-sumber (ad fontes), kembali ke zaman keemasan gereja supaya mendapatkan kembali kesegaran, kemurnian dan vitalitasnya di tengah-tengah suatu zaman yang mandek dan korup. Konkordat Bologna (1516), kesepakatan antara gereja dan negara mengenai pengurusan masalah-masalah gerejawi, memberikan kuasa kepada Raja Perancis untuk mengangkat imam senior dari gereja Perancis dan dengan demikian ia memegang kontrol atas gereja dan keuangannya.

Ringkasnya menurut McGrath, para tokoh reformator adalah orang-orang pragmatis, mereka bersedia memberikan imbalan kepada pemerintah sekuler asalkan kepentingan untuk Reformasi itu dimajukan.

Kedua, Konsep tentang “Reformasi”. Menurut McGrath, istilah “Reformasi” dipergunakan dalam banyak arti dan karena itu perlu dilihat perbedaan-perbedaannya. Ada empat unsur yang terdapat dalam definisi tentang Reformasi yaitu: Lutheranisme, gereja Reformed (“Calvinisme”), Reformasi radikal (“Anabaptisme”) dan Kontra-Reformasi atau Reformasi Katolik. Artinya, istilah “Reformasi” dipergunakan untuk merujuk pada keempat gerakan ini. Di sisi lain, menurut McGrath, dalam karya ilmiah istilah “Reformasi” dipergunakan untuk merujuk pada “Reformasi magisterial” atau “Reformasi arus utama” – yang berhubungan dengan gereja-gereja Lutheran dan Reformed, tanpa Anabaptis. Ungkapan “Reformasi magisterial” dimaksudkan untuk mengarahkan perhatian pada hubungan yang erat antara gereja dan penguasa hukum dari program-program pembaruan tokoh-tokoh seperti Martin Luther atau Martin Bucer. Istilah “Reformasi magisterial” secara bertahap dipakai untuk merujuk pada dua arti pertama dari istilah itu (yaitu mencakup Lutheranisme dan gereja Reformed) secara bersama-sama, dan istilah “Reformasi radikal” merujuk pada arti ketiga (yaitu mencakup Anabaptisme). Dan McGrath menegaskan bahwa karyanya ini khusus membahas ide-ide Reformasi magisterial yakni:

(a) Reformasi Luther. Reformasi ini dikaitkan dengan wilayah-wilayah Jerman di bawah pengaruh pribadi yang berkharisma – Martin Luther yang khusus memperhatikan masalah doktrin pembenaran, yang merupakan pokok utama dari pemikiran keagamaannya. Reformasi ini pada mulanya berbentuk reformasi adamis yang terutama berkenaan dengan pembaruan pengajaran teologi di Universitas Wittenberg yang kemudian berubah menjadi suatu program untuk pembaruan gereja dan masyarakat.

(b) Gereja Reformed. Berkembang mulai dari negara Konfederasi Swiss yang berakar pada serangkaian usaha membarui moral dan peribadahan gereja (tanpa mementingkan ajarannya) agar lebih sesuai dengan pola yang terdapat dalam Alkitab. Tokoh gerakan ini adalah: Huldrych Zwingli, Heinrich Bullinger, Yohanes Calvin, Theodore Beza, William Perkins atau John Owen. Istilah “Reformed” merujuk pada gereja-gereja (terutama di Swiss, Dataran Rendah dan Jerman) dan pemikir-pemikir keagamaan (seperti Theodore Beza, William Perkins atau John Owen) yang mendasarkan pemikirannya atas buku besar karya Calvin, Christianae Religionis Institutio atau dokumen-dokumen gereja (seperti Katekismus Heidelberg). Gereja Reformed ini lebih dikenal dengan “Calvinisme” sejak tahun 1560-an padahal seluruh pemikiran gerakan ini bukan hanya bersumber dari Calvin sendiri.

(c) Reformasi Radikal (Anabaptisme). Istilah “Anabaptis” mempunyai asal-usulnya pada Zwingli yang muncul pertama kali di sekitar Zurich, setelah Reformasi Zwingli awal tahun 1520-an. Gerakan ini berpusat pada individu seperti Conrad Grebel yang menuduh Zwingli tidak setia pada prinsip-prinsip reformasinya. Orang-orang Anabaptis mempunyai alasan yang kuat untuk menuduh Zwingli berkompromi. Misalnya, dalam tulisan Zwingli yang berjudul Apologeticus Archeteles (1522), Zwingli mengakui ide tentang “kepemilikan bersama” (community of goods) sebagai prinsip yang khas Kristen, tetapi tahun 1525, Zwingli mengubah pandangannya dan sampai pada pendapat bahwa kepemilikan pribadi atas harta benda bagaimanapun juga bukanlah merupakan hal yang jelek. Tokoh gerakan ini adalah Balthasar Hubmaier, Pilgram Marbeck dan Menno Simons. Ajaran yang sangat menonjol dalam gerakan ini adalah: suatu ketidakpercayaan yang umum terhadap penguasa luar, penolakan akan baptisan anak dan dukungan pada baptisan orang dewasa yang percaya, kepemilikan bersama atas harta benda dan penekanan atas pasifisme dan gerakan tanpa kekerasan. Bagi beberapa kalangan gerakan ini disebut sebagai “sayap kiri dari Reformasi“ (Roland H.Bainton) atau “Reformasi radikal” (George Hunston Williams). Dokumen yang paling penting yang muncul dalam gerakan ini adalah “Pengakuan Schleitheim” yang disusun oleh Michael Sattler pada 24 Februari 1527 yang berisi “artikel-artikel pemisahan” yang membedakan Anabaptis dengan gerakan Reformasi maupun yang di luar Reformasi. Fungsi pengakuan ini untuk membedakan orang-orang Anabaptis dari mereka yang di sekelilingnya – orang papis (Katolik) dan antipapis (Protestan/Reformasi magisterial) dan pengakuan ini juga berfungsi sebagai pemersatu perbedaan-perbedaan yang mungkin ada di antara mereka.

(d) Reformasi Katolik. Istilah ini dipakai untuk merujuk revitalisasi dari Katolikisme Roma dalam periode setelah pembukaan Konsili Trente (1545). Gerakan ini sering digambarkan sebagai “Kontra-Reformasi”. Gerakan ini bertujuan untuk memerangi Reformasi Protestan dengan maksud membatasi pengaruh Protestanisme. Kemudian gerakan ini bertujuan untuk melakukan pembaruan atas dirinya sendiri untuk menyingkirkan alasan-alasan kritikan dari kaum Protestan. Konsili Trente, bentuk yang paling menonjol dari Refomasi Katolik, menjelaskan pengajaran Katolik atas sejumlah masalah yang membingungkan dan mengintroduksikan lebih banyak lagi pembaruan yang diperlukan dalam hubungan dengan kelakuan dari kaum rohaniwan, disiplin gerejawi, pendidikan keagamaan dan kegiatan pekabaran Injil. Gerakan pembaruan ini terutama dirangsang oleh reformasi dari banyak keagamaan yang lebih tua dan pendirian orde-orde yang baru seperti Yesuit.

Ketiga, Peran penting dari percetakan. McGrath berpendapat bahwa percetakan mempunyai dampak yang sedemikian besar atas Reformasi. Faktor-faktor utama yang menunjukkan pentingnya percetakan tersebut adalah:

(a) dengan adanya percetakan berarti propaganda Reformasi dapat secara cepat dan murah disebarluaskan.

(b) Reformasi didasarkan atas sumber-sumber yang spesifik: Alkitab dan para teolog dari lima abad (sering disebut sebagai “Bapa-bapa Gereja” atau “penulis-penulis patristik”). Penemuan atas media cetak mempunyai dampak langsung untuk sumber-sumber yang spesifik ini: pertama, memproduksi edisi-edisi yang lebih akurat dari suatu teks karya tulis sebagai dasar untuk refleksi teologis ; kedua, mempermudah memperoleh sumber-sumber teks karya tulis dari pada sebelumnya.

Peranan penting lainnya dari percetakan ini menurut McGrath adalah dalam rangka penyebaran ide-ide dari Refomasi ke luar negeri. Suatu titik balik yang penting sekali dalam Reformasi Perancis ditandai dengan penerbitan buku Calvin dalam edisi berbahasa Perancis, Institution la religion chretienne, pada tahun 1541. Lebih jauh McGrath berpendapat bahwa percetakan merupakan alat yang membawa perubahan dalam iklim atau dunia intelektual sementara warga kota pada umumnya diubah keyakinannya pada hal-hal yang mendukung Reformasi melalui dampak para pendeta/pengkhotbah dan pribadi tertentu.

Keempat, Konteks sosial dari Reformasi. Dengan melihat situasi sosial yang terjadi di Eropa, menurut McGrath bahwa keberhasilan dan kegagalan Reformasi di dalam kota-kota sebagian tergantung pada faktor-faktor sosial dan politik. Krisis bahan makanan yang diakibatkan Black Death (Maut Hitam atau penyakit sampar) pada akhir abad ke-14 dan ke-15, menyebabkan krisis agraria. Sehingga pada awal abad ke-16 keresahan sosial berkembang di banyak kota. Pendapat beberapa ahli yang dikutip McGrath mengatakan bahwa dalam abad ke-15 keinginan untuk urbanisasi agak tersendat disebabkan ketegangan sosial yang berkembang di dalam kota-kota (Berndt Moeller). Moeller menaruh perhatian pada implikasi-implikasi sosial dari ajaran Luther mengenai masalah keimanan tradisional tertentu di dalam masyarakat urban dan merangsang timbulnya suatu perasaan kesatuan komunal. Pendapat lainnya dikemukakan Thomas Brady, keputusan untuk menerima Protestanisme di Strasbourg merupakan akibat dari suatu perjuangan kelas yang di dalamnya suatu koalesi yang kuat antara kaum bangsawan dan pedagang percaya bahwa kedudukan sosial mereka hanya dapat diperthankan melalui persekutuan dengan Reformasi. Sedangkan Steven Ozment berpendapat, daya tarik Protestanisme adalah doktrinnya tentang pembenaran oleh iman yang menawarkan pembebasan dari tekanan psikologis yang diakibatkan oleh sistem Abad Pertengahan bagian akhir dan doktrin pembenaran “semi-Pelagian” yang saling berkaitan.

Menurut McGrath  ada beberapa ciri umum asal-usul dan perkembangan Reformasi di sebagian besar kota Eropa Utara yaitu:

(a)    Reformasi di kota-kota muncul sebagai jawaban atas suatu desakan rakyat untuk mengadakan perubahan kecuali di Nuremberg (Reformasi di tempat ini muncul tanpa protes dan tuntutan dari masyarakat).

(b)   Keberhasilan Reformasi di dalam suatu kota bergantung pada sejumlah peristiwa sejarah yang terjadi. Bagi kota-kota yang memilih tetap Katolik, mengadopsi Reformasi berarti mengambil risiko dengan suatu perubahan yang sangat berbahaya.

(c)    Visi romantis, yang kelewat ideal dari seorang reformator yang tiba di suatu kota untuk menghkhotbahkan Injil lalu disambut dengan suatu keputusan langsung dari kota yang bersangkutan untuk menerima prinsip-prinsip Reformasi, harus dijauhkan karena benar-benar tidak realistis.

McGrath menyimpulkan, konteks sosial Reformasi pada dirinya sendiri adalah pokok yang sangat menarik. Contohnya, banyak ide Zwingli khususnya mengenai fungsi kemasyarakatan dari sakramen yang secara langsung dikondisikan oleh keadaan politik, ekonomi dan sosial dari kota Zurich. Demikian juga dengan ide-ide Calvin tentang sturuktur-struktur yang tepat dari suatu gereja Kristen tampak merefleksikan lembaga-lembaga yang telah ada di Jenewa sebelum kedatangannya di kota itu.

Kelima, Paham-paham keagamaan para Reformator. Menurut McGrath, para reformator magisterial berkeyakinan bahwa hal sentral yang dibutuhkan untuk refomasi adalah kembali ke ajaran dan praktik gereja mala-mula. Kelima abad pertama (“periode patristik”) dianggap sebagai zaman keemasan kekristenan. Visi agung dari reformator abad ke-16 diringkaskan dalam slogan bahasa Latin, Christianismus renascens – “kekristenan yang dilahirkan kembali”. Kelahiran kembali itu terjadi melalui vitalitas kekristenan pada periode apostolis, seperti yang disaksikan Perjanjian Baru (PB) dan menghidupkan kembali semangat serta wujud dari periode yang sangat penting di dalam sejarah gereja Kristen mula-mula. Penekanan pada arti kekristenan mula-mula sebagai norma atau titik rujukan untuk visi Christianismus renascens abad ke-16 memberikan pengertian bagi para refomator untuk mengutamakan PB dan penulis-penulis Kristen mula-mula (“Bapa-bapa Gereja”).

Kemajuan humanisme Renaisans secara luas dipandang sebagai kehendak Tuhan. Artinya kemajuan-kemajuan besar dalam bidang penelitian bahasa Ibrani dan Yunani dalam hubungannya dengan teks-teks klasik di Eropa Barat meratakan jalan untuk ketelibatan yang langsung dengan teks Kitab Suci sebagai pengganti dari pada terjemahan Vulgata yang kurang dapat diandalkan.

Keenam, Peran sosial dari paham-paham keagamaan: Jerman dan Inggris. Menurut McGrath, peran sosial dari paham-paham keagamaan di Jerman dan Inggris ini sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Misalnya, sejarawan F.W.Powicke mengatakan bahwa “satu hal yang dapat dikatakan tentang Reformasi di Inggris adalah bahwa reformasi itu adalah suatu tindakan Negara”; dan lagi, bahwa “Reformasi di Inggris adalah suatu transaksi parlementer. Lebih jauh Powicke membuat perbedaan antara Reformasi Jerman dan Reformasi Inggris yakni:

(a)    Di Jerman terdapat perjuangan yang berlarut-larut antara para penulis Prostestan dan Katolik dan para pejabat gereja selama dekade 1530-an; masing-masing berusaha mendapatkan pengaruh di dalam wilayah yang sedang dilanda persengketaan. Sedangkan di Inggris, Henry VIII dengan mudah mengumumkan bahwa hanya ada satu gereja nasional di wilayah kekuasannya.

(b)   Paham-paham keagamaan (seperti Katolikisme Roma, Lutheranisme, dan Calvinisme) sangat berkembang di Jerman, namun ketiga paham tersebut tidak diizinkan di Inggris.

(c)    Di Jerman paham-paham keagamaan menjadi sangat penting; sementara di Inggris hal ini kurang berperan. Namun melalui kebangkitan Puritanisme sebagai kekuatan keagamaan dan politis di Inggris menjelang akhir abad ke-16, paham-paham keagamaan mulai menjadi penting di dalam situasi Inggris.

2.2    Bab II: AGAMA ABAD PERTENGAHAN AKHIR[4]

Dalam Bab dua ini McGrath membahas beberapa pokok pendahuluan tentang agama dalam Abad Pertengahan akhir yaitu:

Pertama, Pertumbuhan Agama rakyat. Menurut McGrath, penelitian-penelitian yang cenderung menggambarkan latar belakang Reformasi Abad Pertengahan sebagai suatu periode kemunduran keagamaan bukanlah suatu penelitian yang benar. Sebab justru sebaliknyalah yang benar, yaitu bahwa antara tahun 1450 dan 1520 Jerman memperlihatkan peningkatan yang luar biasa dalam kesalehan keagamaan rakyat (popular religious piety). Hal ini diungkapkan oleh Berndt Moeller dalam suatu artikel yang berjudul Piety in Germany around 1500. Menurut Moeller, menjelang Reformasi Jerman terdapat pertumbuhan yang luar biasa dalam bidang agama rakyat. Antara tahun 1450 dan 1490, jumlah massa yang dibantu oleh kaum bangsawan kelas atas Austria bertambah terus dan mencapai puncaknya pada tahun 1490-1517. Suatu kebiasaan bertumbuh, yakni membentuk persaudaraan-persaudaraan keagamaan dengan tujuan membiayai seorang pendeta yang melakukan upacara misa bagi anggota mereka yang meninggal dunia. Yang paling menarik menurut McGrath adalah bahwa pertumbuhan akan kesalehan ini tampak terutama terbatas pada kalangan orang awam; para rohaniwan pada saat itu.

Kedua, Bangkitnya Antiklerikalisme. Suatu aspek penting dari keadaan keagamaan di Jerman pada abad ke-15 adalah fenomena antipapalisme dan antiklerikalisme. Faktor yang menyebabkan timbulnya antiklerikalisme adalah kualitas yang rendah dari pada pejabat gereja Katolik itu sendiri. Misalnya imam-imam yang kurang terdidik atau yang  selalu salah memakai buku ibadah. Kualitas yang rendah dari imam paroki merefleksikan status sosial mereka yang rendah pula.

Sisi lain yang membuat timbulnya antiklerikalisme ini adalah karena pejabat gereja menikmati pembebasan sebagian besar pajak-pajak. Pengecualian ini menjadi sumber kejengkelan banyak orang, khususnya dalam masa-masa kesulitan ekonomi misalnya di keuskupan Meaux, Perancis.

Perasaan-perasaan antikepausan juga meningkat dalam masa Renaisans, khususnya di Jerman. Perkembangan ketidaksenangan terhadap pemerintahan kepausan ini sering dihubungkan dengan persepsi bahwa hal itu didominasi oleh orang-orang Italia. Ketidaksukaan terhadap paus paling besar terdapat di kalangan orang-orang terpelajar dan kelas-kelas penguasa, yang tidak senang pada campur tangan paus di dalam masalah-masalah kegerejaan dan politik setempat.

Tokoh yang dianggap sebagai pembebas pada masa itu adalah Luther dan Ulrich von Hutten. Di Jerman, surat penghapusan dosa disangsikan Luther dan dianggapnya sebagai eksploitasi terhadap perasaan-perasaan alamiah dari rakyat biasa mengenai kematian mereka yang kotor secara moral. Ajaran Luther mengenai pembenaran hanya oleh iman, meniadakan makna penyucian dan surat penghapusan dosa; orang mati dapat beristirahat dalam kedamaian oleh karena iman mereka, yang membuat mereka benar di hadapan Allah dan bukan karena pembayaran akan suatu “pemanis” kepada gereja.

Ketiga, Munculnya Pluralisme Ajaran. Satu ciri yang paling penting dari pemikiran keagamaan Abad Pertengahan adalah tumbuhnya “mazhab-mazhab” teologi. Misalnya mazhab Thomis, yang mendasarkan diri atas tulisan-tulisan Thomas Aquinas dan mazhab Scotis, yang mendasarkan diri atas ide-ide yang berbeda yang ditemukan dalam tulisan-tulisan Yohanes Duns Scotus.

Setiap mazhab pemikiran ini mempunyai pengertian yang sedikit berbeda mengenai sejumlah masalah pokok. Misalnya, mereka berbeda pendapat mengenai isu ajaran pembenaran – terutama apa yang harus dilakukan seseorang supaya dibenarkan. Yang menjadi persoalan menurut McGrath adalah: manakah dari pemikiran mazhab-mazhab itu yang benar? Mazhab manakah yang paling dekat hubungannya dengan pengajaran resmi dari gereja? Akibat yang tidak dapat dihindarkan dari situasi ini adalah munculnya kebingungan. Pendapat pribadi dan kebijaksanaan umum menjadi tercampur aduk dan membingungkan. Tidak ada seorangpun yang benar-benar yakin manakah pengajaran resmi dari gereja tentang masalah-masalah tertentu. Salah satu dari masalah itu adalah ajaran mengenai pembenaran; maka tidaklah mengherankan bahwa ajaran ini telah menjadi pokok yang sentral dari suatu gerakan pemaruan – yang dihubungkan dengan Martin Luther.

Keempat, Krisis Kewibawaan. Suatu perkembangan pada akhir Abad Pertengahan yang sangat penting bagi suatu penelitian mengenai Reformasi adalah krisis kewibawaan. Kepada siapakah atau kepada apakah seseorang harus mencari keputusan yang berwibawa mengenai ajaran? Siapakah yang berhak menyatakan dengan tegas bahwa “posisi Gereja Katolik mengenai masalah ‘ini’ adalah ‘demikian’”?

Menurut McGrath ada dua perkembangan besar di dalam gereja Abad Pertengahan akhir yang secara bersama-sama membuat definisi dan pelaksanaan ortodoksi. Pertama, kewibawaan dari paus dipersoalkan melalui Skisma Besar dan akibat-akibatnya. Skisma Besar (1378-1417) membawa perpecahan kekristenan di Barat, tepatnya pada saat kematian Gregorius XI. Dengan skisma ini, berkembanglah dua teori yang saling bersaing mengenai kewenangan di dalam gereja, yakni mereka yang berpendapat bahwa kewenangan yang tertinggi atas ajaran terletak di dalam suatu Konsili Umum atau Persidangan Umum (posisi konsiliaris); dan mereka yang berpendapat bahwa kewenangan itu terletak di dalam pribadi paus (posisi kurialis). Kedua, bangkitnya kekuatan-kekuatan penguasa sekuler di Eropa, yang cenderung melihat persoalan-persoalan yang berkenaan dengan paus sebagai sesuatu yang mempunyai relevansi terbatas. Lebih lanjut lagi, para paus tampaknya enggan memanfaatkan saluran-saluran yang ada untuk memaksakan ortodoksi ajaran. Sementara itu, kemampuan para paus untuk meminta para penguasa sekuler agar memaksakan keinginan keagamaan mereka telah semakin berkurang. Nasionalisme menjadi suatu faktor yang semakin penting dalam mengurangi kekuasaan paus di bagian utara Pegunungna Alpen.

McGrath menyimpulkan, ada krisis kekuasaan yang berangkap dua dalam periode akhir Abad Pertengahan. Ada kekacauan yang mencolok sekali dalam hal-hal yang berkaitan dengan hakikat, tempat, dan cara memberlakukan kewenangan teologis, dan ada keengganan atau ketidakmampuan untuk menjalankan kewenangan politis yang diperlukan untuk menindas ide-ide baru dari Reformasi.

Kelima, Suatu studi kasus di Inggris ; Kelompok Lollard. Reformasi tidak membentuk suatu gereja yang sama sekali baru di seluruh Eropa. Reformasi didirikan di atas fondasi yang sudah ada. Sebagai contoh Reformasi di Inggris dibangun di atas fondasi Lollard (suatu aliran kekristenan di Inggris). Karena itu, kelompok Lollard dimasukkan ke dalam analisa atas agama Abad Pertengahan akhir ini sebagai suatu studi kasus khusus yang menggambarkan cara yang di dalamnya unsur-unsur dari agama rakyat memberikan sumbangan pada awal mula dan pembentukan suatu reformasi radikal. Gerakan-gerakan yang serupa dengan gerakan Lollard ini terdapat di banyak bagian di Eropa yang menyediakan persemaian subur yang di dalamnya ide-ide Reformasi dapat bersemi dan berakar.

2.3 Bab III: HUMANISME DAN REFORMASI[5]

Menurut McGrath, dari banyak anak sungai yang memberikan kontribusi terhadap aliran Reformasi, yang paling penting adalah humanisme Renaisans. Meskipun Reformasi dimulai di kota-kota Jerman dan Swiss, namun dapat dikatakan bahwa Reformasi timbul sebagai akibat dari Renaisans di Italia. McGrath dalam bab ini mencoba meneliti ide-ide dan metode-metode dari humanisme Renaisans agar relevansinya untuk Reformasi dapat dimengerti.

Lebih dalam lagi, McGrath mencoba membedakan pengertian “humanisme” pada abad ke-20 dengan abad ke-14, ke-15 dan ke-16. Kalau humanisme pada abad ke-20 diartikan sebagai suatu falsafah anti-agama yang berfokus pada manusia dan mengesampingkan Allah, namun humanisme pada abad ke-14, ke-15 dan ke-16 adalah sangat religius karena mereka memperhatikan pembaruan gereja Kristen. McGrath membahas topik ini dengan enam sub bab yaitu:

Pertama, Konsep “Renaisans”. Pada awalnya konsep “Renaisans” ini merupakan istilah Perancis yang menunjuk pada kebangkitan kembali sastra dan seni pada abad ke-14 – dan ke-15. Pada tahun 1546 Paolo Giovio merujuk abad ke-14 sebagai “abad kebahagiaan yang dalamnya tulisan-tulisan Latin dipandang telah lahir kembali (renate)”. Namun para sejarawan tertentu seperti Jacob Burckhardt mengemukakan bahwa Renaisans melahirkan era modern. Dalam era modern ini umat manusia untuk pertama kali mulai berpikir tentang diri mereka sebagai individu-individu. Kesadaran komunal dari periode Abad Pertengahan mengalah terhadap kesadaran individual dari Renaisans. Florence menjadi Atena baru, ibukota intelektual dari suatu dunia baru yang berani, dengan sungai Arno yang memisahkan dunia lama dan dunia baru.

Menurut McGrath, dalam banyak hal definisi Burckhardt tentang Renaisans sangat diragukan, mengingat aspek nilai-nilai kolektif yang terdapat dalam humanisme Renaisans Italia. Namun dalam satu hal Burckhardt benar: sesuatu yang baru dan menggairahkan telah berkembang dalam Renaisans Italia, yang terbukti mampu memberi daya tarik terhadap beberapa generasi pemikir. Bahkan menurut McGrath, tidaklah jelas sama sekali mengapa Italia pada umumnya atau Florence pada khususnya, menjadi tempat kelahiran dari gerakan baru yang brilian di dalam sejrah ide-ide. McGrath memberikan alasan-alasannya yakni: (1) Italia masih memiliki sisa-sisa kejayaan masa lampau, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. (2) Teologi Skolastik – kekuatan intelektual utama dari peridoe Abad Pertengahan – tidak pernah secara khusus mempunyai pengaruh di Italia. (3) Kestabilan politik di Florence bergantung pada pemeliharaan akan pemerintahan republiknya. (4) Kemakmuran ekonomis dari Florence menciptakan waktu luang dan dengan demikian menciptakan pula tuntutan akan kesusasteraan dan kesenian. (5) Karena Byzantium mulai runtuh – Konstantinopel ahirnya jatuh pada tahun 1453 – terjadi eksodus para intelektual berbahasa Yunani ke arah barat.

Kedua, Konsep “Humanisme”. Menurut McGrath, istilah “humanisme” adalah temuan dari abad ke-19 yang dalam bahasa Jerman kata Humanismus pertama kali diciptakan pada tahun 1808, yang merujuk pada suatu bentuk pendidikan yang memberikan tempat utama bagi karya-karya klasik Yunani dan Latin. Kata ini dipakai pertama oleh Samuel Coleridge Taylor (1812) untuk menunjukkan suatu posisi Kristologis, yaitu kepercayaan bahwa Yesus Kristus adalah murni manusia. Kata itu pertama kali dipakai dalam konteks kebudayaan pada tahun 1832.

McGrath memusatkan perhatian bab ini terhadap masalah mendefinisikan apa humanisme itu. Menurutnya, istilah itu masih dipergunakan secara luas dalam bidang studi mengenai Renaisans dan Reformasi. Lebih lanjut McGrath mengatakan bahwa ada dua aliran utama yang dominan dalam menafsirkan gerakan humanisme ini. Pertama, humanisme dipandang sebagai suatu gerakan yang mencurahkan perhatian pada ilmu-ilmu yang mempelajari karya-karya klasik dan filologi. Kedua, humanisme adalah filsafat baru dari Renaisans.

McGrath mengatakan bahwa ada dua kesulitan yang menghadang penafsiran humanisme ini. Pertama, orang-orang humanis tampil terutama berkenaan dengan peningkatan akan kefasihan. Sementara itum tidaklah benar untuk mengatakan bahwa orang-orang humanis tidak memberikan kontribusi yang penting pada dunia kesusasteraan. Kedua, penelitian intensif atas tulisan-tulisan kaum humanis menyingkapkan fakta yang mengusik kita, yakni “humanisme” benar-benar heterogen. Secara singkat, menurut McGrath, telah menjadi semakin jelas bahwa “humanisme” tidak mempunyai filsafat yang mempersatukan. Tidak ada satu ide filsafat atau politik yang mendominasi dan menjadi ciri utama gerakan itu.

Pendapat lain tentang humanisme ini adalah dari Kristeller yang menggambarkan humanisme sebagai gerakan kebudayaan dan pendidikan. Humanisme secara esensial adalah suatu program kebudayaan, yang mengacu pada kebudayaan kuno tetap berlaku sebagai model untuk kefasihannya.

Ketiga, Ad fontes – Kembali ke sumber-sumber asli. Program humanisme dalam kesusasteraan dan kebudayaan dapat diringkaskan dalam slogan ad fontes – kembali ke sumber-sumber asli. Slogan ad fontes berarti kembali ke dokumen-dokumen yang sah dari kekristenan, yaitu penulis-penulis patristis dan – yang paling utama – Alkitab. Slogan ad fontes menyatakan sesuatu yang lebih dari pada hanya menenrtukan sumber-sumber yang dipergunakan dalam proses kelahiran kembali peradaban. Slogan ini juga menentukan sikap yang dipakai untuk menggali sumber-sumber itu. Perlu diketahui bahwa Renaisans adalah zaman penemuan kembali, baik geografis maupun ilmu pengetahuan.

Menurut McGrath, bagi gereja Kristen, ad fontes membukakan kesempatan yang baru, menggairahkan dan menantang – bahwa pengalaman-pengalaman orang-orang Kristen pertama, dapat diperoleh kembali dan diteruskan ke titik sejarah yang jauh lebih kemudian. Ad fontes lebih daripada sekedar slogan: ia adalah suatu garis-kehidupan bagi orang-orang yang putus asa menghadapi keadaan dari gereja dalam Abad Pertengahan.

Keempat, Humanisme di Eropa bagian Utara. Dalam bagian ini McGrath memfokuskan diri pada “humanisme” yang mempengaruhi Reformasi terutama humanisme Eropa bagian utara. Menurut McGrath, semakin nyata bahwa humanisme Eropa bagian utara sangat dipengaruhi oleh humanisme Italia dalam setiap tahapan perkembangannya. Lebih lanjut McGrath menjelaskan bahwa ada tiga hal penting yang mendukung penyebaran metode-metode dan cita-cita Renaisans Italia ke Eropa bagian utara yakni: (1) Penyebaran itu terjadi akibat para ahli Eropa bagian utara berkunjung ke selatan, ke Italia, mungkin untuk belajar atau sebagai anggota dari suatu misi diplomatik. Sekembalinya ke tanah air mereka, mereka membawa semangat Renaisans misalnya Christoph Scheure yang belajar hukum di Bologna, setelah mencapai gelar doktor di bidang hukum ia kembali ke Universitas Wittenberg, yang baru didirikan. (2) Surat menyurat keluar negeri oleh orang-orang humanis Italia. Humanisme memusatkan perhatian pada peningkatan kefasihan tulis menulis, dan penulisan surat-surat dilihat sebagai cara untuk memasukkan dan menyebarluaskan cita-cita Renaisans. (3) Buku-buku yang diterbitkan oleh Aldino Press di Venice sering dicetak ulang oleh percetakan-percetakan di Eropa bagian utara, khususnya di Basel, Swiss. Para humanis Italia sering mengalamatkan karya-karya mereka kepada langganan-langganan di Eropa Utara.

Setelah humanisme memasuki Eropa bagian utara, maka humanisme itu pun mengalami beberapa variannya, namun setidaknya ada tiga hal yang tampaknya diterima bersama yakni: pertama, minat yang sama terhadap bonae literae ­– kefasihan menulis dan bertutur, dalam batas pengertian periode klasik – seperti yang terdapat dalam Reformasi Italia. Kedua, program keagamaan yang diarahkan pada kebangunan kembali gereja Kristen. Ketiga, beberapa saksi dari humanisme di Eropa bagian utara menganut pasifisme terutama sebagai rekasi terhadap tragedi peperangan Perancis-Italia (abad ke-16).

McGrath juga menjelaskan pengaruh humanisme di beberapa daerah lain misalnya:

(a) Humanisme Swiss bagian Timur. Swiss bagian Timur sangat terbuka dan bahkan menerima dengan baik  ide-ide Renaisans Italia. Konrad Celtis memastikan bahwa Wina menjadi pusat para ahli humanis dalam tahun-tahun terakhir abad ke-15 seperti penulis besar humanis Joachim von Watt alias Vadian, Xylotectus, Beatus Rhenanus, Glarean dan Myconius. Mereka mengatakan bahwa kekristenan merupakan “way of life” (pandangan hidup), ketimbang seperangkat ajaran-ajaran. Etos humanisme Swiss adalah benar-benar moralistis. Kitab Suci dipandang sebagai yang menentukan tingkah laku moral yang benar bagi orang-orang Kristen, ketimbang menceritakan janji-janji Allah.

(b) Humanisme Legal Perancis. Humanisme legal di Perancis ini dimulai dari adanya kecenderungan yang semakin meningkat ke arah sentralisasi administrasi pemerintahan, melihat pembaruan legal (bidang hukum atau perundang-udangan) sebagai sesuatu yang esensial bagi modernisasi Perancis. Salah seorang pelopor dari antara para ahli ini adalah Guillaume Bude, yang berpendapat agar mereka kembali langsung ke sistem perundang-undangan Romawi sebagai suatu alat untuk menemukan sistem perundang-undangan baru yang dibutuhkan Perancis. Humanisme Perancis ini berlawanan dengan kebiasaan orang Italia (mos italicus) dalam hal membaca teks undang-undang, yang memandangnya dari sudut keterangan tambahan, maka orang Perancis mengembangkan prosedur mos gallicus untuk mendekati secara langsung sumber-sumber perundang-undangan klasik yang asli dalam bahasa mereka yang asli pula.

(c) Humanisme Inggris. Ada tiga unsur utama dalam bidang keagamaan dan intelektual yang berperan di belakang Reformasi Inggris, yakni: Lollardy, Lutheranisme, dan humanisme. Ketiga aliran ini dianggap sebagai unsur-unsur yang sangat penting oleh para ahli yang mempelajari Reformasi. Menurut McGrath, pusat humanisme yang paling penting pada awal abad ke-16 di Inggris adalah Universitas Cambridge disamping Universitas Oxford dan London. Cambridge adalah rumah dari Reformasi Inggris mula-mula, yang berpusat dalam apa yang disebut “White Horse Cicle”, yaitu tempat sekelompok orang seperti Robert Barnes bertemu untuk membaca sampai habis dan mendiskusikan tulisan-tulisan terakhir dari Martin Luther selama awal tahun 1520-an. Humanisme Inggris sama sekali bukan merupakan gerakan asli Inggris, melainkan import. Robert Weiss memperlihatkan bahwa asal-usul humanisme Inggris dapat ditelusuri ke sejarah Italia pada abad ke-15 dan awal abad ke-16 Universitas Cambridge cenderung mengangkat orang-orang Italia menjadi dosen – antara lain Gaio Auberino, Stefano Surigone dan Lorenzo Traversagni.

Kelima, Erasmus dari Rotterdam. Erasmus dari Rotterdam adalah tokoh yang menonjol melebihi para humanis Eropa Utara. Pengaruh Erasmus atas pemikiran Reformasi sangat terasa khususnya bagi pemikiran Zwingli dan Bucer. Erasmus sering ditampilkan sebagai orang yang merefleksikan humanisme Eropa yang terbaik. Erasmus melihat dirinya sebagai seorang “warga dunia” dan bahasa Latin ala Cicero sebagai bahasa dari dunia itu. Bahasa-bahasa nasional adalah rintangan bagi pandangannya tentang satu Eropa kosmopolitan yang dipersatukan oleh bahasa Latin. Bagi para humanis Jerman dan Swiss, bahasa-bahasa nasional dikembangkan demi mempromosikan rasa identitas nasional. Namun, bagi Erasmus nasionalisme dipandang sebagai ancaman terhadap visi tentang Eropa kosmopolitan. Karya paling berpengaruh dari kaum humanis yang beredar di Eropa selama dekade-dekade pertama abad ke-16 adalah tulisan Erasmus, Enchiridion militis Christiani (Buku Panduan bagi Prajurit Kristen).[6] Enchiridion memunculkan ide yang menarik hati, yakni gereja masa itu dapat dibarui dengan cara berbalik kembali secara bersama-sama terhadap tulisan-tulisan dari Bapa-bapa Gereja dan Kitab Suci.

Menurut McGrath, ada sejumlah ciri utama dari buku Enchiridion yang sangat penting. Pertama, Erasmus memahami akan vitalitas masa depan dari kekristenan yang terletak pada kaum awam, bukan rohaniwan. Rohaniwan dilihat sebagai pendidik, yang fungsinya adalah mengarahkan kaum awam agar mencapai pengertian pada tingkat yang sama dengan mereka sendiri. Kedua, Erasmus menekankan pemahaman akan kekristenan yang tidak merujuk pada gereja – ibadahnya, imamnya atau lembaganya. Menurut Erasmus, orang tidak perlu mengaku dosa kepada seorang imam, sebaliknya seseorang dapat secara langsung mengaku dosanya kepada Allah. Agama adalah masalah batin dan pikiran seseorang ; agama berpusat ke dalam (diri manusia).

Yang menjadi ciri revolusioner dari karya Erasmus, Enchiridion adalah terletak pada pendapat barunya yang berani bahwa pengakuan akan panggilan Kristen dari orang awam merupakan kunci bagi kebangkitan kembali gereja. Kewibawaan rohaniwan dan gerejawi diabaikan. Namun demikian, Erasmus melihat adanya hambatan-hambatan serius yang menghambat perkembangan pandangannya dan berusaha menyingkirkan hambatan-hambatan tersebut. Pertama, ada suatu kebutuhan untuk dapat mempelajari PB dalam bahasa aslinya, ketimbang terjemahan Vulgata yang tidak akurat. Erasmus berhasil menerbitkan PB Bahasa Yunani, Novum Instrumentum omne yang dicetak oleh percetakan Froben di Basel tahun 1516.

Erasmus juga menuntut perhatian terhadap tulisan-tulisan Bapa-bapa Gereja seperti Ambrosius, Augustinus, dan Hieronimus. Erasmus bertanggung jawab untuk menyunting karya-karya Bapa-bapa Gereja ini dalam satu seri edisi tulisan patristis yang merupakan karya mengagumkan dari zamannya.

Keenam, Humanisme dan Reformasi – Suatu Evaluasi. Menurut McGrath, untuk dapat mengetahui pengaruh humanisme atas Reformasi harus lebih dulu memperhatikan perbedaan antara dua sayap dalam Reformasi yaitu: Reformasi Luther di Wittenberg dan Reformasi Zwingli di Zurich. Kedua sayap ini mempunyai ciri yang berbeda. Salah satu dari perbedaan yang paling menonjol antara kedua sayap Reformasi ini adalah berkenaan dengan hubungan masing-masing dengan humanisme seperti dijelaskan di bawah ini :

(a)    Hubungan humanisme dan Reformasi Swiss. Hubungan ini bermula dari kebangkitan kelompok-kelompok humanis (“sodalities”) di universitas Wina dan Basel pada awal tahun 1500-an. Titik balik dari gerakan ini muncul ketika seorang anggota dari suatu “sodality” humanis yaitu Huldrych Zwingli dipanggil ke Zurich sebagai pendeta pada bulan Januari 1519. Dengan memanfaatkan kedudukannya, Zwingli memulai program pembaharuannya yang didasarkan pada prinsip-prinsip humanis yang luas, khususnya visi tentang pembaruan kelembagaan dari gereja dan masyarakat berdasarkan Kitab Suci dan Bapa-bapa Gereja. Secara ringkas pengaruh humanisme Erasmus atas Zwingli tampak nyata dalam hal-hal berikut: a]. Agama dilihat sebagai suatu masalah spiritual dan batiniah; hal-hal yang sifatnya lahiriah tidak boleh dibiarkan menjadi hal yang sangat penting. b]. Penekanan yang sangat penting dikenakan untuk regenerasi (kelahiran kembali) dan pembaruan dalam bidang moral dan etika. c]. Relevansi Yesus Kristus bagi orang Kristen terutama adalah sebagai teladan dalam bidang moral. d]. Bapa-bapa Gereja dari gereja purba tertentu dipilih sebagai tokoh yang sangat penting. e]. Reformasi lebih banyak menyangkut kehidupan dan moral gereja dari pada ajarannya. f]. Reformasi dipandang sebagai suatu proses pedagogis atau edukasional (pendidikan).

(b)   Hubungan humanisme dan Reformasi Wittenberg. Berbeda di Jerman, meskipun humanisme menjadi suatu kekuatan intelektual yang cukup penting pada awal tahun 1500-an, namun pengaruhnya atas Martin Luther tampak hanya terbatas saja. Luther adalah seorang teolog akademis, yang dunianya didominasi oleh pola-pola pemikiran teologi skolastik. Fokus pemikiran Luther ialah melawan teologi skolastik yang telah gagal memberikan pengertian yang benar tentang anugerah Allah dan cenderung menyatakan bahwa setiap orang dapat mencapai keselamatan dirinya sendiri. Sementara Zwingli hanya melihat moral gereja sebagai bidang yang harus diperbaharui. Teologi pembaharuan Luther bertujuan akademis yaitu teologi “nominalisme” atau via moderna. Memang ada kesan bahwa Luther bersimpati terhadap humanisme pada akhir dekade 1510-an sebagai akibat Perdebatan Leipzig tahun 1519, di mana Luther berdebat tentang serangkaian isu dengan tokoh kontroversial Katolik Johann Eck. Namun menurut McGrath, tidak ada bukti yang nyata bahwa Luther mempunyai minat terhadap humanisme an sich ; Luther hanya memanfaatkan hasil-hasil pandangan humanis untuk mencapai tujuan-tujuannya.

Lebih dalam McGrath juga mencatat ketegangan-ketegangan antaran humanisme dengan kedua sayap dari Reformasi ini di dalam lima bidang yakni:

(1)   Sikap terhadap Teologi Skolastik.

(2)   Sikap terhadap Kitab Suci.

(3)   Sikap terhadap Bapa-bapa Gereja.

(4)   Sikap terhadap Pendidikan.

(5)   Sikap terhadap retorika.

McGrath menyimpulkan, hubungan humanisme dan Reformasi menunjukkan bahwa sayap Swiss dalam Reformasi lebih dipengaruhi humanisme daripada di Wittenberg. Namun demikian, di Wittenberg pun program baru tentang penelitian Alkitab dan tulisan  Augustinus tampak sebagai inspirasi dari kaum humanis. Dan puncak dari ketegangan antara humanisme dan Reformasi tampak nyata pada tahun 1525. Pada tahun ini, baik Zwingli maupun Luther menyusun serangan di hadapan umum ke atas Erasmus, keduanya memusatkan perhatian pada konsep “kebebasan kehendak”. Bagi kedua reformator itu, ajaran Erasmus mengenai kebebasan penuh dari manusia akan membawa pada suatu konsepsi yang nyata-nyata terlalu optimis tentang hakikat manusia. Dengan terbitnya tulisan Zwingli Tafsiran Mengenai Agama Benar dan Palsu dan karya Luther mengenai perhambaan kehendak, ketegangan yang selalu ada di antara humanisme dan Reformasi menjadi nyata bagi semua orang.

2.4    Bab IV: SKOLASTIK DAN REFORMASI[7]

Skolastik merupakan suatu gerakan intelektual yang paling dilecehkan dalam sejarah umat manusia. Bahkan, di dalam bahasa Inggris kara “dunce” (bodoh) diambil dari nama salah seorang penulis skolastik terbesar, Duns Scotus. Para pemikir skolastik – “orang-orang sekolahan” – sering digambarkan gemar memperdebatkan, walaupun tak bermakna. Kesan yang muncul ialah: tidak mempunyai arti, kering atau membosankan, spekulasi intelektual atas hal yang sepele. Oleh karena itu menurut McGrath, sebagian besar buku teks yang berhubungan dengan Reformasi merasa benar dalam penolakannya akan skolastik tanpa benar-benar menjelaskan apa sebenarnya skolastik itu dan mengapa skolastik begitu penting peranannya bagi Reformasi Wittenberg. Dalam bab ini McGrath akan menguraikan skolastik dan peranannya bagi Reformasi Wittenberg secara mendalam.

Pertama, Mendefiniskan “Skolastik”. Istilah “skolastik” merupakan penemuan dari penulis-penulis humanis yang berhasrat dan ingin mendiskreditkan gerakan yang diwakili oleh kata itu. Menurut McGrath, sulit memberikan definisi yang tepat, yang pantas terhadap posisi-posisi yang khusus dari semua mazhab besar di dalam Abad Pertengahan. Skolastik sebaiknya dipandang sebagai gerakan pada Abad Pertengahan yang berkembang dalam periode tahun 1200-1500 yang memberikan penekanan atas pembenaran rasional dari kepercayaan-kepercayaan itu. Jadi “skolastik” tidak merujuk pada suatu sistem yang spesifik dari kepercayaan-kepercayaan, tetapi pada suatu cara tertentu dalam mengorganisasikan teologi – suatu metode penyajian bahan yang sangat maju, yang membuat perbedaan-perbedaan yang tajam dan berusaha mencapai suatu pandangan yang menyeluruh tentang teologi.

McGrath melihat bahwa esensi dari skolastik itu sendiri adalah demonstrasi akan rasionalitas yang hakiki dari teologi Kristen dengan mengacu pada filsafat dan demonstrasi akan keserasian yang lengkap dari teologi itu melalui pengujian yang ketat mengenai hubungan dari unsur-unsur yang bermacam-macam. Tulisan-tulisan skolastik cenderung merupakan tulisan yang panjang dan argumentatif, sering mendasarkan diri atas perbedaan-perbedaan tipis yang dipersoalkan. Etienne Gilson secara tepat menjelaskan sistem-sistem skolastik yang agung itu sebagai “katedral pikiran”. Setiap sistem skolastik mencoba merangkum realitas dalam totalitasnya berhubungan dengan masalah-masalah logika metafisika, dan teologi.

Kedua, Skolastik dan Universitas-universitas. Pengaruh skolastik yang paling besar pada Abad Pertengahan terasa pada universitas-universitas dalam lingkup yang terbatas. Berbeda dengan humanisme yang berpengaruh bagi dunia pendidikan, seni dan kebudayaan, skolastik hanya memberikan daya tarik yang terbatas bagi mereka yang menyukai dialektika. Dalam abad ke-15 suatu konfrontasi antara humanisme dan skolastik berkembang di banyak universitas. Universitas Wina, yang memegang peranan sangat penting bagi perkembangan Reformasi Swiss, benar-benar menyaksikan pemberontakan humanis yang sedemikian rupa terhadap skolastik dalam dasawarsa terakhir abad ke-15. Pada awal abad ke-16, banyak mahasiswa mulai menghindari universitas-universitas yang didominasi skolastik dan beralih ke universitas-universitas yang mempunyai program-program pendidikan humanis.

Skolastik ini pada umumnya berperan di universitas-universitas seperti di Universitas Erfurt, Jerman tempat Luther dididik. Karya-karya awal Luther sebagai seorang pembaru teologi dilakukan di dalam konteks universitas yang bertarung melawan musuh akademis. Sebaliknya para reformator Swiss, tidak merasa perlu menaruh perhatian pada skolastik dan mereka hanya bertekad membarui kehidupan dan moral gereja. Hal inilah yang menjadi perbedaan yang mendasar antara reformasi Swiss dan Wittenberg. Zwingli mengawali pembaruannya di sebuah kota (Zurich), sedangkan Luther memulai pembaruannya di fakultas teologi di sebuah universitas (Wittenberg). Pembaruan Zwingli dimulai dengan cara menentang kehidupan dan moral dari gereja Zurich pra-Reformasi; Luther memulai pembaruannya dengan menentang suatu bentuk khusus teologi skolastik. Pada mulanya Zwingli tidak merasa perlu untuk mengadakan reformasi terhadap doktrin gereja, sedangkan bagi Luther reformasi doktrinal merupakan batu loncatan yang esensial dari program reformasinya.

Ketiga, Tipe-tipe Skolastik. Menurut McGrath, untuk mengerti perkembangan teologi Luther, perlu berkenalan dengan – setidak-tidaknya – dasar-dasar dari dua gerakan utama di dalam skolastik Abad Pertengahan yang lalu yaitu: Thomisme dan Scotisme kemudian disusul dua gerakan lainnya yaitu: via moderna dan schola Augustiniana moderna.

McGrath membahas tipe-tipe skolastik pada Abad Pertengahan ini dalam beberapa tipe yaitu:

(a) Realisme versus Nominalisme. Untuk memahami kompleksitas skolastik Abad Pertengahan, perlu menangkap perbedaan antara “realisme” dan “nominalisme”.  Bagian awal dari periode skolastik (1200-1350) didominasi oleh realisme dan bagian terakhir (1350-1500) oleh nominalisme. Untuk membedakan kedua sistem itu, McGrath membayangkannya sebagai dua buah batu berwarna putih. Realisme menegaskan bahwa ada suatu konsep yang universal tentang “putih” yang di dalamnya kedua buah batu itu terhisab. Sementara batu-batu putih itu berada pada waktu dan tempat, “putih” yang universal itu berada pada dataran metafisika yang berbeda. Nominalisme, sebaliknya, menyatakan bahwa konsep universal tentang “putih” itu tidaklah perlu dan sebagai gantinya dikatakan bahwa kita seharusnya memusatkan perhatian pada yang khusus. Dua mazhab skolastik utama yang dipengaruhi oleh realisme adalah Thomisme dan Scotisme yang berakar pada tulisan-tulisan Thomas Aquinas dan Duns Scotus. Karena kedua mazhab ini tidak begitu berpengaruh pada Reformasi maka kedua mazhab lainnya yang sangat berpengaruh bagi Reformasi ialah via moderna dan schola Augustiniana moderna.

(b) “Pelagianisme” dan “Augustinianisme”. Topik utama yang diperdebatkan oleh kedua mazhab ini adalah ajaran tentang pembenaran yang bergumul tentang bagaimana seseorang yang berdosa dapat diterima Allah yang benar dan apakah yang harus dilakukan seseorang agar dapat diterima Allah. Secara ringkas McGrath memberikan pemikiran kedua mazhab ini.

Tema sentral pemikiran Augustinus adalah kejatuhan dari hakikat manusia berdasarkan Kejadian 3 dan menyatakan bahwa hakikat manusia telah “jatuh” dari status aslinya yang mula-mula. Akibatnya, semua manusia tercemarkan oleh dosa sejak saat dilahirkan. Dosa sebagai yang hakiki melekat pada keberadaan manusia. Dosa merupakan suatu aspek yang integral, bukan opsional dari keberadaan kita. Bagi Augustinus, manusia dengan cara dan kemampuannya sendiri, tidak pernah dapat masuk ke dalam suatu hubungan dengan Allah. Tak satu pun perbuatan manusia yang dapat mematahkan belenggu dosa. Augustinus mengatakan bahwa manusia hanya bisa diselamatkan melalui anugerah Allah. Penebusan hanya dimungkinkan sebagai pemberian Allah, bukan sesuatu yang didapat dengan usaha sendiri, melainkan sesuatu yang harus diperbuat bagi manusia. Agustinus menekankan bahwa sumber keselamatan terletak di luar manusia, di dalam Allah sendiri.

Berbeda dengan Pelagius. Pelagius mengajarkan bahwa sumber-sumber keselamatan terdapat di dalam manusia. Manusia memiliki kemampuan untuk menyelamatkan dirinya. Manusia tidak terperangkap oleh dosa, tetapi mempunyai kemampuan untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan agar selamat. Keselamatan adalah sesuatu yang diperoleh melalui perbuatan-perbuatan baik, dan ini berarti Allah berkewajiban memberi ganjaran kepada manusia. Pelagius mengecilkan ide tentang anugerah.

Dengan demikian, McGrath menjelaskan bahwa kedua teologi itu mempunyai perbedaan tentang hakikat manusia. Bagi Augustinus, hakikat manusia adalah lemah, sudah jatuh dan tidak berdaya; bagi Pelagius, hakikat manusia adalah otonom dan dapat mencukupi dirinya.  Bagi Augustinus adalah perlu bergantung pada Allah untuk keselamatan; bagi Pelagius, Allah semata-mata hanya menunjukkan apa yang harus dilakukan kalau keselamatan itu akan diperoleh dan kemudian membiarkan manusia memenuhi syarat-syarat itu tanpa bantuan dari luar. Bagi Augustinus, keselamatan adalah suatu anugerah tanpa jasa dari manusia, bagi Pelagius, keselamatan adalah upah yang pantas diterima.

(c) Via Moderna, alias “Nominalisme”. Via moderna ini dikenal juga sebagai gerakan nominalisme yang dianut beberapa pemikir abad ke-14 dan ke-15 seperti : William Ockham, Pierre d’Ally, Robert Holcot, dan Gabriel Biel yang membuat serbuan penting ke dalam banyak universitas di Eropa bagian utara – misalnya, universitas Paris, Heidelberg, dan Erfurt. Gerakan ini mengajarkan tentang pembenaran yang oleh banyak pengkritiknya dicap “Pelagian”. McGrath menjelaskan pengertian pembenaran yang dianut oleh gerakan ini. Ciri utama soteriologi, atau doktrin tentang keselamatan, via moderna adalah suatu perjanjian antara Allah dan manusia. Perjanjian ini tidak dinegosiasikan, tetapi secara sepihak ditentukan oleh Allah. Menurut para teolog via moderna perjanjian antara Allah dan manusia menghasilkan kondisi-kondisi (syarat-syarat) yang diperlukan untuk pembenaran yang disebut dengan facere quod in se est (harfiah Latin: “melakukan apa yang terdapat di dalam diri orang” atau “melakukan apa yang baik”). Ketika individu-individu memenuhi persyaratan ini, Allah wajib menerima manusia yang disebut dalam sebuah peribahasa Latin, facieti quod in se est Deus non denegat gratiam, artinya “Allah tidak akan mengingkari anugerah-Nya kepada siapa saja yang melakukan apa yang terbaik yang ada di dalam dirinya”. Dengan kata lain, via moderna dan Pelagius memiliki kesamaan, keduanya menyatakan bahwa manusia diterima atas dasar usaha-usaha dan prestasi-prestasi mereka sendiri. Keduanya menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan manusia menempatkan Allah di bawah kewajiban untuk memberikan ganjaran bagi mereka. Pengaruh pemikiran “perjanjian” ini nantinya akan mempengaruhi pemahaman Luther mengenai pembenaran.

(d) Scola Augustiniana Moderna, alias “Augustinianisme”. Perkembangan pemikiran via moderna kemudian dipusatkan di Universitas Oxford. Namun Oxford pun berangsur-angsur telah mengalami isolasi dari Eropa daratan akibat Perang Seratus Tahun. Apalagi dengan serangan yang dilakukan oleh Thomas Bradwardine kepada via moderna Oxford melalui tulisannya yang berjudul De causa Dei contra Pelagium, “Kasus Allah melawan Pelagius”. Pemikiran Bradwardine ini dikembangkan di Eropa daratan oleh Gregorius dari Rimini di Universitas Paris. Pemikiran ini lama-kelamaan menjadi dikenal dengan nama schola Augustiniana moderna, “Aliran Augustinian modern”. Pemikiran Augustinus ini dikembangkan oleh Gregorius dengan mengembangkan ide-ide sebagai berikut: pertama, Gregorius mengambil pandangan nominalis mengenai persoalan tentang yang “universal”. Kedua, Gregorius mengembangkan suatu soteriologi, ajaran tentang keselamatan, yang merefleksikan pengaruh Augustinus yang menekankan kebutuhan akan anugerah atas kejatuhan dan keberdosaan manusia. Keselamatan dimengerti sebagai suatu perbuatan yang sepenuhhya dilakukan Allah, mulai dari awal hingga akhir. Gregorius berkeyakinan bahwa hanya Allah-lah yang dapat memberikan keselamatan.

Keempat, Pengaruh Skolastik Abad Pertengahan atas Reformasi. Pengaruh skolastik Abad Pertengahan atas Reformasi ini dapat terlihat khususnya bagi dua tokoh terkenal dari tokoh Reformasi pada Abad Pertengahan tersebut yakni: Martin Luther dan John Calvin. Dalam hal ini McGrath membahas pengaruh-pengaruh dari teologi skolastik yang mungkin ada atas mereka berdua dengan memperhatikan bagaimana lingkungan pendidikan mereka dalam rangka membuka ide-ide pokok dari skolastik Abad Pertengahan tersebut.

(a) Hubungan Luther dengan Skolastik Abad Pertengahan Akhir. Secara sederhana dapat diringkaskan bahwa Luther benar-benar ahli daam bidang filsafat dan teologi skolastik. Hal ini terbukti dari masa pendidikannya di Universitas Erfurt (1501-1505). Selama belajar di sana, Luther menghargai ciri-ciri dasar filsafat nominalis. Kemudian dia sangat berkonsentrasi pada teologi via moderna setelah mengambil keputusan memasuki biara Augustinian (1505) dengan membaca habis tulisan-tulisan tokoh-tokoh gerakan ini seperti William Ockham, Pierre d’Allay dan Gabriel Biel. Menurut Heiko A.Oberman dalam satu esai penting yang diterbitkan tahun 1974 mengatakan bahwa ide-ide Gregorius (via Gregorii) mungkin telah disalurkan kepada Luther yang masih muda kala itu. Menurut McGrath, meskipun arti penting dari pendapat Oberman tidak perlu diragukan lagi, namun sejumlah kesulitan yang serius terdapat dalam jalan pikiran Oberman itu yakni: 1]. Sampai tahun 1519, Luther tidak pernah menjumpai tulisan Gregorius dari Rimini. 2]. Johannes von Staupitz, yang dirujuk Oberman sebagai saluran penyebaran tradisi ini, tidak dapat dipandang sebagai seorang yang mewakili dari schola Augustiniana moderna. 3]. Gregorius dari Rimini secara khusus diidentifikasikan oleh Universitas Paris sebagai tokoh yang menonjol, bersama dengan William Ockham, dari via moderna. Hal ini menyatakan bahwa via Gregorii tidak lebih daripada suatu jalan alternatif yang merujuk pada via moderna. 4]. Teologi mula-mula Luther (1509-1514) memperlihatkan tidak adanya jejak dari Augustinianisme radikal yang dikaitkan dengan Gregorius dari Rimini dan schola Augustiniana moderna. 5]. Statuta-statuta (anggaran dasar) Wittenberg tahun 1508 berhubungan dengan fakultas sastra, bukan dengan fakultas teologi. Karena itu tidak dapat diperkirakan bahwa mereka akan menyahkan pandangan-pandangan filsafat, bukan teologis, yang berhubungan dengan Gregorius dari Rumini.

(b) Hubungan Calvin dengan Skolastik Abad Pertengahan Akhir. Perjumpaan Calvin dengan teologi skolastik Abad Pertengahan akhir ini tidak dapat dielakkan. Sebab dia mengawali karier akademisnya di Universitas Paris dalam tahun 1520-an khususnya pada fakultas “the College de Montaigu” – yang merupakan benteng dari via moderna. Salah satu contoh yang menujukkan kedekatan hubungan antara Calvin dengan teologi Abad Pertengahan akhir ini adalah voluntarisme – ajaran bahwa dasar terdalam dan menentukan dari perbuatan baik terletak di dalam kehendak Allah, bukan dalam kebaikan intrinsik suatu perbuatan. Dalam karyanya, Institutio, Calvin mengambil benar-benar posisi voluntaris dalam kaitannya dengan jasa Kristus. Calvin menjelaskan pandangannya bahwa dasar dari jasa Kristus tidak terletak dalam persembahan diri Kristus sendiri (yang akan sejalan dengan pendekatan intelektualis terhadap ratio meriti Christi), tetapi dalam keputusan ilahi untuk menerima persembahan seperti itu sebagai jasa yang cukup untuk penebusan umat manusia (yang sejalan dengan pendekatan voluntaris). Bagi Calvin, “dilepaskan dari perkenan Allah yang baik, Kristus tidak dapat mempunyai jasa apa pun (nam Christus nonnisi ex Dei beneplacito quidquam mereri potuit). Menurut Karl Reuter, Calvin sangat dipengaruhi oleh teolog skolastik yang menonjol dari Skotlandia, John Major (atau Mair). Walaupun hipotesa ini menuai  kritik dari berbagai kalangan. Namun yang jelas, Calvin memperlihatkan hubungan-hubungan yang sangat dekat dengan ide-ide dari schola Augustiniana moderna. Menurut McGrath, ada tujuh ciri utama dari pemikiran Calvin yang mempunyai kesejajaran langsung dengan schola Augustianiana moderna: 1]. Suatu “nominalisme” atau “terminisme” epistemologis yang ketat. 2]. Suatu pemahaman voluntaris mengenai dasar-dasar dari jasa baik manusia dan juga jasa baik Yesus Kristus. 3]. Suatu penggunaan yang luas akan tulisan-tulisan Augustinus, khususnya karya-karya anti-Pelagian, yang memusatkan perhatian pada ajaran tentang anugerah. 4]. Suatu pandangan pesimistis yang kuat tentang hakikat manusia. 5]. Suatu penekanan yang kuat atas prioritas Allah dalam penyelamatan umat manusia. 6]. Suatu doktrin yang radikal mengenai predestinasi ganda yang absolut. 7]. Suatu penolakan akan peran perantara-perantara, seperti “kebiasaan-kebiasaan anugerah yang diciptakan” (created habits of grace) dalam pembenaran atau jasa baik.

Kelima, Konteks Sosial Skolastik. Konteks sosial skolastik ini dihubungkan dengan ordo-ordo keagamaan. Misalnya, orang-orang Dominikan cenderung untuk menyebarluaskan Thomisme dan orang-orang Fransiskan menyebarluaskan Scotisme meskipun ide-ide dari via moderna telah mapan di dalam kedua ordo tersebut pada abad ke-15. Seorang skolastik umumnya akan menjadi anggota dari satu ordo keagamaan. Karena itu pengaruh dari skolastik menjadi sangat terbatas dalam masyarakat. Kemudian, skolastik ini berada di bawah pembatasan-pembatasan geografis, sebagai contoh skolastik merupakan kekuatan intelektual yang penting dalam awal abad ke-16 di Jerman, tetapi tidak demikian halnya di Swiss.

2.5    Bab V: AJARAN PEMBENARAN OLEH IMAN[8]

Menurut McGrath, tema besar pertama dari pemikiran Reformasi adalah ajaran tentang pembenaran oleh iman. Namun agar dapat mengerti topik ini harus perlu membahas satu tema sentral dalam pemikiran Kristen yaitu “penebusan melalui Kristus”.

Pertama, Tema Dasar: Penebusan melalui Kristus. Tema “penebusan melalui Kristus” berkumandang di seluruh PB, ibadah Kristen dan teologi Kristen. Ide dasarnya adalah bahwa Allah telah menggenapi penebusan umat manusia yang berdosa melalui kematian Kristus di kayu salib. Komponen dasar dari ide penebusan ini dapat dibedakan sebagai berikut: (1) Gambaran-gambaran mengenai kemenangan. (2) Gambaran-gambaran mengenai status legal yang berubah. (3) Gambaran-gambaran mengenai hubungan pribadi yang berubah. (4) Gambaran-gambaran mengenai kebebasan. (5) Gambaran-gambaran mengenai pemulihan ke keutuhan.

Kedua, Konsep tentang Anugerah. Kata “anugerah” pada dasarnya berarti “kemurahan ilahi – yang tidak seharusnya diterima dan bukan semacam balas jasa – yang diberikan kepada manusia”. Selama Abad Pertengahan, anugerah cenderung dimengerti sebagai suatu substansi adikodrati yang dicurahkan oleh Allah ke dalam jiwa manusia supaya memudahkan pendamaian. Oleh karena itu, anugerah dimengerti sebagai sesuatu yang diciptakan di dalam diri kita oleh Allah untuk menjadi jembatan antara hakikat manusia yang murni dan hakikat ilahi – yang berfungsi sebagai pengantara. Anugerah dipandang sebagai semacam pangkalan jembatan atau titik pertengahan; melalui titik ini jurang pemisah yang tak terjembatani antara Allah dan manusia itu dapat diatasi. Ide tentang anugerah sebagai kemurahan Allah secara umum dan benar dipandang sebagai ide yang mendasari Reformasi Lutheran di Jerman – yang diperoleh manusia tanpa perbuatan baik dari pihaknya yang melandasi ajaran pembenaran oleh iman.

Ketiga, Terobosan Teologis Martin Luther. Menurut McGrath, Luther naik ke panggung sejarah umat manusia adalah karena suatu ide. Ide itu meyakinkannya bahwa gereja pada masa kehidupannya telah salah mengerti Injil, esensi kekristenan itu. Ide Luther itu dikenal dengan ungkapan “pembenaran hanya oleh iman”. Terobosan teologis Luther, yang sering disebut Turmerlebnis (Pengalaman Puncak Menara), berkenaan dengan pertanyaan bagaimana mungkin bagi seorang berdosa memasuki suatu hubungan dengan Allah yang benar. Untuk membahas ini, maka McGrath memberikan penjelasan yang lebih rinci tentang topik ini di bawah ini.

Keempat, Ajaran tentang Pembenaran. Istilah “pembenaran” dan kata kerja “membenarkan” mempunyai arti “masuk ke dalam suatu hubungan yang benar dengan Allah”, atau mungkin juga “dijadikan benar di hadapan pandangan Allah”. Ajaran pembenaran dilihat sebagai berhubungan dengan pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang individu supaya diselamatkan. Pertanyaan ini dalam sepanjang sejarah gereja masih terus diperdebatkan bahkan mengalami kekacauan. Mengapa? Menurut McGrath ada beberapa faktor yang menyebabkannya. Pertama, tidak adanya pengumuman resmi dari gereja mengenai masalah ini selama lebih dari seribu tahun. Kedua, ajaran mengenai pembenaran tampaknya telah menjadi topik perdebatan yang disukai di antara teolog-teolog periode akhir Abad Pertengahan dengan hasil bahwa sejumlah pendapat yang tidak proporsional atas persoalan itu masuk ke dalam peredaran.

Kelima, Pandangan Luther yang mula-mula tentang Pembenaran. Pandangan Luther tentang pembenaran ini dimulai dalam kuliah-kuliah yang disampaikannya kepada mahasiswanya. Pada mulanya Luther adalah seorang pengikut yang setia dari pandangan via moderna. Allah telah mendirikan suatu perjanjian (pactum) dengan manusia. Melalui perjanjian itu Allah wajib membenarkan siapa saja yang mencapai persyaratan minimum tertentu (quod in se est). Akibatnya, Luther mengajarkan bahwa Allah memberikan anugerah-Nya kepada orang yang rendah hati sehingga semua orang yang merendahkan hatinya di hadapan Allah dapat mengharapkan untuk dibenarkan seperti yang sudah selayaknya. Oleh karena orang-orang berdosa melihat kebutuhan mereka akan anugerah dan datang kepada Allah agar Ia mengaruniakannya, maka ini berarti menempatkan Allah di bawah kewajiban untuk melakukan hal itu, dengan demikian membenarkan orang berdosa. Dengan kata lain, orang-orang berdosa memegang inisiatif, dengan datang kepada Allah: orang berdosa dapat melaukan sesuatu yang memberikan keyakinan bahwa Allah menjawab dengan membenarkan dia.

Keenam, Penemuan Luther akan “Kebenaran Allah”. Penemuan Luther akan “kebenaran Allah” (“iustitia Dei”) membuat dia sadar bahwa “kebenaran Allah” merujuk pada atribut ilahi yang tidak membeda-bedakan (adil). Allah menghakimi individu-individu dengan keadilan yang sempurna. Bila individu itu telah memenuhi prasyarat dasar untuk pembenaran, ia dibenarkan; apabila tidak memenuhi, ia dihukum. Allah tidak memperlihatkan bahwa Ia murah hati atau pilih kasih: Ia mengadili hanya berdasarkan atas jasa perbuatan baik. Allah bertindak secara sama maupun adil, dalam arti Ia memberikan kepada setiap individu tepat seperti jasa yang diperbuat itu – tidak lebih tidak kurang. Ide Luther itu sendiri menjadi ancaman bagi dirinya sendiri. Janji akan pembenaran memang cukup nyata, tetapi persyaratan yang ditempelkan pada janji itu membuat pemenuhannya tidak mungkin dilakukan. Akhirnya timbullah sikap pesimisme dalam diri Luther hingga membawanya kepada keputusasaan atas keselamatan dirinya sendiri yang semakin merupakan suatu ketidakmungkinan. “Bagaimanakah aku dapat menemukan Allah yang penuh anugerah? (Wie kriege ich einen gnadigen Gott?). Menjelang akhir tahun 1514, tampak bahwa Luther telah gagal untuk menemukan jawaban atas pertanyaan ini.

Pergumulan yang cukup mendalam ini dapat teratasi Luther melalui pengalaman pribadinya yang dikenal dengan istilah Turmelebnis, “Pengalaman Menara”. Melalui pengalaman rohani ini, Luther mengalami perubahan mendasar dan radikal bagi kehidupan Luther. Semula Luther melihat prasyarat untuk pembenaran sebagai sesuatu perbuatan manusia, sesuatu yang harus dilakukan oleh orang berdosa, sebelum ia dibenarkan. Dengan keyakinan yang semakin bertambah, melalui pembacaannya akan tulisan Augustinus, perbuatan seperti itu adalah suatu ketidakmungkinan, Luther hanya dapat menafsirkan “kebenaran Allah” sebagai kebenaran yang menghukum. Tetapi dalam pengalaman rohaninya, ia menceritakan bagaimana ia menemukan suatu “arti yang baru” dari ungkapan itu – suatu kebenaran yang “diberikan” Allah kepada orang berdosa. Dengan kata lain, Allah sendiri memenuhi persyaratan itu, dengan penuh kemurahan memberikan kepada orang-orang berdosa apa yang diperlukan mereka kalau mereka akan dibenarkan.

Ketujuh, Hakikat dari Iman yang membenarkan. Untuk dapat mengerti ide Luther tentang pembenaran oleh iman ini, maka kita tidak bisa terlepas dari pemahaman tentang “iman” itu sendiri. Luther memberikan kontribusi yang fundamental pada perkembangan pemikiran Reformasi tentang pokok iman ini. Menurut Luther, ada tiga pokok penting tentang iman yaitu:

(1)     Iman mempunyai rujukan yang pribadi/personal daripada rujukan yang murni historis. Artinya iman bukanlah semata-mata pengetahuan historis. Luther berpendapat bahwa iman yang puas dengan percaya pada keandalan historis dari Injil bukanlah iman yang membenarkan. Iman yang menyelamatkan menyangkut kepercayaan dan keyakinan yang sungguh bahwa Kristus telah dilahirkan pro nobis, dilahirkan untuk kita secara pribadi, dan telah menggenapi untuk kita pekerjaan keselamatan itu.

(2)     Iman menyangkut kepercayaan pada janji-janji Allah. Artinya iman ini adalah iman “kepasrahan” (fiducia) yang memakai analogi kelautan. Maksudnya, iman bukanlah semata-mata hanya percaya bahwa ada sebuah kapal;  iman berarti naik dan masuk ke dalam kapal dan memasrahkan diri kepada kapal tersebut. Bagi Luther, iman bukanlah sekedar hanya percaya bahwa sesuatu adalah benar; iman berarti siap untuk bertindak atas dasar kepercayaan dan menyandarkan diri padanya.

(3)     Iman mempersatukan orang percaya dengan Kristus. Bagi Luther, iman bukanlah suatu jawaban “ya” terhadap seperangkat ajaran yang abstrak. Iman adalah suatu “cincin perkawinan” yang menunjuk pada komitmen bersama dan kesatuan antara Kristus di dalam diri orang percaya.

Lebih dalam Luther mengatakan bahwa dalam pembenaran, Allah adalah aktif, dan manusia adalah pasif. Ungkapan “pembenaran oleh anugerah melalui iman” memberikan arti dari ajaran itu dengan lebih jelas; pembenaran orang berdosa didasarkan atas anugerah dan diterima melalui iman. Luther berkata, “Anugerah Allah yang membenarkan kita demi Kristus hanya melalui iman, tanpa perbuatan-perbuatan baik, sedangkan iman dalam pada itu berlimpah dalam perbuatan-perbuatan baik”. Artinya ajaran tentang pembenaran hanya oleh iman merupakan suatu penegasan bahwa Allah melakukan segala sesuatu yang perlu untuk keselamatan. Bahkan iman itu sendiri adalah pemberian Allah, bukan perbuatan manusia.

Menurut Luther, perbuatan baik bukanlah dasar dari pembenaran iman, melainkan sebagai suatu tindakan pengucapan syukur kepada Allah karena telah mengampuninya. Artinya perbuatan baik bukan usaha untuk mencapai Allah supaya mengampuni orang berdosa.[9]

Kedelapan, Alasan-alasan dan konsekuensi-konsekuensi dari ajaran Luther mengenai Pembenaran. Menurut McGrath, konsekuensi-konsekuensi dari terobosan Luther dilihat dari beberapa hal. Pertama, berkaitan dengan serangan Luther terhadap teologi skolastik. Luther mengungkapkan kekurangan-kekurangan dari ajaran mengenai pembenaran melalui sebuah karyanya, Perdebatan Melawan Teologi Skolastik (September 1517) yang diarahkan melawan seorang teolog skolastik Gabriel Biel yang mewakili via moderna. Perlawanan ini didukung oleh Andreas Bodenstein von Karlstadt, dekan fakultas teologi di Wittenberg. Karlstadt dan Luther merekayasa suatu pembaruan atas fakultas teologi dalam bulan Maret 1518 dan berhasil dalam menyingkirkan segala sesuatu yang benar-benar berhubungan dengan skolastik dari kurikulum. Sejak saat itu mahasiswa teologi di Wittenberg akan mempelajari Augustinus dan Alkitab, bukan skolastik. Kedua, ajaran pembenaran oleh iman berdampak pada terhadap praktek surat penghapusan dosa yang diberlakukan oleh Johannes Tetzel. Kemarahan Luther disulut oleh teknik-teknik pemasaran surat penghapusan dosa itu sendiri. Ajaran Luther ini sangat merugikan pihak Gereja Katolik Roma sebab surat penghapusan dosa ini merupakan sumber utama dari penghasilan paus. Ajaran pembenaran ini melumpuhkan vested interest pada surat penghapusan dosa itu. Pengampunan adalah masalah antara orang percaya itu dengan Allah, tidak ada orang lain terlibat. Tidak ada imam yang diperlukan untuk menyatakan bahwa orang itu telah diampuni.

Lebih dalam McGrath menjelaskan konsekuensi-konsekuensi sosial dari ajaran Luther tentang pembenaran hanya oleh iman dapat digambarkan dengan merujuk pada nasib dari persaudaraan-persaudaraan kaum awam. Ajaran pembenaran oleh iman menyingkirkan kebutuhan dari persaudaraan-persaudaraan dengan menolak jaringan kerja dari kepercayaan-kepercayaan. Raison d’etre (keberadaan) dari persaudaraan-persaudaraan itu dengan demikian secara radikal diruntuhkan sehingga peran-peran sosial dari persaudaraan-persaudaraan itu juga ikut hancur.

Kesembilan, Konsep tentang “Pembenaran berdasarkan hukum”. Pokok persoalan pembenaran berdasarkan hukum (forensic justification) ini berpusat pada pertanyaan tentang lokasi dari kebenaran yang membenarkan (justifying righteousness) itu sendiri.  Augustinus dan Luther sependapat bahwa Allah dengan anugerah-Nya memberikan kepada manusia berdosa suatu kebenaran yang membenarkan mereka. Tetapi di manakah kebenaran itu ditempatkan? Augustinus berpendapat bahwa kebenaran itu ditemukan di dalam diri orang percaya. Luther berpegang bahwa kebenaran itu tetap berada di luar diri orang-orang percaya. Bagi Augustinus kebenaran yang dibicarakan adalah internal; bagi Luther dia adalah eksternal. Menurut Augustinus, Allah melimpahkan kebenaran yang membenarkan ke atas orang berdosa dalam suatu cara sedemikian rupa sehingga dia menjadi bagian dari diri orang itu sendiri. Sebaliknya, bagi Luther, kebenaran merupakan suatu “kebenaran yang asing” (iustitia aliena). Artinya orang-orang percaya benar oleh karena kebenaran asing dari Kristus yang dihubungkan kepada mereka (diperlakukan seolah-olah kebenaran itu ada pada mereka melalui iman). Lebih dalam Luther berpendapat bahwa melalui iman, orang percaya berpakaian kebenaran Kristus. Iman adalah hubungan yang benar dengan Allah. Dengan demikian dosa dan kebenaran berada bersama. Artinya, kita tetap merupakan orang-orang berdosa dari dalam, tetapi merupakan orang benar dari luar, yaitu dalam pandangan Allah. Dengan mengaku dosa kita dalam iman, kita berdiri dalam hubungan yang benar dengan Allah. Luther sama sekali tidak menyatakan bahwa keberadaan dosa dan kebenaran ini secara permanen. Luther sepenuhnya sadar bahwa kehidupan Kristen adalah dinamis.

Kesepuluh, Perbedaan-perbedaan di antara Reformator-reformator mengenai Pembenaran. Dalam bagian ini McGrath mencoba memaparkan beberapa perbedaan pemikiran di antara para Reformator tentang pembenaran itu sendiri.

(1) Pembenaran dan Reformasi Swiss. Menurut Ernst Ziegler, Reformasi Swiss menunjuk pada reformasi kehidupan dan moralitas. Istilah “pembenaran oleh iman” secara mencolok tidak terdapat di dalam tulisan-tulisan para reformator Swiss. Zwingli melihat Reformasi sebagai sesuatu yang mempengaruhi gereja dan masyarakat yang bersifat moral dan spiritual. Tekanan pembenaran iman tidak ditemukan dalam ajaran Zwingli. Namun bagi Zwingli, pembenaran iman itu cenderung untuk memperlakukan Kristus sebagai suatu teladan moral yang dari luar daripada suatu kehadiran yang pribadi sifatnya di dalam diri orang percaya. Tidak benar mengatakan bahwa Zwingli mengajarkan pembenaran oleh perbuatan dalam periode awal dari pembaruannya. Ide-ide Zwingli mengenai pembenaran iman ini lebih dekat dengan Luther. Bagi Luther, Kitab Suci menyatakan janji-janji Allah, yang memulihkan kembali dan menghiburkan orang percaya. Bagi Zwingli, Kitab Suci menyatakan tuntutan-tuntutan moral yang dibuat Allah untuk orang-orang percaya.

(2) Perkembangan selanjutnya: Pandangan Bucer dan Calvin tentang pembenaran[10]. Bagi Bucer, pembenaran itu ada dua tahap yang dikenal dengan “pembenaran ganda” . Tahap pertama, “pembenaran orang yang tidak beriman” (iustificatio impii) yang terdiri atas pengampunan yang penuh kemurahan dari Allah atas dosa manusia (bagi Protestan: = “pembenaran”). Tahap kedua, “pembenaran orang salah” (iustificatio pii) yang terdiri atas suatu tanggapan ketaatan manusia akan tuntutan-tuntutan moral dari Injil (bagi Protestan: = kelahiran kembali). Dengan demikian, suatu hubungan kausal didirikan antara pembenaran dan kelahiran kembali. Orang berdosa tidak dapat disebut telah dibenarkan kecuali jika keduanya terjadi. Sedangkan menurut Calvin, iman mempersatukan orang pecaya dengan Kristus di dalam suatu “kesatuan mistis”. Persatuan dengan Kristus ini mempunyai dampak rangkap dua yang disebut sebagai anugerah ganda yakni: pertama, persatuan antara orang percaya dengan Kristus membawa secara langsung para pembenaran dirinya. Melalui Kristus orang percaya dinyatakan menjadi benar dalam pandangan Allah. Kedua, oleh karena persatuan orang percaya dengan Kristus, orang percaya itu mulai melakukan proses menjadi seperti Kristus melalui kelahiran kembali.

Kesebelas, Tanggapan Gereja Katolik: Konsili Trente tentang Pembenaran. Gereja Katolik Roma sangat serius membahas dan menanggapi ajaran pembenaran iman Luther ini dalam Konsili Trente khususnya pada sesi keenam pada tanggal 13 Januari 1547. Kritik Trente atas ajaran Luther ini dapat dirincikan ke dalam empat bagian utama:

(1) Hakikat pembenaran. Menurut Luther, hakikat pembenaran mengubah status sebelah luar dari orang berdosa dalam pandangan Allah (coram Deo), sedangkan kelahiran kembali mengubah sifat dasar bagian dalam dari orang berdosa itu. Bagi Katolik, pembenaran “bukanlah hanya suatu pengampunan dosa tetapi juga penyucian dan pembaruan kembali dari batin seseorang melalui penerimaan yang sukarela dari anugerah dan pemberian yang menyebabkan seseorang yang tidak benar menjadi seorang yang benar”. Pembenaran sangat erat dihubungkan dengan sakramen baptisan dan penebusan dosa. Orang berdosa mula-mula dibenarkan melalui baptisan: namun, oleh karena dosa, pembenaran itu dapat hilang. Walaupun demikian, pembenaran itu dapat dibarui kembali dengan sakramen penebusan dosa.

(2) Hakikat kebenaran yang membenarkan. Bagi Luther, orang-orang berdosa mempunyai kebenaran di dalam diri mereka sendiri. Mereka tidak mempunyai apa pun di dalam diri mereka yang dapat dianggap sebagai dasar bagi keputusan yang mahamurah dari Allah untuk membenarkan mereka. “Kebenaran yang asing dari Kristus” (iustitia Christi aliena) membuat jelas bahwa kebenaran yang membenarkan orang-orang berdosa adalah di luar mereka. Hal itu dinyatakan, tidak ditanamkan; eksternal, bukan internal. Trente dengan kuat mempertahankan ide Augustinus tentang pembenaran atas dasar suatu kebenaran internal. Trente menyatakan bahwa alasan yang langsung dari pembenaran adalah kebenaran yang oleh Allah dengan kemurahan-Nya ditanamkan ke dalam kita.

(3) Hakikat iman yang membenarkan. Bagi Luther, iman yang membenarkan tidak lain dari keyakinan akan kemurahan Allah yang mengampuni dosa demi Kristus. Trente sendiri sepenuhnya mengakui bahwa kehidupan Kristen dimulai melalui iman, jadi sebenarnya sangat dekat dengan pandangan Luther. Keputusan Trente menyatakan bahwa “Kita dikatakan menjadi benar oleh iman karena iman adalah permulaan dari keselamatan manusia, dasar dan akar dari semua pembenaran, bahwa tanpa iman tidaklah mungkin untuk menyukakan Allah” (pasal 8).

(4) Kepastian keselamatan. Bagi Luther, seseorang dapat benar-benar yakin akan keselamatannya. Keselamatan didasarkan pada kesetiaan Allah pada janji-janji kemurahan-Nya. Sementara itu, Trente tetap berpegang bahwa “tidak seorang pun dapat mengetahui dengan pasti tentang iman yang tidak dapat keliru, apakah mereka telah memperoleh anugerah Allah”.

2.6 Bab VI: AJARAN TENTANG PREDESTINASI[11]

Menurut McGrath, ciri utama dari teologi Reformed adalah predestinasi. Bagi banyak orang, istilah “Calvinis” sebenarnya identik dengan “menempatkan tekanan yang besar ke atas ajaran predestinasi”. Dalam bab ini McGrath memaparkan lebih dalam dan rinci tentang ajaran predestinasi ini dalam empat sub bab yaitu:

Pertama, Pandangan Zwingli, mengenai kedaulatan ilahi. Berbeda dengan Luther yang membentuk teologinya dari pengalaman rohaninya akan pembenaran Allah atas dirinya yang berdosa, teologi Zwingli hampir secara total dibentuk oleh perasaannya akan kemahakuasaan yang mutlak dari Allah dan ketergantungan total manusia pada-Nya. Ide Zwingli tentang kedaulatan Allah yang mutlak dikembangkan dalam ajarannya tentang pemeliharaan Allah khususnya dalam khotbahnya yang terkenal, De providentia, “Tentang Pemeliharaan Allah”.  Keprihatinan Zwingli yang sedang bertumbuh terhadap kedaulatan Allah membuat dia memutuskan hubungan dengan humanisme yang walaupun tidak diketahui sejak kapan dia memutuskan hubungannya dengan humanisme tersebut. Bagi Zwingli, dalam pembaruan yang dilakukannya yang dibutuhkan adalah pemeliharaan Allah, campur tangan ilahi; tanpa hal-hal itu reformasi yang benar merupakan suatu ketidakmungkinan.

Kedua, Pandangan Calvinisme yang kemudian[12]. Pemikiran Calvin merefleksikan suatu keprihatinan mengenai keberdosaan manusia dan kemahakuasaan ilahi, suatu keprihatinan yang menemukan pernyataannya yang paling lengkap dalam ajaran predestinasi. Ajaran predestinasi ini sebenarnya bukanlah merupakan pusat dari pemikiran Calvin seperti yang dikemukakan beberapa sarjana. Ajaran itu hanyalah satu aspek dari ajarannya mengenai keselamatan. Sebelum memahami ajaran predestinasi Calvin ini ada baiknya membandingkan pendapat Augustinus dan Calvin mengenai ajaran itu. Bagi Augustinus, kemanusiaan setelah kejatuhan ke dalam dosa adalah korup dan tidak berdaya, membutuhkan anugerah Allah untuk menebusnya. Anugerah itu tidak diberikan kepada semua orang. Augustinus mempergunakan istilah predestinasi untuk merujuk pada tindakan Allah dalam memberikan anugerah kepada beberapa orang. Predestinasi, bagi Augustinus, hanya merujuk pada keputusan ilahi untuk menebus, tidak merujuk pada tindakan membuang orang-orang berdosa yang lainnya. Bagi Calvin, keketatan logis menuntut bahwa Allah secara aktif memilih untuk menebus atau mengutuk. Allah tidak dapat dibayangkan melakukan sesuatu yang keliru; ia aktif dan berdaulat dalam tindakan-tindakan-Nya. Karena itu, Allah dengan aktif menginginkan keselamatan bagi orang-orang yang akan diselamatkan dan kutukan bagi orang-orang yang tidak akan diselamatkan. Bagi Calvin, predestinasi adalah “keputusan kekal dari Allah yang dengan cara itu Ia menentukan apa yang ingin dilakukan-Nya terhadap setiap individu. Sebab, Ia tidak menciptakan semua orang dengan kondisi yang sama, tetapi menakdirkan kehidupan kekal bagi beberapa orang dan hukuman kekal bagi orang-orang yang lain” (Buku 3 dari Institutio edisi tahun 1559, pasal 21-24).  Menurut Calvin, kemurahan Allah diperlihatkan di dalam keputusan-Nya untuk menebus individu-individu terlepas dari jasa-jasa mereka; keputusan untuk menebus seorang individu dibuat tanpa rujukan pada berapa berjasanya kira-kira individu tersebut. Bagi, Luther, kemahamurahan Allah diperlihatkan di dalam hal bahwa Ia menyelamatkan orang-orang berdosa tanpa memperhitungkan cacat cela mereka.

Lebih dalam Calvin menjelaskan bahwa predestinasi harus dipertimbangkan dalam konteksnya yang benar. Predestinasi bukanlah produk dari spekulasi manusia, melainkan merupakan suatu misteri penyataan ilahi (I.ii.2; III.1-2). Konteks itu berkaitan dengan kemujaraban dari proklamasi Injil.

Meskipun ajaran tentang predestinasi itu bukan merupakan ajaran yang sentral bagi pemikiran Calvin sendiri, ajaran itu sendiri menjadi pusat dari teologi Reformed di kemudian hari melalui pengaruh dari penulis-penulis seperti Petrus Martyr Vermigli dan Theodorus Beza.

Ketiga, Predestinasi di dalam Calvinisme yang kemudian. Pemahaman predestinasi ini mengalami perkembangannya dalam Calvinisme yang kemudian sehingga perbedaan yang kontras dengan Calvin akan terlihat dengan jelas. Bagi Calvin, teologi berpusat pada dan berasal dari peristiwa Yesus Kristus, seperti yang disaksikan Kitab Suci. Calvin memusatkan teologinya pada fenomena historis yang khusus dari Yesus Kristus dan kemudian bergerak untuk menjelajahi implikasi-implikasinya. Sebaliknya, Beza, mulai dari prinsip-prinsip umum dan melanjutkannya dengan menarik kesimpulan (deduksi) berdasarkan konsekuensi-konsekuensi prinsip tersebut bagi teologi Kristen. Beza memakai prinsip-prinsip teologinya berdasarkan sistem keputusan-keputusan pemilihan ilahi, artinya keputusan ilahi untuk memilih orang-orang tertentu pada keselamatan dan orang-orang lain pada penghukuman. Konsekuensi perkembangan teologi ini muncullah ajaran tentang “pendamaian yang terbatas” atau “penebusan yang khusus”. Benedictus Godescalc dari Orbais (Gottschalk), telah mengembangkan suatu ajaran tentang predestinasi ganda. Godescalc menunjukkan bahwa sangat tidak tepat mengatakan kalau Kristus menderita bagi orang-orang seperti itu. Sebab, bila Ia telah menderita bagi mereka, Ia telah mati dalam kesia-siaan karena nasib mereka tidak akan terpengaruh. Godescalc mengemukakan bahwa Kristus mati “hanya untuk orang yang telah dipilih”.  Dengan penekanan predestinasi yang demikian, maka muncullah ide pemilihan. Bagi Lutheranisme akhir abad ke-16, pemilihan berarti suatu keputusan manusia untuk mengasihi Allah, bukan keputusan Allah untuk memilih individu-individu tertentu. Orang-orang Lutheran tidak pernah memiliki perasaan menjadi “pilihan Allah” yang sama seperti orang Calvinis.  Sementara ajaran Reformed tentang pemilihan dan predestinasi merupakan kekuatan pendorong di belakang ekspansi besar-besaran dari gereja Reformed abad ke-17.

Keempat, Ajaran tentang anugerah dan Reformasi. Benjamin B.Warfield berkata, “Bila dipikirkan dari dalam, Reformasi merupakan kemenangan yang paling menentukan dari ajaran Augustinus tentang anugerah atas ajaran Augustinus tentang gereja”. Pendapat ini meringkaskan dengan brilian makna penting ajaran tentang anugerah bagi perkembangan Reformasi. Bagi, Luther, ajaran Augustinus tentang anugerah, merupakan articulus stantis et cadentis ecclesiae atau “pengakuan yang berdampak bagi berdiri atau jatuhnya gereja”.  Pemahaman tentang ajaran anugerah ini terdapat perbedaan-perbedaan halus antara Augustinus dan para reformator. Bagi para reformator, khususnya Luther, gereja Kristen dibentuk secara sah oleh ajarannya tentang anugerah. Namun Augustinus telah mengembangkan suatu eklesiologi yang menekankan kesatuan dari gereja. Para reformator merasa dapat meninggalkan Augustinus pada pokok masalah ini dengan berpendapat bahwa pandangan-pandangannya mengenai anugerah adalah jauh lebih penting daripada pandangan-pandangannya tentang gereja. Gereja, menurut para reformator merupakan produk dari anugerah Allah. Gereja merupakan penjamin dari iman Kristen.

2.7    Bab VII: KEMBALI PADA KITAB SUCI[13]

Ide tentang sola scriptura, “hanya oleh Kitab Suci”, menjadi suatu slogan besar dari para reformator tatkala mereka berusaha untuk membawa kembali praktik-praktik dan kepercayaan-kepercayaan gereja sesuai dengan praktik dan kepercayaan gereja sesuai dengan praktik dan kepercayaan dari Zaman Emas kekristenan. Bila ajaran pembenaran hanya oleh iman merupakan prinsip material dari Reformasi, prinsip sola scriptura merupakan prinsip formalnya. Reformasi memandang Kitab Suci sebagai sumber tambang yang darinya ide dan praktik-praktik aliran itu digali.  Dalam bab ini McGrath pengertian reformasi tentang Kitab Suci dengan rinci, menempatkannya dalam konteks dunia pemikiran dari periode Abad Pertengahan dan Renaisans. Bab ini dibagi dalam empat sub bab yakni:

Pertama, Kitab Suci di dalam Abad Pertengahan

(1) Konsep tentang “Tradisi”. Konsep “tradisi” telah menjadi sangat penting dalam hubungannya dengan penafsiran dan kewibawaan Kitab Suci pada akhir Abad Pertengahan. Menurut Heiko A. Oberman, hanya ada dua konsep tradisi yang sangat berbeda yang beredar di dalam Abad Pertengahan yakni: “Tradisi 1” dan “Tradisi 2”. Tradisi 1 artinya suatu cara tradisional dalam menafsirkan Kitab Suci di dalam persekutuan iman. Tradisi 2 adalah penyataan di samping Kitab Suci, karena Kitab Suci tidak berkata apa-apa atas sejumlah pokok masalah. Tradisi ini melengkapi kekurangan pada tradisi 1. Untuk meringkaskannya, “Tradisi 1” merupakan suatu teori satu sumber untuk ajaran: ajaran didasarkan atas Kitab Suci dan “tradisi” merujuk pada “cara tradisional dalam menafsirkan Kitab Suci”. Sebaliknya, “Tradisi 2” merupakan suatu teori dua sumber untuk ajaran-ajaran didasarkan atas dua sumber yang sama sekali berbeda, Kitab Suci dan tradisi lain.

(2) Terjemahan Vulgata atas Alkitab. Dalam perkembangan penafsiran Kitab Suci, para teolog tidak hanya memakai textus vulgatus, “teks biasa” yang disusun oleh sarjana alkitabiah patristis yang besar seperti Hieronimus pada abad ke-4. Namun dalam abad-abad ke 16, teks Vulgata ini diterjemahkan dengan berbagai variasi-variasi yang sangat berbeda. Misalnya Theodulfus dan Alcuinus, sarjana-sarjana yang terkenal dari Abad Kegelapan, mempergunakan versi-versi yang sangat berbeda dari teks Vulgata. Dengan adanya berbagai macam variasi tersebut, maka kebutuhan untuk penyeragaman muncul sebagai usaha bersama dari teolog Paris dengan menghasilkan “versi Paris” dari teks Vulgata. Sejak itu, Paris diakui sebagai pusat yang menonjol dari teologi di Eropa. “Versi Paris” dari Vulgata ditetapkan sebagai yang normatif.

(3) Versi-versi Kitab Suci bahasa daerah dalam Abad Pertengahan. Selama Abad Pertengahan telah dihasilkan sejumlah versi bahasa daerah dari Kitab Suci, meskipun pernah dikutuk proses penerjemahan ini. Misalnya, terjemahan versi Wycliffe yang dihasilkan oleh sekelompok sarjana di sekitar John Wycliffe di Lutterworth. Motivasi untuk penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Inggris sebagian bersifat rohani, sebagian lagi bersifat politik. Bersifat rohani dalam arti bahwa orang awam sekarang dapat mempergunakan Goddis lawe (hukum Allah) dan bersifat politik dalam arti bahwa suatu tantangan yang implisit diajukan pada kewenangan pengajaran gereja.

Kedua, Kaum Humanis dan Alkitab. Secara ringkas McGrath memberikan hubungan gerakan humanis dengan penelitian Kitab Suci yaitu: (1) Tekanan yang besar dari kaum humanis untuk kembali ke sumber-sumber (ad fontes)[14]. (2) Kitab Suci harus dibaca secara langsung dalam bahasa-bahasa aslinya daripada dibaca dalam terjemahan Latin. (3) Gerakan humanis membuat tersedianya dua peralatan yang esensial untuk metode baru dari penelitian Alkitab. Pertama, menyediakan teks cetakan Kitab Suci dalam bahasanya yang asli misalnya Novum Instrumentum omne dari Erasmus tahun 1516. Kedua, menyediakan buku-buku pegangan dalam bahasa klasik. (4) Gerakan humanis mengembangkan teknik-teknik meneliti teks yang mampu menetapkan dengan akurat teks terbaik dari Kitab Suci. (5) Orang-orang humanis cenderung melihat teks-teks kuno sebagai perantara suatu pengalaman yang dapat ditangkap kembali melalui metode-metode sastra yang sesuai. (6) Dalam karyanya Enchiridion, yang menjadi sangat berpengaruh dalam tahun 1515, Erasmus berpendapat bahwa kaum awam yang memahami Alkitab merupakan kunci bagi pembaruan gereja.

Ketiga, Alkitab dan Reformasi. “Alkitab”, tulis William Chillingworth, “dan aku katakan, hanya Alkitab, adalah agama dan orang-orang Protestant.” Kata-kata termasyhur dari orang Protestan Inggris dalam abad ke-17 ini meringkaskan sikap Reformasi terhadap Kitab Suci. Calvin menyatakan, “Biarlah hal ini kemudian menjadi suatu aksioma yang pasti: bahwa tidak ada yang lain yang harus diakui di dalam gereja sebagai Firman Allah kecuali apa yang termuat, pertama dalam Torah dan Kitab Nabi-Nabi, dan kedua dalam tulisan-tulisan dari para Rasul; dan bahwa tidak ada metode pengajaran lain di dalam gereja yang berlainan dari apa yang sesuai dengan ketentuan dan aturan dari Firman-Nya.” Zwingli memberikan judul untuk traktat yang ditulisnya pada tahun 1522 mengenai Kitab Suci, yakni Tentang Kejelasan dan Kepastian dari Firman Allah, yang menandaskan bahwa “Landasan agama kita adalah firman yang tertulis, Kitab Suci Allah”. Pandangan-pandangan seperti itu menunjukkan penghargaan yang tinggi terhadap Kitab Suci yang secara konsisten dimiliki oleh para reformator. Perbedaan antara para reformator dan teologi Abad Pertengahan pada pokok masalah ini menyangkut bagaimana Kitab Suci itu didefinisikan dan ditafsirkan lebih daripada menyangkut status yang diberikan kepadanya. McGrath membahas pokok-pokok ini lebih jauh dalam bagian yang berikut ini.

(1) Kanon Kitab Suci. Kanon Kitab Suci adalah merupakan hal pokok dalam   menentukan batas-batas Kitab Suci. Istilah “kanon” (satu kata Yunani yang berarti “aturan” atau “norma”) dipergunakan untuk merujuk pada kitab-kitab yang oleh gereja dianggap otentik. Bagi teolog-teolog Abad Pertengahan, “Kitab Suci” berarti “karya-karya yang tercakup dalam Vulgata”. Namun, para reformator merasa berwenang untuk mempersoalkan penilaian ini. Para reformator berpendapat bahwa tulisan-tulisan Perjanjian Lama yang dapat diakui untuk masuk dalam kanon Kitab Suci hanyalah yang asli terdapat dalam Alkitab Ibrani. Jadi, suatu perbedaan ditarik antara “Perjanjian Lama” dan “Apokrifa”; yang pertama terdiri atas kitab-kitab yang terdapat dalam Alkitab Ibrani, yang belakangan terdiri atas kitab-kitab yang terdapat dalam Alkitab Yunani dan Alkitab Latin (seperti Vulgata), tetapi tidak terdapat dalam Alkitab Ibrani. Sementara beberapa reformator mengakui bahwa karya-karya apokrif itu merupakan bacaan yang dapat membawakan perbaikan, telah ada persetujuan umum bahwa karya-karya ini tidak dapat dipergunakan sebagai dasar untuk ajaran. Namun, teolog-teolog Abad Pertengahan, diikuti oleh Konsili Trente tahun 1546, mendefinisikan “Perjanjian Lama” sebagai “karya-karya Perjanjian Lama yang termuat dalam Alkitab Yunani dan Latin”, dan menyingkirkan perbedaan antara “Perjanjian Lama” dan “Apokrifa”. Jadi, suatu perbedaan yang fundamental berkembang antara pengertian- pengertian Katolik Roma dan Protestan tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan istilah “Kitab Suci”. Perbedaan ini tetap ada sampai hari ini. Satu perbandingan antara versi-versi Alkitab Protestan – dua yang terpenting adalah New Revised Standard Version (NRSV) dan New International Version (NIM) – dengan versi-versi Katholik Roma, seperti Jerusalem Bible, akan mengungkapkan perbedaan- perbedaan ini. Bagi para reformator, sola scriptura dengan demikian tidak hanya mengimplikasikan satu perbedaan, tetapi dua, dari pihak Katolik yaitu pihak yang bertentangan dengan mereka; bukan hanya status yang berbeda yang mereka kenakan terhadap Kitab Suci, tetapi mereka juga tidak sependapat tentang apa sebenarnya Kitab Suci itu. Tetapi apakah relevansi dari perdebatan ini? Satu hasil dari perdebatan ini adalah produksi dan peredaran daftar-daftar yang sah dari buku-buku yang dianggap “alkitabiah”. Sesi keempat dari Konsili Trente (1546) menghasilkan suatu daftar yang rinci yang memasukkan karya-karya Apokrifa sebagai yang otentik Alkitabiah, sedangkan jemaat-jemaat Protestan di negeri Swiss, Perancis, dan di mana saja, memproduksi daftar-daftar yang dengan sengaja menghilangkan rujukan pada karya-karya ini atau juga menunjukkan bahwa mereka tidaklah penting dalam masalah ajaran.

(2) Kewibawaan Kitab Suci. Para reformator melandaskan kewibawaan Kitab Suci dalam hubungannya dengan Firman Allah. Bagi beberapa orang, hubungan itu tampaknya sedikit lebih bernuansa; Kitab Suci memuat Firman Allah di mana Kitab Suci harus diterima seakan-akan Allah sendirilah yang sedang berbicara. Bagi Calvin, kewibawaan Kitab Suci dilandaskan dalam fakta bahwa para penulis Alkitab adalah “sekretaris (`notaires authentiques` dalam Institutio versi bahasa Perancis) Roh Kudus”. Menurut Heinrich Bullinger, kewibawaan Kitab Suci adalah mutlak dan otonom, “Oleh karena ia merupakan Firman Allah, Kitab Suci yang kudus itu mempunyai kedudukan dan kredibilitas yang mencukupi di dalam dirinya sendiri dan dari dirinya sendiri.” Kitab Suci mampu memberikan penilaian atas gereja Abad Pertengahan (dan nyatanya “kurang”) dan juga memberikan model bagi gereja Reformed baru yang akan muncul segera sesudah ini. Sejumlah hal menunjukkan makna penting dari prinsip `sola scriptura` ini. Pertama, para reformator itu mempunyai pendapat yang teguh bahwa kewenangan paus-paus, dewan-dewan dan teolog-teolog berada di bawah Kitab Suci. Alkitab, sebagai Firman Allah, harus dipandang sebagai yang lebih tinggi daripada Bapa-bapa Gereja dan dewan-dewan. Kedua, para reformator itu berpendapat bahwa kewibawaan di dalam gereja tidaklah berasal dari status sang pengemban jabatan, tetapi dari Firman Allah yang dilayani oleh pengemban jabatan itu. Para reformator melandaskan kewibawaan dari uskup-uskup (atau jabatan yang sepadan dalam gereja Protestan) di dalam kesetiaan mereka pada Firman Allah.[15] Dengan demikian prinsip sola scriptura mencakup klaim bahwa kewibawaan gereja dilandaskan di dalam kesetiaannya pada Kitab Suci.

(3) Peran Tradisi. Tiga pengertian utama tentang hubungan antara Kitab Suci dan tradisi yang ada dalam abad ke-16 dapat diringkaskan sebagai berikut: [a] Tradisi 0: Reformasi radikal. [b] Tradisi 1: Reformasi yang mengaku negara (Reformasi magisterial). [c]  Tradisi 2:  Konsili Trente. Satu-satunya sayap dari Reformasi yang menerapkan secara konsisten prinsip `sola scriptura` adalah Reformasi radikal atau “Anabaptisme”. Bagi orang-orang radikal itu seperti Thomas Muntzer dan Caspar Schwenkfeld, setiap individu mempunyai hak untuk menafsirkan Kitab Suci sesuka hati masing-masing dengan tunduk pada tuntunan Roh Kudus. Bagi Sebastian Franck yang radikal itu, “Alkitab adalah suatu kitab yang dimeteraiksan oleh tujuh meterai yang tidak dapat dibuka oleh seorang pun kecuali ia mempunyai kunci Daud, yang adalah pencerahan Roh”. Dengan demikian, jalan terbuka bagi individualisme, dengan penilaian (pendapat) pribadi dari seorang individu yang muncul mengatasi penilaian yang bersifat kelompok dari gereja.

Reformasi magisterial secara teologis bersifat konservatif. Ia mempertahankan ajaran-ajaran gereja yang paling tradisional – seperti keilahian Kristus dan ajaran tentang Trinitas – oleh karena keyakinan para reformator itu bahwa penafsiran-penafsiran tradisional atas Kitab Suci ini benar. Pokok ini sangatlah penting dan telah tidak mendapatkan perhatian sewajarnya. Salah satu alasan mengapa reformator-reformator itu menghargai tulisan-tulisan Bapa-bapa Gereja, khususnya Augustinus, adalah bahwa mereka melihat Bapa-bapa Gereja itu sebagai eksponen-eksponen dari teologi Alkitabiah. Dengan kata lain, reformator-reformator itu percaya bahwa Bapa-bapa Gereja itu sedang berusaha untuk mengembangkan suatu teologi yang hanya didasarkan atas Kitab Suci – yang tentu saja tepat sama seperti apa yang juga tengah mereka coba lakukan pada abad ke-16. Dengan demikian akan menjadi jelas bahwa penghargaan yang tinggi terhadap penafsiran tradisional atas Kitab Suci ini (yakni “Tradisi 1”) memberikan Reformasi magisterial arah yang kuat mengenai konservatisme dalam ajaran.

Pemahaman tentang prinsip `sola scriptura` ini memberikan kemungkinan kepada para reformator untuk mengkritik kedua lawan mereka – pihak pertama adalah golongan radikal dan pihak kedua adalah golongan Katolik. Orang-orang Katolik berpendapat bahwa reformator-reformator itu mengangkat penilaian (pendapat) pribadi di atas penilaian (pendapat) yang bersifat kelompok dari gereja. Tradisi 0 tidak memberikan tempat bagi penafsiran tradisional atas Kitab Suci. Para reformator magisterial dengan demikian menolak pengertian yang radikal akan peran Kitab Suci ini dengan menganggapnya sebagai individualisme murni, suatu resep untuk kekacauan teologis.

Konsili Trente, yang bersidang dalam tahun 1546, menanggapi ancaman dari Reformasi dengan menegaskan suatu teori dua sumber. Penegasan oleh Tradisi 2 dari Reformasi Katholik ini menyatakan bahwa iman Kristen menjangkau setiap generasi melalui dua sumber: Kitab Suci dan suatu tradisi yang tidak tertulis. Tradisi yang di luar Alkitab ini harus diperlakukan sebagai yang memiliki kewibawaan yang setara dengan Kitab Suci. Dalam membuat pernyataan ini, Konsili Trente tampaknya telah mengangkat yang belakangan dan yang kurang berpengaruh, dari dua pengertian Abad Pertengahan yang utama tentang “tradisi” dengan meninggalkan yang lebih berpengaruh itu untuk para reformator. Penting dicatat bahwa dalam tahun-tahun terakhir ini sudah ada suatu “revisionisme” dalam derajat tertentu dalam lingkungan-lingkungan Katolik Roma mengenai masalah ini dengan beberapa teolog masa kini yang berpendapat bahwa Konsili Trente meniadakan pandangan bahwa “Injil hanyalah sebagian ada di dalam Kitab Suci dan sebagian ada di dalam tradisi-tradisi”.

(4) Metode-metode Penafsiran Kitab Suci. Metode baku penafsiran Alkitab yang dipergunakan selama Abad Pertengahan dikenal sebagai Quadriga atau “pengertian rangkap empat dari Kitab Suci”. Keempat pengertian Kitab Suci itu adalah: [a] Pengertian harfiah, yaitu bahwa teks itu diambil menurut apa yang tertulis. [b] Pengertian alegoris, yaitu bahwa bagian-bagian tertentu dari Kitab Suci ditafsirkan sedemikian rupa untuk menghasilkan pernyataan-pernyataan tentang ajaran. [c] Pengertian tropologis atau moral, yaitu bahwa bagian-bagian tertentu ditafsirkan untuk menghasilkan pedoman etis bagi tingkah laku Kristen. [d] Pengertian analogis,, yaitu bahwa bagian-bagian tertentu ditafsirkan untuk menunjukkan dasar-dasar pengharapan Kristen.

(5) Hak menafsir Kitab Suci. Bagi Katolik, Kitab Suci sukar untuk ditafsirkan – dan Allah telah menakdirkan untuk memberikan seorang penafsir yang dapat diandalkan dan berwibawa dalam bentuk Gereja Katolik Roma. Para reformator menolak pandangan ini dengan mengatakan bahwa setiap orang percaya memiliki hak dan kemampuan untuk menafsirkan Kitab Suci. Persoalannya adalah bagaimanakah suatu penafsiran komunal Protestan yang berwibawa atas Kitab Suci dapat diberikan. Setidaknya ada dua cara yang dilakukan Reformasi yaitu: pertama, pendekatan “kateketis”. Para pembaca Kitab Suci Protestan dilengkapi dengan suatu penyaringan yang boleh mereka gunakan untuk menafsirkan Kitab Suci seperti Katekismus Kecil Martin Luther yang melengkapi para pembacanya dengan suatu kerangka sehingga mereka dapat memahami Kitab Suci. Kedua, “hermeneutika politis” yang dihubungkan dengan Reformasi Zwingli di Zurich. Metode ini sangatlah penting dalam hubungannya dengan sejarah politis Reformasi.

Keempat, Tanggapan Katolik: Konsili Trente dalam hal Kitab Suci. Keputusan Konsili Trente khususnya sesi keempat pada tanggal 8 April 1546 menyimpulkan dan menetapkan keberatan-kebaratan terhadap posisi Protestan tentang Kitab Suci sebagai berikut: (1) Kitab Suci tidak dapat dilihat sebagai satu-satunya sumber pernyataan, tradisi merupakan suatu pelengkap yang vital. (2) Daftar kitab kanonis Protestan tidak mencukupi dan menerbitkan satu daftar lengkap dari karya-karya yang diterima sebagai berwibawa. (3) Edisi Vulgata dari Kitab Suci ditegaskan dapat diandalkan dan berwibawa. (4) Kewenangan gereja untuk menafsirkan Kitab Suci dipertahankan. (5) Tidak ada orang Katolik Roma yang diizinkan untuk menerbitkan karya tulis apa pun yang berkenaan dengan penafsiran Kitab Suci.

2.7 Bab VIII: AJARAN TENTANG SAKRAMEN-SAKRAMEN[16]

Istilah “Sakramen” berasal dari bahasa Latin, sacramentum yang berarti “sesuatu yang dikuduskan” dan telah dipakai untuk merujuk pada serangkaian ritus gereja atau perbuatan-perbuatan klerikal yang dianggap mempunyai kualitas-kualitas spiritual yang khusus, misalnya kemampuan untuk menyalurkan anugerah Allah. Duns Scotus mendefinisikan sakramen sebagai “tanda yang bersifat fisik, yang ditetapkan oleh Allah, yang secara mujarab menandakan anugerah Allah atau perbuatan anugerah Allah”. Pada umumnya definisi sakramen ini adalah sama bahwa sakramen-sakramen adalah tanda-tanda yang kelihatan dari anugerah yang tidak kelihatan sebagai “saluran-saluran” anugerah. Ajaran tentang sakramen pun mengalami kritik yang tajam dari kalangan reformatoris terhadap Katolik yang mengakui bahwa ada tujuh sakramen dalam gereja yaitu: baptisan, ekaristi (Perjamuan Kudus), penebusan dosa, konfirmasi, pernikahan, penahbisan, dan pengurapan orang sakit. Pada Abad Pertengahan, para reformator menyusun suatu serangan gencar atas jumlah, hakikat dan fungsi sakramen-sakramen serta mengurangi jumlah sakramen-sakramen menjadi dua (baptisan dan Perjamuan Kudus). Perdebatan ini tidak hanya melawan pihak Katolik saja, namun di kalangan para reformator sendiri pun terjadi pemahaman yang berbeda-beda tentang Perjamuan Kudus misalnya antara Luther dan Zwingli. Di sisi lain dalam pemakaian istilah sakramen ini terdapat juga perdebatan di antara Katolik dan Protestan. Reformasi secara berangsur-angsur menolak istilah “misa” dan lebih suka memakai istilah “ekaristi”. Dalam bab ini McGrath menguraikan ajaran sakramen ini dengan enam sub bab yakni:

Pertama, Sakramen-sakramen dan janji-jani anugerah. Tema sentral bagi Reformasi yang menekankan pentingnya sakramen-sakramen adalah “akomodasi ilahi atas kelemahan manusia”. Prinsip akomodasi ini berlaku lebih luas dengan mempergunakan analogi-analogi dan alat-alat bantu visual. Menurut Calvin, Allah mengakomodasikan diri-Nya sesuai dengan keterbatasan-keterbatasan kita. Bagi para reformator generasi pertama, sakramen-sakramen merupakan tanggapan Allah terhadap kelemahan manusia. Sakramen merupakan suatu akomodasi terhadap keterbatasan manusia itu. Sakramen-sakramen itu menggambarkan janji-janji Allah yang disampaikan melalui objek-objek dunia sehari-hari. Philip Melanchthon dalam karyanya, Usul-usul mengenai Misa (1521), menekankan bahwa sakramen-sakramen terutama merupakan suatu penyesuaian ilahi yang penuh anugerah untuk kelemahan manusia. Bagi Melanchthon, sakramen-sakramen merupakan tanda-tanda. Tanda-tanda sakramental ini mempertinggi kepercayaan kita kepada Allah. “Supaya mengurangi ketidakpercayaan ini di dalam hati manusia, Allah menambahkan tanda-tanda pada firman itu”. Sedangkan menurut Luther, sakramen-sakramen sebagai “janji-janji dengan tanda-tanda yang dilampirkan kepada mereka” atau “tanda-tanda ilahi yang ditetapkan dan janji akan pengampunan dosa”. Luther mempergunakan “jaminan” (Pfand) untuk menekankan sifat pemberian kepastian dari ekaristi. Roti dan anggur menjamin kita akan realitas janji pengampunan ilahi yang membuat kita lebih mudah untuk menerimanya, dan setelah menerimanya, berpegang padanya erat-erat.

Kedua, Pandangan Luther tentang Sakramen-sakramen. Semula Luther mengakui tiga sakramen (baptisan, ekaristi dan penebusan dosa), namun Luther akhirnya mengakui hanya ada dua sakramen (baptisan dan roti) dan penebusan dosa tidak lagi mempunyai status sakramental karena kedua ciri esensial dari suatu sakramen adalah Firman Allah dan suatu tanda sakramental yang bersifat lahiriah atau dapat dilihat (seperti air dalam baptisan dan roti serta anggur dalam ekaristi). Secara ringkas Luther menolak beberapa pandangan sakramen yang dilakukan Katolik yaitu:

(1)   Praktik kebiasaan “komuni dalam satu jenis” yang hanya memberi kaum awam roti saja, bukannya roti dan anggur. Menurut Luther, hal ini tidak benar dan tak mempunyai teladan alkitabiah atau teladan patristis.

(2)   Ajaran tentang transubstansiasi. Bagi Luther, Kristus benar-benar hadir dalam ekaristi – bukan suatu teori tertentu.

(3)   Ide bahwa pendeta menawarkan atau melakukan suatu pekerjaan yang baik atau menyerahkan korban atas nama umat adalah sama sekali tidak alkitabiah. Bagi Luther, sakramen terutama merupakan suatu janji akan pengampunan dosa yang diterima melalui iman oleh jemaat.

Bagi Luther, Perjamuan Kudus itu adalah kehadiran nyata. Luther memang berbeda pendapat dengan Aristotelianisme, namun keberatan Luther bukanlah terhadap “kehadiran nyata”, melainkan terhadap suatu cara khusus untuk menjelaskan kehadiran itu. Bagi Luther, Allah bukan di belakang sakramen-sakramen, melainkan juga Ia ada di dalam-nya. Pandangan Luther bahwa roti dan anggur itu benar-benar menjadi tubuh dan darah Kristus bukanlah merupakan hasil konservatisme teologis belaka. Bagi Luther, kehadiran nyata itu sungguh-sungguh merupakan arti yang sebenarnya dari teks Alkitab, seperti Matius 26:26: hoc est corpus meum, “inilah tubuh-Ku”.

Ketiga, Pandangan Zwingli mengenai Sakramen-sakramen. Zwingli memahami bahwa sakramen adalah sebagai jaminan kesetiaan Allah kepada kita, dan sakramen itu merujuk pada jaminan dan kesetiaan kita satu terhadap yang lain. Zwingli berpendapat bahwa suatu “sakramen” pada dasarnya merupakan suatu deklarasi kesetiaan dari seseorang kepada suatu kelompok (Zwingli memakai istilah Jerman, Pfichtszeichen, “suatu demonstrasi kesetiaan”). Zwingli mengembangkan bahwa sakramen-sakramen berada di bawah atau lebih rendah dari pemberitaan Firman Allah. Menurutnya, khotbah melahirkan iman; sakramen-sakramen hanya menyediakan kesempatan yang dengannya iman itu dapat didemonstrasikan di hadapan umum. Zwingli mengembangkan arti ekaristi dengan analogi kemiliteran. Bagi Zwingli, hakikat ekaristi itu sendiri ditegaskan dalam Matius 26:26: hoc est corpus meum, “inilah tubuh-Ku”. Menurut Zwingli, dalam ayat tersebut seolah-olah Yesus berkata, “Aku mempercayakan kepada kamu suatu simbol penyerahan diri dan wasiat saya, untuk membangkitkan di dalam kamu peringatan akan Aku dan kebaikan-Ku kepadamu sehingga ketika kamu melihat roti ini dan cawan ini, … kamu boleh mengingat Aku yang diserahkan untuk kamu…” Zwingli sangat dipengaruhi pemikiran Wessel Gansfort (1420-1489) yang dikembangkan oleh Cornelius Hoen tentang kehadiran nyata Kristus dalam Perjamuan Kudus. Bagi Zwingli dan Hoen ada dua hal dalam ekaristi yaitu: pertama, ekaristi merupakan sebuah cincin mempelai laki-laki yang diberikan kepada mempelai perempuan. Artinya ekaristi itu merupakan jaminan cinta Allah kepada manusia. Kedua, peringatan akan Kristus di dalam ketidakhadiran-Nya.

Perbedaan yang mendasar antara Luther dan Zwingli adalah dalam hal kehadiran nyata Kristus dalam ekaristi. Bagi Luther, Kristus hadir di dalam ekaristi. Namun, Zwingli menunjukkan bahwa Kristus sekarang “duduk di sebelah kanan Allah” sehingga Kristus tidak hadir di dalam ekaristi. Kristus tidak dapat hadir di dua tempat pada saat yang bersamaan.

Keempat, Luther versus Zwingli: Ringkasan dan Evaluasi. Secara ringkas pemikiran Luther dan Zwingli dipaparkan oleh McGrath sebagai berikut:

(1)   Kedua reformator itu menolak skema sakramental Abad Pertengahan yang mengatakan bahwa ada tujuh sakramen sementara dan mengatakan hanya dua sakramen yakni baptisan dan ekaristi yang disahkan Perjanjian Baru.

(2)   Luther menganggap Firman Allah dan sakramen-sakramen mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Sakramen-sakramen mampu menciptakan iman. Bagi Zwingli, Firman Allah itulah yang menciptakan iman dan sakramen-sakramen yang mendemonstrasikan iman itu di hadapan umum.

(3)   Kedua reformator sama-sama mempraktikkan tradisi baptisan anak walau berbeda pemahamannya. Bagi Luther, sakramen-sakramen dapat menciptakan iman; dan karena itu, baptisan dapat menghasilkan iman di dalam diri seorang bayi. Bagi Zwingli, sakramen-sakramen mendemonstrasikan kesetiaan dan keanggotaan pada suatu komunitas, karena itu, baptisan mempertunjukkan bahwa seorang bayi terhisab ke dalam suatu komunitas.

(4)   Luther jauh lebih tradisional dalam pendekatannya terhadap perayaan ekaristi dibanding Zwingli. Luther masih mempertahankan nama “Misa” tetapi tidak setuju menjadikannya sebagai suatu kurban yang dirayakan secara mingguan – lebih baik diadakan dalam bahasa daerah sehari-hari – sebagai ibadah utama hari Minggu. Namun, Zwingli menghapuskan nama “Misa” dan mengemukakan supaya dirayakan hanya tiga atau empat kali dalam setahun.

(5)   Luther dan Zwingli tidak dapat sepakat mengenai arti dari kata hoc est corpus meum, “inilah tubuh-Ku” (Matius 26:26) yang sangat penting dalam ekaristi. Bagi Luther, est berarti “adalah”; bagi Zwingli, kata itu berarti “menandakan”.

(6)   Mereka berdua menolak ajaran transubstansiasi dari Abad Pertengahan. Luther masih menyerap sebagian ajaran Aristotelianisme tentang kehadiran nyata Kristus dalam ekaristi; namun Zwingli menolak keduanya, istilah dan idenya. Bagi Zwingli, Kristus diperingati di dalam ketidakhadiran-Nya dalam ekaristi.

(7)   Zwingli menyatakan bahwa, oleh karena Kristus sekarang duduk di sebelah kanan Allah, Ia tidak dapat hadir di mana pun. Luther menentang pernyataan Zwingli dengan mengatakan bahwa “Kristus hadir di mana-mana“.

Kelima, Pandangan Calvin tentang Sakramen-sakramen. Menurut Calvin, sakramen-sakramen dilihat sebagai yang memberikan identitas; tanpa sakramen-sakramen, tidak ada gereja Kristen. Calvin menawarkan dua definisi tentang sakramen, pertama sebagai “simbol eksternal yaitu bahwa Tuhan memeteraikan pada hati nurani kita janji-janji-Nya akan kehendak yang baik kepada kita demi menopang kelemahan iman kita”; dan kedua, sebagai “tanda yang kelihatan dari perkara yang suci atau bentuk yang dapat kelihatan dari anugerah yang tidak kelihatan”. Bagi Calvin, sakramen-sakramen merupakan akomodasi (bantuan) yang penuh anugerah bagi kelemahan kita.

Pemahaman Calvin mengenai baptisan dapat dipandang sebagai penggabungan unsur-unsur Zwingli dan Luther. Menurut Calvin, baptisan adalah tanda inisiasi yang memungkinkan kita diterima ke dalam persekutuan-persekutuan masyarakat gereja. Lebih jauh Calvin berpendapat bahwa baptisan juga membawa manfaat yang lain karena baptisan itu memperlihatkan kepada kita keberadaan kita yang dimatikan di dalam Kristus dan kehidupan kita yang baru di dalam-Nya. Singkatnya, Calvin mendukung dengan kuat keabsahan baptisan anak.  

Keenam, Tanggapan Katolik: Pandangan Konsili Trente tentang Sakramen-sakramen. Konsili Trente memerlukan beberapa waktu lamanya untuk menanggapi pandangan-pandangan tentang sakramen yang dihubungkan dengan Reformasi. Misalnya, sesi ketujuh dari Konsili Trente mencapai kesimpulannya pada tanggal 3 Maret 1547 dan mengeluarkan “Keputusan tentang Sakramen-sakramen”. Keputusan ini berisi tiga belas peraturan umum (kanon) umum yang secara eksplisit mengutuk pandangan-pandangan para reformator mengenai sakramen dan pemberlakuannya. Pada tanggal 11 Oktober 1551, Konsili Trente akhirnya menyatakan kedudukan yang positif dari Gereja Katolik Roma dalam “Keputusan tentang Sakramen yang Paling Suci, Ekaristi”. Konsili Trente sangat kuat mempertahankan baik ajaran maupun terminologi transubstansiasi. “Oleh penyucian atas roti dan anggur suatu perubahan terjadi atas keseluruhan substansi dari roti itu menjadi substansi tubuh Kristus dan keseluruhan substansi anggur itu menjadi darah Kristus. Perubahan ini pada tempatnya dan dengan tepat dinamai oleh Gereja Katolik yang Kudus sebagai transubstansiasi”.

2.9 Bab IX: AJARAN TENTANG GEREJA[17]

Ajaran tentang gereja ini timbul sebagai akibat dari dua pemahaman yang berbeda dari lawan-lawan para reformator magisterial yakni Katolik dan Reformasi radikal. Menurut Katolik, gereja merupakan suatu lembaga historis, kelihatan, yang mempunyai kesinambungan historis dengan gereja apostolis. Bagi reformasi radikal, gereja yang benar ada di sorga dan tidak ada lembaga apa pun di bumi ini berhak memperoleh nama “gereja Allah”. Para reformator magisterial berusaha untuk menyatakan dasar di tengah-tengah dua pandangan tersebut. Luther menyatakan bahwa ajarannya tentang pembenaran hanya oleh iman merupakan artculus stantis et cadentis ecclesiae, “pasal yang dengannya gereja itu berdiri atau jatuh”.

Pertama, Konteks pandangan-pandangan Reformasi tentang gereja. Pada dasarnya para reformator tidak berkeinginan untuk memisah dari Katolik dan bahkan Luther sendiri mempunyai kebencian yang mendalam terhadap skisma. Usaha-usaha rekonsiliasi pun selalu diusahakan oleh para reformator agar tidak terjadi pemisahan diri dari Katolik. Kalangan reformasi merindukan sebuah konsili pembaruan. Pengakuan Augsburg (1530) sebenarnya menyatakan garis-garis besar dari kepercayaan Lutheran yang berkeinginan untuk berdamai dengan Katolikisme. Namun harapan itu pun hacur dalam tahun1540-an. Percakapan Regensburg tampaknya menawarkan harapan untuk berekonsiliasi; ketika itu sekelompok teolog Protestan dan Katolik bertemu untuk mendiskusikan perbedaan-perbedaan mereka. Diskusi-diskusi itu berakhir dengan kegagalan. Harapan terakhir dalam berekonsiliasi ini adalah Konsili Trente. Kardinal Reginald Pole, berharap bahwa konsili itu akan menjadi suatu yang membawa perdamaian dengan orang-orang Protestan. Namun, dalam kenyataannya konsili itu mengadili dan mengutuk ide-ide pokok Protestantisme. Harapan-harapan untuk terjadinya rekonsiliasi hancur. Sejak tahun 1540-an inilah teori tentang gereja mulai dibicarakan.

Kedua, Pandangan Luther mengenai hakikat gereja. Pandangan Luther tentang hakikat gereja pada mulanya menekankan bahwa Firman Allah berjalan terus untuk menaklukkan dan ke mana pun ia menaklukkan dan mendapatkan kesetiaan yang benar-benar kepada Allah ada gereja. Menurut Luther, pemberitaan Injil adakah sesuatu yang esensial bagi identitas gereja. “Di mana firman itu ada, di sana ada iman, di mana ada iman, di sana ada gereja yang benar”. Gereja yang kelihatan dibentuk oleh pemberitaan Firman Allah. Dengan demikian menurut Luther, pengertian gereja itu bersifat fungsional bukan bersifat historis. Yang mengesahkan suatu gereja atau pengemban jabatannya bukanlah kesinambungan historis dengan gereja apostolis, melainkan kesinambungan teologis.

Ketiga, Pandangan Calvin mengenai Gereja[18]. Calvin dikenal sebagai reformator yang paling banyak bergumul mengenai ajaran tentang gereja. Hakikat gereja menurut Calvin adalah bahwa tanda-tanda dari gereja yang benar adalah bahwa Firman Allah itu harus dikhotbahkan dan sakramen-sakramen dilayankan secara benar. Dalam perkembangan selanjutnya, Calvin membentuk Peraturan-peraturan Gereja (1541) yang memberikan kepada gereja Jenewa bentuk dan karakteristik dan identitasnya. Calvin menyadari bahwa sebuah gereja membutuhkan kedisiplinan dan tertata dengan baik dan mempunyai struktur. Aspek yang paling menonjol dan kotroversial dari sistem Calvin tentang pemerintahan gereja adalah Konsistori (Majelis Jemaat). Calvin memahami konsistori terutama sebagai suatu peralatan untuk “menjaga” ortodoksi keagamaan. Di sisi lain, Calvin melihat bahwa gereja – maksudnya lembaga, bukan gedungnya – sangat penting dan menempati urutan yang pertama. Menurutnya, lembaga gereja adalah suatu peralatan yang perlu, bermanfaat, diberikan dan disahkan oleh Allah untuk pertumbuhan serta perkembangan kerohanian kita. Calvin membedakan antara gereja yang kelihatan dan gereja yang tidak kelihatan[19]. Gereja yang kelihatan adalah kumpulan orang-orang percaya, suatu kelompok yang kelihatan. Namun, gereja juga adalah persekutuan dari orang-orang kudus dan persekutuan dari orang-orang terpilih – suatu kesatuan yang tidak kelihatan. Sementara itu, Luther memandang organisasi gereja sebagai suatu perkara yang secara historis kebetulan, tidak memerlukan “resep” teologis.

2.10 Bab X: PEMIKIRAN POLITIK REFORMASI[20]

Pada bab ini McGrath membahas pemikiran para reformator tentang gereja, politik, pemerintahan dan pelayanan. McGrath membagi bab ini dalam lima sub bab yaitu:

Pertama, Reformasi radikal dan kekuasaan sekuler. Tokoh gerakan ini memang sudah memberikan pemahamannya tentang gereja, bahwa gereja merupakan “suatu persekutuan dari orang-orang benar”, yang bertentangan dengan dunia.  Menurut McGrath, pernyataan yang paling jelas dari sikap umum golongan Anabaptis terhadap penguasa sekular dapat ditemukan dalam “Pengakuan Schleitheim” (1527), khususnya pasal  keenam dan ketujuh menjelaskan dan membenarkan kebijkasanaan untuk tidak melibatkan diri dalam masalah-malsah sekular dan tentang sikap tanpa perlawanan kepada penguasa sekular. Ananbaptisme mempertahankan disiplin di dalam persekutuan-persekutuannya melalui “pengucilan”, suatu alat yang digunakan untuk mengucilkan anggota-anggota gereja dari jemaat-jemaat Anabaptis. “Pengucilan” itu dalam pelaksanaannya dilihat sebagai pencegahan dan pemulihan, memberikan baik rangsangan (insentif) kepada individu-individu yang dikucilkan untuk mengubah cara hidup mereka dan juga peringata (disinsentif) bagi orang-orang lain agar tidak meniru mereka dalam dosa-dosanya.

Kedua, Ajaran Luther mengenai Dua Kerajaan.[21] Ajaran “Dua Kerajaan” ini merupakan lanjutan pengajaran Luther atas “imamat am semua orang percaya” dalam risalahnya, Kepada para Pangeran Bangsa Jerman” (1520). Luther berpegang teguh bahwa perbedaan itu murni dalam hal jabatan, bukan status. Tidak ada tempat di dalam kekristenan bagi pemahaman apa pun tentang suatu kelas profesional di dalam gereja yang mempunyai hubungan spiritual yang lebih dekat dengan Allah daripada rekan-rekan atau anggota-anggotanya. Namun, tidak setiap orang dapat diperkenankan “bertindak” sebagai seorang imam atau pendeta. Prinsip fundamental Luther adalah bahwa semua orang Kristen berbagi bersama dalam status (Stand) keimaman yang sama oleh karena baptisan mereka; namun, mereka boleh melakukan fungsi-fungsi (Amt) yang berbeda dalam persekutuan iman, yang merefleksikan anugerah-anugerah dan kemampuan-kemampuan yang diberikan Allah secara individu kepada mereka. Jadi, setelah menghapus perbedaan dari Abad Pertengahan antara tingkatan “temporal” dan “spiritual”, Luther melanjutkan untuk mengembangkan suatu teori alternatif tentang bidang-bidang kekuasaan yang didasarkan atas suatu perbedaan antara “Dua Kerajaan” atau “Dua Pemerintahan”.

Luther menarik suatu perbedaan antara pemerintahan “spiritual” dan “duniawi” atas masyarakat. Pemerintahan “spiritual” dari Allah diberlakukan melalui Firman Allah dan tuntunan Roh Kudus. Orang percaya yang “berjalan menurut Roh” tidak memerlukan tuntunan lebih lanjut lagi dari siapa pun tentang bagaimana ia seharusnya bertindak. Pemerintahan “duniawi” Allah diberlakukan melalui raja-raja, pangeran-pangeran dan hakim-hakim, dengan mempergunakan pedang dan hukum negara. Namun, etika sosial Luther menyatakan bahwa dua moralitas yang sama sekali berada berdampingan: suatu etika pribadi Kristen, yang merefleksikan ajaran tentang kasih yang terwujud dalam Khotbah di bukit. Jadi, Allah memerintah gereja dengan Roh Kudus melalui Injil dalam suatu cara yang dari dirinya semua paksaan disingkirkan; dan Ia memerintah dunia dengan pedang kekuasaan sekular. Hakim-hakim berwenang untuk memakai pedang guna memaksakan hukum, bukan karena kekerasan dibenarkan, tetapi oleh karena kekerasa dari dosa manusia. Seandainya tidak ada dosa manusia, tidak perlu ada paksaan. Dengan demikian, kewenangan spiritual gereja bersifat membujuk (persuasif), tidak memaksa, dan menyangkut jiwa seorang individu daripada tubuhnya atau harta miliknya. Kewenangan temporal dari negara bersifat memaksa daripada membujuk serta menyangkut tubuh dan harta milik seorang individu daripada jiwanya.

Ketiga, Pandangan Zwingli mengenai Negara dan Pemerintahan. Bagi Zwingli, “gereja” dan “negara” semata-mata merupakan perbedaan cara melihat atas kota Zurich daripada merupakan badan-badan yang terpisah. Kehidupan negara tidaklah berbeda dari kehidupan gereja, dalam arti masing-masing menuntut apa yang dituntut oleh yang lain. Baik pendeta maupun penguasa, keduanya, taat kepada Allah dalam arti mereka telah dipercayakan untuk menegakkan peraturan Allah atas kota itu.

McGrath mencatat beberapa kesejajaran teori-teori tentang pemerintahan antara Luther dan Zwingli yaitu:

(1)   Keduanya mempertahankan bahwa kebutuhan akan pemerintahan itu adalah akibat dari dosa.

(2)   Keduanya mengakui atau melihat bahwa tidak semua anggota masyarakat itu adalah orang-orang Kristen.

(3)   Orang-orang yang menjalankan kekuasaan dalam masyarakat, melakukan dengan wewenang dari Allah.

(4)   Dalam melawan orang-orang radikal, keduanya berpegang teguh bahwa orang-orang Kristen boleh memegang jabatan pemerintahan.

(5)   Keduanya menarik suatu perbedaan antara moralitas pribadi dan moralitas umum.

(6)   Keduanya membedakan tipe-tipe kebenaran yang dikaitkan dengan orang Kristen dan negara.

Keempat, Pandangan Bucer mengenai Negara dan Pelayanan. Bucer menunjukkan bahwa di dalam periode Perjanjian Baru, kekuasaan-kekuasaan dunia adalah kekuasaan yang bukan Kristen. Karena itu, Allah merasa perlu untuk mempergunakan cara-cara lain – seperti dengan perantara Roh Kudus – untuk memelihara dan mengembangkan gereja-Nya. Bagi Bucer, merupakan hal yang aksiomatis bahwa kekuasaan kehakiman bersifat ilahi dan terbuka bagi pimpinan atau dorongan Roh Kudus. Bucer memandang “kota” dan “gereja” sedemikian erat hubungannya sehingga naluri alamiah untuk memelihara kehidupan bermasyarakat itu sendiri secara langsung memajukan maksud Reformasi.

Kelima, Pandangan Calvin mengenai Negara dan Pelayanan.[22] Bagi Calvin, penguasa politis tidak diizinkan untuk meniadakan hal-hal spiritual. Ketika tatanan yang ada itu berlalu pada hari penghakiman, tidak akan ada lagi kebutuhan untuk suatu kekuasaan politis – tetapi selagi manusia masih tetap terikat pada bumi ini, kekuasaan politis dirasa esensial supaya “memelihara dan mempertahankan ibadah lahiriah kepada Allah, untuk menjaga ajaran yang murni dan kondisi dari gereja, untuk membiasakan kelakuan kita dengan keadilan umum, untuk memperdamaikan seseorang dengan yang lain, untuk menghargai perdamaian dan ketentraman”. Calvin memberikan kepada penguasa-penguasa dua peran: pemeliharaan ketertiban politis dan gerejawi dan penetapan akan pengajaran doktrin yang benar. Bagi Calvin, baik penguasa-penguasa maupun pendeta-pendeta menjalankan tugas yang sama, perbedaan di antara mereka terletak dalam alat-alat yang diperoleh mereka dan lingkungan kekuasaan mereka masing-masing.

2.11 Bab XI: PENGARUH PEMIKIRAN REFORMASI ATAS SEJARAH[23]

Dalam bab terakhir ini McGrath mencoba memamparkan pengaruh pemikiran reformasi atas sejarah. Bagian kesimpulannya ini bertujuan untuk meyelidiki beberapa cara yang di dalamnya ide-ide keagamaan dari Reformasi itu dapat dikatakan telah mengubah sejarah, entah dengan meletakkan dasar-dasar untuk sikap-sikap dan pandangan-pandangan yang baru atau menjauhkan halangan-halangan intelektual bagi perkembangan-perkembangan selanjutnya. Bab ini dibagi dalam enam sub bab yaitu:

Pertama, Sikap menerima dunia. Reformasi bersaksi bagi suatu pemutaran haluan yang luar biasa dalam sikap-sikap terhadap tatanan sekular. Kekristenan monastis (biara), yang telah menjadi sumber dari semua teologi Kristen dan tulisan-tulisan kerohanian yang terbaik selama Abad Pertengahan, memperlakukan dunia dan mereka yang hidup dan bekerja di dalamnya dengan semacam kehinaan tertentu. Orang Kristen yang benar akan menarik diri dari dunia dan memasuki ketenteraman spiritual dari suatu biara. Sementara, bagi reformator-reformator, panggilan Tuhan yang sesungguhnya dari seorang Kristen terletak dalam melayani Tuhan di dunia ini. Usaha yang benar dari kehidupan Kristen adalah di dalam kota-kota, pasar-pasar, dan dewan-dewan dari dunia sekular, bukan dalam isolasi yang begitu hebat di sel/kamar biara. Selama Abad Pertengahan, biara-biara menjadi semakin dikucilkan dari rakyat biasa. Pusat-pusat perkembangan pemikiran dan kehidupan Kristen secara bertahap bergeser dari biara-biara ke tempat-tempat umum, misalnya kota-kota besar di Eropa menjadi tempat lahir dan ujian cara-cara baru pemikiran dan perilaku Kristen.

Kedua, Etika Kerja Protestan. Dalam tradisi bangsawan Roma kuno, kerja adalah sebagai hal yang merendahkan status mereka artinya orang-orang yang memilih bekerja untuk hidup adalah orang-orang Kristen kelas dua. Reformasi telah mengubah sikap-sikap seperti itu secara pasti dan tidak dapat diabaikan. Bagi reformator-reformator, tidak ada perbedaan kerja spiritual dan temporal, kerja suci dan sekular. Semua kerja manusia, betapa pun rendahnya, sanggup memuliakan Allah. Kerja merupakan suatu perbuatan memuji Allah – suatu perbuatan yang secara potensial menghasilkan pujian bagi Allah. Menurut Luther, “Seluruh dunia dapat dipenuhi dengan pelayanan kepada Allah – bukan hanya gereja-gereja, melainkan juga rumah, dapur, gudang, bengkel, dan ladang”. Baik Luther maupun Calvin memperhatikan pentingnya kegiatan yang produktif bagi harga diri orang Kristen. Bagi Calvin, kewajiban manusia yang umum adalah bekerja di dalam ladang Tuhan, dalam cara apa pun sepadan dengan anugerah dan kecakapan yang diberikan Allah kepada seseorang pada satu pihak dan kebutuhan dari situasi pada pihak lain. Kewajiban umum untuk bekerja adalah penyamarataan sosial yang luar biasa, suatu peringatan bahwa semua manusia diciptakan sama derajatnya oleh Allah.

Ketiga, Pemikiran Reformasi dan Lahirnya Kapitalisme. Menurut Weber kapitalisme adalah suatu hasil langsung dari Reformasi Protestan. Weber juga menekankan dalam karyanya, Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, bahwa ia tidak bermaksud apa pun untuk mempertahankan tesis yang bodoh dan bersifat doktriner bahwa semangat (spirit) kapitalisme seperti itu … hanya dapat muncul sebagai hasil pengaruh-pengaruh tertentu dari Reformasi. Menurut Weber, sebenarnya kapitalisme itu sudah ada jauh sebelum Reformasi. Sikap-sikap kapitalis merupakan ciri dari pangeran-pangeran pedagang Abad Pertengahan yang disebut dengan “adventurer capitalism“ (kapitalisme petualang). Kapitalisme ini bersifat oportunistik dan tidak mengindahkan moral; ia cenderung menghabiskan keuntungan kapitalnya dalam gaya hidup bermewah-mewah dan tidak bermoral. Namun, setelah kebangkitan Protestantisme melahirkan pra-kondisi psikologis yang penting sekali untuk perkembangan kapitalisme modern. Pengusaha-pengusaha Protestan yang sukses tidak lagi merasa malu dengan kegiatan-kegiatan produktif mereka selagi masih hidup dan pada saat kematiannya meninggalkan uang guna membantu orang-orang lain. Orang-orang Calvinis, karena yakin akan keselamatan pribadi mereka, mampu mengikatkan diri dalam kegiatan duniawi tanpa kekuatiran yang serius menyangkut keselamatan mereka sebagai suatu konsekuensi.

Keempat, Paham-paham mengenai Hak Azasi Manusia dan pembunuhan yang dapat dibenarkan terhadap seorang raja. Menurut McGrath, Reformasi mengubah wajah politik di Eropa, sebagian melalui perubahan-perubahan politik dan sosial yang ditimbulkannya dan sebagian lagi oleh karena beberapa ide baru berbahaya yang dilepaskannya atas suatu Eropa yang tidak diduga sebelumnya. Pendapat lain dikemukakan oleh Quentin Skinner, bahwa Reformasi dan lebih khusus lagi perkembangan Calvinisme, merupakan instrumen yang menolong dalam megefektifkan peralihan dari suatu pemahaman Abad Pertengahan tentang tatanan dunia, yang dilandaskan atas “suatu keteraturan yang dibayangkan adalah wajar dan abadi” pada suatu tatanan modern “yang didasarkan atas perubahan”.  Calvin sebetulnya menetapkan bahwa penguasa – siapa pun juga – yang melewati batas-batas kewenangannya, yang disahkan oleh Allah, berhenti menjadi penguasa karena alasan itu dan tidak dapat lagi mempergunakan hak-hak dan privelese dari kekuasaan itu.

Kelima, Pemikiran Reformasi dan munculnya ilmu-ilmu pengetahuan alam. Menurut McGrath, sekumpulan besar penelitian sosiologis, yang merentang ke belakang lebih dari satu abad, telah memperlihatkan bahwa ada perbedaan-perbedaan yang konsisten antara kemampuan-kemampuan dari tradisi Protestan dan Katolik Roma di dalam kekristenan untuk menghasilkan ahli-ahli ilmu pengetahuan alam kelas satu. Dalam penelitian Alphonse de Candolle tentang jumlah anggota orang asing dari Academie des Sciences di Paris periode 1666-1883, orang-orang Protestan tampak jauh lebih baik menumbuhkan penelitian ilmu-ilmu pengetahuan alam daripada orang-orang Katolik Roma. Menurut Dickson White, Calvin menghargai astronomi dan ilmu kedokteran. Calvin memberikan suatu motivasi religius yang baru untuk penyelidikan ilmiah atas alam semesta. Confessio Belgica (1561), suatu pernyataan iman kaum Calvinis yang mempunyai pengaruh yang khusus di Dataran Rendah, menyatakan bahwa alam adalah “di hadapan mata kita sebagai suatu kitab yang paling indah di dalamnya semua benda ciptaan, entah besar atau kecil, bagaikan surat yang memperlihatkan untuk kita hal-hal yang tidak kelihatan yang asalnya dari Allah”.

Sumbangan besar kedua dari Calvin adalah menyingkirkan halangan utama untuk perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan alam: literalisme alkitabiah. Calvin mengemukakan bahwa Alkitab itu harus dilihat terutama bersangkut-paut dengan pengenalan akan Yesus Kristus. Alkitab bukan buku teks mengenai astronomi, geografi atau biologi.

Keenam, Kesimpulan. Dalam bagian kesimpulan ini, McGrath mengatakan bahwa adalah tidak mungkin di dalam ruangan yang terbatas yang tersedia untuk memberikan suatu analisis yang rinci tentang pengaruh yang tepat dari ide-ide Reformasi atas perjalanan sejarah umat manusia yang berikutnya. Tetapi apa yang telah dikatakan dalam pasal terakhir ini menunjukkan bahwa ide-ide mempunyai potensi untuk mengubah segala sesuatu. Suatu sejarah yang mengabaikan ide-ide tidak menyampaikan ceritanya dengan baik dan tentu saja tidak menuturkannya secara penuh. Reformasi adalah suatu gerakan yang di dalamnya ide-ide keagamaan memainkan peran yang utama. Tetapi menuturkan cerita tentang Reformasi tanpa mengakui akan kekuatan imanjinatif dari ide-ide keagamaan adalah sesuatu yang tidak masuk akal.

3.      TANGGAPAN HISTORIS

A.     ISI BUKU

Buku ini sangat menolong setiap pembaca untuk memahami sejarah pemikiran Reformasi. Jika membaca buku ini, maka kita akan segera akan dibimbing masuk ke ide-ide Reformasi dan pengaruhnya bagi perkembangan sejarah itu sendiri. McGrath sangat menolong para pembaca buku ini untuk lebih memudahkan memahami apa yang menjadi pokok-pokok persoalan iman yang terjadi selama masa Reformasi. Pokok-pokok yang dibahas McGrath dalam buku ini merupakan inti pati dari pemikiran Reformasi yang terus menerus digali dan dikembangkan hingga saat ini.

Memang harus diakui bahwa bukan hanya McGrath saja yang menulis buku tentang pemikiran para reformatoris ini. Masih ada penulis lain seperti Linwood Urban dalam bukunya Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen[24]. Namun buku McGrath ini berbeda dengan buku Urban tadi. Urban membahas topik-topik pemikiran Kristen secara terpisah dari sejarah yang melatarbelakanginya. Sementara McGrath khusus membahas sejarah pemikiran reformasi saja sehingga memudahkan kita untuk memahami ide-ide dan ajaran-ajaran yang dibicarakan selama proses reformasi itu berlangsung.

McGrath sendiri mengakui bahwa pembahasannya dalam buku ini bukan bertujuan untuk membahas pemikiran seluruh para reformator dari segala lapisan. McGrath lebih memfokuskan pembahasannya tentang pemikiran para reformator magisterial seperti Luther, Zwingli, Bucer dan Calvin. Seluruh uraian yang dipaparkan McGrath dalam bukunya ini lebih mengarah pada pemikiran  kepada para reformator tadi.

Memang dalam buku ini McGrath tidak membahas topik per topik begitu dalam karena buku ini hanya memaparkan benang merah sejarah pemikiran para reformator magisterial saja. McGrath membahas topik-topik tertentu lebih dalam dalam bukunya yang lain misalnya: Justification by Faith (1990), dan Iustitia Dei (2005) yang membahas “Pembenaran hanya oleh iman” – serta buku lainnya Luther’s Theology of the Cross (1985), dan The Mistery of the Cross (1988) – yang membahas teologi Salib.

Buku ini memiliki kekhususannya sendiri sebab di dalam setiap akhir uraian setiap topik selalu dirujuk buku-buku bacaan lanjutan. Kekhususan lainnya adalah bahwa dalam buku ini dilampirkan banyak hal yang berkaitan dengan topik-topik yang dibahas dalam buku ini.

B.     REFLEKSI

Jika melihat pemikiran para tokoh reformator khususnya reformator magisterial ini, maka banyak hal yang patut disyukuri karena pemikiran mereka bisa mengubah paradigma dunia saat itu menuju ke pembaruan peradaban akal dan budi manusia. Manusia semakin menyadari dirinya di hadapan Tuhan sehingga semakin bertanggung jawab secara pribadi kepada Tuhan.

Pemikiran tokoh reformator magisterial ini sebenarnya hingga sekarang “belumlah” berakhir. Namun pemikiran mereka ini masih terus digumuli dan dikembangkan oleh para pengikut-pengikutnya hingga kini. Perdebatan-perdebatan teologi yang mereka mulai dulu sejak Abad Pertengahan hingga kini masih hidup di berbagai lapisan baik di kalangan Kontra-Reformasi (Katolik), Reformasi Magisterial dan Reformasi Radikal. Ada perdebatan yang membawa kebaikan, namun ada juga perdebatan yang membawa pemisahan. Hal yang sangat baik dari gerakan reformasi magisterial ini ialah penerjemahan Alkitab. Penerjemahan Alkitab ini sangat menentukan perkembangan kekristenan selanjutnya. Mengapa? Pertama, dengan terjemahan itu maka untuk pertamakalinya “bahasa rakyat” (vernacular language) mampu menjadi wahana pergulatan iman, bahkan sarana yang melaluinya Sabda Allah menyapa manusia. Kedua, terjemahan itu sekaligus meruntuhkan dominasi bahasa Latin, yakni bahasa elitis, bahasa kaum terdidik dan bahasa birokrat gerejawi (klerus). Ketiga, dengan runtuhnya bahasa Latin sebagai “bahasa bersama yang dipaksakan”, maka terbuka lebar-lebar ruang bagi pluralisasi bahasa, dan dengannya, pluralisasi keyakinan. Keempat, pluralisasi tersebut bertemu dengan arus zaman dan menjadi impetus kuat bagi terbentuknya nation-states, negara-bangsa negara-bangsa yang terlepas dari imperium Takhta Suci. Kelima, runtuhnya hierarkhi gerejawi yang selama ini memayungi dan mengontrol kehidupan beragama, termasuk kehidupan bermasyarakat.[25]

Perkembangan yang paling sungguh luar biasa seperti yang dipaparkan oleh McGrath adalah bahwa reformasi magisterial ini mampu mengubah paradigma dunia dari “menjauhi dunia” menjadi “menerima dunia”, kemudian lahirlah etika kerja Protestantisme, kapitalisme, penghargaan terhadap hak-hak azasi manusia, dan munculnya ilmu-ilmu pengetahuan alam. Perkembangan ini masih terasa hingga saat ini. Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah semangat kapitalisme Protestantisme ini masih berpihak kepada kerakyatan atau menjadi musuh masyarakat. Sebab banyak kapitalis yang akhirnya tidak berpihak kepada kerakyatan yang menindas rakyat kecil dan yang terpinggirkan. Atau apakah perkembangan ilmu-ilmu teknologi saat ini semakin memperbaiki moral manusia, atau malah sebaliknya merusak iman dan moral manusia itu sendiri.

Memang jika dikaji lebih dalam, setiap golongan dari reformasi ini pengajarannya selalu berlandaskan pada Kitab Suci. Mereka sama-sama menunjukkan argumen-argumennya, bahwa masing-masing golongan lebih alkitabiah dan yang lain tidak alkitabiah. Masing-masing golongan merasa diri “paling benar” yang sesuai dengan Kitab Suci. Padahal Kitab Suci semua golongan reformasi ini adalah sama yaitu ALKITAB. Tetapi mengapa masing-masing saling ngotot dan berpegang teguh pada pendirian dan pemahaman masing-masing? Jawaban sederhananya adalah karena iman. Masing-masing golongan mengimani bahwa ajaran mereka yang lebih benar dan ajaran orang lain tidak benar (sesat). Sepanjang masing-masing golongan masih “merasa benar”, maka sebenarnya tidak akan tercapai suatu pemahaman yang sama akan kebenaran itu sendiri. Oleh sebab itu, maka solusi terbaik dalam hal ini adalah agar setiap golongan reformasi ini saling memegang imannya dan jangan saling menghujat. Pegang iman masing-masing, sebab Tuhan Yesus berkata bahwa manusia diselamatkan karena imannya (bnd. Rm. 3:28).

Jika dilihat perkembangannya di Indonesia, maka setiap golongan dari reformasi ini ada di berbagai daerah di Nusantara ini walaupun tidak secara merata. Namun tidak bisa dikatakan bahwa golongan reformasi tertentu mengklaim diri menguasai sebuah daerah di Nusantara ini. Misalnya, Katolik tidak bisa mengklaim diri sebagai yang paling mendominasi di daerah timur Indonesia, sebab di daerah ini juga golongan reformasi magisterial dan radikal ada dan berada di sana dengan jumlah yang signifikan. Demikian sebaliknya, golongan reformasi magisterial dan radikal tidak bisa mengklaim diri lebih dominan di Indonesia bagian barat, sebab di bagian barat ini juga Katolik memiliki jumlah umat yang banyak juga.

Patut disyukuri bahwa, di Indonesia kendati golongan reformasi ini hidup membaur dan berdampingan di Indonesia, namun di antara golongan yang berbeda ini “tidak pernah” terjadi benturan fisik. Perbedaan di dalam pemahaman iman tidak menjadikan rasa persaudaraan hilang dan rusak. Perbedaan keyakinan harus dilihat sebagai kekayaan iman yang saling mengisi dan mendukung sehingga Kerajaan Allah semakin luas diberitakan ke seluruh dunia ini.

4.      KEPUSTAKAAN

Abineno, J.L.Ch. Johanes Calvin: Pembangunan Jemaat, Tata Gereja dan Jabatan Gerejawi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992.

Abineno, J.L.Ch. Bucer & Calvin, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.

Barr, James  Fundamentalisme, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.

David & Basinger,  Randall (Ed.), Predestinasi & Kehendak Bebas, Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1995.

Husbands, Mark and Treier, Daniel J. (Ed.), What’s at Stake in the Current Debates Justification, Illionis: InterVarsity Press, 2004.

Jonge, Christiaan de Apa itu Calvinisme?, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001

Kuyper, Abraham Lectures nn Calvinism (Ceramah-ceramah mengenai Calvinisme), (terj. Peter Suwadi Wong) Surabaya: Momentum, 2005.

Lane, Anthony N.S. Justification by Faith in Catholik – Protestan Dialogeu An Evangelical Assesment, London – New York: T & T Clark, 2002.

McGrath, Alister E. Justification By Faith, Michigan: Grand Rapids, 1990.

McGrath, Alister E.  Sejarah Pemikiran Reformasi, (terj.Liem Sien Kie) Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.

McGrath, Alister E. Iustitia Dei, New York: Cambridge University, 2005.

Naftallino, A. Predestinasi, Jakarta: Logos Heaven Light, 2007.

Palmer, Edwin H. Lima Pokok Calvinisme, (terj. Elsye) Surabaya: Momentum, 2005.

Simorangkir, MSE. Ajaran Dua Kerajaan Luther, Pematangsiantar: Kolportase Pusat GKPI, 2008.

Sumampow, Jeirry dkk., Krisis Gereja Protestan, Jakarta: Keluarga Alumni STT Jakarta, 2004.

Urban, Linwood Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, (terj.Liem Sien Kie), Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.

Williamson, G.I. Pengakuan Iman Westminster, Surabaya: Momentum, 2006


[1] Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, (terj.Liem Sien Kie) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hlm.xiii-xv.

[2] Ibid., hlm.xvi.

[3] Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran …, hlm.1-31.

[4] Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran …, hlm.33-48.

[5] Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran …, hlm.50-82.

[6] Kata enchiridion secara harfiah berarti ‘sesuatu yang dipegang di tangan’ dan menjadi mempunyai dua arti: suatu ‘senjata’ yang dipegang di tangan (yaitu belati) atau suatu ‘kitab/buku’ yang dipegang di tangan (yaitu ‘buku pegangan’).

[7] Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran …, hlm.84-109.

[8] Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran …, hlm.111-153; pembahasan lebih mendalam tentang topik ini diuraikan Alister E.McGrath dalam bukunya yang berjudul Justification by Faith, (Grand Rapids Michigan:Zondervan Publishing House, 1990) dan Iustitia Dei, (New York: Cambridge University, 2005); serta para penulis lainnya seperti: Anthony N.S.Lane, Justification by Faith in Catholic – Protestant Dialogue An Evangelical Assesment, (London – New York: T & T Clark, 2002) dan Mark Husbands and Daniel J.Treier (eds.), What’s at Stake in the Current Debates Justification, (Illionis: InterVarsity Press, 2004).

[9] Bnd, Hans-Peter Grosshans, Tokoh Pemikir Kristen Luther, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm.44 yang mengatakan bahwa ajaran Luther mengenai pembenaran iman tidak berarti bahwa orang dapat mencapai keselamatan tanpa usaha apa pun. Pendekatannya penuh dengan dinamika pengalaman akan rahmat Allah. Allah melakukan segalanya bagi umat-Nya yang terkasih. Dengan pengalaman iman, seseorang ingin berusaha menuju hidup baru. Pengalaman itu menciptakan kehendak untuk membawa hidup seseorang ke dalam kesesuaian dengan kehendak Allah.

[10] Bnd. J.L.Ch.Abineno, Bucer & Calvin, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 71-72.

[11] Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran …, hlm.155-172; bnd. A.Naftallino, Predestinasi, (Jakarta: Logos Heaven Light, 2007); David & Randall Basinger (eds.), Predestinasi & Kehendak Bebas, (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1995).

[12] Bnd. Edwin H.Palmer, Lima Pokok Calvinisme, (terj. Elsye) (Surabaya: Momentum, 2005), hlm. 185-188.

[13] Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran …, hlm.174-203; bahasan ini diuraikan lebih dalam oleh James Barr dalam bukunya yang berjudul Fundamentalisme, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994).

[14] Luther mengikuti semboyan humanis “kembali ke akar” sewaktu pertama kali menerjemahkan Perjanjian Baru yang berbahasa asli Yunani ke dalam bahasa Jerman pada tahun 1521. Bagi Luther, sabda Allah lebih baik disampaikan secara lisan daripada secara tertulis. Injil pada dasarnya adalah berita lisan dan paling baik disampaikan melalui khotbah. Tetapi Luther tidak begitu saja menyamakan Kitab Suci dengan sabda Allah. Ia membedakan antara Kitab Suci sebagai buku yang menampilkan Kitab Suci Gereja Kristen dengan sabda Allah yang menampilkan bagian-bagian Kitab Suci yang digunakan untuk menyapa umat secara langsung, misalnya dalam khotbah-khotbah atau pelayanan pastoral. Luther tidak memahami naskah biblis sebagai kebenaran mutlak. Namun, setiap kali membaca teks Kitab Suci, ia bertanya apakah teks-teks itu mewartakan Kristus yang tersalib dan dibangkitkan dari antara orang mati demi keselamatan semua orang.  Bagi Luther, Kitab Suci adalah satu-satunya sumber dan norma bagi setiap pengetahuan akan Allah (Hans-Peter Grosshans, Tokoh Pemikir …, hlm.46-48).

[15] Seperti yang dikatakan oleh Calvin mengenai hal ini, “Perbedaan antara kami dan pengikut paus adalah mereka percaya bahwa gereja tidak dapat menjadi pilar kebenaran kecuali jika ia memimpin Firman Allah. Kami, pada pihak lain menyatakan bahwa ia menjadi pilar kebenaran justru karena ia dengan penuh rasa hormat menundukkan dirinya ke bawah Firman Allah sehingga kebenaran itu dipelihara olehnya dan diteruskan kepada orang-orang lain melalui tangan-tangannya.”

[16] Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran …, hlm.206-243.

[17] Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran …, hlm.245-261.

[18] Bnd, Abraham Kuyper, Lectures on Calvinism (Ceramah-ceramah mengenai Calvinisme), (terj. Peter Suwadi Wong) (Surabaya: Momentum, 2005), hlm. 63-74. Menurut Abraham, bagi kaum Calvinis, gereja dalam eksistensinya adalah sebuah organisme spiritual, yang mencakup sorga dan bumi, tetapi sekarang memiliki pusat dan titik tolak tindakannya bukan di bumi melainkan di sorga.  Bagi Cavin, bentuk manifestasi gereja di bumi ditemukan dalam individu-individu yang mengakui iman. Oleh sebab itu, gereja di bumi hanya terdiri dari orang-orang yang telah dipersatukan ke dalam Kristus, yang menyembah di hadapan-Nya, hidup di dalam Firman-Nya, dan setia kepada ketetapan-ketetapan-Nya. Dan bagi Calvin, tujuan gereja di bumi ini adalah untuk mempersiapkan orang beriman untuk sorga. Uraian lebih dalam dapat dibaca dalam J.L.Ch.Abineno, Johannes Calvin: Pembangunan Jemaat, Tata Gereja dan Jabatan Gerejawi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992).

[19] Lih. G.I.Williamson, Pengakuan Iman Westminster, (Surabaya: Momentum, 2006), 287-290.

[20] Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran …, hlm.263-284.

[21] Menurut MSE.Simorangkir, ajaran Dua Kerajaan Martin Luther ini berbicara tentang beberapa hal yaitu: pertama, Luther menekankan bahwa kekuasaan berasal dari Allah. Keuda, kekuasaan itu terdiri dari kekuasaan rohani dan kekuasaan duniawi. Ketiga, kekuasaan rohani harus dipisahkan dari kekuasaan duniawi. Keempat, kedua kekuasaan itu sama-sama dipergunakan Allah untuk menciptakan damai di dunia dengan cara yang berbeda (Lih. MSE.Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther, (Pematangsiantar: Kolportase Pusat GKPI, 2008), hlm. v.

[22] Bnd. Christiaan de Jonge, Apa itu Calvinisme?, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001), hlm.263-315.

[23] Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran …, hlm.285-308.

[24] Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, (terj.Liem Sien Kie), (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003).

[25] Bnd. Trisno S.Sutanto, “Merebut ‘Elan Vital Keagamaan: Renungan Hari Reformasi” dalam Jeirry Sumampow, dkk., Krisis Gereja Protestan, (Jakarta: Keluarga Alumni STT Jakarta, 2004), hlm. 155.

1.      PENDAHULUAN

A.     PENULIS[1]

Penulis buku A History oof Lutheranism ini adalah Eric W.Gritsch. Gritsch adalah seorang Profesor Emeritus Sejarah Gereja pada Seminary Gettysburg Lutheran, Pennsylvania. Menurut Gritsch, buku ini memberikan sebuah saringan sejarah gerakan pembaharuan. Lebih tegas lagi Gritsch mengatakan bahwa hingga sekarang (2002) tidak seorang pun yang telah mecoba untuk menulis sejarah umum Lutheranisme. Gritsch mengakui bahwa penulisan buku ini adalah sebuah tugas yang menakutkan dikarenakan perubahan-perubahan sejarah Lutheranisme di seluruh benua di dunia ini. Sehingga Gritsch memutuskan untuk menulis buku ini sebab para mahasiswa Sekolah-sekolah Lutheran, para pendeta, dan yang lainnya selalu mencari sebuah sejarah yang komprehensif. Gritsch menyadari bahwa buku-buku yang membahas sejarah Lutheranisme memang sudah ada, namun buku-buku tersebut hanya membahas sejarah Lutheranisme yang khusus, misalnya Lutheranisme di Amerika Utara, tetapi dari semua penulis buku-buku tersebut tidak seorang pun yang mencoba membahas sejarah Lutheranisme secara menyeluruh (worldwide).

Dalam rangka mempermudah para pembaca buku ini untuk mengerti sejarah Lutheranisme tanpa dibingungkan oleh ragam informasi, maka Gritsch mencoba membuat beberapa volume dan risalah. Gritsch berharap agar banyak orang termotivasi untuk memperbaiki bukunya ini agar semakin sempurna.

Dalam menulis buku ini, Gritsch mencantumkan beberapa sumber-sumber yang menjadi buku pegangannya seperti: Theologische Realenzyklopädie (TRE), The Histrorical Dictionary of Lutheranism, dan The Encyclopedia of the Lutheran Church.

2.      ISI BUKU

Buku ini terdiri dari tujuh bab dan kesimpulan. Dan pada akhir buku ini kita temukan sebuah kronologi sejarah Lutheranisme sejak kelahiran Martin Luther hingga perkembangannya pada abad keduapuluh ini. Kronologi ini sangat menolong kita untuk mengerti garis besar sejarah Lutheranisme di dunia ini.

2.1    KELAHIRAN SEBUAH GERAKAN, 1517-1521[2]

Menurut Gritsch, kelahiran gerakan Lutheranisme ditandai tujuh hal yaitu: kondisi-kondisi bagi Pembaruan, perjuangan Luther, pandangan teologi, kekuatan Status Quo, blueprint bagi Pembaruan, masa sulit dan keputusan, dan jalan buntu.

Pertama, kondisi-kondisi bagi Pembaruan.[3] Kondisi-kondisi yang memungkinkan terpicunya pembauan itu beraneka ragam. Menurut Gritsch ada beberapa kondisi yang mendukung terjadinya pembaruan itu yaitu: (a) setelah berakhirnya masa kesatuan Gereja (1054), Kristendom mengalami skisma yang serius di antara orang Kristen Yunani di Timur (kemudian disebut “Ortodox Timur”) dan orang-orang Kristen Latin di Barat (yang dikenal sebagai “Gereja Katolik Roma” [GKR]). Setengah milenium kemudian, tahun 1517, 95 Dalil Martin Luther melawan penyalahgunaan indulgensia GKR.[4] Hal ini menjadi skisma kedua yang mengakibatkan tumbuhnya “Protestan”.[5] (b) Kaisar-kaisar, raja-raja dan pangeran-pangeran sangat berkompromi dengan paus-paus, uskup-uskup, dan imam-imam untuk menikmati kekuasaan di dalam masyarakat. Paus-paus berbagi kekuasaan dengan pangeran-pangeran. Pada masa jabatan ketigapuluh tujuh, Paus Innocentius III mentransformasikan Vatikan ke dalam kekuatan dunia dan mengumumkan dengan resmi doktrin-doktrin baru. Di antara tahun 1309 dan 1378, tujuh paus memindahkan tempat tinggal mereka ke Avignon, Perancis. (c) Gereja mencoba menjaga umat di dalam jalur ideologi teologi yaitu Allah digambarkan seorang yang murka, yang harus disenangkan melalui penebusan yang dimanifestasikan dalam kepatuhan kepada Gereja, mediator keselamatan itu. Anggota Jemaat didorong untuk berbuat baik untuk memperoleh anugerah ilahi dan berkat sakramental dari bayi hingga kematian (kuburan).[6] (d) Ancaman kebangkitan Islam yang didirikan oleh Muhammad tahun 622. Tentara Turki mengalahkan perang Salib orang Kristen pada Tanah Suci.  (e) Timbulnya pemikiran baru, perdagangan, dan kehidupan. Augsburg, Jerman menjadi sebuah pusat perbankan dan perdagangan di bawah pimpinan Jacob Fugger. Dan pada saat yang bersamaan, Johann Gutenberg merevolusi metode percetakan di Timur. (f) Adanya perlawanan dan tirani Gereja dan Negara. Jan Hus, imam dan profesor dari Bohemia (sekarang Republik Ceko), melakukan gerakan pembaruan di Paraha yang mengajarkan ide-ide yang dia peroleh dari seorang Reformator Inggris, John Wycliffe (kira-kira 1325-1384). Hus mengajarkan otoritas Kitab Suci sebagai hukum Allah melawan lembaga Gereja yang diperintah oleh paus. Akibat pengajarannya ini, Hus akhirnya dihukum bakar tahun 1409. Tokoh pembaharuan yang lebih radikal lagi datang dari seorang Dominikan Italia Jerome Savonarola (1452-1498), yang mencoba mentransformasikan kota Florence dari sebuah “kota-kota sombong” (city of vanities) menjadi sebuah tempat bagi millenium baru, permulaan kedatangan Kristus kali kedua. (g) Kebangkitan Renaissans dan Humanisme. Renaissans yang berpusat di Florence, Itali melahirkan banyak penulis, pujangga dan seniman (misalnya: Marsilio Ficino dan Leonardo da Vinci). Humanisme Kristen[7] membangkitkan penelitian sumber-sumber sejarah misalnya: Alkitab, Credo (Pengakuan Iman) dan gereja Purba kala. Pemikiran humanisme ini nantinya sangat banyak mempengaruhi Martin Luther. (h) Timbulnya teologi mistik (mystical piety)[8] yang mendirikan pusat persekutuan umum di Low Countries (sekarang Belanda) dan di Jerman di sepanjang sungai Rhine. Salah seorang dari murid terbaiknya adalah Thomas a Kempis, seorang penulis spiritual klasik, Imitation of Christ. (i) Timbulnya sekolah-sekolah teologi. Artinya dengan berbagai pengajaran semakin banyak bermunculan. Pengajaran Thomisme semakin banyak diperdebatkan sehingga bemunculanlah teolog-teolog baru seperti Thomas Aquinas, Erasmus dan William Ockham.

GKR sendiri merespons seluruh perubahan situasi dan kondisi tersebut. Paus Gregorius IX (1227-1241) membentuk sebuah inkuisi (lembaga penyelidikan) yang dikontrol oleh paus untuk mendeteksi bidat-bidat.

Kedua, perjuangan Luther.[9] Menurut Gritsch ada beberapa perjuangan Luther selama hidupnya. (a) Perjuangan pendidikan. Luther yang lahir dan meninggal di sebuah kota kecil Eisleben (10 November 1483 – 18 Februari 1546) berjuang dalam sebuah kehidupan keluarga yang konservatif yang telah menetapkan dirinya akan menjadi seorang ahli hukum. Sehingga untuk mencapai tujuan ini, keluarganya menyekolahkan Luther ke sekolah yang berkualitas dan terkenal hingga ke Universitas di Erfurt tahun 1501. Luther tinggal di asrama yang disebut dengan bursa, dan dia dikenal sebagai seorang “filsuf”. Luther menamatkan sarjana muda tahun 1502 dan meraih master tahun 1505 dan kemudian memasuki sekolah hukum. (b) Perjuangan kerohanian. Setelah beberapa minggu memasuki sekolah hukum, pada umur 21 tahun, Luther memasuki Serikat Eremit Augustinus.  Keinginan orangtua Luther ialah agar Luther menjadi seorang ahli hukum, namun karena Luther mengalami pergumulan secara rohani maka dia memutuskan untuk mengubah jalan hidupnya. Peristiwa 2 Juni 1505 membelokkan seluruh kehidupannya. Dalam perjalanan pulang dari Mansfeld ke Erfurt tiba-tiba turun hujan lebat yang disertai dengan guntur dan kilat yang hebat. Luther sangat ketakutan. Ia merebahkan dirinya ke tanah sambil memohon keselamatan dari bahaya kilat. Luther berdoa kepada Santa Anna, yaitu orang kudus yang dipercayai sebagai pelindung dari bahaya kilat sebagai berikut. “Santa Anna yang baik, tolonglah aku! Aku mau menjadi biarawan.” Luther sangat bergumul sekali untuk mencari Allah yang rahmani itu. Akhirnya Luther memutuskan menjadi seorang imam untuk semakin mendekatkan dirinya kepada Allah. Dengan segera Luther diterima menjadi diakon dan pada tahun 1507. Luther ditahbiskan menjadi seorang imam.  (c) Pergumulan tentang kematian. Bagi Luther, setelah memasuki kehidupan biara dan memiliki kuasa keimaman, perasaan takut akan kematian dan penghukuman Allah tidak berkurang sedikit pun. Trauma akibat sambaran halilintar yang mempengaruhi dimensi spiritualnya tidak bisa hilang kendati dia sudah hidup di dalam lingkungan biara. Luther semakin merenungkan lebih dalam apakah dia termasuk yang dipilih oleh Allah untuk diselamatkan. Untuk menjawab pertanyaan ini, maka Luther semakin rajin mendalami Alkitab. (d) Pergumulan tentang Alkitab. Bagi Luther, untuk mendalami Alkitab haruslah dengan melakukan Pendalaman Alkitab (Bible Study). Apa yang disebutkan oleh Augustinus dalam The Spirit and the Letter (De spiritu et litera) banyak memengaruhi Luther dalam pergumulannya tentang Alkitab. Johann von Staupitz mengirimkan Luther ke Universitas Wittenberg tahun 1508 menjadi seorang guru besar filosofi moral dan mengajar etika Aritoteles. Dan pada saat yang bersamaan, Luther melanjutkan studi doktoralnya di bidang biblical baccalaureate (baccalaureus biblicus). (e) Perjuangan moralitas kepausan. Perjalanan Luther dari Saxony ke Roma selama tahun 1510-1511 menimbulkan banyak kesan bagi Luther. Dalam perjalanannya ini, Luther sangat menyayangkan: birokrasi kepausan yang membingungkan, keboborokan moral secara umum, dan apati spiritual.  Di Roma sendiri, Luther menemukan praktik penghapusan dosa melalui indulgensia. (f) Perjuangan kedamaian. Setelah pulang dari perjalanan dari Roma, Luther bersama Staupitz berkeinginan untuk melakukan gerakan pembaharuan. Staupitz yang sangat memperhatikan masa depan Luther, mengirimkan Luther ke Wittenberg tahun 1511 dan menjadikannya sebagai kepala biara di sana. Luther tinggal dengan kira-kira empat puluh orang biarawan. Akhirnya, Staupitz memutuskan agar Luther menjadi seorang doktor dan pengkhotbah. Luther memang menolak hal ini, namun Staupitz terus mendorong Luther dan akhirnya Luther pun menerimanya. Dan inilah pengalaman Luther yang disebut dengan Anfechtung. Ketika Luther bergumul dengan pertanyaan bagaimana menemukan anugerah Allah, Staupitz mengatakan kepadanya untuk melihat penebusan dosa dalam sakramen bukan berarti sebagai menyenangkan hati Allah tetapi sebagai sebuah latihan rohani untuk menghadirkan kasih Allah bagi orang berdosa yang dinyatakan dalam Salib Kristus. Luther meraih gelar doktornya pada tanggal 9 Oktober 1512 dan mulai mengajar sebagai guru besar Alkitab (lectura biblica) tahun 1513.  (g) Perjuangan terobosan baru. Setelah menjadi imam-guru besar di Wittenberg, Luther mengalami sebuah “perubahan” atau “terobosan” baru spiritualnya. Hal ini akibat pekerjaan dan pengajarannya atas Kitab-kitab Mazmur (1513-1518), Kitab Roma (1515-1516), Kitab Galatia (1516-1517) dan Kitab Ibrani (1517-1518). Luther bergumul akan pengertian kebenaran (righteousness). Apakah kebenaran itu lebih merupakan milik Allah atau sesuatu yang diciptakan manusia, dengan demikian kebenaran itu sebagai “kebenaran yang asing” (alien righteousness)? Atau dapatkah kebenaran diperoleh melalui perbuatan baik manusia, sebuah “kebenaran aktif” (active righteousness) keselamatan? Luther menemukan kembali pengertian nabi-nabi dahulu di dalam perjanjian antara Allah dan Israel: seseorang menjadi benar dengan percaya hanya kepada kasih Allah bagi umat manusia: “tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya” (Habakuk 2:4). Seseorang dibenarkan “oleh imannya sendiri”. Dengan demikian Luther merasakan “lahir kembali” sebab perhatiannya telah lebih tertuju pada apa yang dilakukan Allah di dalam Kristus dari pada apa yang telah dilakukannya bagi Allah. Hal inilah yang menjadi perubahan yang radikal dari keresahan monastik apakah dia dapat atau tidak mampu untuk menyenangkan Allah (kebenaran aktif) pada itikad bahwa Luther telah dikasihi Allah (kebenaran pasif). Pengalaman ini membuka pintu sorga bagi Luther dengan mendalami surat Paulus dalam Roma 1:17 dan 3:28. Luther akhirnya memahami bahwa iman itu sendiri diikat oleh kasih Allah di dalam Kristus. Gereja adalah pengantin perempuan Kristus, dan Kristus menjadi pengantin laki-laki dan kedua-duanya akan selalu menjadi satu.

Ketiga, wawasan teologi. Wawasan teologi Luther banyak dipengaruhi oleh Augustinus, John Tauler, metodologi Aristoteles, dan teologi modern William dari Ockham. Pemikiran teologi Luther kemudian akan terlihat dalam pemikirannya yang radikal dalam karyanya atas teks-teks Alkitab yang disebut dengan “pengalaman menara” (tower experience). Perhatian Luther diutamakan pada dua hal yakni tentang praktik indulgensia sebagai usaha manusia untuk penebusan dosa atau kepuasan – dengan memberikan uang ke gereja. Kedua ajaran penggunaan indulgensia ini menjadi hal yang kompleks dan kontroversial. Ajaran yang normatif mengartikan indulgensia sebagai bagian dari remisi total penghukuman bagi dosa-dosa yang telah diberikan; indulgensia bagian dari pembayaran atau kepuasan. Untuk melawan praktik indulgensia ini, Luther menggunakan tiga saat untuk mengekspose interrelasi yang berbahaya di antara tuntutan doktrinal dan praktik kegerejaan. Pertama, di dalam ujian salah seorang muridnya untuk meraih gelar sententiarius tahun 1516, Luther menggunakan pembelaan untuk berargumentasi bahwa anugerah Allah, bukan kehendak manusia, ditentukan proses keselamatan dari dosa. Kedua, setahun kemudian, Luther memberikan pendapat di dalam perdebatan umum selama ujian bagi gelar sarjana muda (baccalaureate) tentang metodologi Aristoteles atas pemikiran skolastik mengenai kehendak bebas (pemilihan manusia atau melawan keselamatan), dan keyakinan teolog akan spekulasi filosofi harus ditinggalkan. Dan ketiga, Luther melakukan perlawanan atas kekuatan dan kehebatan indulgensia dengan 95 Dalilnya pada tanggal 31 Oktober 1517.

Pemikiran Luther lainnya adalah mengenai penatalayanan keuangan gereja, yang dihubungkan dengan kemerosotan penjualan indulgensia yang akhirnya melahirkan gerakan pembaharuan.  Luther melanjutkan untuk menjelaskan secara rinci pandangannya didukung oleh pendiri Serikat Eremit Augustinus, Staupitz. Luther menyebut teologinya sebuah “teologi salib” yang didasarkan hanya pada anugerah ilahi melalui Kristus. Luther menekankan bahwa Allah dapat dikenal hanya melalui penderitaan dan salib.

Luther bukanlah seorang teolog sistematik yang memaparkan pemikirannya secara apik. Luther lebih dikenal sebagai seorang teolog biblika dibandingkan sebagai seorang teolog praktika. Bagi Luther, teologi menjadi praktis ketika teologi itu dihubungkan dengan kenyataan hidup – melalui perjuangan, penderitaan, kebahagiaan, dan kegagalan.

Luther memfokuskan pemikirannya atas kemanusiaan Allah di dalam Kristus dan percaya penuh tentang apa yang telah dikatakan Alkitab mengenai “pembenaran oleh iman” merupakan bagian dari pekerjaan yang dituliskan oleh hukum (Roma 3:28). Dengan demikian, Luther membedakan anugerah dan hukum. Anugerah Allah dikenal melalui komunikasi bahwa percaya sepenuhnya pada Yesus Kristus mengantarai keselamatan dari dosa-dosa; komunikasi ini adalah Injil (kabar baik). Hukum Allah, salah satu dari hubungan perjanjian anugerah di antara Allah dan umat Israel. Luther menegaskan bahwa tidak ada jalan lain untuk berargumentasi bagi keselamatan diri di hadapan Allah. Sama halnya dengan tidak ada jalan untuk menyenangkan hati Allah dengan perbuatan moral. Iman sangat sederhana dibandingkan dengan percaya dengan rasional tentang Allah. Iman artinya memahami firman Allah bahwa Kristus adalah arti dari kehidupan. “Iman membuat pribadi, pribadi melakukan perbuatan baik, perbuatan baik tidak membuat iman dan juga pribadi”. Menurut Luther, iman adalah pengalaman yang dipahami oleh kasih Allah melalui cerita inkarnasi Allah di dalam Kristus.

Luther juga memberikan pemikiran tentang soteriologi. Akhirnya pemikiran teologi Luther disebut sebagai “sebuah revolusi Copernicus” di dalam sejarah pemikiran Kristen. Sama seperti astronout Nicolaus Copernicus (1473-1543) menggeser pusat pemikiran dari bumi ke matahari, maka Luther mengubah pemikiran Kristen dari antroposentis ke theosentris.

Keempat, kekuatan Status Quo. John Tetzel mecoba memfitnah Luther dengan mempublikasikan 106 dalil, mendakwa Luther sebagai bidat. Tetzel telah mendapat amanah dari Uskup Albrecht dari Magdeburg dan bank Fugger di Augsburg untuk menggunakan perintah Dominikan untuk menjual indulgensia (dengan menggunakan slogan, “Kalau uang berdenting di dalam peti, melompatlah jiwa itu ke dalam sorga!”). Demikian juga sikap uskup Jerome Ghinducci meminta Sylvester Mazzolin (juga dikenal sebagai Prierias) untuk mengevaluasi Luther. Dia juga menyatakan bahwa pengajaran Luther keliru dan dimusuhi sebab Luther mempertanyakan hak kewibawaan paus untuk mengontrol iman dan moral. Karena itu ia menyatakan Luther sebagai penyesat, dan menulis bantahan ilmiah terhadap dalil-dalilnya. Bantahan ini menegaskan kewibawaan paus terhadap Gereja dan menolak setiap penyimpangan daripadanya yang dianggap sebagai ajaran sesat.

John Eck berusaha untuk menyatakan kelemahan Luther di dalam argumentasi Luther dengan mempublikasikan Obelisks (Yunani: obeliskos, “pisau belati kecil”), dan menyatakan Luther sebagai pembohong, bidat, dan pemberontak. Luther dengan segera menjawab dengan Asterisks (Yunani: asterikos, “bintang kecil”), menyatakan bahwa Eck tak berpengetahuan untuk mengerti kasus Luther.

Banyak mahasiswa dan teolog muda mendukung gerakan Luther untuk kembali ke teologi alkitabiah dan mengajarkan ajaran gereja mula-mula, khususnya tulisan Augustinus. Yang menyelamatkan Luther dari kemarahan politik Roma adalah keadaan status quo dari Elektor Frederick dari Saxony. Frederick meminta kepada Paus agar Luther diperiksa di Jerman dan permintaan ini dikabulkan. Paus mengutus Kardinal Thomas de Vio (Cajetanus) untuk memeriksa Luther pada tanggal 12-14 Oktober 1518. Cajetanus meminta Luther menarik kembali dalil-dalilnya, namun Luther tidak mau. Cajetanus pun gagal dalam misinya.

Perdebatan demi perdebatan pun semakin banyak terjadi. Perdebatan pada 27 Juni – 14 Juli 1519, di Leipzig, Luther berhadapan dengan Johann Eck disertai oleh Carlstadt, rekan mahagurunya di Wittenberg. Carlstadt dan Luther ditemani oleh presiden Universitas Wittenberg, Duke Barnim dari Pomerania dan Melanchthon dan beberapa kolega yang lain serta sekitar dua ratus mahasiswanya. Perdebatan ini berlangsung di Pleissenburg. Perdebatan ini membahas indulgensia dalam hubungannya dengan dosa dan anugerah. Menurut Eck, paus memiliki otoritas atas apa yang telah dilaksanakan yaitu praktik indulgensia. Namun dalam perdebatan ini pokok perdebatan telah bergeser dari surat indulgensia ke kekuasaan Paus. Menurut Luther yang berkuasa di kalangan orang-orang Kristen bukanlah Paus atau konsili, tetapi firman Allah saja.

Walaupun kelihatannya dalam debat Leipzig ini Eck yang menang, namun Luther mendapat dukungan yang lebih banyak ketimbang Eck sendiri. Froben mengkoleksi pekerjaan Luther dalam tiga edisi pada tahun 1520 dan disebarkan ke Inggris, Belanda, Perancis dan Italia. Luther disebut sebagai “Daniel baru” yang akan membebaskan umat Allah dari perbudakan pada teologi skolastik.

Kelima, blueprint bagi Pembaruan. Produksi literatur Luther makin berkembang pesat di antara tahun 1519 dan tahun 1521. Seorang sekretaris menulis 116 khotbah untuk dipublikasikan dan Luther sendiri memberikan enambelas risalah untuk dicetak selama enam bulan selama perdebatan Leipzig. Luther juga mengerjakan tafsiran kitab Mazmur dan menyelesaikan tafsiran pertamanya atas kitab Galatia.

Perdebatan mengenai primasi kepausan masih dilanjutkan. Augustinus Alveld, seorang biarawan Franciskan dari Leipzig membela kepausan sebagai institusi ilahi di dalam dua ringkasan dengan menggunakan Matius 16:18 sebagai dasar alkitabiah atas argumentasinya. Alveld menyebut Luther seorang “serigala di antara domba”, “seorang manusia galak”, seorang “bidat”. Luther merespons dengan alasan yang baik membela posisinya bahwa paus adalah lebih merupakan sebuah  institusi kemanusiaan daripada insitusi yang ilahi. Luther didukung oleh Ulrich von Hutten dan Albrecht Durer. Luther melakukan gerakan ini dengan menerbitkan empat seminal tahun 1520, berkaitan dengan posisi Luther yang menantang melawan status quo: (1) Ringkasan Pekerjaan Allah; (2) Seruan kepada Pemimpin-pemimpin Jerman; (3) Pembuangan Babel Gereja; dan (4) Kebebasan Kristen.[10] Hal ini diuraikan secara mendalam oleh Gritsch dalam bukunya ini. (Dan mengenai hal ini sudah dibahas dalam laporan buku sebelumnya pada konsentrasi I).

Keenam, pengadilan dan keputusan. Ketika Luther sibuk membangun platform teologi gerakan Reformasi, Roma sibuk mencari penghakiman kepada Luther in absensia. Pada bulan Januari 1520, perlawanan melawan Luther kembali dibuka untuk mencari bukti tuduhan atas tuduhan sebagai bidat. Eck membuat gambaran yang jelas tentang pandangan Luther kepada jemaat (curia) setelah perdebatan Leipzig. Eck menghukum Luther sebagai teolog muda yang cemerlang yang memiliki kesulitan dengan pengajarannya tentang gereja.

Paus Leo X memerintahkan dengan hati-hati untuk menginvestigasi pengajaran Luther, mengangkat Kardinal Pietro Accolti, ahli hukum dan Cajetanus untuk memimpin penyelidikan ini yang dibantu oleh Eck dan John Hispanus dari Universitas Roma. Mereka bertemu empat kali untuk mempertimbangkan bukti melawan Luther, yang diambil dari risalah-risalah dan sermon-sermon Luther bukan dari pekerjaan tafsiran Alkitab Luther. Akhirnya, pada tanggal 15 Juni 1520, paus mengeluarkan bulla (Latin: bulla, surat dokumen yang dikeluarkan paus) berkenaan dengan Luther dengan melarang pengajaran Luther kecuali kalau Luther menarik kembali pandangannya dalam tempo enampuluh hari. Bulla yang dikeluarkan paus itu dinamakan dengan Exsurge Domine (dari Mazmur 74:22, “Bangunlah, ya Allah”). Bulla ini menyatakan bahwa empat puluh satu dari tuntutan Luther dinyatakan gereja keliru.

Pada 10 Desember 1520 Luther membakar bulla Paus tersebut bersama-sama dengan Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik Roma di depan gerbang kota Wittenberg dengan disaksikan oleh sejumlah besar mahasiswa dan mahaguru Universitas Wittenberg. Tindakan ini merupakan tanda pemutusan hubungannya dengan Gereja Katolik Roma. Kemudian keluarlah bulla kutuk Paus pada tanggal 3 Januari 1521 dengan bulla, Decet Romanum Pontificem (Hal ini layak bagi Paus Roma). Alasan dikeluarkannya bulla ini adalah karena Luther menolak untuk menarik kembali ajarannya dan mendorong orang lain untuk mengikuti tindakannya, sehingga mereka harus dihukum dengan penderitaan.

April 1521, Kaisar Karel V mengadakan rapat kekaisaran di Worms. Luther diundang untuk mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatannya dan karangan-karangannya. Kaisar Karel V menjanjikan perlindungan atas keselamatan jiwa Luther. Pada 18 April 1521, Luther mengadakan pembelaannya. Wakil Paus meminta agar Luther menarik kembali ajaran- ajarannya, namun Luther tidak mau. Kaisar Karel V ingin menepati janjinya kepada Luther sehingga sebelum rapat menjatuhkan keputusan atas dirinya, Luther diperintahkan untuk meninggalkan rapat. Pada 26 Mei 1521, dikeluarkanlah Edik Worms yang berisi antara lain: Luther dan para pengikutnya dikucilkan dari masyarakat; segala karangan Luther harus dibakar; dan Luther dapat ditangkap dan dibunuh oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun juga.

Ketujuh, jalan buntu. Sebelum Luther meninggalkan Worms, seseorang atas suruhan Budiman Frederick menyergap dan membawa Luther untuk disembunyikan di istana Wartburg. Di sini Luther tinggal selama sepuluh bulan dengan memakai nama samaran “Knight George” (Junker Georg). Di sini pulalah Luther mengerjakan terjemahan Perjanjian Baru dari bahasa Yunani (naskah asli PB) ke dalam bahasa Jerman yang dikenal dengan “September Bible” tahun 1522. Dia menerjemahkan PL tahun 1534. Dan tahun 1546 edisi akhir sudah selesai.

Pengaruh yang paling berarti yang diperbuat Luther di Wartburg adalah mengenai “pembenaran oleh iman” yang disampaikan kepada teolog Louvain, Jakobus Latomus. Luther berkata kepadanya bahwa seorang teolog harus serius membuang kekuatan dosa setelah baptisan. Oleh karena itulah maka Allah memberikan “hukum” – Dasa Titah dan pemerintahan sekuler. Di dalam Alkitab dan di dalam teologi, hukum dan Injil harus dibedakan sebagai “dua pernyataan” Allah. Pernyataan pertama, hukum menyatakan kejahatan manusia, kejahatan manusia dibedakan dalam diri mereka masing-masing ketika mereka melakukan apa yang mereka inginkan, dan hukum menghukum mereka dengan hukuman ilahi. Pernyataan kedua, Injil juga memiliki dua hal. Injil memberikan kebenaran, iman di dalam Kristus yang mati bagi dosa manusia (Roma 3:28). Iman memampukan orang percaya melakukan yang baik bagi sesama manusia. Kebenaran diikuti dengan anugerah, kehendak yang baik dan pengasihan Allah bagi seluruh orang yang percaya pada Allah .

Luther juga mengatakan kepada Latomus perbedaan di antara hukum dan Injil adalah metodologi yang mungkin dalam refleksi prinsip teologi. Pembedaan ini memimpin Luther untuk menerima bahwa seorang Kristen adalah secara simultan benar oleh iman di dalam Injil dan “berdosa” oleh karena hukum (simul justus et peccator).

2.2    PERTUMBUHAN DAN KOSOLIDASI, 1521-1555[11]

Dalam bagian ini Gritsch menguraikan pertumbuhan dan konsolidasi Lutheranisme dalam tujuh hal yaitu:

Pertama, Model-model hidup orang Kristen yang [sudah] dibarui. Model pembaharuan hidup Luther ini dimulai dari hubungannya dengan keempat sahabat baiknya yakni: Philip Melanchthon (ahli bahasa Yunani dan Ibrani), John Bugenhagen (yang memampukan Luther menjadi seorang pengaku dalam pengakuan pribadinya), Justus Jonas (yang menerjemahkan tulisan-tulisan Luther dari bahasa Latin ke bahasa Jerman), dan Nicolas von Amsdorf (seorang pendukung Luther menjadi uskup di Naumburg tahun 1541).

Secara ringkas Gritsch menyimpulkan bahwa model pembaharuan hidup orang Kristen yang dilakukan Luther adalah: (1) Hidup dengan kekudusan pribadi. Dalam rangka mencapai hidup kudus ini, Luther menerbitkan “Buku Doa Pribadi” (1522) yang berisikan ringkasan “Dekalog” (“apa yang harus dilakukan”), Pengakuan Iman (“apa yang harus dipercayai”) dan Doa Bapa kami (“bagaimana berdoa”).  (2) Pembaharuan dalam tugas panggilan imam. Dasar pandangan Luther atas pelayanan ini termasuk uskup bukanlah sebuah tahbisan yang ilahi. (3) Pembaharuan yang ketiga ialah pembaharuan ibadah.

Di sisi lain, Luther juga menerbitkan liturgi baptisan dengan keiukutsertaan orangtua dan nenek sebagai “imam” baptisan. Luther juga sangat memberikan perhatiannya dalam perbaikan pendidikan dengan mengajarkan sejarah dan bahasa –bahasa klasik seperti bahasa Latin dan Yunani bagi kaula muda. Luther mendirikan perpustakaan untuk mendorong masyarakat menjadi terpelajar dan mempelajari lebih dalam tentang dunia.

Pernikahan Luther menjadi model pembaharuan hidup Kristen ketika ia menikah dengan Katherine von Bora tahun 1525. Dengan pernikahan ini, Luther mendorong para imam lainnya untuk menikah. Melalui pernikahan ini Luther dikaruniakan Tuhan enam orang anak yakni: Hans (1526), Elizabeth (1527), Magdalena (1529), Martin (1531), Paul (1533) dan Margareth (1534). Di samping enam anaknya ini, Luther mengadopsi enam orang anak panti asuhan.

Dalam gerakan pembaharuan ini Luther dan Melanchthon yang dibantu oleh dewan kota Wittenberg membaharui ibadah umum dengan pembaharuan pendidikan. Mereka merencanakan rencana “perkunjungan” dengan membentuk empat orang satu tim “kunjungan” dengan tugas: dua orang memperhatikan soal-soal ekonomi, dan dua orang lainnya mengevaluasi kehidupan jemaat. Melanchthon membuat buku panduan “Instruksi” atas dasar saran dari Luther (1528). Setiap tim memiliki tugas untuk mengajarkan delapan belas bahan yakni: doktrin (perbedaan di antara Katolik Roma dan tuntutan-tuntutan Lutheran), Dekalog, kehidupan doa, moralitas, baptisan, Perjamuan Kudus, penebusan dosa, pengakuan pribadi, penghapusan dosa, peraturan gereja, pernikahan, kehendak bebas, kebebasan Kristen, Turk (isi yang signifikan bagi kebijakan orang Kristen asing), ibadah, pengucilan, pegawai uskup (superintendent) dan sekolah-sekolah.

Dalam perkembangan selanjutnya, Luther menerbitkan Katekismus Bersar Jerman yang digunakan sebagai bahan bagi katekisasi yang berisikan pendahuluan dan lima bagian yaitu: Dekalog, Pengakuan Iman, Doa Bapa kami, Baptisan dan  Perjamuan Kudus.

Kedua, Bahaya yang tersembunyi dan Entusiasme. Menurut Gritsch ada beberapa bahaya dan entusiasme yang terjadi pada masa pertumbuhan dan konsolidasi ini yaitu:

(1)         Thomas Muntzer (1491-1525). Gerakan yang dipimpin Muntzer ini dikenal dengan pemberontakan petani (1525). Muntzer mendasarkan gerakan ini atas pandangan Luther akan Kebebasan Kristen. Semula ia adalah pengagum dan pengikut setia Luther. Tetapi sejak tahun 1521 ia menyalahgunakan ajaran Luther tentang Kebebasan Seorang Kristen untuk mengobarkan pemberontakan melawan para penguasa politik.[12] Luther sendiri menolak pemberontakan ini sebagai gerakan rakyat yang illegal yang harus diganyang. Pemberontakan ini mengakibatkan tentara Katolik Roma yang dipimpin George dari Saxony dan Philip dari Hesse dari Protestan membunuh ribuan petani dalam peristiwa yang dikenal dengan perang di Franckenhausen pada bulan Mei 1525. Katolik dan Protestan sama-sama menolak tindakan Muntzer ini. Akhirnya Muntzer ditangkap, dianiaya dan kepalanya dipenggal.

(2)         Andreas Bodenstein dari Carlstadt atau lebih dikenal dengan Carlstadt. Luther menuduh Carlstadt sebagai penggagas pemberontakan dan Luther menganggap dia sebagai musuh yang menolak kehadiran Kristus dalam Perjamuan Kudus. Bagi Carlstadt, kata “inilah” dalam kalimat “inilah tubuh-Ku” (1Kor.11:23-26) lebih merujuk kepada tubuh Yesus sendiri, daripada roti dan anggur. Akhirnya Frederick mengeluarkan Carlstadt dari Saxony tahun 1524.

(3)         Erasmus. Pada tahun 1525 perdebatan Luther dengan filsuf Erasmus pun terjadi tentang masalah apakah manusia memiliki kebebasan untuk menolak anugerah ilahi. Menurut Erasmus, keselamatan diperoleh melalui perbuatan baik, sementara Luther menolak keras keterlibatan perbuatan baik manusia dalam keselamatan yang Allah berikan.

(4)         Ulrich Zwingli. Zwingli mengadopsi dan mengelaborasi penafsiran humanis Belanda Cornelius Hoen yang mengatakan bahwa Perjamuan Kudus pada dasarnya merupakan sebuah peringatan “spiritual” bukan makan dan minum yang “material”. Sehingga perkataan Yesus, “Inilah  tubuh-Ku” artinya “Ini menandakan tubuh-Ku” dan perayaan Perjamuan Kudus lebih merupakan sebuah penegasan iman dan komitmen pribadi pada Kristus dari pada sebuah peristiwa “kehadiran tubuh” Kristus. Luther menolak dan melawan pengajaran Zwingli yang membedakan antara “spiritual” dan “material” dalam Perjamuan Kudus ini. Menurut Luther, Kristus dapat ‘duduk di sebelah kanan Allah Bapa’ dan juga berada dalam roti dan anggur. “Ubiquitas” Allah tidak terbatas sebab Allah berjanji dalam Injil bahwa Allah hadir di dalam Perjamuan Kudus.

(5)         Anabaptis. Luther sangat terganggu atas sikap dan tindakan gerakan Anabaptis ini. Di kota Munster Westphalia, gerakan ini ingin memberlakukan pemerintahan Allah. Mereka meniadakan ibadah Minggu, memberlakukan poligami, memberlakukan praktik-praktik kehidupan Perjanjian Lama (PL). Luther sendiri tidak menyukai gerakan ini dan mendukung tindakan pemerintah membasmi gerakan radikal ini.[13]

Luther mencoba menstir apa yang terjadi pada abad Pertengahan antara “Reformasi sayap kiri” yang terdiri dari Muntzer, Anabaptis Munster, Zwinglian atau “sakramentarian” dengan “Reformasi sayap kanan” yang berisikan iman yang benar.

Ketiga, Konfesi Augsburg. Konfesi ini bermula dari persetujuan yang diberikan Kaisar Charles V pada Diet Augsburg tahun 1530. Luther menyetujui tulisan Melanchthon tentang Konfesi Augsburg. Melanchthon sendiri memulai pekerjaan ini dengan lebih dulu meringkas “Teologi Lutheran” (1521) yang berjudul Loci Communes rerum theologicarum (Tema-tema dasar Teologi). Konfesi Augsburg ini terdiri dari dua bagian besar yaitu: Bab I berisikan “Pasal-pasal Iman dan Ajaran” dan Bab II berisikan “Pasal-pasal bantahan, Daftar Kekurangan yang telah diperbaharui”.

Secara ringkas Gritsch menguraikan isi Konfesi ini. Dalam pendahuluan, Luther menjelaskan tiga hal: (1) Pasal-pasal iman yang telah dihubungkan dengan dasar Alkitab. (2) Lutheran tidak akan gagal dalam segala hal. (3) Lutheran sudah siap berpartisipasi secara umum.

Gritsch memaparkan secara ringkas isi pasal-pasal bab I Konfesi Augsburg ini. Pasal 1-3 menegaskan dogma Trinitas, menunjukkan persetujuan Lutheran dengan dasar teologi dari gereja kuno. Pasal 4-6 menggambarkan bagaimana kasih Allah dalam diri Yesus Kristus. Pasal 5 berisikan tentang imam . Pasal 7-15 membahas tentang gereja. Pasal 16 membahas tentang keterlibatan orang Kristen dalam politik. Pasal 17 membahas tentang kedatangan Kristus kali kedua. Pasal 18-20 membahas tentang hubungan di antara iman dan perbuatan baik. Pasal 20 adalah pasal yang terpanjang sebab pasal ini khusus membicarakan tentang “perbuatan baik” yang menjadi perjuangan Luther terhadap Katolik Roma. Pasal 21 berbicara tentang orang-orang kudus.

Pasal-pasal pada bab II memiliki pembahasan yang lebih mendalam tentang: cawan Perjamuan Kudus untuk kaum awam, perkawinan para imam, bentuk ibadah misa, pengakuan pribadi, puasa, janji imam dan Uskup.

Konfesi ini dikritik oleh Kaisar Charles  V dan John Eck serta dua puluh enam teolog dengan membuat Confutation (penyangkalan). Untuk menjawab semua kritikan ini, maka Melanchthon membuat Apologi terhadap Konfesi Augsburg pada tahun 1531.

Keempat, Hubungan orang-orang Skandinavia. Gerakan Reformasi Luther dengan cepat menyebar ke utara, mendirikan benteng pertahanan pertama di wilayah Schleswig dan Holstein melalui para pengkhotbah Lutheran sejak tahun 1522. Di Skandinavia sendiri, gerakan Lutheran ini bertumbuh akibat situasi politik di Kesatuan Kalmar dari tahun 1397-1523. Akibat keadaan politik yang berkaitan dengan kekristenan di Skandinavia, maka Raja Christian II Denmark (1513-1523) menghubungi Wittenberg tahun 1520 untuk memohon bantuan imam Saxon untuk membangun kurikulum pendidikan. Maka datanglah Andreas Carlstadt dari Universitas Wittenberg mengajar Martin Reinhart. Dengan demikian mulailah terjadi pertumbuhan Lutheran di Skandinavia. Christian III (1534-1559) cucu tertua Raja mendirikan enam puluh jemaat Lutheran di sekitar Haderslev di wilayah  Schleswig. Gerakan ini dibantu dua orang teolog Jerman dari Wittenberg yakni: Eberhard Weidensee dan John Wendt. Mereka membangun wilayah gereja Lutheran pertama di Skandinavia tahun 1528.

Lutheranisme juga di bawa ke Swedia oleh Olavus Petri yang dikenal sebagai “Martin Luther Swedia” yang belajar di Wittenberg. Olavus menerbitkan Perjanjian Baru dalam bahasa Swedia.

Gerakan Reformasi di Swedia ini dikaitkan juga dengan perang melawan Denmark, Polandia dan Lubek (1536-1570) oleh Raja Erik XIV (1560-1568). Erik menyenangi Calvinisme.

Lutheranisme di Norwegia dimulai  dengan kegiatan pengkhotbah Lutheran  Antonius tahun 1526 di kota kota yang terbesar Bergen yang diambil dari wilayah Hanseatik Jerman. Tahun 1537, Christian II Denmark mendekritkan sebuah transisi dari Katolikisme ke Lutheranisme. Olav Uskup Katolik Trondheim meninggalkan kota dan uskup lainnya dipecat. Gerakan Lutheranisme di Norwegia ini sungguh sangat kuat sekali. Para uskup dan imam kemudian belajar teologi yang sangat dekat dengan humanisme dan Calvinisme. “Hanya buku-buku bacaan keagamaan yang ditulis selama masa periode Reformasi” yang dipublikasikan tahun 1572 oleh Jens Skielderup uskup Bergen melawan Katolikisme yang berjudul: A Christian Instruction from the Holy Writ about the Considerations a Christian Should Take on Idolatry. Selama masa jabatan Jens (1557-1582) dan penggantinya Anders (1583-1607) gereja baru di Norwegia berdiri menjadi seperti Gereja Lutheran Denmark. Namun gereja Lutheran di Norwegia ini tidak mengadopsi seluruh pandangan Lutheranisme misalnya mereka tidak menerima Buku Konkord di Norwegia dan Denmark.

Gerakan Lutheranisme di Finlandia bertalian dengan raja Swedia, Gustavus Vasa yang memisahkan diri dari Roma tahun 1523. Tokoh gerakan di Swedia ini yang dikenal sebagai Martin Luther adalah Michael Agricola (1510-1557). Literatur Agricola menghasilkan banyak teologia Lutheran di Finlandia dan memperbanyak literatur dalam bahasa Finlandia. Dia merupakan penulis buku pertama dalam bahasa Finlandia yakni ABC-Book tahun 1541 yang berisikan alfabetika, bilangan, dan katekismus yang didasarkan pada Katekismus Kecil Martin Luther. Kemudian dia juga menulis buku-buku doa tahun 1544 dan Perjanjian Baru bahasa Finlandia tahun 1548.

Lutheranisme di Islandia didekritkan oleh Gereja Denmark tahun 1537. Jauh sebelumnya para pedagang dari Hamburg telah memimpin ibadah Lutheran di diosis Skalholt sehingga dua orang pembantu uskup yakni: Gizur Einarsson dan Oddur Gottskalksson menjadi menerima Lutheranisme. Gottskalksson bekerja di penerjemah Perjanjian Baru yang dipublikasikan tahun 1540 di Denmark dan inilah buku tertua yang dikenal di Islandia.

Lutheranisme di Skandinavia sama seperti Lutheranisme Jerman berdirinya lebih dikarenakan oleh politik raja daripada pangeran.

Kelima, Di luar Jerman dan Skandinavia. Gerakan Lutheranisme ini semakin berkembang ke luar Jerman dan Skandinavia misalnya ke daerah Baltik (Lithuania, Latvia, Estonia), ke arah timur (Polandia, Czekoslowakia, Hungaria, Rumania) dan menyusup ke wilayah Katolik di utara dan barat (Austria, Italia, Perancis dan Spanyol).

Gerakan Lutheranisme di Baltik dipengaruhi oleh Teutonic Order, persekutuan kesatria Jerman. Pada masa Grandmaster Margrave Albrecht Brandenburg (1490-1568), Lutheranisme diperkenalkan di wilayah ini. Kemudian, Albrecht menemui Luther dan Melanchthon di Wittenberg dan dia dinasihati oleh Luther dan Melanchthon untuk mendirikan negara yang merdeka.

Ide-ide Luther pertama kelihatan di Riga, sekarang Latvia (bagian dari Livonia) tahun 1521. Murid-murid Erasmus John Bugenhagen di Treptow, Pomerania, Andreas Knopcken menghubungi Melanchthon di Wittenberg dan memulai mengajarkan ide-ide Lutheran sebagai pendeta di Gereja St.Petrus.

Di Estonia (bagian dari Livonia), pengajaran Lutheran mulai kelihatan tahun 1523 di Reval (sekarang ibu kota Tallinn). Di Lithuania, Lutheranisme kelihatan setelah tahun 1530 yang dibawa oleh kaum bangsawan, penduduk kota dan imam. Mereka memiliki banyak motivasi bagi perubahan keagamaan. Beberapa orang tidak suka Katolikisme. Yang lain menginginkan gereja yang lepas dan merdeka dari Katolik Pilandia. Tetapi pendukung Lutheranisme tidak toleransi dan harus berpindah ke gereja Prussia. Albrecht dari Brandenburg mensponsori penerbitan katekismus Lutheran Lithuania pertama tahun 1547 Tetapi pendukung Lutheranisme tidak toleransi dan harus berpindah ke gereja Prussia. Albrecht dari Brandenburg mensponsori penerbitan katekismus Lutheran Lithuania pertama tahun 1547 yang berjudul: The Simple Words of the Catecism. Tokoh lain yang bekerja di Lithuania ini adalah Martin Mosviolius yang menerbitkan buku-buku nyanyian dan bahan-bahan lainnya dan Johan Bretke yang menerjemahkan Alkitab tahun 1591.

Di Polandia, panggilan Luther akan pembaharuan telah didengar: penduduk di Gdansk (Danzig) membaca 95 Dalil tahun 1518 setahun setelah Luther mempublikasikannya di Wittenberg. Walaupun Raja Sigismund I (1506-1648) melarang memasukkan ide-ide Luther. Tetapi ide-ide Luther masih beredar di Universitas Krakow. Tokoh yang terkenal pada masa ini adalah Jan Laski (1499-1560). Hanya di kota Ciezsyn, sebuah kota dekat Czech Lutheranisme bertahan hidup sejak tahun 1523, ketika mereka pertama kali memakai ibadah Reformasi di Polandia. Kemudian sebuah gereja lembaga Lutheran didasarkan pada Konfesi Augsburg.

Moravia juga dikontrol oleh Archduke Ferdinand sebab dia menjadi raja Bohemia tahun 1526. Gerakan Lutheranisme di Bohemia ini didukung oleh orang-orang Hussit Moravia yang dipimpin oleh Jan Roh yang mendukung Luther sejak tahun 1520. Pendukung Luther lainnya adalah Paul Speratus yang datang ke Moravia sebagai pengungsi hingga dia menetap di Prussia di bawah perlindungan Pemerintahan Teutonik Lutheran.

Di Hungaria, Lutheranisme dikenal pertama sekali melalui perdagangan para saudagar. 95 Dalil Luther telah mereka baca di Lubica (dekat Kezmarok). Tokoh yang dikenal di daerah ini adalah Matyas Devai yang dikenal sebagai “Luther Hungaria”.

Gerakan Lutheranisme di Transylvania (sekarang Rumania) telah dimulai sejak tahun 1140. Pemikiran Luther semakin dikenal tahun 1520 di antara orang-orang Saxon di Rumania. Tokoh yang membawa pemikiran Luther di Rumania ini adalah Kronstadt dan Hermannstadt yang memperkenalkan Lutheranisme pada Gereja dan sekolah-sekolah. Setelah tahun 1543 sudah ada gereja Lutheran di Rumania yang disebut dengan Gereja Allah dari Bangsa Saxon.

Di Austria, Lutheranisme menyebar dengan sangat cepat pada parohan pertama abad keenambelas. Limabelas tulisan Luther dipublikasikan di Vienna di antara tahun 1519 dan 1522. Ide-ide Luther juga menyebar dengan cepat ke Carinthia di sebelah selatan pada tahun 1526.

Keenam, Isu-isu neuralgis. Pendirian daerah-daerah Lutheran ditandai oleh kesetiaan pada Konfesi Augsburg menghalau banyak harapan untuk menghindari perpecahan yang dibangun kekuasaan kepausan dan kekaisaran di Eropa. Luther menjadi pemimpin gerakan pembaharuan yang berhasil. Paus Paulus III dan Kaisar Charles V tidak dapat membungkam Luther melalui pengucilan dan edik paus. Mahaguru Wittenberg memberikan ringkasan pada bagian ini yaitu: pertama, pembedaan antara konsili pertama dan keempat yang telah merumuskan dogma Trinitas yakni: Nicea (325), Konstantinopel (381), Efesus (431), dan Khalsedon (451). Kedua, Luther kemudian mendefinisikan konsili lainnya sebagai sidan dari representasi gereja untuk membahas tata gereja, sama seperti konsistori, dewan supremasi, dan lain sebagainya. Akhirnya, gereja sebagai persekutuan orang Kristen yang dikenal dengan tujuh karakteristiknya yakni: memberitakan firman Tuhan, melaksanakan baptisan, Perjamuan Kudus, kekuatan pengampunan dan pertobatan, para pelayan, ibadah dan penderitaan.

Kaisar Charles V berharap untuk menghindari skisma keagamaan dengan cara negosiasi. Utusan Katolik dipimpin John Eck dan dari Protestan Melanchthon telah melakukan banyak pertemuan tahun 1540 dan 1541 dan mereka mencapai doktrin persetujuan bersama di Regensburg. Tetapi Roma menolak untuk mengabsahkan hasil kesepakatan ini.

Lebih jauh dalam bagian ini Gritsch memaparkan pertikaian antara pengikut Luther dan Katolik. Luther berhadapan dengan Duke Henry dari Braunschweig. Duke tidak takut atas perdebatannya dengan Luther. Keluarga Luther sendiri mengalami penderitaan. Katherine mengalami penyakit serius tahun 1540 dan Magdalena meninggal pada usia 13 tahun setelah menderita penyakit tahun 1542[14]. Ketika Luther menerima kabar bahwa Paus Paulus III akhirnya mengumumkan bahwa konsili umum akan dilaksanakan di Trente, Italia tahun 1545, Luther memutuskan mengirimkan perlawanan akhir ambisi pilitik kepausan. Hasilnya adalah “Melawan Paus Roma, sebuah Lembaga Setan”.  Setelah itu, Luther merasa puas sebab tugasnya telah selesai. Dia kembali menyelesaikan tulisannya atas Kejadian tahun 1545. Luther mengantisipasi kematiannya. Gritsch memaparkan kematian Luther secara rinci. Luther meninggal pada tanggal 15 Februari 1545 pada pukul 3.00 AM.

Ketujuh, Damai yang rapuh. Luther meninggal di tengah perkembangan politik yang memperjuangkan gerakan pembaharuan itu. Paus Paulus III telah menegur Kaisar Charles V tahun 1544 atas toleransinya pada wilayah Lutheran yang menutup hukum Gereja. Pada saat yang bersamaan, Roma menawarkan 12.500 serdadu sewaan dan dukungan finansial bagi perang melawan Perkumpulan Smalcald Lutheran.

Keputusan yang sangat penting dalam keputusan perjanjian adalah pengakuan wilayah Lutheran dan Katolik sebagai kepala Gereja dan Negara. “Di mana ada sebuah pemerintah, di sana harus ada sebuah agama” (kemudian semboyan ini dikenal dengan, “Siapa pun yang memimpin wilayah menentukan agamanya” (cuius regio, eius religio).

Ketentuan khusus dibuat bagi pemimpin gereja yang berkeinginan kembali ke Lutheran seperti sebagai uskup dan biarawan. Ketentuan ini dikenal dengan “reservasi kegerejaan”.

Kedamaian Augsburg bermaksud untuk menerangkan permasalahan keagamaan hingga konsili umum di Trente yang akan membuat keputusan akhir. Kedamaian Augsburg meletakkan Lutheranisme pada peta Eropa. Lutheranisme banyak berada di Jerman dan Skandinavia, dan pengikut Konfesi Augsuburg dapat juga ditemukan di wilayah Rusia yang dikenal sebagai Moscovia atau Muscovy. Kedamaian Augsburg mendirikan wilayah teritorial Lutheranisme yang didasarkan pada dugaan bahwa pemimpin teritorial dapat memaksa secara politik dasar keseragaman baik di dalam Gereja Katolik Roma atau di dalam Konfesi Augsburg.

2.3    IDENTITAS KONFESIONAL, 1555-1580[15]

Identitas Konfesional ini dibahas Gritsch dengan tujuh bagian besar yaitu:

Pertama, Jalan Katekisasi[16]. Pada bagian ini Gritsch menguraikan tentang isi Katekisasi Martin Luther itu mulai dari Sepuluh Perintah Tuhan, Pengakuan Iman, Doa Bapa kami, baptisan dan Perjamuan Kudus.

Kedua, Faktor Melanchthon. Pemimpin arsitek konfesi Lutheran adalah Philip Melanchthon (1497-1560) yang bergabung dengan fakultas teologi di Wittenberg tahun 1518. Sebagai maha guru bahasa Yunani, Melanchthon memulai belajar telologi dengan Luther dan menyakini hidup bahwa Allah menerima orang berdosa oleh anugerah sendiri demi Kristus. Dasar teologi inilah yang dituangkannya dalam Loci Communes (Common place), buku pegangan teologi Lutheran pertama yang dipublikasikan tahun 1521. Dan kemudian tiga tulisan lainnya menjadi bagian normatif pengakuan Lutheran yaitu: Buku Konkord (1580), Konfesi Augsburg (1530) dan Risalah atas Kuasa Primasi Paus (1537).

Yang mau disampaikan Gritsch dalam bagian ini adalah bahwa Melanchthon sangat memiliki banyak andil dalam perkembangan pemikiran teologi Luther. Pada tahun 1527 dan 1538, Melanchthon menerbitkan etika filosofi Kristen yang diikuti kemudian fisika tahun 1549 dan antropologi tahun 1553.  Gritsch juga memaparkan isi artikel dari Apologi Konfesi Augsburg yang dikeluarkan tahun (1531). Melanchthon dikenal juga sebagai Gnesio-Lutheran. Maka pengikut Melanchthon dikenal sebagai Philippist.

Ketiga, Dihakimi oleh Roma. Konsili Trente (di sebelah utara Italia, 1545-1563) membuka penghukuman Roma atas Lutheranisme. Yang menjadi perdebatan dalam masa ini adalah mengenai pembenaran oleh iman hubungannya dengan anugerah ilahi dan tindakan manusia. Dalam perdebatan ini Jerome Seripando menekankan anugerah atas kodrat dan setiap orang berdosa hanya diselamatkan oleh anugerah Allah saja. Konsekuensinya, konsili berpikir bahwa dosa manusia hanya dapat diatasi melalui kasih Kristus dari pada karena usaha manusia dan kasih karunia ini dimediasikan dalam sakramen baptisan. Tetapi konsili Bapa Gereja membuat perbedaan di antara dosa asali (dosa Adam dan Hawa) dan concupiscence (keinginan untuk berdosa). Konsili berpendapat bahwa baptisan hanya membuang dosa asal dan penghumannya, bukan menghapus keinginan untuk berdosa. Bagi pemikiran Luther bahwa seluruh dosa, baik itu dosa asali maupun keinginan untuk berdosa, dihapuskan oleh iman di dalam Kristus. Pembenaran iman bukan salah satu aksi Allah di dalam Kristus, tetapi langkah pertama dalam sebuah proses atau perjalanan yang berangsur-angsur orang-orang berdosa kembali kepada keluarga yang ilahi, keluarga yang dimulai dengan Adam yang ditebus di dalam Kristus, Adam kedua.

Pada tahun 1564 secara resmi bulla Paus dikeluarkan oleh Pius IV yang menolak Protestanisme. Sebagai tambahan, Roma meringkaskan dogma Trente di dalam “Profession of the Tridentine Faith” yang berisikan bahwa setiap imam harus patuh kepada paus. Tindakan ini diikuti oleh lima komponen yakni: (1) Daftar Buku-buku yang dilarang; (2) Katekismus Katolik yang harus digunakan oleh imam untuk mempropagandakan pengajaran Trente; (3) Buku Doa (Breviary) Roma digunakan imam sebagai disiplin spiritual mereka; (4) Missal Roma, mengkoordinasikan ibadah melalui perayaan Misa yang beraneka ragam; (5) Edisi baru Alkitab Latin, Vulgata, menjadi edisi akhir dari Alkitab Latin.

Keempat, Perdebatan Intra-Lutheranisme. Konsili Trente membuang banyak harapan Philipp Melanchthon dan Philippist bagi pembangunan dialog kesatuan. Gritsch memaparkan ada enam perdebatan yang tejadi di kalangan intra-Lutheranisme. Empat di antara perdebatan ini membahas tentang pengertian pembenaran oleh iman. Satu di antaranya mengklarifikasi hubungan Lutheranisme dan Katolikisme, dan yang lainnya membicarakan hubungan tradisi Reformed atau Calvinis (khususnya membahas mengenai bagaimana Perjamuan Kudus ditafsirkan).

Adapun keenam perdebatan itu adalah: 1) Perdebatan Antinomian, 2) Perdebatan Sinergis, 3) Perdebatan mayoristik, 4) Perdebatan Osiandrian, 5) Perdebatan Adiaphoris dan 6) Perdebatan Cripto-Calvinis.

Kelima, Mediasi. Melanchthon mencoba menemukan jalan tengah di antara dua posisi yaitu berharap kesatuan Protestan (Jerman – Swiss) melawan Katolik. Melanchthon telah membentuk persekutuan Konfesi Augsburg tahun 1540 yang bernama Varita. Dalam rangka mediasi ini Melanchthon telah mencoba sebagai irenik (bagian dari teologi Kristen yang mempersatukan perbedaan sekte) sebisa mungkin, namun dia meninggal di tengah-tengah perselisihan ini tahun 1560. Melanchthon mati dibakar di podium Kastel Gereja di Wittenberg. Namun usaha mediasi ini tidak berhenti karena ipar anak Melanchthon, Caspar Peucer dan teolog Christopher Pezel mencoba menstir di antara Lutheran dan Calvinis tentang doktrin Perjamuan Kudus.

Sebegitu jauh mediasi ini dilakukan, namun kesatuan Lutheran masih belum tercapai. Salah seorang warga jemaat akhirnya mencoba membuat dasar teologi bagi kesatuan ini yaitu: Jacob Andreae dari Wǜrttemberg, seorang pejabat tinggi di Universitas Tǜbingen (1561-1590). Dia berjalan melalui batas wilayah elektoral Saxony dan dibantu Duke Julius dari Braunschweig-Wolfenbuttel dalam memperkenalkan Lutheranisme di teritial ini setelah tahun 1568. Adreae menggunakan ringkasan teologi sebagai rumusan bagi kesatuan yang berisikan lima pasal tentang pembenaran, perbuatan  baik, kehendak bebas, adiaphora dan Perjamuan Kudus. Tetapi pertemuan berbagai faksi tidak menunjukkan keinginan untuk bersatu. Maka Andreae merubah dari pengajaran pada berkhotbah dengan menerbitkan pekerjaannya sebagai Six Sermon on the Division among Theologians of the Augsburg Confession tahun 1573. Usaha ini pun gagal sebab pemimpin Lutheranisme di sebelah utara Jerman khususnya David Cytraeus dari Rostok dan Joachim Westphal dari Hamburg tidak menyukai sermon tersebut sebagai flatform bagi negosiasi kesatuan. Mereka meminta Andreae menukar sermon ini dengan Swabian Concord (1574). Dan akhirnya setelah mengalami banyak proses maka Andreae bersama Duke Ulrich, Count George Ernst, dan Margrave Karl membentuk tim kesatuan teolog yang menghasilkan Maulbrum Formula (1576).

Keenam, Rumus Konkord[17]. Dalam bagian ini Gritsch memaparkan sejarah dan proses terbentuknya Rumus Konkord dan isi pasal demi pasal. Ringkasnya, Gritsch memaparkan bahwa Rumus Konkord ini berisikan dua belas pasal yang dielaborasikan dengan “Solid Declaration” dan ringkasan dalam “Epitome”.

Pasal 1 (dosa asali) dan 2 (kehendak bebas) dialamatkan pada isu-isu perdebatan Sinergis. Pasal 3 (Pembenaran Iman di hadapan Allah) dialamatkan pada isu-isu perdebatan Osiandrian tentang “pembenaran iman di hadapan Allah”. Pasal 4 (Perbuatan baik) dialamatkan pada isu-isu perdebatan Mayoris yang mempertanyakan apakah perbuatan baik diperlukan bagi keselamatan. Pasal 5 (Hukum Taurat dan Injil) dan pasal 6 (Fungsi Hukum Taurat yang Ketiga) dialamatkan pada isu-isu perdebatan Antinomian. Pasal 7 (Perjamuan Kudus), pasal 8 (pribadi Kristus) dan pasal 9 (Turunnya Kristus ke dalam Kerajaan Maut) dialamatkan pada isu-isu perdebatan Crypto-Calvinis. Pasal 7 menekankan “kehadiran nyata” Kristus di dalam Perjamuan Kudus. Pasal 8 mendefinisikan kehadiran nyata Kristus di dalam Perjamuan Kudus sebagai kehadiran penuh baik tubuh Kristus yakni tubuh kemanusiaan dan tubuh keilahian-Nya. Zwingli, Calvinis dan beberapa Philippis (crypto-Calvinis) beranggapan bahwa hanya tubuh kemanusiaan ilahi yang hadir di dalam Perjamuan Kudus sebab kemanusiaan, tubuh fisik Kristus tidak bisa hadir di dalam dua tempat pada saat yang sama, pada satu sisi di sebelah kanan Allah di sorga dan dikonsentrasikan di dalam roti dan anggur. Pasal 8 mengatakan kehadiran kedua kodrat itu dalam Perjamuan Kudus. Pasal 10 (Kebiasaan-kebiasaan Gerejawi) dialamatkan pada isu-isu perdebatan adiafhoris. Pasal 10 ini menegaskan bahwa setiap persekutuan Kristen dibolehkan untuk memiliki berbagai macam kebiasaan atau ritus-ritus “menurut kebiasaan dan ketentraman umum”. Pasal 11 (Pratahu Allah yang kekal dan Predestinasi) dialamatkan pada isu-isu ringkasan perdebatan di antara Lutheran dan Calvinis di Strasbourg dan Lower Saxony tahun 1563. John Calvin dan penggantinya, Theodore Beza, beranggapan bahwa Allah tidak ingin seluruh manusia bertobat dan percaya pada Injil. Pasal 12 (Faksi yang tidak pernah menerima Konfesi Augsburg) yang mendaftarkan kelompok yang radikal di dalam Reformasi khususnya Anabaptis, Schwenckfelders, dan Anti-Trinitas atau Unitarian yang menolak Trinitas.

Ketujuh, Konfesi Gereja Lutheran[18]. Tepatnya setelah limapuluh tahun pengajuan Konfesi Augsburg baru pada tanggal 25 Juni 1580 Lutheran mempublikasikan pengajaran formalnya di dalam Buku Konkord (kemudian dimasukkan “Pengakuan Gereja Evangelikal Lutheran”).

Dalam bagian ini Gritsch memaparkan isi ringkas dari Buku Konkord ini. Buku Konkord ini dimulai dengan sebuah Konkordia, kemudian kata pembukaan, kemudian tiga teks pengakuan iman ekumenis (Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea, dan Pengakuan Iman Athanasianum).

Kemudian Gritsch memaparkan dasar pendirian teologis yang mengidentifikasikan pengakuan gereja Lutheran pada abad kesembilan belas yaitu: (1) Penegasan kerendahan hati kasih Allah sebagai satu-satunya jalan keselamatan. (2) Injil tentang pembenaran Ilahi di dalam Kristus sebagai norma pemberitaan kegerejaan dan sebagai dasar kehidupan Kristen. (3) Perbedaan Hukum Taurat dan Injil sebagai penjagaan atas pesan anugeah Ilahi. (5) Penekanan Firman dan Sakramen sebagai arti yang penting pada keselamatan melalui yang Kristus telah buat dan pelihara di dalam Gereja-Nya. (6) Penekanan atas keimamatan seluruh orang percaya sebagai sebuah indikasi bahwa seluruh orang Kristen adalah sama di hadapan Allah dan memiliki kewajiban apostolik bagi misi. (7) Penegasan dunia sebagai ciptaan Allah, yang menuntun dunia ke kemuliaan Ilahi. (8) Penunjukan dunia Kristen bertanggung jawab sebagai hubungan kepatuhan dengan pekerjaan Allah di dunia. (9) Penggunaan Alkitab sebagai norma bagi pemberitaan dan pengajaran di dalam Gereja serentan dengan perhatian pada perbedaan, memisahkan Injil dan Alkitab. (10) Komitmen pada pengakuan Gereja sebagai arti untuk melestarikan sebuah pemberitaan yang benar dari Injil dan kesatuan Gereja. (11) Usaha intensif teologi untuk menyediakan sebuah iman dan pemberitaan yang benar tentang Injil di sini dan sekarang.

2.4    ORTODOKSI, 1580-1675[19]

Dalam membahas ortodoksi ini Gritsch mengemukaan tujuh hal penting yaitu:

Pertama, Daerah Imperatif. Kedamaian Augsburg tahun 1555 menciptakan teritorial Gereja Lutheran dan Gereja Katolik Roma di bawah otoritas pangeran. Gereja Lutheran dipandang sebagai yang ortodox ketika gereja Lutheran memasukkan Konfesi Lutheran di dalam Buku Konkord tahun 1580; Gereja Katolik dituntun oleh norma-norma Konsili Trente (1545-1563). Ortodoksi Lutheran mengakar di sekolah teologi yang mencoba memodernisasi seluruh pemikiran dan kehidupan Kristen dan mempersiapkan sistem tunggal bagi kesatuan politik dan kegerejaan. Sekolah-sekolah inilah nantinya yang menghasilkan para pendeta dan pengajar yang menjaga “doktrin yang murni”.

Gritsch memaparkan beberapa orang yang terus berjuang menjaga dan memelihara daerah-daerah imperatif ini misalnya: (1) John Brenz (1499-1570), pemimpin gereja di Wurttemberg yang menciptakan sebuah model teritorialisme Lutheran yang menggabungkan kekuatan masyarakat dan spiritual. Model ini dikembangkan di dalam dokumen yang berjudul Great Church Order tahun 1559. (2) Marsillius yang mencoba menghubungkan antara gereja dan negara dalam karyanya Defender of Peace (Defensor pacis, 1324). (3) Thomas Luber yang dikenal dengan Erastus (1524-1583) yang melihat daerah teritorial sebagai hukum Kristen tertinggi, cerminan pola raja-raja Israel Perjanjian Lama. (4) Di Denmark, Raja Frederick II (1559-1588) sangat tegas menekankan legislasi termasuk menyensor dan menolak doktrin-doktrin orang lain. (5) Di Swedia, Raja-raja Swedia selalu menolak Calvinisme; dan mereka mengadopsi Rumus Konkord Jerman tahun 1663. (6) Di Finlandia, hanya orang-orang Lutheran yang dikenal sebagai warga negara.

Ortodoksi Lutheran membenarkan teritorial imperatif dengan ajaran dua kerajaan (realms atau regiments) yang biasanya dipahami Augustinus (354-430) dan Luther. Luther menekankan perbedaan dua lembaga kerajaan dengan: kerajaan dunia (the realm of the world) yang dipimpin oleh otoritas sekular dan kerajaan persekutuan Kristen yang tertulis dalam Injil. Orang Kristen milik kedua kerajaan ini, sementara orang yang tidak percaya hanya milik kerjaan dunia saja. Ortodoksi Lutheran mengalami sisi positif dan negatif setelah kematian Luther.

Kedua, Praduga. Banyak praduga yang berkembang setelah daerah imperatif dan ortodoksi Lutheran semakin menyebar. Menurut Gritsch ada beberapa pradugaan orang akan hal ini yaitu: (1) mengangkat Luther dari konteks sejarah dan memandangnya sebagai nabi yang memiliki kebenaran ilahi yang tak terbantahkan. (2) Gerakan Reformasi dilihat sebagai sebuah tindakan supernatural Allah yang didirikan Gereja Lutheran. Dan Luther lebih dilihat sebagai objek iman dari pada sebuah subjek penelitian sejarah. (3) Pengaruh liturgi dan pembinaan iman menjadi sebuah pujian (hymne) yang membangunkan pietisme. Puisi-puisi dan hyme Lutheran yang ditulis Paul Gerhardt (1607-1676) menjadi sumber pietis ortodox yang berpengaruh. (4) Munculnya pembaharuan kehidupan Kristen dengan kedalaman mistik yang dipelopori oleh Johann Arndt (1555-1621). Karyanya yang sangat terkenal adalah, Four Books of True Christianity (1605-1609) menjadi buku terlaris pada masa ortodoksi, bagi para pemikir teolog ortodox Lutheran.

Ketiga, Mencari Doktrin yang Murni. Gritsch lebih jauh memaparkan para tokoh yang mempertahankan doktrin Lutheran yang murni dalam bukunya ini. Para tokoh dimaksud adalah: (1) Alumnus Universitas Tǜbingen yang menjadi pendiri ortodoksi Lutheran di Wittenberg yang dipimpin oleh Aegidius Hunnius (1530-1603), Polikarpus Leyser (1552-1610), dan Leonhart Hutter (1563-1616). Mereka bersama dengan yang lainnya mendukung kuat Elektor Frederick William dari Saxony yang berkeinginan untuk memelihara Universitas Wittenberg sebagai “kursi Luther” (Cathedra Lutheri). Hutter mencoba menjadi seorang teolog ortodox terkenal dengan mengambil dan mempelajari ringkasan teologi Lutheran yakni Loci Melanchthon dan mengggantikannya dengan karyanya yang berjudul Compendium tahun 1610. (2) Generasi kedua dari teolog orthodks di Wittenberg adalah John Andreas Quenstedt (1617-1688) yang mempublikasikan karyanya yang berjudul Didactic, Polemical, or Systematic Theology (1685). Dia mencoba menunjukkan bagaimana pemikiran ortodox Lutheran memaparkan sistem analisis yang masuk akal yang didasarkan pada Alkitab. (3) Ortodox Lutheran Jerman di Barat dipertahankan oleh Universitas-universitas Marburg dan Giessen yang dipimpin oleh Balthasar Mentzer (1565-1627) yang memisahkan konsep doktrin kemurnian Lutheranisme dari Calvinisme dari wilayah barat ini. (4) Di Universitas Strasbourg dipelopori oleh kelompok “Trio Yohanes” (“Johannine triad”): John Schmidt (1594-1658), John Dorsche (1597-1658), dan John Dannhauer (1603-1666). Dan yang paling berpengaruh suaranya adalah Dannhauer dari ketiga orang ini. Dannhauer begitu gigih menyerang Katolikisme, Calvinisme dan nonortodox Lutheranisme. Pandangannya atas doktrin yang murni tidak boleh digabungkan dengan usaha ekumenis untuk menyatukan Katolik dan Protestan. Karyanya yang terkenal adalah Hodosophia christiana sive theologia positiva (Hikmat Kristen atau teologi positif, 1649). (5) Lutheran Ortodox di Universitas Leipzig lama yang dipelopori oleh John Hulsemann (1602-1661) yang mengeluarkan bukunya yang berjudul Breviarium theologiae (Isi Ringkas Teologi, 1641). Dia menggunakan kuasanya sebagai pendeta Gereja St.Nicolai dan sebagai uskup untuk mempropagandakan doktrin murni sebagai seri pasal yang fundamental didasarkan pada Alkitab dan Konfesi Lutheran. (6) Di sebelah utara, doktrin yang murni ini dibahas di Universitas Rostock dan di Copenhagen, Denmark yang dipelopori oleh John Quistorp Sr. (1584-1648) dan anaknya John (1624-1669) yang menekankan disiplin spiritual di dalam traktat-traktat dan sermon-sermon, menekankan Penelaahan Alkitab, menolak polemik-polemik dan pelayanan sederhana gereja. (7) Ortodox Lutheran yang terkenal adalah Abraham Calov (1612-1686) yang tumbuh, dilatih dan aktif melayani di Konigsberg, Prussia dan Wittenberg. Dia berpengaruh besar sebagai superintendent gereja-gereja Saxon dan sebagai “mahaguru yang dibedakan” (“distinguished professor” – professor primarius). (8) Dan terakhir tokoh ortodox Lutheran adalah David Hollaz (1648-1713). Dia meringkaskan pandangannya di dalam sebuah karya dogmatikanya yang berjudul Examen theologicum acroamaticum (1707).

Secara umum para teolog ortodox Lutheran mencoba mempertahankan persetujuan yang diperoleh di dalam Rumus Konkord tahun 1577 dengan beberapa metode. Metode pertama, mereka mencoba untuk mendefinisikan doktrin murni melalui metode loci, yang digunakan pertama kali oleh teolog sistematik, Melanchthon. Metode kedua, mendefinisikan doktrin murni dengan analisa, memberi contoh pertama di dalam karya John Gerhard. Dan metode ketiga, metode analisis yang mendefinisikan doktrin murni dengan mencakup refleksi filosofi dan teologi metafisika dan teologi alami.

Keempat, Alkitab dan Inspirasi. Gritsch menjelaskan bahwa orthodoksi Lutheran secara umum beranggapan bahwa Alkitab adalah firman Allah. Bahkan John Gerhard mengatakan, “Alkitab adalah Firman Allah, yang ditulis berdasarkan keinginan Tuhan melalui evangelis dan rasul-rasul… untuk mengarahkan pada hidup yang kekal”. Allah-lah yang menjadi penulis Alkitab. Oleh karena itu maka teologi ortodox mengatakan bahwa penulis utama Alkitab adalah Allah dan kedua para penulis dan akhirnya para penafsir Alkitab.

Dasar literatur inspirasi ini ditemukan dalam Alkitab itu sendiri. “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2 Timotius 3:16). Dasar lainnya adalah 2 Petrus 1:21, “Sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah”.

Teolog ortodox melihat inspirasi verbal ilahi sebagai alasan bahwa Alkitab memiliki otoritas yang eksklusif, dengan “Kitab Suci itu sendiri” (Latin: sola scriptura). “Sebab penulis Kitab Suci adalah Allah dengan langsung menginspirasikannya kepada para nabi, penginjil dan rasul yang memiliki otoritas”. Teolog ortodox sistematika berpendapat bahwa Alkitab sebagai firman Allah yang berfokus pada dugaan autentisitas, sufisiensi (kecukupan), dan efikasi (kemanjuran).

Sufisiensi artinya kanon Alkitab berisikan segala sesuatunya harus dipercayai menyelamatkan dan setiap orang harus melakukannya di dalam hidup yang menyenangkan Allah. Sebagai efikasi, Alkitab, firman Allah harus diwartakan sebagai kabar baik bagi manusia yang berdosa. Dengan argumen bahwa Alkitab adalah autentik, sufisien, dan efikasi, para teolog ortodox mengatakan bahwa Kitab Suci adalah benar sebagai sumber keselamatan.

Teolog ortodox juga mengatakan bahwa Alkitab bukanlah sebuah buku bagi ilmu pengetahuan alam. Tetapi Alkitab berisikan kebenaran tentang keselamatan dan kebenaran ini tidak dijamin dari pengalaman manusia.

Kelima, Polemik-polemik. Dalam bagian ini Gritsch mencoba memaparkan beberapa polemik yang terjadi akibat ortodoksi Lutheranisme. Sebenarnya polemik ini sudah muncul selama masa Reformasi dan post-Reformasi. (1) Robert Bellarmine, Teolog Katolik  Roma yang sangat berpengaruh dalam karyanya Controversies (1583) dan dalam banyak edisi yang menuntun untuk anti-Protestan pada abad ketujuhbelas. Polemik Lutheran yang melawan Konsili Trente adalah Martin Chemnitz dalam karyanya Examination of the Council of Trent (1573). Lutheran juga berlawanan dengan Reformed (Calvinis) atas perbedaan prinsip di dalam Perjamuan Kudus.

Polemik berikut yang dipermasalahkan adalah masuknya filosofi di dalam teologi. Bagi Luther berkata bahwa sangat baik pernikahan antara filosofi dengan teologi. Kebangkitan Aristotelianisme dan humanisme di universitas-universitas Jerman memaksa para teolog untuk mengevaluasi aturan filosofi.

Inti polemik ortodox adalah melawan doktrin tradisi Katolik yang diterima pada Konsili Trente. Doktrin yang diajarkan bahwa penafsiran Alkitab harus dilakukan oleh uskup gereja yaitu paus. Ortodox Lutheran berprinsip bahwa “Hanya oleh Kitab Suci” (sola scriptura) sebab Alkitab diinspirasikan oleh Roh Kudus.

Musuh terpenting dari doktrin Lutheran inspirasi verbal adalah Robert Bellarminus yang mendaftarkan enam alasan mengapa Alkitab membutuhkan gereja menjadi jelas: (1) banyak pesan menunjukkan berlawanan satu sama lainnya; (2) Alkitab berisikan firman dan pernyataan-pernyataan yang bermakna ganda; (3) Alkitab berisikan pernyataan yang tidak sempurna atau pemikiran-pemikiran yang tidak konsisten; (4) Alkitab berisikan pernyataan yang mustahil; (5) banyak ditemukan Hebraisme; dan (6) ditemukan banyak bahasa figuratif (alegoris, metafora, dan sebagainya). Polemik ortodox Lutheran merupakan bagian pekerjaan teologi yang harus membuat jelas perbedaan apakah itu yang benar dan palsu.

Keenam, Selingan irenik (menuju kedamaian). Karena sudah bosan dan capai berpolemik, para teolog mecoba mencari dasar yang lebih tinggi. Mengapa Protestan (Lutheran dan Calvinis) tidak menyatu melawan Katolik, Socianian dan gerakan unortodox radikal lainnya? Franciscus Junius (1545-1602) yang mengajar di Heidelberg dan Leiden, Belanda mencoba mendamaikan Lutheran ortodoksi dengan mengusulkan dua esensi dogmatika loci sebagai dasar bagi kesatuan: penerimaan otoritas Alkitab dan pusat penebusan Kristus melalui kematian-Nya. Kedua kubu ini seharusnya jangan terlalu lama larut dalam persoalan penafsiran Perjamuan Kudus tetapi merayakannya dengan misteri kesatuan.

Tetapi pertemuan di antara Lutheran dan Reformed di Leipzig tahun 1631 tidak membuahkan hasil keinginan untuk bersatu walaupun sudah banyak usaha-usaha yang dilakukan dalam mencapai kesatuan ini.

Usaha selanjutnya ialah usaha penyatuan Lutheranisme dengan Katolik yang diprakarsai oleh Calixtus. Namun usaha ini juga ditolak oleh teolog ortodox Lutheran karena usaha penyatuan ini merusak aturan dan otoritas Konfesi Lutheranisme.

Ketujuh, Bahaya-bahaya kesatuan (Uniformity). Di sisi lain Gritsch juga memaparkan bahaya-bahaya kesatuan yang sedang dikerjakan oleh para teolog. ortodox Lutheran menggabungkan komitmen konfesi Lutheran pada kesatuan orang Kristen dengan kesatuan yang menyeluruh di dalam pengajaran, kesatuan dogmatikanya. Pasal 7 Konfesi Augsburg telah dengan jelas bahwa “sudah cukup [satis est] bagi kesatuan gereja yang benar untuk menyetujui pengajaran Injil dan sakramen. Tidak lagi penting tradisi-tradisi manusia … sama seperti di mana saja”.

Ortodoksi Lutheran mewarisi dan bagian manifestasi dari skisma gereja pada abad keenambelas gerakan Reformasi di dalam Gereja Katolik Roma yang berpisah dari Gereja Ortodox Yunani tahun 1054. Dengan demikian ortodox Lutheran bukan mencari kesatuan “kesatuan dari hal-hal yang kudus” sebagai mana dituangkan dalam pasal 7 tetapi kesatuan di dalam pemikiran yang sistematik, dogma yang benar tentang Alkitab. Konfesi Lutheran tidak memerlukan keseragaman tetapi berbicara tentang dua kondisi bagi kesatuan yang diekspresikan dalam “sudah cukup” (it is enough”): pengajaran Injil dan pelaksanaan sakramen.

2.5    PIETISME, 1675-1817[20]

Dalam membahas Pietisme ini, Gritsch menguraikan dan menjelaskan latar belakang berdirinya gerakan ini hingga pada perkembangannya di dunia baru. Gerakan ini dijelaskannya secara mendalam dan sistematis. Ada beberapa catatan yang menjadi perhatiannya dalam membahas Pietisme ini yaitu:

Pertama, Deklarasi (Manifesto) Pietis. Menurut Gritsch, gerakan ini pada mulanya merupakan gerakan yang dihubungkan dengan ortodoksi Lutheran yang menganut faham mistik yang dihubungkan dengan skolastisisme. Misalnya John Gerhard mendirikan “sekolah kekudusan” (schola pietatis) tahun 1622 yang berusaha untuk menggabungkan dogma rasional dengan kekudusan emosional. Kemudian Johann Arndt (1555-1621) mendirikan reformasi umum kekudusan Lutheran dengan subur. Dia melakukannya dengan mempublikasikan karyanya True Christianity tahun 1610, buku yang sangat laris dan berpengaruh pada masa itu. Arndt mengajarkan bagaimana keselamatan di dalam Kristus menjadi sebuah jalan pengudusan melalui tiga langkah yaitu: penyucian, pencahayaan, dan penggemblengan jiwa dengan Allah.

Tokoh lainnya yang menjadi pelopor berdirinya Pietisme ini adalah Philip Jacob Spener (1635-1705) yang lahir di Alsace. Karyanya Spener yang terkenal adalah Pia Desideria (Kehendak Saleh). Secara ringkas Gritsch menjelaskan isi Pia Desideria ini. Isi Pia Desederia adalah sebuah program pembaharuan. Pia Desideria terbagi dalam tiga pokok penting. Bab I membahas diagnosa kemunduran gereja yang menyangkut kondisi korup di dalam gereja; bab II diikuti dengan prognosis tentang harapan perbaikan gereja; bab III merupakan usul-usul program pembaharuan yang berisikan enam komponen; dan inilah yang menjadi pusat manifesto Pietis.

Bab I menganalisa kebobrokan pemerintahan gereja dengan pembedaan di antara pengajaran dan kehidupan. Bab II berbicara tentang harapan akan masa depan melalui dasar pembaharuan di dalam janji-janji alkitabiah. Bab III berisikan program pembaharuan yang terdiri dari enam langkah yakni: (1) Penggunaan Firman Allah secara ekstensif (1 Korintus 14:26-40). (2) Kebangunan Imamat yang Rajani seluruh orang percaya. (3) Kekristenan lebih menekankan praktik dari pada pengetahuan. (4) Tidak perlu perdebatan-perdebatan teologi. (5) Pembaharuan menyeluruh pendidikan teologi. (6) Hidup sederhana, memperbaiki cara berkhotbah.

Kedua, Yayasan Halle. Spener adalah orang yang sangat baik dalam bersahabat sehingga banyak yang bersimpati kepadanya. Misalnya di Berlin, salah seorang yang menjadi pilar Pietisme adalah August Hermann Francke (1663-1727). Ia meneruskan gagasan Spener dan mempertahankan ajaran Spener dari penentang-penentangnya. Menurut Francke, teologi harus melayani perubahan hidup, pembaharuan gereja, pembaharuan bangsa dan penginjilan dunia. Berbeda dengan ortodoksi, Francke tidak menekankan doktrin yang benar, tetapi yang dipentingkan adalah perwujudan ajaran itu di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu seperti Spener, Francke lebih banyak berbicara tentang lahir baru dan kurang berbicara tentang pembenaran. Tindakan objektif Allah dalam keselamatan diabaikan, sedangkan peranan subjektif manusia ditekankan. Dengan perkataan lain Francke menganut Ordo Salutis yang diajarkan Spener.[21] Francke berjalan lebih jauh dari Spener. Kalau Spener hanya mengandalkan Collegia Pietatis dalam universitas, maka menurut Francke harus ada revisi seluruh sistem pendidikan, dari sekolah dasar sampai universitas. Mereka dikenal dengan sekolah-sekolah Jerman. Francke juga mendirikan sekolah bagi pelatihan guru. Untuk itu Francke menjadikan Halle sebagai model. Kesalehan pendidikan menjadi perhatian utamanya, sebab mereka harus menjadi contoh bagi anak-anak didik. Pada tahun 1707, Francke mendirikan “Seminarium Selectum Praeceptorum”. Akhirnya, Francke mendirikan toko-toko buku dan percetakan di panti asuhan untuk mempropagandakan program pembaharuan Halle. Gerakan ini didukung oleh Freiherr Carl von Canstein (1667-1719) yang menjadi kepala “Lembaga Alkitab” tahun 1710 yang menjadi lembaga Alkitab pertama di dunia (menjadi Lembaga Alkitab Cansteinian sejak tahun 1720). Francke dan  Lembaga Halle didukung sepenuhnya oleh pemerintah Prussia. Raja-raja Prussia mengirimkan pendeta tentara dilatih dan dibimbing di Halle. Yayasan ini juga berkembang di Copenhagen sehingga didirikanlah Misi Danish-Halle untuk mempropagandakan Kekristenan Pietis di India. Francke sendiri memelihara hubungan dengan organisasi Lutheranisme di Amerika dengan Henry Melchior Muhlenberg (1711-1787) salah seorang lulusan Halle.

Ketiga, Pietis Zinzendorf. Tokoh ketiga yang terkenal dalam gerakan Pietisme ini adalah Count Nikolaus Ludwig von Zinzendorf (1700-1760). Gerakan Pietisme Zinzendorf ini dimulai di Herrnhut (kelompok orang Kristen Moravian yang dipaksa melarikan diri dari tanah airnya karena penganiayaan). Di daerah inilah Zinzendorf mengembangkan pietismenya. Walaupun Zinzendorf dipengaruhi oleh Halle, namun Zinzendorf mengembangkan Pietisme Herrnhurt dengan gayanya sendiri. Pandangan teologis Zinzendorf tidak diuraikan secara sistematis. Pandangan Zinzendorf hanya dapat disimak dari khotbah-khotbahnya atau dari perkataan-perkataannya. Zinzendorf tidak setuju dengan ortodoksi dan Pencerahan yang terlalu menekankan akal namun ia menekankan perasaan. Menurut Zinzendorf, agama personal adalah persoalan perasaan dan bukan akal. Pusatnya di hati dan bukan di kepala.

Perkembangan Pietisme Zinzendorf ini selanjutnya diteruskan oleh anaknya, Christian Renatus (Latin: “lahir kembali”, 1727-1752) yang menggiring Pietisme Herrnhurt ke fantasi yang ekstrem. Ibadah Minggu menjadi sebuah teater yang berisikan musik intrumental, khotbah yang memukau dan pertunjukan yang berbagai macam gambar untuk melukiskan hubungan antara Kristus dengan orang-orang Kristen. Bentuk ekstrem Pietisme Herrnhurt akhirnya diberhentikan tahun 1750 oleh dewan Saxon. Zinzendorf mempunyai perbedaan yang cukup menyolok dengan Pietisme Halle. Ia setuju dengan Halle ketika ia menekankan pertobatan dan lahir baru. Tetapi ia menolak Francke yang terlalu menekankan penyesalan, sehingga sering disertai dengan kesedihan dan air mata. Bagi Zinzendorf, pengalaman pertobatan adalah pengalaman sukacita yang membawa serta jaminan keselamatan.

Akhirnya Gritsch berpendapat bahwa pandangan Zinzendorf tentang Pietisme sebagai sebuah gerakan pembaharuan dalam gereja Katolik sama seperti gerakan Luther dan Melanchthon dimengerti bahwa Lutheranisme menjadi gerakan pembaharuan di dalam Gereja Katolik Roma. Sebab tiga dari mereka, mengingatkan gereja harus bersatu tanpa menjadi seragam.

Keempat, Kebangunan Jemaat. Gerakan Pietisme ini mampu membaharui kehidupan jemaat lokal misalnya di Wǜrttemberg yang menjadi pusat intelektual Universitas Tǜbingen. Dua orang tokoh Pietisme Wǜrttemberg yang terkenal adalah John Albrecht Bengel (1687-1752) dan seorang filsuf-teolog, Frederick Christopher Oetinger (1702-1782). Secara teologis walaupun Bengel dipengaruhi oleh Halle, tetapi ia memberikan warna atau cap tersendiri kepada Pietisme Wǜrttemberg. Misalnya Bengel sangat mementingkan hidup baru, tetapi ia tidak membuat semacam jalan khusus ke arah hidup baru itu. Beberapa yang menarik dari Bengel ialah: ia memulai menyelidiki Alkitab dan menekankan kritik teks. Dengan kritik teks, Bengel bermaksud menolong orang agar dapat mengerti Alkitab lebih baik. Bengel merupakan orang yang pertama yang membuat pembagian naskah atau penggolongan naskan dalam Perjanjian Baru.

Sementara itu, Oetinger menekankan ajaran metafisika untuk menggambarkan kerajaan supranatural dari roh. Oetinger sangat gemar mencari jemaat yang mengalami pengalaman khusus, termasuk vis yang menjadi bagian dari “pusat visi”. Dia berbicara tentang “kedalaman” dari “tubuh-jiwa” di mana Kristus bersatu di dalam cara yang luar biasa. Kekhasan Oetinger adalah dia sangat memberikan tempat dan perhatian yang cukup besar bagi ilmu pengetahuan.

Pietisme Wǜrttemberg melestarikan, menguatkan, dan mengembangkan panggilan Spener bagi kebangunan jemaat melalui keaktifan imam-imam dan seluruh orang yang percaya. Dengan kelompok kecil yang terus menelaah Alkitab, berdoa, dan membaharui masyarakat menjadikan jemaat menjadi “gereja kecil di dalam gereja”, menguatkan kesaksian Injil di dalam gereja dan memampukan orang ke luar dan berjuang di antara kebaikan dan kejahatan di dunia ini.

Kelima, Gerakan Radikal. Dalam gerakan Pietisme ini juga dikenal dengan adanya gerakan yang radikal sama seperti gerekan lainnya seperti yang terjadi di dalam gerakan Reformasi. Terkadang gerakan radikal ini memisahkan dirinya dari institusi yang mapan. Beberapa tokoh radikal dalam Pietisme ini adalah: (1) Gottfried Arnold (1666-1714). Orang Kristen yang benar menurut Arnold, harus mengalami kelahiran baru secara radikal dan pembaharuan hati. Ia mengatakan semua itu terjadi karena anugerah Allah. Arnold juga mempunyai padangan yang negatif terhadap dunia ini. Ia juga tidak menghormati organisasi-organisasi gereja pada umumnya dan Lutheran khususnya. Menurutnya ada empat berhala dalam Lutheranisme yaitu: kursi pengakuan dosa, altar, bejana baptisan dan mimbar. Sebab menurutnya, yang paling penting di atas segala-galanya ialah identifikasi batin dengan Kristus. (2) Ernst Christoph Hochmann von Hohenau (1670-1721), seorang pengkhotbah kebangunan rohani yang mengatraksikan umat dari seluruh pemberhentian hidupnya. Dia mencela baptisan anak, sidi yang pasif, dan bergerak dengan cepat dari satu tempat ke tempat lain untuk melarang penganiayaan politik. Orang melihat dia di Switzerland, di Belanda, dan di Chekoslowakia di mana ia bersahabat dengan gerakan separatis lainnya seperti Mennonit dan misitik.

Beberapa dari gerakan radikal ini membentuk jemaat kecil. Percaya pada baptisan dewasa yang disatukan dengan yang telah membaca karya Arnold yang berjudul First Love, yang menolak baptisan anak sebagai yang tidak alkitabiah. Salah satu di antaranya adalah Conrad Beissel (1690-1786) yang mendirikan komunitas monastik di Ephrata, Pennsylvania.

Ada yang menyebut dirinya sebagai “alat-alat Tuhan” yang dipimpin oleh John Frederick Rock (1678-1749) yang mendirikan komunitas kecil di berbagai bagian Jerman dan Switzerland.

Spekulasi milenialis bangkit kembali di dalam “jemaat Sion” di Ronsdorf dekat Elberfeld yang didirikan oleh Elias Eller (1690-1750). Jemaat ini diinspirasikan oleh gadis kecil yang bernama Anna von Buchel yang mengklaim memiliki pengalaman “suara hati” yang memberitahukan kedatangan Yesus kali kedua di akhir milenium.

Keenam, Para Misionaris. Gerakan Pietisme memiliki visi bagi kesatuan orang Kristen dan semangat bagi penginjilan yang luar biasa. Yayasan Halle Francke menjadi puat pelatihan misionaris. Salah seorang muridnya, Anton Wilhelm Bohme (1673-1722), menjadi pendeta tentara di Inggris dan mendirikan jaringan dengan “Masyarakat bagi Promosi Pengetahuan Kristen” tahun 1699. Misionaris pertama yang tamat dari Yayasan Halle adalah: Bartholomew Ziegenbalg (1682-1719) dan Henry Plutschau (1677-1646). Dalam melaksanakan penginjilannya, Ziegenbalg mendasarkan penginjilannya pada lima prinsip dasar yang kemudian dikenal menjadi model bagi misionaris Pietis yaitu: (1) pendidikan Kristen bagi anak-anak di dalam sebuah sekolah paroki harus dikonsentrasikan atas firman Allah. (2) Firman Allah harus dimengerti di dalam bahasa setempat. (3) Pengkomunikasian Injil harus menyesuaikan diri pada pemikiran dan kehidupan umat. (4) Misi adalah konversi pribadi. (5) Gereja harus mengatur sesegera mungkin melayani dengan melatih orang yang bertobat sebagai pemimpin.

Murid Francke yang lain, John Henry Callenberg (1694-1760) mendirikan apa yang dikenal sebagai “Lembaga Yahudi dan Muhammad” (Institutum Judaicum et Muhamedicum) tahun 1728 di Halle. Para misionaris dikirim ke bukan hanya ke Eropa utara dan Timur Tengah tetapi juga ke Skandinavia. Dari Halle, mereka pergi ke Denmark untuk mempertobatkan orang Yahudi di sana.

Pergerakan penginjilan ini semakin berkembang ke daerah Baltik (Riga dan Reval), Belanda, Inggris, Switzerland dan ke India Barat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pietisme bukanlah menopang gerakan kepercayaan ekumenikal dan misionaris, melainkan Yayasan Halle menjadi pusat misi dunia. Banyak misionaris dilatih di sana dan dikirimkan ke seluruh dunia.

Ketujuh, Hubungan pada Dunia Baru (Amerika). Penyebaran Pietisme ini  semakin merambat ke Amerika. Lutheran kelihatan pertama sekali tahun 1528 di Amerika Utara yang dikenal sekarang sebagai Venezuela. Kemudian Lutheran berkembang di Florida, Swedia, New York, dan lain sebagainya.

Perkembangan Pietisme ke Amerika adalah karena seorang murid Francke di Halle yaitu: Justus Falckner. Setelah menerima tahbisan, Falckner diutus menjadi pengkhotbah berpindah-pindah, pergi ke Gereja Reformed Belanda dan jemaat Lutheran di Manhattan, Albany dan Athena, New York dan Hackensack, New Jersey. Selanjutnya, ketika Yayasan Halle dipimpin oleh Gotthilf August Francke (anak August Hermann Francke), maka dia mengutus Henry Melchior Muhlenberg untuk mengamankan dan mengorganisasikan permasalahan Lutheran di Amerika. Dengan cepat dia menjadi “bapa gereja” Lutheranisme di Amerika Serikat. Tahun 1733, Lutheran Pennsylvania mulai berhubungan dengan Pietis Halle yang dipimpin anaknya Francke, Gotthilf dan Frederick M.Ziegenhagen, dan mereka mempresentasikan misi Halle di London. Dua puluh empat pendeta misionaris dikirim ke Amerika Utara, khususnya ke Pennsylvania selama parohan kedua abad kedelapan belas. Hallesche Berichte (Laporan Halle) dari Amerika menjadi terkenal dan digunakan untuk merekrut dan dana misionaris.

Memang harus diakui bahwa di mana saja selalu terjadi konflik dalam penyebaran Injil. Di antara kolonial Lutheran Amerika, ada beberapa tanda konflik di antara Ortodoksi dan Pietis Lutheran di Eropa. Pembela Ortodoksi mengatakan bahwa Pietis bukanlah Lutheran yang murni dan sangat berbahaya atau bahkan kelompok “Crypto-Herrnhuter” (Moravian tersembunyi). Akhirnya Gritsch memaparkan bahwa Pietisme pada masa perang Tiga Puluh tahun, Lutheranisme merasa aman karena intervensi militer atas Raja Lutheran Sedia, Gustavus Adolphus II (1594-1632) yang dibunuh di dalam sebuah peristiwa.

2.6    DIVERSIFIKASI (KEBHINEKAAN), 1817-1918[22]

Pada masa kebhinekaan ini Gritsch menguraikan beberapa hal yaitu:

Pertama, Kebangkitan Gereja yang Mengaku (Konfesional). Kebangkitan gereja yang mengaku ini tidak terlepas dari kebangkita peradaban dunia pada masa itu. Misalnya dengan kebangkitan “sistem pasar bebas” oleh Adam Smith (1723-1790), pendeklarasian kemerdekaan Amerika Serikat (1776), Revolusi Perancis (1789), dan lain sebagainya. Segera setelah kebangkitan itu, maka di kalangan gereja pun mengalami kebangkitan juga. Gereja yang mengaku menyebar melalui Jerman yang berpusat di Universitas Erlangen yang memegang pengakuan Lutheranisme yang konservatif.

Gritsch memberikan beberapa contoh tokoh kebangkitan gereja yang mengaku ini yaitu: (1) Pdt.Wilhelm Lohe (1808-1872) yang mengorganisasikan sebuah model jemaat Neo-Lutheranisme tahun 1837 di Neuendettelsau, sebuah kota kecil Bavarian. Lohe adalah seorang Neo-Lutheran yang memiliki jaringan ekumenis mengenai substansi Konfesi Lutheran dengan misi ke dalam dan ke luar. Dia berpendapat bahwa misi sebagai perkembangan organik menuju masa akhir yang bertentangan dengan pasal 17 Konfesi Augsburg yang menolak spekulasi. (2) Nikolaj F.S. Grundtvig (1783-1872) seorang pendeta Denmark yang memimpin gerakan reformasi pada permulaan tahun 1830 di Skandinavia. Dia menunjukkan dasar roh kebebasan ekumenis Lutheranisme di dalam tradisi pengakuan para rasul untuk menyatukan Kekristenan dan budaya melalui pendidikan. (3) Hans Nielsen Hauge (1771-1824) seorang pemimpin kebangkitan di Norwegia. Dia merupakan seorang penganut konfesi Lutheran di dalam arti bahwa dia meyakini disiplin orang Kristen menjadi dasar pembedaan di antara hukum Taurat (penampakan dosa) dan anugerah (menyingkap keselamatan di dalam Kristus). (4) Pdt.Lars Levi Laestadius (1800-1861) dan pengkhotbah awam Carl Olof Rosenius (1816-1868) yang menjadi pemimpin kebangkitan di Swedia. Mereka menciptakan kebangunan keagamaan dengan pembaharuan moral dan misi di dalam dan ke luar. (5) Paavo Ruotsalainen (1777-1852) seorang pemimpin kebangkitan di Finlandia yang dikenal dengan “nabi dari padang gurun”. Khotbahnya tentang pertobatan dan kebutuhan akan doa diminati banyak orang baik imam maupun kaum awam.

Gereja Jerman mengaku dan Lutheran liberal mencoba bersatu melawan berbagai ancaman kesatuan dengan Reformed. Maka mereka mendirikan Allgemeine Evangelische-Lutherische Konferenz atau Konferensi Evangelikal Lutheran Umum tahun 1867 yang bertemu pada tahun 1868 di dalam sidang raya di Hannover. Isu utama yang dibahas ialah arti dari Konfesi Augsburg pasalal 7 dihubungkan pada kepemimpinan gereja.

Kedua, Misi ke Dalam. Melanjutkan perhatian pada praktik kehidupan Kristen maka diciptakanlah gerakan Misi ke Dalam (Inner Mission) di Jerman dan di Skandinavia. Gerakan ini pada dasarnya adalah sebagai tambahan pada gerakan “misi ke luar” yang bertugas untuk menyampaikan bimbingan Alkitab kepada sesama manusia, pelayanan diakonia kepada seluruh warga jemaat. Pendeta Lutheran dan tokoh-tokoh gerakan Misi ke Dalam yang sangat antusias dalam misi ini misalnya: (1) Pdt.John E.Oberlin (1740-1826) di Waldbach, Alasce, melakukan pekerjaan sosial dengan mendirikan sekolah, menyehatkan perbankan, dan peningkatan pertanian. (2) Pdt. John Falk (1768-1828) yang mengabdikan dirinya memelihara keluarga dan anak-anak yang membutuhkannya. Dia mendirikan bimbingan keluarga, persekutuan kecil bagi bimbingan keagamaan dan “rumah pemulihan” (Rettungshauser) dan yang paling terkenal adalah “Lutheran Court” (Lutherhof) di Weimar. (3) Theodor Fliedner (1800-1864) yang menganjurkan program anti kemiskinan, pembaharuan penjara, dan aktif melayani kaum perempuan yang bekerja di perindustrian. Dia juga mendirikan rumah sakit bagi orang-orang miskin dan mendirikan rumah diakones pertama di Kaiserswerth yang menjadi pusat pelatihan bagi gereja khususnya pendidikan dan pastoral konseling. (4) John H.Wichern (1808-1881) yang diasuh Pietisme dan Inner Mission memiliki teologi aksi sosial. Mulai terjun ke aksi sosial di Hamburg dengan mengumpulkan anak-anak dan tahun 1833 mendirikan pusat pendidikan bagi anak-anak muda penjahat yang dikenal sebagai “rumah cowboy” (Rauhes Haus). Tamatan dari pendidikan ini menjadi “saudara” yang pergi ke jalanan untuk menyelamatkan anak-anak lainnya dari kehidupan yang tercela dan misikin. (5) Pdt.Frederick Bodelschwingh (1831-1910). Dalam masa pelayanannya di daerah Dellwig an der Ruhr di wilayah orang miskin di Rheinland, dia kehilangan empat orang anaknya dalam masa dua minggu karena epidemi batuk. Peristiwa ini mengubah hidupnya. Tahun 1877 dia mendirikan rumah persaudaraan, yang menuntun anak-anak yang terlantar di jalanan dan tahun 1882 dia mendirikan “balai latihan kerja” (Arbeitskolonie) dekat Wilhelmsdorf di tempat orang-orang yang diluar kasta dan penduduk yang bermental sakit. “Kerja adalah amal” itulah motto hidupnya. Di samping misi ke dalam, dia juga melakukan misi ke luar dengan mendirikan Lembaga Misi bagi Jerman Afrika Timur (sekarang Tanzania). Pekerjaannya ini kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Bodelschwingh Jr. (1877-1946). (6) Johan Gottfried Herder (1744-1803) seorang tokoh gerakan misi ke dalam di Jerman yang menekankan “terang, hidup dan kasih” sebagai suara umum filosofi romantik. (7) Pdt.Vilhelm Beck (1829-1901) yang membantu pemerintah Denmark dalam misi ke dalam tahun 1861 dengan mendirikan tiga puluh misi ke dalam pada tahun 1872.  (8) Pdt.William A.Passavant (1821-1894), tokoh gerakan misi ke dalam di Austria tahun 1874 dengan berbagai macam lembaga termasuk rumah induk bagi diakones di Gallneukirchen dekat Linz.

Ketiga, Menuju pelembagaan di Amerika Utara. Pada tahun 1817, tapal batas Amerika Utara telah dibuka oleh transportasi yang baik dan penganiayaan yang memalukan pada penduduk asli Amerika yang disebut dengan Indian. Lutheran New York mendirikan Badan Misi ke Dalam tahun 1823 yang dipimpin oleh kepala Seminary Hartwick, Ernst L.Hazelius (1777-1853) pendiri Moravian. Tokoh yang menonjol dalam masa ini adalah Samuel S.Schmucker (1799-1873). Dia memiliki tiga cita-cita bagi Lutheranisme di Amerika Utara yaitu: (1) mendirikan sekolah seminary untuk mempersiapkan pendeta-pendeta yang berpendidikan; (2) mendirikan perguruan tinggi sebagai dasar bagi pengetahuan umum dan yang dikhususkan pada bidang filosofi dan teologi; dan (3) membangun komposisi teologi sistematik Lutheran dan dogmatika Lutheran. Namun Sinode umum hanya menyetujui dua hal yaitu dengan mendirikan Seminary Gettysburg tahun 1826 dan Perguruan Tinggi Gettysburg tahun 1832 yang keduanya berada di Pennsylvania.

Gritsch berpendapat bahwa motivasi kehadiran Lutheran di Dunia Baru dari Jerman dan Skandinavia adalah karena alasan politik, ekonomi, dan agama. Perluasan pelembagaan Lutheran sangat cepat di Amerika. Hal ini terlihat dari fakta bahwa paling sedikitnya enam puluh sinode diorganisasikan di antara tahun 1830 dan 1875. Lutheran Amerika Serikat juga mengutus para misionarisnya ke Kanada. Para misionaris juga mendirikan persekutuan di Ontario dan Nova Scotia. Pelembagaan Lutheranisme di Amerika Utara termasuk juga di dalamnya pendirian lembaga pendidikan khususnya seminary-seminary, perguruan tinggi dan universitas-universitas.

Keempat, Versi/sayap Missouri. Tahun 1839, tujuh ratus Lutheran Saxon memprotes melawan rasionalisme dan melakukan/memprakarsai perpindahan penduduk ke St.Louis (dan kota Perry), Missouri yang dipimpin oleh pendeta Dresden Martin Stephan. Tetapi pemalsuan dan kesalahan dana managemen menghancurkan koloni Lutheran. Pemimpin baru, Pdt.C.F.W.Walther (1811-1887) mendirikan dasar bagi sinode mendatang bagi “gereja yang benar” yang loyal kepada Konfesi Lutheran. Sebab sinode tersebut diorganisasikan empat badan yaitu: (1) Orang Saxon dari Missouri, (2) Para misionaris Lohe, (3) Wilhelm Sihler dan sahabatnya yang dikeluarkan dari sinode Ohio, dan (4) Frederick C.D.Wynecken dan koleganya yang dikeluarkan dari Sinode Umum. Mereka semua berkeinginan untuk melestarikan Lutheranisme dari Amerikanisasi. Dalam sebuah kesepakatan bersama tahun 1846, mereka menegaskan menerima Konfesi Lutheran “sebagai penjelasan yang  benar dan tidak menyimpang dan penampakan Firman Allah”.

Sinode baru ini berkeinginan sekali untuk mempropagandakan konfesi konservatif ini melalui tiga jurnal yaitu: Der Lutheraner, yang dipublikasikan pertama kali oleh Walther tahun 1844; Lehre und Wehre (Doktrin dan Pembelaan) tahun 1855; dan Lutheran Witness tahun 1882. Concordia Seminary menjadi pusat teologi yang dipimpin oleh Walther.

Namun kesatuan ini tidak bertahan lama sebab Lohe dan Walther memiliki perbedaan pandangan tentang tahbisan pendeta. Lohe berpendapat bahwa hanya pendeta yang dapat ditahbiskan sinode. Sementara Walther mengatakan bahwa penahbisan itu juga termasuk kepada pelayan sebagai lembaga ilahi. Perdebatan lain yang terjadi di antara Missouri dan Sinode Lutheran lainnya adalah berkenaan dengan predestinasi.

Kelima, Pemikiran sekolah-sekolah Teologi Eropa. Dalam bagian ini Gritsch memaparkan beberapa pemikiran teolog-teolog Eropa seperti: (1) Friedrich Schleiermacher (1768-1834) yang mencoba membalas rasionalisme filosofi Pencerahan dengan teologi yang didasarkan pada pengalaman iman. Pengalaman iman bukan semata-mata pengalaman perorangan, tetapi juga pengalaman persekutuan orang Kristen. Dari pengalaman seperti itulah rumusan-rumusan iman telah dan akan dirumuskan.  Schleiermacher yakin bahwa setiap orang adalah religius dan memiliki perasaan kebergantungan sama pada semua agama serta tujuan agama pada akhirnya adalah membawa manusia dalam hubungan yang harmonis dengan Allah.[23] Schleiermacher adalah teolog pertama yang membangkitkan pemikiran teologi Lutheran Jerman pada abad itu sebelum akhir Perang Dunia I tahun 1918. (2) Albrecht Ritschl (1822-1889) salah seorang murid Baur yang mengajar di Berlin. Menurutnya, Kekristenan berakar di dalam inkarnasi Allah di dalam Yesus dan di dalam dogma Trinitas. (3) Adolf von Harnack (1851-1930) seorang sejarawan dogma yang menetap di Tǜbingen dan mengajar di Berlin. Dia menunjukkan bahwa ide-ide Yunani mendominasi Kekristenan mula-mula dan bagaimana perhatian pergeseran dari pengajaran Yesus pada pribadi-Nya. Bagi Harnack ada hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam kebangunan Kekristenan berdasarkan tiga esensi pengajaran Kristus yaitu: a) pemerintahan Allah dan kedatangan-Nya, b) Allah Bapa dan nilai jiwa manusia yang tidak terbatas, dan c) kebenaran yang tertinggi dan perjanjian kasih. (4) David F. Strauss (1808-1874) seorang sejarawan yang paling radikal yang memprakarsai perdebatan panjang dengan penerbitan biografinya tentang Yesus. Dia membedakan antara apa yang dia sebut dengan Kristus iman dan Yesus sejarah.

Tokoh dan pemikir lain yang dicatat oleh Gritsch dalam bukunya ini adalah: Ludwig Feuerbach (1804-1872), John K.von Hofmann (1810-1877), Gottfried Thomasius (1802-1875), Isac A.Dorner (1809-1884), Wilhelm Herrmann (1846-1922), Hans L.Martensen (1808-1884), Søren Kierkegaard (1813-1855), Henrik Schartau (1757-1825), dan Wilhelm Dilthey (1833-1911).

Keenam, Di luar Eropa dan Amerika Utara. Gerakan kebangunan dan Misi ke Dalam di Eropa seperti migrasi orang Lutheran ke Amerika Utara, menguatkan misi global pertama yang dipelopori oleh Pietis. Pekerjaan misionaris ini menjadi bagian program global yang digaungkan William Carey (1761-1834), seorang tukang sepatu Baptis Inggris dalam sebuah khotbahnya tahun 1792 atas Yesaya 54:2-3. Abad kesembilan belas menjadi abad misi. Anglikan, Methodis, dan Baptis mengambil bagian dalam misi ini. Berbagai lembaga misi bangsa dan wilayah mendukung dan mempropaganda untuk menginjili kepada orang kafir yang kemudian dikenal sebagai negara berkembang (di luar Amerika Utara dan Eropa).

Gereja-gereja Lutheran Jerman pertama mendukung Lembaga Reformed Basel di Switzerland (1819). Berlin menjadi pusat kegiatan bagi misi asing tahun 1824 yang didukung oleh gereja. Pdt.John Gossner (1773-1858) mentransformasikan usaha ini ke dalam Lembaga Gossner tahun 1829.[24] Lembaga Barmen-Rhenish (1829) memulai Jerman mendukung pekerjaan gereja di Inggris dan di London.

Setiap Gereja Lutheran di kota Skandinavia memiliki lembaga misionarisnya sendiri yang bekerja di daerah jajahan Skandinavia seperti: Badan Misi Denmark (didirikan tahun 1821), Badan Misi Norwegia (1824), Badan Misi Swedia (1835), dan Badan Misi Finlandia (1859).

Lebih jauh Gritsch memaparkan kegiatan-kegiatan misi ke luar ini di berbagai benua misalnya di Asia dan Pasifik, di Afrika, dan di Amerika Utara.

Ketujuh, Akibat Perang Dunia. Dalam bagian ini Gritsch memaparkan pengaruh Perang Dunia bagi perkembangan Lutheranisme di dunia. Perang Dunia I (1914-1918) memberikan konsekuensi tragis bagi Lutheranisme. Gereja Luther Jerman secara total tertutup dari Lutheran lainnya, bahkan dari orang Kristen. Di Amerika Utara, orang Amerika lainnya berpandangan Lutheran sebagai musuh. Misi Lutheran di seluruh dunia terhambat tetapi dilanjutkan sebagai misi panitia asuhan yang dikerjakan oleh para misionaris Protestan dari Amerika Serikat, Kanada, Austria dan Swedia.

Dua simbol peristiwa kegagalan akibat Perang Dunia I ini yaitu: Pertama, dua pemimpin Kristen dipisahkan oleh perang, Pdt.Frederick Sigmund-Schultze dari Gereja Lutheran Jerman Bersatu dan Quaker Henry Hodkin Inggris, merencanakan menciptakan sebuah kesaksian melalui formasi Perjanjian Rekonsiliasi Internasional. Hal ini tidak pernah terealisasi karena kekurangtertarikan orang Kristen Protestan di Jerman dan Inggris. Kedua, hampir dalam waktu yang bersamaan, pendeta tentara Lutheran di dewan Prussia berkhotbah pada ibadah bagi delegasi entusiastik tentang perang atas pesan alkitabiah “Jika Allah di pihak kita, siapa lawan kita?” (Roma 8:31).

2.8    UPAYA-UPAYA BARU[25]

Bagian terakhir buku Gritsch ini membahas tentang upaya-upaya baru bagi Lutheranisme dan implikasinya di dalam perkembangan dunia. Perjuangan Lutheranisme mengarah ke dunia baru dan harapan baru. Karena itu Gritsch membahas topik ini dengan berbagai topik yaitu:

Pertama, Para Penggagas (Pioneering) Gerakan Ekumenis. Setelah Perang Dunia I, perasaan kesatuan kemanusiaan mulai mempengaruhi kesatuan Kekristenan. Usaha perdamaian dunia dan internasional mulai dikerjakan. Banyak organisasi dunia internasional didirikan untuk mempromosikan perdamaian dunia. Mahasiswa dinasihati untuk berdamai. Gerakan Mahasiswa Kristen tahun 1895 menjadi pelopor utama bagi kesatuan Kekristenan dan misi sebagai dasar perdamaian. Pemimpin Kristen bergabung dalam jalan ini. Misi Kristen menderita kemiskinan kesatuan Kekristenan. Uskup Uppsala Gereja Lutheran Swedia, Nathan Soderblom (1866-1931) merupakan pemimpin pertama mentransformasi kesatuan Kekristenan dalam sebuah program nyata. Soderblom membuat proposal pertamanya bagi kesatuan orang Kristen tahun 1908 selama masa kunjungan Raja Edward VII Inggris. Soderblom terus berusaha untuk mewujudkan kesatuan ini melalui Aliansi Gereja-gereja Dunia untuk mempromosikan persaudaraan internasional. Soderblom membuat sebuah “Manifesto” tahun 1917 yang ditandatanganinya. Soderblom melanjutkan mengundang konferensi internasional termasuk Gereja Ortodox Yunani dan Gereja-gereja Katolik Roma. Banyak gereja Ortodox setuju berpartisipasi tetapi Vatikan di Roma mundur dari pertemuan. Tetapi Soderblom mampu mengumpulkan enam puluh anggota Badan Aliansi Internasional Dunia dari empat belas negara di Oud Wassenaar dekat The Hague (=Den Haag), Belanda tahun 1919.

Hingga Perang Dunia II (1939-1945), Gereja Lutheran melanjutkan untuk mendukung gerakan ekumenis ini. Perkembangan yang terlihat dalam Konferensi Iman dan Tata Gereja tahun 1937, delegasi Lutheran semakin bertambah dari luar Eropa (Amerika Utara, India). Karena gereja-gereja Lutheran sudah semakin banyak maka timbullah kerinduan untuk membentuk sebuah kesatuan yang khusus bagi orang-orang Lutheran yang dilaksanakan di Eisenach, Jerman tahun 1923 dengan pertemuan Konfensi Lutheran Se-Dunia. Inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya Federasi Lutheran Se-Dunia tahun 1947. Dan masih banyak lagi kesatuan gereja-gereja Lutheran di berbagai negara seperti di Amerika Utara, Washington, Amerika Serikat, dan lain sebagainya. Pergerakan ini terus diperjuangkan hingga pada masa Dietrich Bonhoeffer (1906-1945).

Kedua, Perjuangan dengan Tyranny[26]. Gerakan ekumenis terputus akibat Perang Dunia II (1939-1945) dan akibat dasar ideologi perjuangan Fasisme di Italia yang dipimpin Benito Musolini (1883-1945), Sosialisme Nasional Jerman yang dimpimpin Adolf Hitler dan komunis Rusia, Joseph Stalin (1879-1953). Lutheranis menghadapi situasi politik baru di Jerman setelah tahun 1918, ketika teritorial kerajaan kehilangan kuasa vetonya atas gereja sebagai “uskup tertinggi” (summi episcopi).

Lebih jauh dalam ulasan ini Gritsch menjelaskan panjang lebar perjuangan gereja Lutheran di Jerman, Skandinavia, Norwegia dan di Hungaria dengan situasi negara yang dikuasai oleh Nazi dan komunis Rusia. Ketakutan atas Nazisme Jerman dan komunis Rusia menyapu seperti awan hitam atas Lutheranisme di Eropa.

Ketiga, Kecenderungan Teologi. Pemerintahan Nazisme di Jerman membuat traumatik bagi teologi Lutheran. Konfesi teolog yang benar milik Konfesi Gereja di dasarkan pada Konfesi Barmen tahun 1934. Walaupun banyak pengajaran teologi diajarkan uskup, pendeta, dan jemaat untuk memelihara iman melalui konferensi, buku-buku, dan hubungan keluarga. Teolog yang memiliki pengaruh selama dan setelah Perang Dunia II adalah: (1) Karl Barth (1886-1968)[27] seorang pendeta Reformed Swiss. (2) Rudolf Bultmann (1884-1876)[28] yang membedakan antara “eksistensi” (kenyataan) dan “mitos” di dalam Perjanjian Baru. (3) Paul Tillich (1886-1965)[29] yang membahas pengertian keagamaan, khususnya hubungan Kekristenan pada pluralisme keagamaan. Teologi Kristen harus memiliki dasar filosofi agar keagamaan itu berada pada posisi kebenaran. Baginya, iman adalah sebagai “keprihatinan yang mahaluhur” yang membangun pertanyaan eksistensi terakhir. Masalah ini dinamakan dengan “korelasi” untuk menjawab pertanyaan khusus yang didasarkan pada Allah, “dasar dari segala sesuatu”. Artinya bahwa antara dua hal ada hubungan timbal-balik. Hubungan Allah dan manusia saling bergantungan: Allah untuk manusia dan manusia untuk Allah.

Keempat, Lutheran World Federation (LWF). Ketika Konvensi Lutheran Se-Dunia pertama kali bertemu di Eisenach tahun 1923, maka harapan akan kesatuan Lutheran akan bertumbuh. Namun Perang Dunia II menghancurkan usaha kesatuan global ini. Setelah Perang Dunia II, tapi sebelum pendirian Dewan Gereja-gereja Se-Dunia tahun 1948, ada empat pilar yang menjadi perhatian Lutheran bagi organisasi Federasi Lutheran Se-Dunia ini di Geneva yaitu: (1) tolong-menolong dalam kebutuhan, (2) berinisiatif bagi misi umum, (3) usaha bersama di dalam teologi dan (4) merespons tantangan ekumenis. Gereja Lutheran German, Skandinavia dan Amerika Serikat menjadi penggerak utama melahirkan pertemuan federasi pertama kali di Lund, Sweden, tahun 1947. Sekretaris eksekutif pertama LWF (kemudian sekretaris jenderal) adalah, Sylvester Michelfelder, seorang pendeta Gereja Lutheran Amerika. Konstitusi LWF tidak begitu menekankan kesatuan doktrinal tetapi menekankan kesatuan itu sebagai “persahabatan bebas gereja-gereja Lutheran” yang tidak mengintervensi otonomi gereja masing-masing.

Gritsch dalam bahasannya ini menyebutkan lebih dalam lagi apa yang terjadi dalam tubuh LWF itu sendiri, baik itu pergumulan mengenai integritas pengakuan gereja Lutheran, persoalan tindakan dan perilaku anggota gereja yang tinggal di negara-negara komunis, proses penerimaan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) menjadi anggota LWF tahun 1952 dengan menerima pengakuan iman HKBP tahun 1951, hingga kerjasama yang dibangun LWF dengan Dewan Gereja-gereja se-Dunia sebagai rasa pertanggungjawaban LWF atas persoalan dunia. LWF juga bergabung dan memperhatikan persoalan hak azasi manusia, persoalan politik di Amerika Latin dan lain sebagainya.

Kelima, Gerakan Dialog Ekumenis. Lutheranisme abad enambelas membangun norma-norma ekumenis liberal bagi dialog untuk menjangkau kesatuan Kristen kembali. Gereja Katolik Roma, Persekutuan Reformed (Zwinglian-Calvinis), dan Gereja Orthodok Timur menjadi pola dalam berdialog. Philipp Melanchthon pemimpin penganjur gerakan ekumenis Lutheran yang memformulasikan kondisi bagi dialog di dalam pasal 7 Konfesi Augsburg yakni untuk menyetujui firman dan sakramen. Tetapi tidak ada persetujuan yang mungkin terjadi pada abad keenambelas. Tim Lutheran dan Katolik mencoba sekuat tenaga di Regensburg tahun 1541 tetapi itu pun gagal. Tidak ada lagi dialog yang dilaksanakan hingga akhir masa Vatikan II tahun 1965 di Baltimore. Banyak usaha Lutheran-Reformed untuk mengatasi permasalahan Perjamuan Kudus, itu pun gagal.

Namun dalam perkembangan selanjutnya pintu dialog pun mulai terbuka. Masing-masing organisasi Gereja-gereja nasional dan LWF telah menjadi mitra kerja (partner) di dalam gerakan dialog ekumenis pada abad keduapuluh dengan kebangkitan gerakan ekumenisme. Dialog yang dibangun itu pun bermacam-macam. Ada tingkatan dialog yang bilateral (dengan dua mitra) dan ada yang multilateral (banyak mitra). Beberapa dialog internasional yang disponsori oleh LWF adalah: (1) Dialog Gereja Lutheran dengan Gereja Katolik Roma, (2) Dialog Gereja Lutheran dengan Gereja Reformed (Zwinglian dan Calvinis), (3) dialog Gereja Lutheran dengan Gereja Anglikan, (4) dialog Gereja Lutheran dengan Gereja Ortodox, (5) dialog Gereja Lutheran dengan Denominasi lainnya.

Keenam, Percaturan (Konstelasi) Global. Lutheran dapat ditemukan hampir di seluruh dunia. Jumlahnya sekitar 64 juta orang yang berada di Eropa (37 juta), Afrika (10,5 juta), Etiopia (3,3 juta), Tanzania (2,5 juta), dan di daerah lainnya.[30] Pemimpin yang terkenal di dalam organisasi ini adalah: Josiah Kibira (1925-1988), presiden LWF dari tahun 177 hingga 1984.

Lebih lanjut uraian Gritsch ini memaparkan keadaan dan pergumulan gereja-gereja Lutheran di bebagai belahan bumi ini seperti di Afrika, di Eropa, di Asia, di Asia Timur Jauh, di Amerika Utara. Pada bagian akhir bahasan ini Gritsch menjelaskan bagaimana status dan kedudukan Gereja Lutheran Missouri yang tidak mau bergabung dengan LWF karena perbedaan pemahaman doktrin tentang inspirasi Alkitab.

Ketujuh, Konfesi dan Budaya. Lutheranisme mulai sebagai gerakan pembaharuan di dalam Gereja Katolik Roma. Ketika paus dan kaisar mencoba membasmi gerakan pembaharuan melalui gerakan pengucilan dan pengeluaran edik paus, Lutheranisme melakukan pembaharuan baru. Konfesi Augsburg tahun 1530 bukan hanya merupakan pernyataan doktrinal tetapi juga merupakan uraian dari apa yang dipikirkan dan dilakukan di dalam penguasaan teritorial. Konfesi ini pertama kali mendaftarkan “Pasal Iman” dan kemudian “Pasal yang membeberkan penurunan moral yang telah diperbaiki”.

Lutheranisme memahami dirinya sendiri menjadi pembela kemurnian katolik dan “tradisi manusia” ekumenis yang didasarkan pada Alkitab dan persetujuan dengan Bapa-bapa Gereja kuno dari Gereja Katolik Roma sebelah Barat sama seperti Ambrosius dan Augustinus. Lutheranisme menganggap bahwa setiap orang “tradisi manusia” Kristen tidak identik dengan “satu, Gereja Kristen yang kudus”. Di dalam kepelbagaian ini, kesatuan gereja dilihat di dalam persekutuan firman dan sakramen.

Reformasi bukan skisma pertama yang dihubungkan dengan kekuatan budaya. Ada tiga skisma yang terjadi di dalam Kristendom sebelum Reformasi terjadi. Pertama, Orang Kafir dan Orang Kristen Yahudi menghancurkan kesatuan mereka atas permasalahan sunat dan makanan. Kedua, skisma atas doktrin keilahian Kristus pada abad keempat di Mesir. Arian menolak keilahian Kristus dan memaksa gereja berdebat di dalam hal doktrin Tritunggal. Dan ketiga, skisma besar antara Gereja Timur dan Gereja Barat tahun 1054 di mana kedua kubu saling menghukum satu dengan lainnya.

2.8    KESIMPULAN: BAGI LUTHER?[31]

Pada bagian akhir bukunya ini Gritsch mencoba membuat kesimpulannya yang khusus ditujukan kepada Martin Luther atau yang lain karena masih merupakan sebuah pertanyaan.

Dalam kesimpulan akhirnya ini Gritsch berpendapat bahwa Lutheranisme hanya mencoba untuk menstir di pertengahan antara autoritarianisme dan anarkhisme dan kemudian memberitakan Injil dan melaksanakan sakramen sebagai jaminan melawan ketakutan. Dan yang paling berharga dari kesimpulannya adalah bahwa Luther merupakan seorang tiang penunjuk jalan yang terpandang di atas jalan ramai tradisi Kristen. Martin Luther tidak boleh diabaikan – paling tidak oleh orang Lutheran itu sendiri.

Sebagai pelengkap buku ini Gritsch menambahkan kronologi peristiwa yang terjadi di dalam perjalanan sejarah Lutheranisme di dunia ini sejak hari lahirnya Martin Luther hingga tahun 2000. Kronologi ini juga sekaligus mencantumkan kronologi yang terjadi di dunia dengan berbarengan apa yang terjadi pada masa Lutheranisme itu sendiri.[32]

3.      TANGGAPAN HISTORIS

A.     ISI BUKU

Berdasarkan apa yang dikeluhkan oleh penulis buku ini pada kata sambutannya bahwa sangat jarang ditemukan sebuah buku yang memaparkan secara umum sejarah Lutheranisme, inilah yang mendorong Gritsch untuk menulis buku ini. Secara umum harapannya itu termaktub dalam buku ini. Dengan membaca buku ini maka kita akan tertolong memahami gerakan Lutheranisme sejak awal hingga abad kedua puluh satu, walaupun harus diakui bahwa pembahasan topik demi topik masih merupakan pembahasan umum.

Memang banyak buku-buku yang membahas sejarah Lutheranisme, namun pembahsan mereka hanya difokuskan pada salah satu bagian daerah tertentu, misalnya Lutheranisme di Amerika Utara, Lutheranisme di Jerman dan lain sebagainya. Namun dengan membaca buku ini,  kita akan melihat benang merah gerakan Lutheranisme di seluruh dunia ini, baik yang ada di Eropa, maupun di Amerika Utara, Asia dan Afrika, dan daerah-daerah lainnya di dunia ini.

B.     REFLEKSI

Setelah membaca buku ini, maka timbul dalam benak saya bahwa: pertama, perpecahan di dalam gereja Lutheran sejak dulu selalu diakibatkan oleh persoalan doktrin dan ajaran yang dipahami berbeda, pemahaman hubungan Gereja dan Negara dan Tata Gereja yang berbeda-beda di kalangan Lutheranisme itu sendiri. Berbeda dengan situasi Gereja Lutheran di Indonesia, perpecahan yang terjadi di Gereja bukan karena pemahaman akan doktrin yang berbeda, melainkan karena persoalan pemimpin organisasi gereja itu sendiri.

Kedua, sejak dulu hingga kini sangat sulit mempersatukan orang Kristen. Perseteruan antara Gereja Katolik Roma dengan Protestan dipelihara ratusan tahun. Untunglah perseteruan tersebut sudah diakhiri dengan ditandatanganinya Joint Declaration On the Doctrine of Justification: The Lutheran World Federation and The Roman Catholic Church yang dirayakan pada 31 Oktober 1999 di Augsburg.[33] Jika Lutheran dan Katolik sudah bisa membuat sebuah persetujuan bersama, mengapa gereja-gereja yang sealiran dengan Lutheranisme tidak mengikuti jejak ini? Misalnya di Indonesia sendiri, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dalam cita-cita luhurnya untuk mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa (GKYE) di Indonesia.[34] Namun apa yang terjadi? Malahan yang terjadi adalah krisis (kepemimpinan) gereja-gereja Protestan. Kemudian gereja-gereja yang sealiran juga semakin semangat membentuk kesatuan-kesatuan mereka sendiri, misalnya: Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta di Indonesia (PGPI), Persekutuan Gereja-gereja Lutheran Jakarta[35],  dan lain-lain.

Ketiga, warna teologi Lutheran tidak sama di seluruh dunia. Mengapa? Sebab banyak gereja yang mengaku anggota LWF namun dalam ibadah, tata gereja dan peraturan lainnya tidak seutuhnya murni didasarkan pada ajaran dan tata ibadah Lutheran murni. Misalnya, Gereja-gereja Lutheran yang ada di Indonesia pada umumnya tidak murni memakai tata ibadah Lutheran.

Keempat, sebenarnya harus diakui bahwa perkembangan Lutheranisme di seluruh dunia tidak begitu berkembang pesat, bahkan yang terjadi sebaliknya semakin menurun. Berbeda dengan Gereja Katolik, dari tahun ke tahun perkembangan gereja ini terlihat statis dan bertahan. Data statistik Kristen di dunia menunjukkan bahwa jumlah Kristen keseluruhannya hampir mencapai 2,1 milyard dari 6,6 milyard penduduk dunia. Dan dari 2,1 milyard tersebut, 1,1 milyard adalah Katolik. Dari statistik ini terlihat bahwa, sejak Reformasi Luther 1517 hingga kini, Lutheranisme tidak bisa mengimbangi jumlah Katolik itu sendiri. Itu berarti pengaruh ajaran Luther terhadap Katolik tidak begitu mempengaruhi jumlah anggota Katolik itu sendiri. Memang harus diakui bahwa, pengaruh Luther ini tidak hanya dirasakan oleh pihak Lutheranisme itu saja bahkan sebenarnya pengaruh Luther itu sangat besar bagi pembaharuan Katolik itu sendiri dari dalam.

4.      KEPUSTAKAAN

Aland, Curt A History Of Christianity, Philadelphia: Fortress Press, Vol.II, 1986.

Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran Di Dalam dan Sekitar Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995.

Berkhof, H.& Enklaar, I.H.Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992.

Buku Konkord, (terj. )  P.Siantar, Lutheran Literatur Team, 1986.

Curtis dkk, A.Kenneth 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.

Gritsch, Eric W. A History of Lutheranism, Minneapolis: Forteis Press, 2002.

Hale, Leonard Jujur Terhadap Pietisme: Menilai kembali Reputasi Pietisme pada Gereja-gereja Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.

Hadiwijono, Harun Teologi Reformatoris Abad Ke-20, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.

Joint Declaration On the Doctrine of Justification: The Lutheran World Federation and The Roman Catholic Church, Grand Rapids, Michigan / Cambridge, U.K.: William B.Eerdmas Publishing Company, 2000.

Katekismus Besar: Martin Luther, (terj. Anwar Tjen),  Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.

Katekhismus DR.Martin Luther, (terj. John B.Pasaribu),  Jakarta: Yayasan Borbor, 2004.

  1. Kooiman, W.J.        Doktor Dalam Kitab Suci Reformator Gereja: MARTIN  LUTHER, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.

Kristiyanto, Eddy Reformasi dari Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern, Kanisius: Yogyakarta, 2004.

Lane, Tony  Runtut Pijar, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.

Rumus Konkord, (terj. W.Sihite,dkk)  P.Siantar, Lembaga Komunikasi Sejahtera, ttp.

Simorangkir, MSE. Ajaran Dua Kerajaan Luther, Pematangsiantar: Kolportase Pusat GKPI, 2008.

Sumampow, dkk, Jeirry Krisis Gereja Protestan?, Jakarta: Keluarga Alumni STT Jakarta, 2004.

The Book of Concord: The Confession of the Evangelical Lutheran Church, Philadelphia: Fortress Press, 1976.

Wellem, F.D. Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.


[1] Eric W.Gritsch, A History of Lutheranism, (Minneapolis: Forteis Press, 2002), hlm.xi-xii.

[2] Eric W.Gritsch, A History of …, hlm.1-35.

[3] Menurut Dr.Jan S.Aritonang dalam bukunya, Berbagai Aliran Di Dalam dan Sekitar Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hlm. 24-26, latar belakang yang memicunya gerakan pembaruan Luther ini menyangkut empat hal yaitu: (1) Bidang kerohanian atau kegerejaan; (2) bidang sosial-politik; (3) bidang kebudayaan; dan (4) bidang ekonomi. Sedangkan Kurt Aland dalam bukunya  A History of Christianity, (Philadelphia: Fortress Press, Vol.II, 1986), hlm.5-12, mengatakan bahwa motif-motif yang menyebabkan terjadinya Reformasi adalah (a) karena kritik terhadap Gereja Katolik; (b) usaha untuk membangun kesadaran nasionalisme; (c) faktor politik; dan (d) karena adanya penurunan moralitas. Demikian juga Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern, (Kanisius: Yogyakarta, 2004), hlm. 42-51, mengatakan bahwa alasan-alasan munculnya Reformasi adalah: (a) nasionalisme dan bangkitnya negara-negara nasional, (b) ketidakpuasan dan kekacauan di bidang ekonomi, (c) kelemahan kepausan, (d) keadaan GKR yang sangat memprihatinkan.

[4] Indulgensia adalah penghapusan (sepenuhnya atau sebagian) dari penghukuman sementara yang masih ada bagi dosa-dosa setelah kesalahan seseorang dihapuskan melalui absolusi (pernyataan oleh imam bahwa dosa seseorang telah dihapuskan). Luther menganggap penjualan indulgensia ini sebagai penyelewengan yang dapat menyesatkan umat sehingga mereka hanya mengandalkan indulgensia itu saja dan mengabaikan pengakuan dosa dan pertobatan sejati.

[5] Masa sebelum Luther disebut dengan “the late Middle Ages” (masa akhir Abad Pertengahan) yang ditandai dengan sebuah penolakan yang radikal nilai-nilai tradisi yang dihormati masyarakat Kristen.

[6] Melalui tujuh sakramen: Baptisan, Perjamuan Kudus, Konfrimasi, Pernikahan, Pengakuan, pemberian minyak suci dan juga penahbisan.

[7] Humanisme Kristen ini dipelopori oleh Humanis Jerman John Reuchlin dan Humanis Belanda Erasmus dari Rotterdam.

[8] Tokoh teologi mistik ini misalnya: John Eckhart dan Bretheren Common Life, yang mengajarkan kehidupan batin sebagai sebuah “pemujaan baru” (devotio moderna).

[9] Bnd. F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 168-172; A.Kenneth Curtis dkk, 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 75-77; H.Berkhof & I.H.Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), hlm. 120-126; Tony Lane, Runtut Pijar, (terj.) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm, 130.

[10] Uraian mengenai hal ini dapat dibaca lebih mendalam dalam Jan S.Aritonang, Berbagai Aliran …, hlm. 31; Kurt Aland dalam bukunya  A History of …, hlm.75-94; H.Berkhof & I.H.Enklaar, Sejarah …, hlm. 131-132; Tony Lane, Runtut …, hlm, 132-133; Eddy Kristiyanto, Reformasi dari …, hlm. 60-61

[11] Eric W.Gritsch, A History of …, hlm.36-69.

[12] Bnd. Jan S.Aritonang, Berbagai Aliran …, hlm. 33.

[13] Bnd. Jan S.Aritonang, Berbagai Aliran …, hlm. 35.

[14] Luther sangat berdukacita setelah anak kesayangannya diambil darinya. Selama hidupnya, anak itu tidak pernah membuat dia marah. Suasana murung dan berduka cita segera hilang dari Luther sebab ia terlalu optimis bahwa hidupnya ada di dalam tangan Allah. (W.J.Kooiman, Doktor Dalam Kitab Suci Reformator Gereja: MARTIN  LUTHER, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), cet.6, hlm. 207-208).

[15] Eric W.Gritsch, A History of …, hlm.70-108.

[16] Uraian lebih mendalam tentang topik ini dapat dilihat dalam Katekismus Besar: Martin Luther, (terj. Anwar Tjen), (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996); bnd. Katekhismus DR.Martin Luther, (terj. John B.Pasaribu), (Jakarta: Yayasan Borbor, 2004), hlm. 1-22.

[17] Uraian lebih lengkap dapat dilihat dalam, Rumus Konkord, (terj. W.Sihite,dkk) (P.Siantar, Lembaga Komunikasi Sejahtera, ttp).

[18] Uraian lebih lengkap dapat dilihat dalam, The Book of Concord: The Confession of the Evangelical Lutheran Church, (Philadelphia: Fortress Press, 1976) dan sebagian dalam terjemahan Indonesia, Buku Konkord, (terj. ) (P.Siantar, Lutheran Literatur Team, 1986).

[19] Eric W.Gritsch, A History of …, hlm.109-140.

[20] Eric W.Gritsch, A History of …, hlm.141-178; uraian yang dalam tentang gerakan Pietisme ini dapat dibaca dalam buku Leonard Hale, Jujur Terhadap Pietisme: Menilai kembali Reputasi Pietisme pada Gereja-gereja Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993); H.Berkhof & I.H.Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), hlm.244-255. Sekitar tahun 1677 di Darmstadt, istilah Pietisme muncul dan menjadi populer di kalangan gereja-gereja Lutheran. Kata pietisme dipergunakan sebagai ejekan terhadap kelompok-kelompok orang yang hidup saleh (Collegia Pietatis), yang pada waktu tumbuh menjamur dalam gereja-gereja Lutheran. Menurut penilaian pada waktu itu, kesalehan-kesalehan mereka terlalu berlebihan dan dituduh Farisi oleh masyarakat. Tetapi lama kelamaan konotasi negatif dari kata itu mulai hilang, bahkan Pietisme lalu menjadi tanda pengenal atau nama aliran itu.

[21] Leonard Hale, Jujur Terhadap …, hlm. 28.

[22] Eric W.Gritsch, A History of …, hlm.179-216.

[23] Bnd. F.D.Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 222.

[24] Dan lembaga ini mengutus Ottow dan Geinsler ke Papua tahun 1815.

[25] Eric W.Gritsch, A History of …, hlm.217-256.

[26] Gereja Lutheran tidak mendukung Nazi/Hitler pada masa ini, walaupun ada tuduhan bahwa seolah-olah ajaran Luther khususnya Ajaran Dua Kerajaan-nya menjadi landasan keberpihakan greja kepada Hitler. Gereja memang menyambut Hitler pada mulanya karena Hitler berjanji akan menyelamatkan Eropa dari ateis-komunis. Tetapi tidak semua gereja mendukung Hitler. Misalnya, Martin Niemoller, memimpin perlawanan gereja terhadap Hitler dengan membentuk kelompok Gereja Yang Mengaku dan berperan aktif menyusun Deklarasi Barmen (Lih. MSE.Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther, (Pematangsiantar: Kolportase Pusat GKPI, 2008), hlm. 3.

[27] Bnd. Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad Ke-20, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 24-35.

[28] Ibid., hlm. 60-71.

[29] Ibid., hlm. 84-95

[30] LWF sekarang terdiri dari 140 anggota gereja-gereja di 78 negara di seluruh dunia dengan jumlah anggotanya 68,3 juta (lih. Lutheran World Information (LWI) pada www.lutheranworld.org).

[31] Eric W.Gritsch, A History of …, hlm.257-260.

[32] Pada tabel kronologis tersebut tidak disebutkan tahun dari “Joint Declaration on the Doctrine of Justification (1995). Yang disebutkan/dicatat adalah “celeberation” dari deklarasi tersebut pada tahun 1999.

[33] Lih. Joint Declaration On the Doctrine of Justification: The Lutheran World Federation and The Roman Catholic Church, (Grand Rapids, Michigan / Cambridge, U.K.: William B.Eerdmas Publishing Company, 2000), hl.241.

[34] Pergumulan ini disampaikan oleh Pdt.Dr.Natan Setia Budi dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Krisis (Kepemimpinan) Gereja-gereja Protestan” dalam Jeirry Sumampow, dkk, Krisis Gereja Protestan?, (Jakarta: Keluarga Alumni STT Jakarta, 2004), hlm.145-153.

[35] Persekutuan Gereja-gereja Lutheran Jakarta ini dideklarasikan tanggal 20 April 2008 oleh Gereja-gereja Lutheran Se-Jakarta di GKPA Penjernihan, Jakarta.

1.      PENDAHULUAN

A.     EDITOR[1]

Buku yang berjudul A History of Christian Doctrine ini merupakan kumpulan tulisan para ahli Sejarah Gereja yang diedit oleh Hubert Cunliffe-Jones. Rencana semula buku ini mulai dikerjakan tahun 1968 dan diharapkan bahan tulisan diselesaikan dan diberikan kepada editor pada tahun 1970. Namun karena berbagai faktor maka bahan tulisan tidak dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dan bahkan ada tulisan yang tidak bisa diselesaikan oleh penulis, sehingga dilanjutkan oleh penulis lain agar sempurna. Hanya dua penulis yang dapat menyelesaikannya tepat waktu yaitu Professor Lampe dan Dr.Ware.

Akhirnya dengan kesabaran yang sungguh, Hubert Cunliffe-Jones, mantan guru besar  teologi dan pensiunan dari Ketua Jurusan Teologi Universitas Manchester tahun 1973 ini dapat menyelesaikan editing buku ini. Tebal buku ini adalah 591 halaman yang dilengkapi dengan indeks nama-nama dan subyek.

2.      ISI BUKU

Buku ini berisikan sebuah pendahuluan yang diuraikan oleh Hubert Cunliffe-Jones dan empat belas Pasal yang mengulas sejarah ajaran iman Kristen sejak jaman Gereja Purba hingga pada teologi Kristen abad kedua puluh. Buku ini lebih banyak memfokuskan diri pada ajaran-ajaran iman Kristen yang terus-menerus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan jaman.

2.1    PENDAHULUAN (Hubert Cunliffe-Jones)[2]

Dalam pendahuluan ini Hubert Cunliffe-Jones mengemukakan apa isi buku ini dan mengapa buku ini perlu diterbitkan. Buku Sejarah Doktrin yang selalu dipakai dalam pembelajaran bagi para mahasiswa adalah buku karangan G.P.Fisher yang berjudul History of Christian Doctrine yang diterbitkan tahun 1896. Buku ini dipakai selama tujuh puluh tahun sebagai buku pegangan sejarah. Dan selama itu pula tidak ada buku yang diterbitkan yang berkaitan dengan Sejarah Doktrin Kristen. Karena itulah maka Hubert Cunliffe-Jones mencoba memprakarsai penerbitan buku A History of Christian Doctrine ini.[3]

Hubert Cunliffe-Jones memberikan empat catatan pendahuluannya. Pertama, buku ini merupakan penghormatan bagi G.P.Fisher. George Park Fisher lahir 10 Agustus 1827 d Wrentham, Massachusetts dan meninggal 20 Desember 1909. Anak dari Lewis Whiting dan Nancy Fisher. Dia adalah seorang Guru Besar Divinity di Perguruan Tinggi Yale. Karyanya yang telah diterbitkan adalah: Outlines of Universal History (1885), The Colonial Era (1892), History of the Christian Church (1887), History of Christian Doctrine (1896).

Kedua, isi buku ini secara umum mengikuti pekerjaan Fisher. Hal-hal yang diikuti dari pemikiran Fisher adalah: (a) bahwa Gereja bukanlah pintu masuk (starting-point) sebab Kekristenan adalah Wahyu Allah melalui Yesus Kristus dan Kekristenan itu sendiri tidak sama dengan sistem Filosofi. (b) Sejarah Doktrin Kristen seharusnya harus lebih luas skopenya. (c) Pembagian Sejarah Doktrinal dibagi menjadi dua bagian yaitu: Sejarah Doktrin Umum dan Khusus. (d) Fisher juga membahas secara rinci mengenai sejarah terbentuknya Sejarah Teologi Kristen.

Ketiga, namun buku ini juga memiliki sejumlah perbedaan dari apa yang telah dikerjakan oleh Fisher. Yang berbeda dalam buku ini dari Fisher adalah: (a) ditemukannya bahasan-bahasan sejarah yang dianggap penting tanpa membahasnya secara komprehensif dan detail. (b) bahan  tulisan dalam buku ini diambil dari seri-seri penting dalam tradisi Kekristenan. Artinya Fisher hanya melihat Sejarah Teologi Kristen itu dari satu sudut pandang, maka dalam buku ini akan terlihat beberapa pandangan yang berbeda tentang Sejarah Teologi Kristen itu sendiri misalnya dari sisi disiplin Perguruan Tinggi (Universitas). (c) Penelitian yang dilakukan Fisher akan lebih jauh dikembangkan dalam buku ini misalnya Sejarah Teologi Orthodoks, Sejarah Gereja Timur, Sejarah Teologi Katolik sejak Trente, sejarah umum teologi  Kristen khususnya teologi Amerika, sejarah doktrin Kristen dan akhirnya akan membahas perkembangan teologi pada abad kesembilan belas dan abad kedua puluh.

Dan keempat, dalam buku ini akan kita temukan sejumlah persoalan yang timbul dalam sejarah teologi Kristen itu sendiri. Persoalan teologi yang dibahas dalam buku ini adalah: (a) Apakah teologi itu mungkin?;  (b) Hubungan teologi Kristen dengan Iman dan hidup Gereja;  (c) Faktor-faktor yang termasuk dalam memformulasi doktrin ilmu teologi;  (d) Perkembangan dan perubahan besar dalam teologi;  (e) Hubungan Sejarah Teologi Kristen dengan Sejarah Umum dan Sejarah Gereja;  (f) Hubungan Sejarah Teologi Kristen dengan Budaya dan Sosiologi;  (g) Hubungan Sejarah Teologi Kristen dengan Filosofi; dan  (h) Hubungan Sejarah Teologi Kristen dengan Kritik Doktrinal dan Konstruktif Teologi.

2.2    TEOLOGI KRISTEN PERIODE BAPA-BAPA GEREJA (G.W.H.Lampe)[4]

Artikel G.W.H.Lampe yang sangat panjang ini (160 halaman) membahas sepuluh pokok-pokok penting yaitu: Bapa-Bapa Gereja dan Gerakan Abad Kedua, Apologet Yunani, Melito dan Irenaeus, Teologi Latin Mula-mula: Tertullianus dan Novatianus, Teolog-teolog Aleksandria pada Abad Ketiga, Teologi Timur dari Origenes hingga Konsili Nicea, Perkembangan Teologi Trinitarian setelah Konsili Nicea, Perdebatan Kristologis, Keselamatan, Dosa, dan Anugerah, Gereja dan Sakramen.

Pertama, Bapa-bapa Gereja dan Gerakan Abad Kedua.[5] Dalam bagian ini Lampe mengulas pemikiran para Bapa Gereja tentang ajaran-ajaran mereka sekitar Abad Pertama dan Kedua Kekristenan. Misalnya Clemens mengatakan bahwa Allah sebagai  ‘Tuan atas alam semesta tuan’ (Master of the universe). Dia menyebut Allah ‘Bapa’ dan menghubungkannya dengan ‘kreativitas’ (daya cipta) Allah. Allah adalah ‘Bapa dan Pencipta seluruh dunia. Pemikiran ini menggambarkan bahwa gabungan bahasa alkitabiah dan Platonis tentang Allah tampak begitu kuat dari Apologet Yunani ketika Kebapaan Allah mencuat dalam istilah ‘Bapa dan Master universal’ dari Timaeus. Penekananan yang sama akan kebaikan ciptaan tampak dalam Didache bahwa Allah ‘Tuan atas segala sesuatunya’ sangat ditonjolkan.[6] Pemikiran yang lebih lengkap diungkapkan oleh Hermas: “Allah … yang dengan penuh kuasa dan kekuatan dan dengan hikmat dan kebijakasanaan-Nya menciptakan dunia dan dengan tujuan yang mulia mendandani ciptaan-Nya dengan indah dan dengan firman-Nya yang kuat menetapkan sorga dan menemukan bumi di atas air dengan kebijaksanaan-Nya menjaga gereja-Nya….” Lebih dalam Hermas mengatakan bahwa Allah adalah esa, walaupun Ia menciptakan segala sesuatu.

Persoalan lain yang dibahas oleh para Bapa Gereja pada Gereja Mula-mula adalah persoalan pribadi Yesus Kristus di dalam teologi Trinitarian. Clemens menggunakan bahasa Trinitarian dalam suratnya ke gereja Korintus. Ignatius juga menggunakan bahasa Trinitarian yang sama dengan menempatkan aspek keilahian dan kemanusiaan pada pribadi Kristus. Kristus adalah ‘satu tubuh fisik/jasmani’ terdiri dari tubuh dan roh, Allah di dalam manusia,  hidup yang sejati dalam kematian, Anak Maria dan Anak Allah, Yesus Kristus Tuhan kita.

Menurut Lampe masukan para Bapa Gereja pada penafsiran pekerjaan Kristus tidak begitu membawa banyak arti. Secara keseluruhan mereka mengulangi fraseology tradisional tanpa melakukan banyak upaya untuk menjelaskannya. Bagi Ignatius, kematian Kristus berkaitan erat dengan kesyahidan-Nya dan pemikiran-Nya adalah pusat kesatuan Kristus dalam penderitaan. Barnabas menekankan arti kematian Kristus sebagai antitipe dari persembahan Ishak.

Lampe melihat bahwa langkah formulasi doktrinal ini telah dimulai sejak Abad Kedua dengan benturan sistem yang saling konflik yang diperoleh orang percaya paling tidak dari luar tradisi orang Kristen yang ditunjukkan dalam tulisan-tulisan Perjanjian Baru (PB). Salah satu dari sistem ini adalah Ebionisme. Orang-orang Ebionit adalah sisa-sisa oang Kristen Yahudi yang menafsirkan Yesus sebagai nabi dan Mesias. Kemudian Gnostisisme yang menggejala dalam agama-agama kuno yang berakar jauh ke belakang pada masa orang pra-Kristen Hellenisme, Yudaisme dan agama-agama Timur.

Kedua, Apologet Yunani.[7] Menurut Lampe teologi Kristen yang sistematik dimulai dengan pekerjaan para Apologet Yunani pada Abad Kedua seperti yang dilakukan oleh Aristides, Yustinus Martir, Athenagoras, Tatianus, dan Theofilus dari Antiokia yang berjuang melawan dunia Yunani-Romawi, khususnya para ateis. Hal itu bukan berarti bahwa para Apologet tersebut menjadi pembaharu yang radikal di dalam teologi. Perjuangan mereka adalah melawan keadaan dunia pada saat itu seperti yang dilakukan Yustinus dalam Dialog dengan Trypho, termasuk Yudaisme dan Hellenisme. Terhadap dunia Yahudi Kristen masih menampakkan diri sebagai Yudaisme sejati: pemenuhan yang otentik dan telah dipredestinasikan dari wahyu Allah pada Israel masih dimengerti sebagaimana yang tertulis dalam nubuatan nabi-nabi dalam Perjanjian Lama (PL). Sementara dunia kafir melihat Kekristenan sama tuanya dengan Penciptaan.  Pemahaman yang benar bagi orang Kristen adalah bahwa Allah nyata dalam hidup, mati dan kebangkitan Yesus Kristus.

Perdebatan mengenai Logos juga menjadi hal yang penting dicatat Lampe. Menurut Yustinus dalam karya apologetnya, Kristus adalah Logos Allah yang telah menjadi manusia demi keselamatan kita dan bahkan rela menderita dan membawa kesembuhan bagi umat manusia. Bahkan Tatianus memberikan pemahaman yang lebih mendalam yang mengatakan bahwa Kristus adalah ‘keseluruhan Logos’ atau ‘Keseluruhan dari apa yang rasional’.

Untuk melawan para penyembah berhala tentang Allah, maka Aristides dalam awal pembelaannya mengatakan bahwa Allah adalah Allah yang tidak dapat berubah, tak kelihatan, dan Pencipta yang maha kuasa. Dan Theofilus mengatakan bahwa Allah adalah yang tidak berawal, kekal dan tak berubah, tidak dapat digambarkan keberadaan-Nya. Gambaran alkitabiah tentang Allah yang hidup, aktif dalam ciptaan-Nya tidak pernah dilupakan oleh para Apologet. Dalam hal penciptaan, para Apologet mendasarkan pengajar mereka pada pemikiran Pembukaan Yohanes dan Pemazmur, ‘Oleh firman TUHAN langit telah dijadikan, oleh nafas dari mulut-Nya segala tentaranya’ (Mzm. 33 :6). Mereka membaca teks ini dalam terang pemikiran Platonik dan Stoik khususnya perkembangan ajaran Philo tentang Logos sebagai mediator pencipta yang Ilahi, pemeliharaan dan wahyu. Perdebatan lain yang mereka lakukan adalah mengenai Pencipta dan mediasi Logos, Kristologi dan Roh Kudus. ‘Dengan Firman Allah, Yesus Kristus Juruselamat kita menyerahkan tubuh dan darah-Nya bagi keselamatan kita’. Yustinus menghargai posisi Roh Kudus dalam posisi ketiga setelah Pencipta dan Logos. Tatianus percaya bahwa keselamatan orang percaya adalah pekerjaan Roh yang Ilahi. Roh manusia dibangkitkan ke alam sorga dengan bersatunya dengan Roh Allah.

Menjelang pertengahan abad kedua, di bawah pemerintahan yang adil oleh para kaisar seperti Trajanus, Antoninus Pius dan Marcus Aurelius, gereja mulai membuka diri pada dunia luar untuk meyakinkan keberadaannya. Yustinus menjadi salah seorang apologet (orang yang mempertahankan pendiriannya dalam argumentasi) Kristen pertama, yang menjelaskan imannya sebagai sistem yang masuk akal. Bersama-sama penulis lain, seperti Origenes dan Tertullianus, ia menafsirkan kekristenan dalam istilah-istilah yang mudah dikenal orang-orang Yunani dan Romawi terpelajar pada masa itu.

Karya tulis Yustinus yang terkenal adalah: Dialog dengan Trypho (catatan mengenai diskusi panjang dan ramah antara Yustinus dengan seorang Yahudi bernama Trypho),  Apologia (The Apology): yang terdiri dari dua Apologia yakni: Apologia I: suatu pembelaan iman Kristen yang ditujukan pada Kaisar Antoninus Pius; dan Apologia II: tambahan yang  singkat pada karya Apologia I yang ditujukan kepada Senat Romawi. Yustinus dikenal sebagai bapa Pembela Iman.

Bagi Yustinus, seluruh kebenaran adalah kebenaran Allah. Para filsuf Yunani yang tersohor sedikit banyak telah diilhami Allah, namun mata mereka belum dibukakan bagi keutuhan kebenaran Kristus. Oleh karenanya, Yustinus menyitir pemikiran Yunani dengan bebas dan kemudian menjelaskan kepada mereka bahwa kesempurnaan itulah Kristus. la mengutip prinsip Yohanes tentang Kristus sebagai Logos, Firman. Allah Bapa adalah kudus adanya dan terpisah dari manusia yang jahat — tentang hal ini Yustinus setuju dengan Plato. Namun melalui Kristus, Logos-Nya, Allah dapat berhubungan dengan manusia. Sebagai Logos Allah, Kristus adalah bagian dari hakikat Allah, meskipun terpisah, seperti api dinyalakan dari api juga (demikianlah pemikiran Yustinus telah menjadi alat bagi kesadaran akan Tritunggal dan Inkarnasi yang berkembang di Gereja).

Meskipun Yustinus bersandar pada pemikiran Yunani, namun aliran pemikiran Yahudi ada padanya. Ia kagum pada nubuat yang digenapi. Mungkin ia terpengaruh orang tua yang ia temui di pantai. Tetapi ia pun melihat bahwa nubuat Ibrani telah meyakinkan identitas Yesus Kristus yang unik. Seperti Paulus, Yustinus tidak meninggalkan orang-orang Yahudi ketika ia berpaling kepada orang-orang Yunani. Dalam karya besar Yustinus lainnya, Dialog dengan Tryfo (Dialogues with Trypho), ia menulis kepada seorang Yahudi kenalannya, bahwa Kristus adalah penggenapan tradisi Ibrani.

Ketiga, Melito dan Irenaeus.[8] Di antara para Apologet tentunya termasuk di dalamnya Melito, seorang uskup Sardis di Asia, yang menulis sebuah apologi yang dialamatkan kepada Markus Aurelius. Dia seorang pemimpin Gereja di Asia dan seorang teolog yang cukup berpengaruh dalam pemikiran Kristen. Tulisan Melito yang menjadi risalah sistematik pertama adalah tentang Inkarnasi. Bagi Melito, Inkarnasi adalah sungguh-sungguh. Dia menekankan dua kodrat Yesus yaitu: Kristus pada satu sisi adalah Allah dan di sisi lain manusia sempurna. Kemanusiaan-Nya nyata bukan khayalan, Ia terdiri dari jiwa dan tubuh.

Irenaeus berasal dari latar belakang yang sama, penduduk asli Smirna (Asia Kecil), walaupun ia pindah ke arah Barat dan menjadi uskup di Lyons setelah kematian pendahulunya, Ponthinus dalam sebuah penganiayaan tahun 177. Dia diduga lahir sekitar tahun 115 sampai tahun 125.[9] Dia juga seorang penulis yang produktif. Tulisan utamanya berjudul Melawan Aliran-Aliran Sesat (Against Heresies) yang terdiri dari lima jilid, dialamatkan langsung melawan orang-orang Gnostik Valentinian di dalam bermacam-macam bentuk. Dengan tulisannya ini, maka Irenaeus dikenal sebagai bapa melawan orang-orang sesat. Irenaeus memberikan masukan kepada ‘para tua-tua’ di dalam Gereja yang memiliki suksesi keuskupan yang telah menerima karunia kebenaran (charisma veritatis certum). Artinya bagi mereka yang memiliki inspirasi ilahi untuk mengajarkan kebenaran. Menurut Irenaeus, iman yang benar adalah dalam pemeliharaan Gereja di bawah bimbingan Roh Kudus.  Itulah makanya Irenaeus sangat menekankan pentingnya Gereja yang benar sebagai dasar iman yang kuat sebagaimana Petrus dan Paulus telah lakukan untuk mengajarkan kebenaran di dalam Gereja. Sebab di dalam Gereja semua orang percaya disatukan bersama. Sehingga bagi Irenaeus, aturan iman atau kanon kebenaran adalah norma ajaran ketiga. ‘Kanon kebenaran’ yang dimaksudkan Irenaeus adalah ringkasan pengajaran yang diberikan oleh Gereja. Hal ini bukanlah sebuah pengakuan formal, melainkan lebih fleksibel di dalam perkataannya namun memiliki muatan yang mendalam. Irenaeus memasukkan kriteria kebenaran dalam peneguhan sidi iman Kristen tentang Allah sebagai Pencipta. Bagi Irenaeus kebenaran yang universal datangnya dari keinginan dan kekuatan Allah semata. Manusia sendiri tidak mampu untuk membuat sesuatu. Irenaeus juga mengikuti garis besar usaha Apologet untuk rekonsiliasi ajaran penciptaan dan transendensi ilahi dalam teologi Logos.

Irenaeus juga banyak memberikan ulasan tentang ajaran Logos, Trinitarian, Inkarnasi. Irenaeus sangat menentang keras orang yang telah memisahkan Yesus dari Logos atau Yesus dari Kristus sebab Alkitab mengajarkan Yesus Kristus adalah satu-satunya pintu ke sorga.  Menurut Irenaeus, keselamatan yang dikerjakan Kristus adalah pusat ide-ide restorasi manusia untuk kehendak Allah melalui Inkarnasi dan kerjasama manusia dalam kepatuhan Kristus.

Irenaeus termasuk yang pertama-tama menggunakan istilah Perjanjian Baru di samping Perjanjian Lama. Tadinya “Alkitab” bagi orang Kristen berarti Perjanjian Lama. Pada zaman Irenaeus Perjanjian Baru sudah mirip Perjanjian Baru sekarang, yang berisikan empat kitab Injil, Kisah Para Rasul, Surat-Surat dari Paulus serta tulisan-tulisan lain.

Sepanjang hidupnya, Irenaeus dengan gembira mengenang perkenalannya dengan Polikarpus, yang pernah akrab dengan Rasul Yohanes. Jadi, tidaklah mengherankan bahwa ia berpegang pada keabsahan para rasul ketika ia menolak paham Gnostik. Sang uskup menegaskan bahwa para rasul mengajar di tempat-tempat umum dan tidak ada satu pun yang dirahasiakan. Di seluruh kekaisaran, Gereja-gereja berpegang pada ajaran-ajaran yang hanya disampaikan para rasul Kristus, dan hanya inilah satu-satunya dasar keyakinan. Irenaeus menyatakan bahwa para uskup yang merupakan pelindung iman

Keempat, Teologi Latin Mula-mula: Tertullianus dan Novatianus[10]

“Darah para martir menjadi benih gereja.”
“Hal itu pasti karena tidak mungkin.”
“Apa urusan orang-orang Athena dengan Yerusalem?”

Kata-kata kiasan yang tajam seperti ini adalah ciri khas karya Quintus Septimius Florens Tertullianus – atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tertullianus. Tertullianus adalah bapa Teologi Latin Barat. Tertullianus yang dilahirkan di Kartago tahun 150 ini sangat menekankan pengajaran Kristus. Menurut Tertullianus, norma ajaran rasuli ditemukan dalam tradisi lisan di dalam pengajaran Gereja di mana para rasul mengajar. Otoritas suksesi kerasulan itu berada dalam Gereja-gereja, para rasul, Kristus dan Allah. Filosofi para bidat bertolak belakang dengan kebenaran Kristen: murka Allah (melawan teologi Marcion), penciptaan dari tidak ada, pembaharuan di dalam kebangkitan daging. Mengenai Allah, Tertullianus juga sangat menentang dualisme dengan mengatakan Allah adalah Esa yang menciptakan segala sesuatu termasuk materi. Allah yang Esa ini harus dimengerti dengan hubungannya pada ‘dispensasi’ atau ‘ekonomi’. Penciptaan itu dari yang tidak ada dan diciptakan menurut kehendak Allah sendiri.

Tertullianus juga sangat menentang anggapan bahwa kesatuan Allah sama dengan kesatuan dewa yang absolut tunggal (absolut monad). Pengajaran ini menentang pemahaman Monarkhianisme bahwa Allah adalah esa dan Kristus adalah Allah. Titik persoalan dasar adalah menyangkut hubungan Bapa dan Anak satu sama lain. Menurut kaum Monarkianisme, memahami keilahian Anak hanya sekedar mode atau cara penampilan Bapa.  Monarkianisme dinamis mengatakan, “maka suatu kuasa ilahi yang tidak bersifat pribadi giat dalam seorang manusia yang bernama Yesus. Sesudah itu Kristus diangkat menjadi Anak Allah. Aliran ini berkembang sekitar abad kedua sampai abad ketiga. Aliran ini mirip “konsep adopsionis”, yang jauh lebih tua dalam gereja purba.  Pengikut aliran ini menitik beratkan “monarkhi” atau pemerintahan tunggal dari Allah – mereka adala monoteis keras. Berdasarkan pandangan teks Yohanes, Tertullianus mengatakan bahwa Kristus dan Bapa adalah satu. Artinya bahwa  Allah Bapa adalah berinkarnasi dalam diri Yesus Kristus.

Untuk melawan gerakan Monarkianisme ini, Tertullianus menulis suatu karya penting berjudul Melawan Praxeas. Praxeas adalah salah seorang pengikut ajaran Monarkianisme – yang melawan Montanisme. Penganut aliran ini memperdaya doktrin ketritunggalan dengan menyatakan konsep bahwa Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah tiga nama yang berlainan untuk tokoh yang sama, yang memainkan tiga peranan yang berlainan. Menjawab hal ini Tertullianus mengatakan bahwa Allah adalah satu zat atau hakikat dalam tiga pribadi. Baginya, Tritunggal bukanlah konsep Politeisme seperti yang dituduhkan oleh Monarkhianisme. Konsep Tritunggal tidak sama dengan satu Pribadi dengan tiga modus, seperti yang disodorkan oleh Monarkhianisme. Akan tetapi, Tritunggal Allah adalah, “Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus menyatu di dalam substansinya. Namun kesatuan substansi Allah ini terdistribusi ke dalam tiga pribadi, yaitu pribadi Allah Bapa, pribadi Yesus Kristus dan pribadi Roh Kudus”. Tertullianus mengatakan bahwa  Allah adalah satu zat atau hakikat dalam tiga pribadi. Pemikiran Tertullianus yang dibahas Lampe dalam uraiannya ini adalah mengenai Logos, Anak, Kristologi, soteriologi dan eskatologi. Baginya Anak adalah nama baru Allah karena kasih-Nya bagi umat manusia sehingga Ia menjelma (Inkarnasi) sebagai Anak Allah yang sempurna.

Tertullianus juga berpendapat bahwa dua substansi Manusia dan Allah adalah bagian yang tidak terpisahkan di dalam Kristus yang dimanifestasikan dalam kelemahan dan kekuatan-Nya. Hal inilah yang menjadi perdebatan bagi Novatianus, sebab bagi Novatianus tidak berbicara tentang kasih dalam hubungan Manusia dan Allah ini, karena tendensi umum berpikir bahwa dewa-dewa (deity) dalam istilah kekuatan dan kemanusiaan dalam istilah kelemahan seperti haus, lapar, marah, menderita dan bahkan hampir sama dengan istilah kodrat binatang. Hubungan ini sangat menyulitkan pemahaman Kristologi bagi Novatianus.

Kelima, Para Teolog Aleksandria pada Abad Ketiga.[11] Ada dua tokoh teolog besar yang dibahas Lampe pada Abad Ketiga ini yakni: Clemens dan Origenes. Tokoh pertama, Titus Flavius Clemens dilahirkan dari keluarga Yunani pada pertengahan Abad Kedua. Pada masa hidupnya Clemens menghadapi dunia Gnostik. Clemens berpendapat bahwa antara iman dan gnosis tidak ada pertentangan. Iman diperlukan bagi setiap orang Kristen. Namun di samping iman masih ada hal yang lebih tinggi, yaitu gnosis (pengetahuan). Gnosis diperlukan oleh setiap orang Kristen yang dapat berpikir segera lebih mendalam. Dalam pengajarannya, Clemens mengatakan bahwa Logos adalah mediator di antara Allah yang transenden dengan dunia dan segala isinya. Roh Kudus adalah sinar kebenaran (Logos menjadi kebenaran), sinar yang sebenarnya tanpa bayangan. Sehingga pemikiran Trinitatis Clemens sangat dipengaruhi oleh Neo-Platonisme. Logos Allah adalah gambar-Nya dan Logos Ilahi adalah autensitas Anak dalam pikiran-Nya (nous), dan manusia adalah gambar Logos. Manusia adalah logikos, melampaui pikiran (nous) yang dijadikan dalam gambar dan rupa Allah. Pikiran manusia akhirnya menjadi pikiran Allah. Clemens juga memberikan pemikiran dalam bidang Kristologi bahwa Logos nyata dalam manusia, baik Allah maupun manusia adalah satu, dan menjadi mediator di antara Allah dan manusia. Begitu juga dalam hal soteriologi, Clemens berpendapat bahwa Dia telah menjadi taat dalam kelemahan-Nya untuk memampukan kita memperoleh kekuatan-Nya, memberikan diri-Nya sebagai kurban dan memberikan diri-Nya sebagai tebusan. Clemens berpendapat bahwa di dalam filsafat Yunani terdapat kebenaran-kebenaran. Para filsuf Yunani telah belajar dari hikmat Ilahi yang terpancar dari gambar Allah yang terdapat dalam diri mereka. Dalam hidupnya, Clemens menulis tiga karya penting yaitu: Nasihat kepada orang Yunani, Pendidik, Serba-serbi (Stromateis).

Tokoh kedua, Origenes yang juga diberi julukan Adamantius memiliki pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan Kekristenan pada Abad Ketiga. Origenes menulis On First Principles (De Principiis) yang merupakan upaya pertamanya dalam teologi sistematis. Dalam tulisan ini Origenes dengan saksama meneliti keyakinan Kristen tentang Allah, Kristus, Roh Kudus, Penciptaan, jiwa, kemauan bebas, keselamatan dan Kitab Suci. Origenes mencoba di dalam berbagai cara menggambarkan kesatuan di antara Bapa dan Logos. Origenes mendasarkan penafsirannya atas Yohanes 5:19, “…sesungguhnya Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri, jikalau tidak Ia melihat Bapa mengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan Anak.” Mengenai Kristologi, Origenes berpendapat bahwa Kristus adalah Allah dan manusia: kodrat ilahi dan kemanusiaan bersatu di dalam Kristus. Logos dilahirkan secara kekal oleh Allah sehingga Logos sama kekal dan memiliki hakikat yang sama dengan Allah Bapa. Allah Bapa tidak ada tanpa Putra Allah dan begitu juga sebaliknya. Akan tetapi ada segi lain dari Origenes. Ia mengajar tentang ketigaan Allah, tetapi menurut dia, Trinitas itu bertingkat – yaitu Bapa lebih besar daripada Anak yang lebih besar daripada Roh Kudus. Hanya Bapa adalah “Allah sejati”. Anak Allah sama dengan Allah Bapa, hanya pada tingkat yang lebih rendah. Ajaran Origenes mengenai penebusan bertentangan dengan ajaran gereja yang ortodoks. Ia mengajarkan bahwa semua makhluk ciptaan Allah akan mengalami keselamatan termasuk di dalamnya iblis dan malaikat-malaikat yang memberontak kepada Allah. Lebih dalam Origenes mengatakan keselamatan adalah proses komplek dari re-deifikasi, kembali kepada yang semula. Pada akhirnya segala sesuatu akan dipersatukan kembali, maka akan terjadi lagi kejatuhan ke dalam dosa dan terbentuklah dunia yang baru lagi. Karyanya yang lain adalah Hexapla merupakan prestasi dalam bidang kritik teks. Di dalamnya, ia mencoba menemukan terjemahan Yunani yang terbaik bagi Perjanjian Lama, dan dalam enam kolom sejajar ia membentangkan Perjanjian Lama Ibrani, sebuah transliterasi Yunani, tiga terjemahan Yunani dan Septuaginta. Against Celsus adalah karya besar yang merupakan pertahanan bagi kekristenan terhadap serangan kafir.

Keenam, Teologi Timur dari Origenes hingga Konsili Nicea.[12] Dalam bagian ini Lampe membahas perjalanan sejarah Kekristenan dalam perdebatannya tentang Trinitas dan Kristologi yang akhirnya harus diselesaikan dalam sebuah Konsili. Perdebatan yang serius diperbincangkan adalah pokok pikiran Arius dan Origenes tentang substansi ke-Allah-an dan ke-manusia-an Yesus. Meskipun Tertullianus telah merumuskan bagi Gereja bahwa Allah itu memiliki satu hakikat: terdiri atas tiga pribadi, namun ia belum memberi pengertian lengkap tentang Tritunggal. Sesungguhnya, doktrin ini telah membingungkan para teolog besar.

Dionysius, Uskup Aleksandria adalah seorang murid Origenes yanng dalam teologi Trinitasnya mengemukakan teologi Sabellian kepada uskup Pentapolis di Libia dan menulis surat kepada mereka yang berisikan untuk melawan identifikasi Sabellian tentang inkarnasi ilahi dengan Bapa. Bagi Dionysius, Allah tidak selalu Bapa, dan tidak ada selalu Anak. Arius dipengaruhi teologi Yunani yang mengajarkan bahwa Allah itu unik adanya dan tidak dapat dikenal. Menurut pemikiran itu, Allah begitu beda, yaitu bahwa Dia tidak dapat membagi hakikat-Nya dengan apa pun. Hanya Allah yang bisa menjadi Allah. Dalam bukunya yang berjudul Thalia, Arius menyatakan bahwa Yesus memiliki sifat keilahian, Namun bukan Allah. Hanya Allah Bapa, yang abadi. Kemudian Allah melahirkan Anak dari yang tiada (ex-nihilo) oleh kehendak-Nya sendiri. Anak-Nya  merupakan manusia yang diciptakan. Ia seperti Bapa, tetapi bukan Allah. Arius menolak untuk menyatakan bahwa Anak sama dengan Bapa karena Anak tidak mempunyai substansi yang sama dengan Bapa. Arius menolak pemakaian istilah homoousios. Banyak dari antara bekas kafir menyenangi pandangan Arius. Karena dengan pandangan itu, mereka mendapat peluang mempertahankan ide yang telah mendarah daging, yaitu Allah yang tidak dapat dikenal, dan memandang Yesus sebagai pahlawan super yang bersifat ilahi, tidak berbeda dengan pahlawan-pahlawan yang ada dalam mitologi Yunani.

Sejalan dengan pemikiran Arius, Eusebius dari Kaesarea sangat bersimpati dengan ajaran Arius. Dia menulis buku yang terkenal dengan judul Sejarah Gereja (Historia Ecclesiastica = History of the Church). Eusebius tidak mau memakai istilah homoousios dalam hubungan Allah dengan Anak. Eusebius menyatakan tentang kelahiran yang kekal dari Allah Anak. Ketika istilah homoousios dimasukkan dalam Pengakuan Iman Nicea, Eusebius mengajukan keberatannya bahwa istilah tersebut terlalu jauh menyimpang dari Kitab Suci. Walaupun kemudian ia harus menerimanya dengan terpaksa. Mengenai Kristologi, Eusebius adalah representasi dari teori kesatuan Logos dengan daging.

Pemikiran yang berbeda terlihat dalam pandangan Alexander uskup Aleksandria yang tidak dapat menerima ajaran Arius.  Alexander menerima eksistensi Logos yang mempunyai hakikat yang sama dengan Bapa. Anak dan Bapa hakikat yang sama. Anak bukan diciptakan dari tiada, tetapi keluar dari pangkuan Bapa.

Perbedaan pendapat ini akhirnya diselesaikan melalui sidang para uskup di Antiokhia. Keputusan sidang adalah mempersalahkan Arius dan merumuskan suatu pengakuan iman yang menyatakan bahwa Anak tidak diciptakan, tetapi dilahirkan. Anak bukan berasal dari tiada tetapi gambar dari hakikat Bapa. Namun pertikaian tidak berhenti sampai di situ, akhirnya Konstantinus mengadakan Konsili Ekumenis Pertama di Nicea tahun 325 yang dikenal dengan Konsili Nicea. Maka mereka merumuskan beberapa pernyataan tentang Allah Bapa dan Allah Anak. Mereka menjelaskan bahwa Anak adalah “Allah sejati dari Allah sejati, diperanakkan bukan dijadikan dan sehakikat dengan Bapa”.

Ketujuh, Perkembangan Teologi Trinitarian setelah Konsili Nicea.[13] Perkembangan teologi Trinitarian setelah Konsili Nicea ini dikupas Lampe secara mendalam bertolak dari pemahaman homoousios para teolog pasca Konsili Nicea. Pemahaman yang dibahasnya mulai dari Eusebius, Ambrosius, Athanasius, Bapa-bapa Kapadokia, hingga Augustinus.  Pergumulan teologis gereja tersebut tak terelakkan menghasilkan ajaran yang pada satu sisi terlalu menekankan keesaan Allah dengan melepaskan ketritunggalan-Nya, dan pada satu sisi juga ada yang terlalu menekankan ketritunggalan Allah dengan melepaskan keesaan-Nya. Kelompok pertama yang terlalu menekankan keesaan Allah dengan melepaskan ketritunggal-an-Nya sering disebut dengan kelompok Unitarianisme, dan kelompok kedua yang terlalu menekankan ketritunggalan Allah, terdiri dari beberapa aliran yang kemudian melepaskan diri dari keesaan Allah yang mutlak. Namun secara umum gereja-gereja Tuhan pada prinsipnya tetap menekankan ketritunggalan Allah tanpa melepaskan diri dari keesaan Allah.

Perkataan setara dan sehakikat Yesus dengan Bapa dalam rumusan Konsili Nicea masih diperdebatkan. Bagi Eusebius perkataan itu tidak masuk akal. Sehingga formula Nicea ini dinilai secara negatif. Baik Ambrosius dan Athanasius mengakui bahwa perkataan ousia ada dalam Alkitab, namun perkataan homoousios tidak ditemukan dalam Alkitab. Menurut mereka istilah homoousios membawa perbedaan: satu sisi dapat dikatakan menjadi konsubstansial dengan yang lain bukan dengan Allah sendiri. Penolakan terhadap keputusan Konsili Nicea ini disampaikan oleh Eusebius.

Mereka yang sangat keras menolak formula Konsili ini adalah Eustatius dan Marcellus. Mereka lebih condong kepada pemikiran Sabellius yang pada prinsipnya mempertahankan keesaan Allah. Dalam konsep Sabellius, Allah memiliki satu Hypostasis namun memiliki 3 nama. Jadi Allah yang esa dalam penyataan-Nya itu menampakkan diri secara modalitas atau tiga bentuk penampakan diri. Dalam Perjanjian Lama, Allah menampakkan diri sebagai Bapa yang bertindak sebagai Sang Pencipta dan pemberi taurat. Kemudian, Allah yang esa dan sama itu menyatakan diri-Nya dalam diri Sang Anak, yaitu sebagai Juruselamat untuk menebus dosa umat manusia. Akhirnya Allah yang esa dan sama itu setelah kematian dan kebangkitan Yesus pada hari Pentakosta menyatakan diri-Nya sebagai Roh Kudus. Dengan pola pikir modalisme, Sabellius memang berhasil mempertahankan keesaan Allah tetapi pada sisi lain ia mengorbankan pluralitas Allah. Konsep tritunggal menurut Sabellius sebenarnya tidak lebih sebagai proses urut-urutan penampakan Allah yang esa dalam berbagai momen sejarah.

Melawan pandangan Sabellius tersebut maka Athanasius memberikan pandangan yang berbeda. Dalam ajarannya, Athanasius sebenarnya tetap mengakui keesaan Allah, namun pada saat yang sama Allah yang esa itu pada hakikatnya adalah Allah Tritunggal. Sehingga kedudukan Yesus selaku Firman tidak berada di bawah Allah dan Ia juga bukan ciptaan seperti yang dikatakan oleh Arius. Jadi dalam pemikiran Athanasius, Yesus selaku Firman Allah pada hakikatnya Ia adalah Allah. Selaku Firman Allah, Yesus telah berada sejak kekal, tidak berawal, dan Ia sehakikat dengan diri Allah. Karena itu Athanasius menolak pemikiran Origenes yang mengajarkan bahwa Yesus selaku Firman adalah “Theos Deuteros” (Allah berpangkat dua). Sebab dalam pemikiran Athanasius, Allah dan Yesus itu satu homousios sehingga keilahian Anak identik dengan keilahian Allah. Kepenuhan keilahian Bapa adalah keberadaan (to enai) dari Anak. Jadi Allah Bapa dan Anak dalam pemikiran Athanasius memiliki kesatuan hakikat (oneness of essence).

Pandangan Athanasius didukung oleh Tiga Serangkai dari Kapadokia[14], yang kemudian memunculkan ide/pengertian Trinitas. Bapa-bapa Kapadokia mempersembahkan uraian yang jelas mengenai hubungan antara kesatuan dan ketigaan Allah. Namun penjelasan mereka sekaligus membuat mereka peka terhadap triteisme (percaya kepada tiga Allah).

Pemikiran lain yang muncul dalam hal Tritunggal ini adalah pemikiran Augustinus. Dalam bukunya yang berjudul On the Trinity (399-419), Augustinus memulai dari pemikiran kesatuan (one-ness) dari esensi keilahian dan mencoba memahami dari anggapan dasar ini menuju pernyataan rasional dari Teologi Trinitarian. Agustinus mengatakan bahwa Trinitas adalah satu dan hanya Allah yang benar, dan bagaimana Allah, Anak dan Roh Kudus dipercayai menjadi saru dan memiliki substansi dan esensi yang sama. Trinitas itu sendiri adalah Allah.

Kedelapan, Perdebatan Kristologi.[15] Perdebatan Kristologi ini dibahas oleh Lampe dengan memaparkan pemikiran-pemikiran para tokoh Gereja. Menurut Lampe, perdebatan ini masih membicarakan topik “Alllah” dan “Firman” sehingga perdebatan ini sangat tergantung pada soteriologi. Secara umum orang Kristen setuju bahwa mereka ingin penegasan bahwa di dalam Kristus Allah telah mendamaikan diri-Nya dengan dunia ini: bahwa Yesus Kristus adalah Inkarnasi Logos. Namun masalahnya adalah bagaimana penegasan ini diputuskan tanpa berlawanan dan tanpa mengurangi kekuatan mereka. Athanasius mengatakan bahwa Logos adalah subyek penglaman asli manusia tanpa berhenti pada subyek kekekalan dan tindakan ilahi. Apollinarius percaya bahwa Yesus Kristus adalah Logos ilahi. Cyrillus dari Aleksandria mengatakan bahwa Anak bukanlah dua kodrat, melainkan kodrat inkarnasi dari Allah dan Firman. Artinya ada kesatuan kodrat (henosis physike) dari tubuh dan Logos; ada ‘satu kodrat, satu hipostasis, satu pribadi (prosopon), keseluruhannya adalah Allah dan Manusia. Tubuh Kristus adalah Tubuh Allah, dan bukan konsubstansial dengan tubuh manusia. Dalam kesimpulannya, Apollinarius menyatakan bahwa Inkarnasi artinya bukan Kristus manusia melainkan Kristus sebagai manusia. Didymus menyatakan hal yang sama bahwa jiwa Kristus efektif dalam keselamatan jiwa kita. Gregorius dari Nyssa mengatakan bahwa ada ‘percampuran’ kodrat Allah dengan kodrat manusia. Gregorius dari Nazianzus mengatakan bahwa bentuk Logos adalah kodrat yang sudah sempurna. Keilahian tidak secara langsung menyatu dalam daging, jiwa dan pikiran manusia. Gregorius menyatakan bahwa ada dua kodrat, Allah dan manusia, tetapi bukan dua Anak atau dua Allah. Kodrat itu dibedakan dengan Allah dan Anak memiliki satu hal dan hal yang lain, tetapi tidak menjadi dua pribadi. Kesatuannya adalah ‘substansial’.

Kristologi Diodore mengatakan bahwa Kristologi adalah sesuatu yang unik dalam Inkarnasi. Di dalam Kristus Logos sudah sempurna dan permanen. Theodore dari Mopsuestia dalam Catechetical Homilies-­nya mengatakan bahwa tubuh Kristus adalah tubuh ilahi yakni tubuh Allah. Di dalam Kristus sudah sempurna tubuh dan jiwa-Nya.

Pendapat Nestorius dalam bukunya Book of Heracleides secara jelas membedakan antara keilahian dan kemanusiaan. Anak Daud dan Anak Allah adalah dua kodrat yang berbeda sebab bagi Nestorius ‘kodrat’ (physis) merupakan objek realitas. Logos adalah Allah yang menyatu dengan manusia.

Cyrillus memaparkan Kristologi yang berbeda. Bagi Cyrillus suatu keberadaan, pribadi dari Logos yang kekal adalah subyek dari pengalaman manusia. Dasar Kristologi Cyrillus adalah ‘satu Inkarnasi kodrat Allah dan Firman’. Cyrillus tidak menolak keilahian dan kemanusiaan Kristus. Kristus adalah ‘dari dua’ dan keduanya dibedakan secara ‘obyek’.

Akhirnya perdebatan Kristologi ini diselesaikan dengan Konsili Ekumenis Ketiga di Efesus tahun 431 yang dikenal dengan Konsisi Efesus. Dalam Konsili ini kelompok Nestorius dihukum. Konsili ini juga memutuskan masalah gelar Maria sebagai “Bunda Allah” (Theotokos) disetujui.

Selanjutnya perdebatan Kristologi ini masih terus diperbincangkan oleh tokoh-tokoh lain seperti: John dari Antiokia, Acacius, Domnus, Eutyches, Leo, Doscorus,  Teodosius II, Tomotius Aelurus, Severus, Yustinus, Leontius, Ibas. Ajaran Eutyches mengenai hubungan antara keilahian dan kemanusiaan pada diri Yesus adalah setelah penjelmaan satu pribadi atau hipostasis Allah manusia, Yesus Kristus, Putra Allah dan putra Maria, ditempatkan atau ditampung oleh satu hakikat (monofisit) yang mencakup baik yang ilahi maupun yang manusiawi. Perdebatan mereka ini juga akhirnya diselesaikan dalam Konsili Nicea Kedua tahun 787 (Konsili Ekumenis Ketujuh). Pada konsili ini tema yang dibahas adalah mengenai gambar Kristus, Theotokos, malaikat dan orang-orang kudus. Konsili ini juga mengatur penghormatan terhadap icon-icon suci. Konsili ini lebih dimaksudkan untuk mengurus apa yang disebut kontroversi “ikonoklasme”.[16]

Kesembilan, Keselamatan, Dosa, dan Anugerah.[17] Dalam bahasan ini Lampe menjelaskan bahwa ada dua ide sentral yang dibahas para penulis pada periode ini yaitu: pertama, konsep ‘deifikasi’ atau ‘divinisasi’ sebagai tujuan keselamatan dan  sebagai proses berkat keselamatan, buah dari pekerjaan Kristus. Kedua, penafsiran pekerjaan keselamatan Kristus sebagai sebuah ‘perubahan tempat’ di mana Logos/Anak menjadikan diri-Nya berdosa agar manusia yang berdosa diselamatkan. Menurut Plato, tujuan jiwa harus bebas dari dunia dan menjadi berasimilasi dengan Allah. Pendapat tentang keselamatan, dosa dan anugerah ini dibahas oleh Irenaeus, Theofilus dari Antiokia, Clemens, Origenes, Cryllus dari Aleksandria, Gregorius dari Nyssa dan lain sebagainya. Irenaeus percaya bahwa Mazmur 82:6 telah dipenuhi bagi orang Kristen. Bagi Origenes, keselamatan berarti deifikasi atau redeifikasi. Cyrillus dari Aleksandria mengatakan bahwa manusia menjadi Allah dan hal ini mungkin terjadi sebab deifikasi manusia itu sendiri di dalam Kristus. Gregorius dari Nyssa mengerti betul bahwa keselamatan adalah hal yang sangat penting sebab manusia adalah dari sintetis jiwa dan tubuh.

Menurut Eusebius, Athanasius, Maximus Pengaku dan John dari Damaskus, deifikasi selalu merupakan pekerjaan Tuhan, yang digerakkan oleh Roh Kudus. Maximus menekankan aturan manusia sebagai peserta di dalam dua bidang dan konsekuensi implikasi kosmik dari keselamatannya. Menurut Augustinus, pembenaran berimplikasi pada deifikasi, sebab dengan pembenaran manusia Allah membuat mereka anak-anak-Nya; jika kita menjadi anak-anak Allah. Dasar dari deifikasi itu sendiri adalah Inkarnasi. Keselamatan menurut Augustinus adalah pembaharuan manusia di dalam gambar Allah. Jiwa manusia bukan bagian dari Allah.  Origenes dan Chrysostomus berpendapat bahwa kebebasan manusia akan mengambil inisiatif di dalam pertobatan dan iman. Kebebasan adalah pusat penting dalam pembelaan orang Kristen melawan fatalisme penyembah berhala. Bagi Ignatius dan Melito, anugerah dilihat sebagai karkateristik yang membedakan orang Kristen dengan legalisme pra-Kekristenan. Anugerah dilihat secara bersamaan dengan kehendak bebas manusia.

Perdebatan lain yang dibahas Lampe adalah perdebatan Augustinus dengan Pelagius. Perdebatan ini telah dibahas dalam makalah konsentrasi I.

Kesepuluh, Gereja dan Sakramen.[18] Dalam bagian ini Lampe membahas kesatuan Gereja akibat konflik di antara tiga kelompok yakni: Tertullianus, Cyprianus, dan Novatianus. Perdebatan yang utama dalam hal ini adalah dosa post-baptisan diakhiri dengan kemenangan dengan pandangan bahwa Gereja menjadi garansi rekonsiliasi dan pertobatan. Bagi Novatianus, mereka yang di luar Gereja Kristus bukanlah seorang Kristen. Di luar Gereja tidak ada baptisan juga tidak ada anugerah. Tertullianus dan Irenaeus mengatakan bahwa Gereja bergantung kepada suksesi kepausan yang dipimpin oleh uskup. Walaupun Gereja itu dipimpin oleh uskup namun gereja itu sendiri terdiri dari para uskup, presbiter, dan kaum awam. Teori Cyprianus mengenai Gereja membahas tentang ‘keseluruhan’ dan konsistensi. Persekutuan orang Kristen dilihat sebagai bagian yang digerakkan oleh Roh Kudus. Prinsip Cyprianus adalah seluruh umat yang tidak pernah dibaptis harus dapat diterima menjadi anggota jemaat Gereja walaupun mereka adalah petobat dari kafir.

Pandangan lain yang dibahas Lampe adalah pandangan Augustinus tentang Gereja. Bagi Agustinus gereja terdiri dari dua bagian yaitu: (1) Gereja yang kelihatan (Visible Church) – gereja yang tidak sempurna – yang penuh cacat dan cela; dan (2) Gereja yang tidak kelihatan (Invisible Church) – gereja yang sempurna atau ideal. Gereja yang kelihatan adalah bayang-bayang dari gereja yang tidak kelihatan.  Mengenai sakramen, Augustinus berpendapat bahwa sahnya sakramen bukanlah bergantung kepada kesucian orang yang melayankan sakramen tetapi bergantung kepada Kristus sendiri. Pelayan sakramen hanyalah alat dari Kristus. Itulah sebabnya, maka Augustinus menerima sakramen baptisan yang dilaksanakan oleh golongan yang memisahkan diri sebagai sakramen yang sah. Jikalau ada orang Donatisme yang kembali kepada gereja yang resmi, mereka tidak perlu dibaptiskan kembali.

2.3    TEOLOGI KRISTEN TIMUR TAHUN 600 – 1453 (Kallistos Ware)[19]

Teologi Kristen Timur tahun 600 – 1453 ini dibahas Ware dalam lima bagian yakni: Ciri umum Teologi Bizantium, Abad Ketujuh Monotheletes; St.Maximus Pengaku, Perdebatan Ikonoklas, Konstantinopel dan Roma, dan Teologi Mistik: St.Simeon Teolog Baru dan Hesykhast.

Pertama, Ciri umum Teologi Bizantium.[20] Ware mencoba menjelaskan bahwa sebenarnya para ahli sejarah membedakan Kekaisaran Bizantium dan Roma, tetapi tidak ada demarkasi yang jelas di antara keduanya satu dengan yang lain. Menurut Ware paling tidak dalam sejarah teologi Yunani dari tahun 325 hingga 1453, ada empat periode utama yang bisa dibedakan yaitu:

(i)            Tahun 325 – 381: dari Konsili Ekumenis pertama hingga kedua. Diskusi doktrinal dalam periode ini adalah pengajaran Trinitas.

(ii)          Tahun 431 – 691 : dari Konsili Ekumenis ketiga hingga keenam. Diskusi doktrinal dalam periode ini adalah Kristologi.

(iii)         Tahun 726 – 843 : membicangkan tentang perdebatan ikonoklas.

(iv)        Tahun 858 – 1453 : dari kenaikan Partiarkh Phontius hingga kejatuhan Kekaisarannya yang didominasi dua perkembangan:

(a)     Perkembangan Negatif, dengan pertumbuhan pemisahan di antara Yunani Timur dan Latin Barat.

(b)     Perkembangan Positif, dengan meningkatnya pengertian teologi mistik.

Kedua, Abad Ketujuh, Monotheletes; St.Maximus Pengaku.[21] Dalam bagian ini Ware membahas perdebatan Kristologi yang telah dimulai sejak abad kelima dan keenam. Pusat diskusi bukan lagi membahas kata ‘kodrat’ (physis), tetapi istilah ‘energi’ (energeia) dan ‘kehendak’ (thelema). Apakah Inkarnasi Yesus memiliki dua energi atau satu energi, ataukah memiliki dua kehendak atau satu kehendak? Pada permulaan abad ketujuh sudah ada yang berusaha untuk meredakan perdebatan ini dengan pemahaman ‘monofisit’. Patriarkh Sergius I Konstantinopel (610-638) menyarankan jalan kompromi bahwa walaupun Inkarnasi Kristus memiliki dua kodrat, di dalam Dia hanya ada satu ‘energi’. Kemudian Sergius memodifikasi terminologinya dengan mengatakan bahwa Kristus memiliki hanya satu keinginan. Pandangan ini dikenal sebagai Monotheletisme. Paham ini dikutuk pada Konsili Lateran tahun 649.

Pendapat lainnya adalah St.Maximus Pengaku (kira-kira 580-662). Dia mengatakan bahwa bukan hanya dua ‘kodrat’ di dalam Kristus, tetapi juga ‘satu kodrat’: hal itu semuanya tergantung pada bagaimana kata physis dimengerti. Maximus penentang utama doktrin satu kehendak. Maximus percaya keseimbangan bahwa rumusan ‘satu energi’ adalah penafsiran orthodoks. Maximus mengemukakan bahwa Yesus Kristus bukan manusia sejati, kecuali Ia mempunyai kehendak sendiri sebagai manusia. Yesus Kristus mempunyai dua kehendak sebab Ia mempunyai dua kodrat. Pengajaran Maximus semakin berkumandang setelah kematiannya dan dikonfirmasikan pada Konsili Ekumenis Keenam di Konstantinopel atau dikenal dengan Konsili Konstantinopel III (680-681). Dalam Konsili ini pengakuan dogmatik yang dinyatakan bahwa Tuhan kita Yesus Kristus bukan hanya memiliki dua kodrat tetapi ‘dua kodrat keinginan dan dua kodrat energi tanpa pemisahan, tanpa perubahan, tanpa pembagian, dan tanpa membingungkan… Konsili ini menandakan berakhirnya masa dalam diskusi Kristologi.[22]

Ketiga Perdebatan Ikonoklas.[23] Dalam bagian ini Ware membahas perdebatan seputar ikon yang sudah menjadi bahan diskusi hampir 120 tahun sejak tahun 726 hingga 843.  ‘Ikon’ atau gambar yang dimaksudkan adalah gambar keagamaan yang menggambarkan Juruselamat, Bunda Maria atau salah satu dari malaikat atau orang kudus. Selama perdebatan ini sedikitnya ada dua dimensi penting yang selalu muncul dalam perdebatan ini yaitu: gambar-gambar pada kayu atau gambar dalam dinding. Pemakaian gambar-gambar ini akhirnya disetujui di dalam Gereja.

Menurut Eusebius dari Kaisarea (†339), ikon sangat penting menunjukkan gambaran ‘sejarah’ Kristus, ‘bentuk’ kemanusiaan-Nya. Pada tahun 650 – 700 usaha pertama yang dibuat oleh penulis Kristen untuk menetapkan ajaran dasar bagi pertumbuhan budaya ikon-ikon dan untuk merumuskan teologi Kristen tentang seni. Kaisar Leo III dari Isaurian (717-741) mulai melawan ikon-ikon ini tahun 726. Leo berusaha untuk menang atas Paus Gregorius II namun tidak berhasil. Pada tahun 730 Leo dalam gerakan silentium – campuran majelis imam dan kaum awam – di Konstantinopel menghancurkan seluruh patung baik di dalam tempat-tempat ibadah dan rumah-rumah pribadi. Lebih jauh Ware mengatakan bahwa ikonoklasme tidak dengan mudah dijelaskan sebagai importasi dari sumber-sumber non-Kristen, tatapi hal ini merupakan gerakan yang kuat di dalam persekutuan orang Kristen.

Usaha perlawanan lainnya dilakukan oleh Konstantinus V (741-775) anak Kaisar Leo III. Konstantinus yang pandangan Kristologinya menekankan monofisit mengatakan bahwa yang dihukum bukan hanya pemujaan ikon-ikon saja melainkan harus seimbang yakni benda-benda yang ditinggalkan masa lalu dan juga yang dipraktikkan yang sudah lama diterima di dalam gereja. Hieria membarui penghukuman atas ikon-ikon tetapi menolak dengan halus persetujuan teori monifisit tentang pribadi Kristus.

Tahun 780 Irene mengakhiri perdebatan ikonoklas dan tujuh tahun kemudian pemujaan ikon-ikon diumumkan pada Konsili Kedua Nicea (Konsili Ketujuh Ekumenis). Kendatipun demikian perdebatan ini masih mendua. Paus mulai dari Gregorius II dan seterusnya mendukung pemakaian ikon-ikon tetapi Hadrian I (772-795) menerima keputusan Konsili Ketujuh Ekumenis tersebut. Mengapa demikian? Menurut Ware ada beberapa alasannya yaitu:, hubungan politik pada saat itu tegang antara Karel Agung dan Bizantium. Menurut Karel Agung, ikon-ikon dapat dilakukan di dalam Gereja tetapi tidak menyetujui proskynesis.

St.John dari Damaskus membedakan jenis ikon-ikon ini yaitu: ‘alami’ (physike), ‘dengan imitasi’ (mimetike), dan ‘artistik’ (technike). Artinya: (i) Kristus adalah ikon ‘alami’ dari Bapa (Kol.1:15); (ii) Manusia adalah ikon Allah ‘dengan imitasi’; sebab Ia dijadikan ‘menurut gambar dan rupa Allah (Kej.1:26); (iii) Gambar yang ditempelkan pada Gereja adalah ikon ‘artistik’.

Sengketa ikonoklasme sama sekali tidak dapat dipandang sebagai perselisihan antara Timur dan Barat. Sengketa ini pertama-tama menyangkut konflik intern Gereja Yunani. Gereja ini berikhtiar membela kebebasannya dari intervensi Negara. Sengketa ini telah memperlebar jarak antara Roma (Barat) dan Konstantinopel (Timur). Akibat krisis ini Gereja Bizantium terbelah dua bagian yang tak terdamaikan satu sama lain. Keadaan ini mematangkan munculnya pelbagai kekerasan dan penganiayaan. Bahkan dengan perdebatan ini terjadilah pertobatan yang menentukan dalam Sejarah Gereja Timur.[24]

Keempat Konstantinopel dan Roma.[25] Dalam bagian ini Ware membahas ketegangan-ketegangan yang dihadapi oleh Konstantinopel dan Roma. Pemisahan di antara Konstantinopel dan Roma ini diakibatkan banyak faktor misalnya faktor ajaran, politik (sekuler) sehingga kedua kubu ini saling bermusuhan satu dengan yang lainnya. Sejak abad keenam dan seterusnya faktor politik dan keutuhan budaya merupakan persoalan yang sangat menentukan. Tahun 330 Konstantinus mendirikan pusat kekaisaran baru di Konstantinopel sebagai tambahan pada kekaisaran Roma Lama di Italia. Sejak abad ketujuh Timur dan Barat menjadikan mereka sangat berbeda dengan mengisolasi diri satu dengan yang lainnya.

Perpecahan di antara Gereja Konstantinopel dan Roma dapat dilihat dari perdebatan mereka atas kata filioque (‘dan dari Anak’) yang dimasukkan oleh Gereja Barat (Latin) ke dalam teks Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel untuk mengatakan bahwa Roh Kudus berasal ‘dari Bapa dan Putra’. Gereja Konstantinopel menentang filioque karena dua alasan. Pertama, konsili-konsili ekumenis telah melarang mengubah Simbol Iman (Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel). Hanya konsili ekumenis yang dapat membatalkan keputusan konsili ekumenis sebelumnya. Kedua, filioque itu secara teologis salah. Gereja Konstantinopel menanyakan apakah seharusnya kata filioque dimasukkan ke dalam Pengakuan Iman? Apakah ajaran filioque itu benar?[26]

Menurut Photius ada tiga alasan menolak perkataan filioque dalam Pengakuan Iman tersebut yaitu: (i) Kata filioque mengimplikasikan bahwa ada dua ‘kasus’ atau ‘prinsip’ di dalam Ke-Allah-an, sehingga memperkenalkan sebuah pembagian ‘Manikhean’ ke dalam ajaran Trinitas. (ii) Pendukung filioque mengerti Trinitas di dalam istilah Neoplatonik ‘keberadaan jarak’. (iii) Dengan memasukkan kata filioque maka pemahaman Trinitas jatuh ke dalam pemahaman ‘semi-Sabellianisme’. Karena alasan itu (dan beberapa yang lain) selama Photius telah terjadi skisma – yang dikenal di Barat dengan skisma Photius. Tetapi perpecahan final terjadi pada tahun 1054, ketika Kardinal Humbertus da Silvacanandida, utusan paus, menyatakan bahwa  Konstantinopel, Mikhael Cerularius, itu musuh dan memisahkan kesatuan dengan seluruh Gereja yang dia wakili. Sikap yang tidak kalah garang pun diperlihatkan oleh Cerularius yang mengutuk tanpa ampun Gereja Barat dan antek-anteknya.[27]

Kelima Teologi Mistik: St.Simeon Teolog Baru dan Hesykhast.[28] Dalam bagian ini Ware membahas perkembangan teologi mistik di dunia kekristenan. Memang teologi ini berkembang sekitar abad keempat belas namun cikal-bakalnya sudah dimulai sejak abad ketiga oleh Origenes dan St.Gregorius dari Nyssa dan abad keempat oleh Pontus. Penulis lainnya yang tidak dikenal adalah Makarian Homilies (pada akhir abad keempat hingga permulaan abad kelima), kemudian St.Diadokhus dari Photikus (pertengahan abad kelima), St.Dionysius Areopagita (akhir abad kelima hingga permulaan abad keenam), St.Maximus Pengaku dan St.Isaac Niniwe (akhir abad ketujuh).

Ware menjelaskan tiga hal penting yang cukup berarti dalam perkembangan tradisi teologi mistik ini.

(1) Penulis spiritual Yunani menekankan ‘otherness’ (kualitas) Allah yang melawan keras pendapat Eunomius yang mengklaim esensi keilahian bisa dimengerti bahwa kemanusiaan sama dengan Allah sendiri. Gregorius dari Nyssa berpendapat bahwa kita dapat menyadari kehadiran Allah, tetapi tidak pernah merasakan esensi-Nya. Dengan demikian visi mistikal Allah bukan hanya sebuah visi immanen-Nya melainkan transenden dan tanpa batas-Nya: artinya ketika kita berhadapan dengan Allah, kita merasakan seolah-olah kita tidak pernah bertemu sebelumnya. St.Dionysius membedakan dua metode teologi yang berbeda yakni: jalan afirmasi (katapatik=pengetahuan tentang Allah atau teologi affirmatif) dan jalan penyangkalan (apopatik atau teologi negatif). Katapatik teologi berisikan tentang apakah Allah itu: Allah itu ada, baik, bijaksana, kasih, dan disukai. Teologi negatif menolak gambaran manusia di dalam pengalaman Allah.

(2) Teologi mistik ini juga berisikan kemungkinan kenyataan dan tanpa kesatuan dengan dewa. Menggambarkan kesatuan ini, penulis Yunani baik Kristen maupun non-Kristen menggunakan dua simbol berlawanan namun tidak bertentangan yaitu: simbol kegelapan dan simbol terang. Pemimpin ‘mistik kegelapan’ adalah Gregorius dari Nyssa dan Dionysius. Dan penulis ‘mistik terang’ adalah Origenes, Evagrius, dan Makarian Homilies dan terakhir Simeon Teolog Baru dan Gregorius Palamas.

(3) Pada tingkat praktis, penulis spritual Yunani merekomendasikan satu cara berdoa yaitu: “Tuhan Yesus Kristus, Anak Allah, kasihanilah saya”.

Selanjutnya Ware menjelaskan lebih dalam lagi pemahaman Simeon tentang ‘mistik terang’. Simeon disebut ‘orang mistik yang paling menonjol’ di antara para mistik dari Bizantium Abad Pertengahan. Ia diberi gelar “Teolog Baru”. Mistik terang bukanlah simbolikal dan imaginari tetapi sebuah eksistensi realitas meskipun immaterial. Simeon melukiskan pemandangan Allah sebagai terang ilahi yang tak diciptakan dan tak kelihatan.[29] Pemahaman Simeon ini ditentang oleh kelompok Hesykast (hesykast berasal dari hesycia: keheningan, kesunyian). Hesykast adalah seseorang yang menjauhi diri dari dunia dan mencari Allah melalui doa-doa yang menekankan meditasi secara diam dengan posisi badan tertentu. Ada dua orang figur yang terkenal dalam kelompok ini yaitu: St.Gregorius dari Sinai (1255-1346) dan St.Gregorius Palamas.

Palamas berusaha menjelaskan Hesykast yang terdiri dari dua inti utamanya: (i) Allah hanya dapat dikenal dalam keheningan; (ii) Metode fisik doa menggunakan superstitious. Pandangannya ini mendapat kritik dari Barlaam yang mengatakan bahwa Hesykast condong kepada materialisme. Perdebatan ini sangat panjang dan diuraikan Ware secara rinci dalam buku ini. Namun perdebatan ini pun kadang bisa mencapai kesepakatan tapi dilanjutkan kembali ke topik lainnya. Misalnya saja mengenai Allah mereka berdua sepakat bahwa Allah tak dapat dikenal. Namun kesepakatan ini pun juga masih terus diperdebatkan oleh mereka berdua.

2.4    TEOLOGI KRISTEN ABAD PERTENGAHAN 604 – 1350 (David Knowles)[30]

Teologi Kristen Abad-abad Pertengahan ini dibahas Knowles dalam enam pokok bahasan yaitu: Dari Gregorius Agung, Roma dan Konstantinopel; Dari Karel Agung (Charlemagne) ke Abad Ketujuh; Masa Kebangunan dan Reform 1000 – 1150; Teologi Skolastik Pertama kira-kira tahun 1050 – 1200; Masa Keemasan Skolastisisme; dan Skolastik kemudian. Secara umum topik yang dibahas Knowles ini memiliki sedikit kesamaan dengan pembahasan Ware dan Lampe di atas, sehingga dalam pembahasan yang sama nantinya tidak akan diulangi lagi dalam laporan ini. Namun hal yang belum diuraikan Ware dan Lampe akan dilaporkan dalam laporan ini.

Pertama, Dari Gregorius Agung Roma dan Konstantinopel.[31] Pada bagian ini, Knowles membahas perdebatan Monotheletis, ikonoklast, Adopsionis Spanyol, perdebatan Filioque, perkembangan disiplin penebusan dosa dan indulgensia. Mengenai perdebatan Monothelete, ikonoklast, dan Filioque sudah dibahas oleh Lampe dan Ware. Memang ketiga topik ini diuraikan lagi oleh Knowles secara terinci dan mendalam. Ajaran Adopsionis adalah ajaran yang menganggap bahwa Yesus diadopsi sebagai Anak oleh Allah Bapa pada saat baptisan-Nya. Ajaran ini sudah dikenal sebagai ajaran Bapa Gereja Latin yang membedakan keilahian dan kodrat kemanusiaan di dalam Kristus dan menekankan bahwa ketika Anak memiliki kekekalan dari Allah, keilahian Pribadi telah diberikan kepada-Nya atau ‘diasumsikan’ di dalam kodrat kemanusiaan (homo assumptus) pada saat pertama di dalam kandungan Perawan Maria. Hal ini mungkin terjadi dalam liturgi Mozarabik Spanyol pada rumusan kuno yang menganggap Pribadi dari Firman adalah kodrat manusia yang digambarkan sebagai ‘adopsi’. Penjelasan ini dibuat oleh Elipandus untuk melawan ajaran Migetius yang mengatakan bahwa Yesus satu di antara tiga Pribadi Trinitas. Konsili mengkritik Migetius dan menerima bahwa Anak Manusia adalah diadopsi Anak Allah. Namun Hadrianus memberikan penjelasan yang sangat hati-hati, menghukum ekspresi ‘adopsi anak’ yang digunakan kepada Kristus.

Kedua, Dari Karel Agung (Charlemagne) ke Abad Ketujuh.[32] Dalam bagian ini Knowles membahas tiga hal yaitu: perdebatan Eukaristi (Perjamuan Kudus), predestinasi dan pemutusan hubungan di antara Timur dan Barat. Perdebatan Eukaristi ini berkaitan dengan kehadiran Yesus Kristus di dalam Perjamuan Kudus. Beberapa pemahaman tentang kehadiran Yesus dalam Perjamuan Kudus ini bermunculan. Di Barat, St.John Chrysostomus dan St.Ambrosius mengatakan bahwa tubuh Kristus seolah-olah berdiam do dalam roti dan anggur sebagai kehadiran mujizat transformasi dan penciptaan. Augustinus mengatakan Perjamuan Kudus sebagai misteri dan sebagai sebuah simbol yang efektif dalam kehadiran Kristus dan kesatuan iman. Rabanus Maurus (784-856) mengatakan bahwa kehadiran Kristus merupakan hal yang sangat penting dan nyata antara penerima dan ketika menyatu dengan Tuhan di dalam sakramen. Gottschalk berpendapat bahwa kehadiran Tuhan bersifat objektif. Ratramnus (wafat 868) mengatakan bahwa kehadiran Kristus merupakan kehadiran spritual tetapi nyata.

Perdebatan lain yang Knowles bahas ialah perdebatan predestinasi. Perdebatan ini bermula dari pengajaran Gottschalk (wafat 868-9). Pengajarannya ini dipengaruhi oleh pengajaran Augustinus. Gottschalk mengatakan bahwa manusia berdosa tidak dapat berbuat yang baik tanpa anugerah Allah, anugerah Allah yang cuma-cuma. Tidak semua manusia diselamatkan; akhirnya Allah tidak menyelamatkan semua manusia. Rabanus menyampaikan risalah Gottschalk ini kepada uskup agung Hincmar dari Rheims (wafat 882) sehingga Gottschalk dihukum dan dipenjarakan. Hincmar memberikan sanggahannya yang hampir sama dengan pemikiran Augustinus yang menekankan Kristus mati bagi semua manusia. Namun Ratramnus sahabat Gottschalk yang sangat Augustinian melawan pemikiran Hincmar dengan mengatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah berdosa (massa damnata). Akhirnya perdebatan ini diselesaikan dengan sebuah konsili regional yang memutuskan empat keputusan yang anti-Augustinus yaitu: (1) Hanya satu predestinasi yaitu atas mereka yang terpilih dan hal ini tidak tergantung pada penilaian jasa mereka. (2) Kebebasan manusia telah hilang karena dosa dan diperbaharui oleh anugerah. (3) Allah menginginkan keselamatan bagi semua manusia. (4) Kristus menderita untuk semua manusia.

Mengenai pemutusan hubungan Timur dan Barat, ini sudah dibahas oleh Ware. Namun Knowles mau menjelaskan bahwa sebenarnya pemutusan hubungan ini pada dasarnya diakibatkan oleh faktor sosial dan politik yang sedang terjadi di Timur dan di Barat. Sebenarnya tidak pernah terjadi pertikaian maupun permusuhan Gereja Timur dengan Gereja Barat. Perdebatan mereka hanya seputar doktrin Roh Kudus dan Anak (Filioque). Gereja Barat sendiri tidak pernah menghukum Gereja Timur sebagai musuh. Artinya pertikaian ini lebih cocok disebut sebagai sebuah skisma daripada sebuah permusuhan.

Ketiga, Masa Kebangunan dan Reform 1000 – 1150.[33] Menurut Knowles, masa ini ditandai dengan keberhasilan penerimaan kembali supremasi kepausan di Gereja Barat sekarang. Knowles membahas enam hal pada masa kebangunan dan Reform ini yaitu: perdebatan kedua tentang Eukaristi, Anselmus dari Bec dan Canterbury, Abelardus, masalah Reordinasi, pengaruh Bernardus, dan Perawan Maria.

Perdebatan kedua tentang eukaristi ini membicarakan perdebatan Berengarius (wafat 1088) dengan Lanfranc (kira-kira 1010-1089). Berengarius menolak setiap perubahan ‘kodrat’ atau ‘esensi’ di dalam pengudusan unsur-unsur dan menerima kehadiran Kristus yang hanya menjadi konseptual (intellectuale). Lanfranc dalam bukunya Tubuh dan darah Tuhan (On the body and blood of the Lord) mendefinisikan secara jelas istilah perubahan substansi dari roti dan anggur menjadi ‘esensi’ Tubuh Tuhan sementara ‘penampakan’ (species) tanpa perubahan. Menjawab hal ini Berengarius menulis tentang Perjamuan Kudus (On the Lord’s Supper) bahwa perubahan yang terjadi sungguh-sungguh bersifat spiritual dan menolak menerima materi roti dan anggur pengganti tubuh dan darah Kristus. Di Gereja Barat pemahaman Lanfranc lebih diterima bahwa roti diubah ke dalam tubuh Kristus.

Mengenai Anselmus dari Bec dan Canterbury (1033-1109),  Knowles menguraikan bahwa Anselmus merupakan orang yang pertama memakai akal budi dengan tujuan skolastik untuk menunjukkan kebenaran. Sehingga Anselmus dikenal juga sebagai pendiri aliran Skolastisisme. Pemikiran-pemikirannya yang terkenal adalah fides quaerens intellectum (iman mencari pengertian). Buah karyanya yang sangat terkenal adalah Cur Deus Homo? (Mengapa Allah menjadi Manusia?). Karya ini muncul dalam rangka menjawab tuduhan bahwa tidak pantas dan merendahkan bagi Allah untuk menjadi manusia dan mati demi menyelamatkan kita. Anselmus menanggapi dengan mengemukakan bahwa hal itu pantas juga karena tidak ada jalan lain kecuali itu.[34] Karya lainnya yang ditulis oleh Anselmus adalah risalah mengenai Predestinasi dan Kehendak Bebas, Trinitas dan Proses Roh Kudus dari Bapa dan Anak.

Abelardus (1079-1142) dikenal sebagai pemikir daripada seorang teolog.  Abelardus memiliki kekuatan mengkritik dan pemikirannya mudah dimengerti namun selalu mengalami permasalahan dengan pendahulunya dan sering akhirnya mengaburkan kebenaran. Abelardus sangat dekat dengan pemikiran kritik rasional dan analisis. Abelardus baru memasuki lapangan teologi sekitar tahun 1121 sebagai penakluk dunia baru. Abelardus menggunakan argumentasinya untuk menjelaskan iman sedaya mampu mungkin di dalam pemikiran yang rasional. Karya pertamanya adalah Teologi Kristen (Christian Theology) yang membahas tentang pengajaran Kristen. Dalam doktrin kekristenannya ia memakai metode-metode aliran logis dan dialektis. Dialektika baru ditemukan dalam ajaran Trinitas yang menggunakan definisi istilah ‘kodrat’ dan ‘pribadi’. Dalam Kristologi, dia memahami bahwa kodrat manusia Kristus sebagai ‘yang tidak ada’ (nihil) pada Pribadi yang ilahi. Menyangkut ajaran mengenai Penebusan, Abelardus menentang praktik penafisran ‘uang tebusan’ dan  ‘kepuasan adekuat’ pada Inkarnasi dan Passion. Abelardus memahami Inkarnasi sebagai ‘contoh teladan’ untuk membangun dan menstimulasi manusia di dalam kasih Allah yang sempurna. Pemikiran Abelardus lainnya yang dijelaskan Knowles adalah mengenai perlawanannya atas ajaran dosal asali Augustinus dan di bidang lainnya seperti etika dan analisa perbuatan baik dan jahat. Dalam karyanya Scito te ipsum (Kenal dirimu sendiri) dia menekankan pengetahuan yang penuh, peralihan pikiran (advertence), niat sebelum dosa moral dapat ditanggalkan dan dengan begitu menyatakan hak-hak dan pertanggungjawaban dari suara hati pribadi.

Mengenai masalah reordinasi (penahbisan ulang), Knowles membahas sepintas mengenai tujuh sakaramen dan baptisan ulang. Cyprianus yang melakukan baptisan ulang di Afrika. Dan Gereja Roma melawan Cyprianus. Kendati demikian ini bukan berarti permasalahan selesai, tetapi perdebatan ini merupakan perdebatan yang cukup panjang.

Pengaruh Bernardus sangat kuat pada masa ini. Bernardus mendominasi kehidupan politik dan spritual. Ringkasan pengajaran Bernardus mempengaruhi Abelardus dan Gilbert de la Porre sama kuatnya dengan pengaruh Newman pada abad kesembilan belas.

Mengenai Perawan Maria, Knowles mengatakan bahwa posisi Maria pada Abad Pertengahan sangat dihargai dalam Kekristenan. Maria adalah seorang Perawan sebelum, selama dan setelah kelahiran Yesus. Gelar yang diberikan kepada Maria adalah Ibu Allah dan Hawa Kedua. Di Gereja Timur, Maria diterima sebagai kepenuhan anugerah dan posisinya sebagai Hawa kedua karena imannya. Namun yang menjadi perdebatan adalah apakah Maria berdosa atau tidak? Sebab jika Maria berdosa maka Kristus berdosa karena Kristus menerima dosa asali. Tetapi jika Maria tidak berdosa, bagaimana mungkin dia membutuhkan penebusan. Menjawab hal ini, Aquinas mengatakan bahwa Maria telah dikuduskan oleh Allah.

Keempat, Abad Pertama Teologi Skolastik kira-kira tahun 1050 – 1200.[35] Bagian keempat ini membahas lahirnya teologi Skolastik. Knowles menguraikannya dalam tiga hal yakni:

(1)         Pendidikan Teologi tahun 600 – 1160. Karel Agung berusaha keras menyebarluaskan pendidikan dengan menerbitkan ulang pengajaran-pengajaran lama. Baik di tempat biarawan-biarawan dan sekolah-sekolah keuskupan diajarkan tata bahasa dan menulis, memampukan orang bodoh untuk dapat membaca bahasa Latin klasik. Tujuan pendidikan adalah memampukan orang bodoh untuk dapat membaca dan menulis dan mengerti Kitab Suci. Pola pendidikan ini diikuti oleh Gregorius Agung, Leo Agung dan Yerome. Masa inilah yang dikenal dengan masa kebangunan renaisans Carolingian. Pada masa ini, Alcuin telah membuat sistem pendidikan. Namun ketika terjadi likuidasi kekaisaran Carolingian maka seluruh pendidikan teologi absen lebih dari satu abad. Kebangunan pendidikan kembali sekitar abad kedua belas dengan bentuk sekolah katedral dengan pengajaran dialektika oleh guru pribadi (individual teacher) atau pengajaran yang bersifat free-lance yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Pengajaran ini misalnya dilakukan oleh: Berengarius, Roscelin dan Abelardus. Dialektika dan teologi merupakan dua disiplin ilmu yang tidak dipisahkan pada waktu itu. Sehingga pada abad keduabelas inilah sebenarnya pengajaran secara teologi akademik mulai menemukan bentuknya. Pendidikan teologi dimulai dengan gelar sarjana muda dengan memakai metode logika dan dialektika dan pertanyaan-pertanyaan. Sehingga seluruh Summa Theologiae Thomas dipakai dalam bentuk sic et non (ya dan tidak), dan sering membuka sebuah pertanyaan dengan: “Apakah Allah ada?” (Utrum Deus sit?). Seluruh pendidikan teologi skolastik dikondisikan oleh dasar logika dan dialektika ini. Para guru-guru yang ditamatkan melalaui metode ini adalah: Aleksander dari Hale, Albertus, Bonaventure dan Thomas.

(2)         Hukum Kanon dan Sakramen. Para ahli sejarah teologi dan Hukum Kanon tidak begitu menghargai pengaruh kanonis di dalam perkembangan doktrinal. Misalnya saja sakramen. Pada abad kedua belas, baik Gereja Barat dan Gereja Timur menganggap bahwa Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus merupakan anugerah pemberian Allah.

(3)         Bidat. Pemakaian istilah musuh menurut Knowles kurang tepat. Sebab kata bidat adalah kata ‘yang membebani’ dan ketika kata ini dipakai oleh para teolog, hal ini mengimplikasikan ajaran yang palsu sebagai oposisi kepada kebenaran yang ortodoks. Bidat mungkin adalah sesuatu yang berlebihan, penyimpangan dari yang biasa. Penyimpangan yang dipaparkan Knowles misalnya, pemisahan Bogomil dari Balkan.

Kelima, Masa Keemasan Skolastisisme.[36] Masa keemasan Skolastisisme ini diuraikan Knowles dalam empat masa yaitu:

(1)         Pendidikan teologi, tahun 1160 – 1300. Pada masa ini di Paris sudah terdapat tiga sekolah yakni: sekolah katedral di pulau Seine, biara St.Victor, dan Mont Sainte Genevieve. Kebangkitan skolastik pada permulaan abad kesebelas telah membuat pengajaran dialektika dan ilmu logika menjadi hal yang sangat penting. Namun dalam perkembangan sistem pendidikan yang menjadi persoalan adalah mengenai posisi ambigu dari filosofi – ilmu epistemologi, metafisika, etika dan psikologi.

(2)         Filsafat dan teologi. Ilmu filosofi memasuki ajaran teologi menjadi ciri teologi abad ketiga belas. Masa Aquinas berbeda dengan masa Anselmus dan Abelardus. Mereka menggunakan ilmu logika dan dialektika di dalam analisis dan penjelasan kebenaran agama. Gilbert de la Porre menerima prinsip-prinsip ilmu filosofi (atau semantik) pada pengajaran umum. Pada tahun 1250 sistem ilmu filosofi telah diterima dalam bentuk Latin. Sehingga ilmu filosofi menjadi hal yang sangat penting dalam berteologi.

(3)         Bonaventura dan Albertus Agung.  Bonaventura (1221-1274) mengatakan bahwa teologi lebih merupakan sebuah tindakan spiritual daripada cita-cita intelektual, lebih merupakan sebuah jalan hidup daripada sebuah ilmu pengetahuan. Dalam karyanya yang berjudul Kembara Pikiran kepada Allah (Itinerarium mentis ad Deum), Bonaventura mengambil konsep kehidupan Augustinus sebagai bentuk pendidikan Kristen, perjalanan dari ilmu pengetahuan manusia melalui pembelajaran ilmu Kitab Suci dan teologi pada pengetahuan mistik dan kesatuan dengan Allah. Bonaventure orang yang pertama memakai skema yang komprehensif tentang ajaran Kristen tentang keberadaan metafisik, proses kognitif di dalam perasaan, pikiran dan jiwa.  Albertus (1260?-1280) mengatakan bahwa seluruh sistem yang dikenal dalam pengajaran Aristoteles yang merupakan kombinasi yang unik tentang empiricisme dan idealisme, perasaan umum dan pemikiran abstrak adalah yang dapat bertahan hidup dan yang paling ‘rasional’ untuk melayani sebagai dasar bagi teologi. Albertus merupakan pemikir yang simpatik dan luas, yang berusaha untuk menyebarluaskan atau membenarkan pemikiran Aristoteles.

(4)         Thomas Aquinas (1225-1274).  Thomas Aquinas adalah seorang skolastik yang memiliki banyak pemikiran dalam teologi Kristen. Knowles memaparkan pemikiran Thomas Aquinas ini mengenai filosofi, teologi, Inkarnasi, Trinitas, anugerah, keselamatan, predestinasi, Eukaristi, dan sakramen. Thomas tidak menganggap filsafat dan teologi sebagai dua hal yang begitu saja berdampingan satu sama yang lain. Thomas berpendapat bahwa filsafat yang tepat sangat membantu teologi. Tujuan anugerah Allah bukan untuk memusnahkan tabiat manusia, juga tidak untuk bertindak terlepas darinya, melainkan untuk menyempurnakannya. Akal manusia, dengan mempergunakan filsafat, dapat menemukan banyak yang benar mengenai dunia dan umat manusia dan malah tentang Allah. Pemikiran Aquinas yang paling terkenal adalah “teologi kue lapis” artinya Aquinas membedakan antara yang natural (kodrati) dan yang supernatural (adikodrati). Namun ia menekankan bahwa keduanya itu tidak perlu dipertentangkan. Keduanya adalah sumber pengetahuan berasal dari Allah yang harus dilihat dari sudut pandang Allah.

Keenam, Skolastik yang kemudian dan kemacetan Sintesis Thomist[37] Dalam bagian ini Knowles menguraikan empat hal yakni:

(1)   Pengutukan tahun 1270 dan 1277 dan Duns Scotus. Pada masa ini, Knowles membahas tokoh Thomas Aquinas dan John Duns Scotus. Thomas Aquinas mengadopsi pemikiran Aristoteles tentang jiwa sebagai ‘bentuk’ tubuh. Pengajaran Thomas Aquinas kemudian dikutuk oleh uskup Tempier di Paris tahun 1270. Tidak ada ajaran Thomis yang termasuk dikutuk. Thomas Aquinas meninggal tahun 1274, dan pada tahun 1277, saat ulang tahun ketiga kematiannya, banyak pengajarannya dikutuk. Pengejekan terhadap ajaran Thomas Aquinas dihilangkan setelah lima puluh tahun kemudian oleh Paus Johanes XXII, tetapi penghukuman tahun 1277 yang diterima di Paris masih terasa. John Duns Scotus (kira-kira 1266-1308) yang lahir di desa Border Kabupaten Roxburghshire merupakan seorang pengajar di Oxford kemudian di Paris dan Cologne. Scotus merupakan pemikir filosofi modern yang diikuti banyak orang. Secara teologi Scotus sangat penting karena dua hal. Pertama, Scotus memulai memisahkan antara iman dan akal budi, filosofi alami dan wahyu supernatural. Dia menerima pemikiran Aristoteles tentang pengetahuan. Kedua, Scotus melawan pembelaan diri determinisme Aristoteles dan menekankan keunggulan kehendak bebas. Scotus bukanlah seorang skeptik, tetapi dia menolak menerima konsepsi kodrat Aristoteleian.

(2)   Neo-Platonis Rheinland. Tokoh yang dibahas Knowles di sini pertama adalah Maister Eckhart (1260-1327). Eckhart merupakan penulis mistik. Dalam seluruh tulisannya selalu menonjolkan dasar teknik dan teologi Thomist. Eckhart mengatakan kehidupan spiritual dan kehidupan mistik sebagai tujuan kerja keras orang Kristen. Eckhart adalah seorang guru yang populer dan disegani, tetapi kurang hati-hati dalam beberapa pernyataannya. Misalnya Eckhart berbicara tentang “bunga api ilahi” dalam jiwa manusia. Mistik Neo-Platonis selalu menjurus pada panteisme. Sehingga pada tahun 1326 Eckhart dituduh menyesatkan. Kedua, John Tauler dan Henry Suso. Mereka berdua lebih terkenal sebagai penulis ilmu mistik daripada seorang teolog. Mistik versi Tauler populer pada “mazhab Rheinland” (yang menghasilkan karya bernama Teologi Jerman yang dikagumi Luther), pada tradisi mistik Inggris dan pada gerakan Devosi Modern.

(3)   William dari Ockham (kira-kira 1300 hingga 1349). Ockham terkenal sebagai seorang logikus yang lebih condong pada pemikiran Aristoteles. Ockham mencampur pemikiran Aristoteles dengan logika baru dari sekolah Oxford yang akhirnya menjadikan Ockham sebagai pendiri Nominalisme baru. Ockham bukan seorang filsuf skeptik, dia mengemukakan bahwa hanya individu-individu yang benar-benar ada. Yang universal hanyalah merupakan kosep mental yang sebenarnya tidak ada, kecuali dalam benak orang yang memikirkannya. Sifat-sifat universal atau kesemestaan tidak berada, kecuali sebagai konsep dalam otak saja.Universal tidak merupakan kenyataan melebihi individu-individu.

(4)   Masa depan Skolastisme. Masa depan Skolastisisme ini menurut Knowles memiliki arti dan kemampuan membangun dalam perkembangan teologi pada abad-abad berikutnya. Minimal ada dua hal yang menyebabkan Skolastisisme ini sangat berarti yaitu: Pertama, sebab selama tiga abad sebelum 1350, yang menjadi dasar cita-cita pendidikan adalah logika. Kedua, bahwa tujuan yang esensi dari logika Aristoteles dan epistomologi adalah pencapaian kebenaran yang abstrak.

2.5    DOKTRIN KRISTEN DARI TAHUN 1350 HINGGA REFORMASI (E.Gordon Rupp)[38]

Doktrin Kristen yang menjadi sorotan Rupp sejak tahun 1350 hingga Reformasi adalah  ajaran-ajaran para Reformator mulai dari John Wyclif, John Hus, John Gerson, Gerhard Groote, Nicholas dari Kusa, Marsilius Ficino dan Florentinus Platonisme, Skolastik Abad Kelima belas – John Wesel, John Pupper dari Goch, Wessel Gansfort, Gabriel Biel, dan Erasmus. Rupp membahas sekilas tentang doktrin dari setiap tokoh-tokoh Kristen yang berada di sekitar tahun 1350 hingga Reformasi.

(1)          John Wyclif  (kira-kira 1330-1384). John Wyclif adalah orang terpelajar yang terkemuka pada zamannya. Seluruh Inggris menghormati kebijakannya. Pendidikan di universitas masih merupakan fenomena baru ketika itu, dan peranan Wyclif sungguhlah besar bagi reputasi Oxford, tempat ia belajar dan mengajar. Namun, kehidupannya penuh dengan kontroversi. Ia mempunyai kebiasaan berbahaya, yaitu mengatakan apa yang dipikirkannya. Jika apa yang dipelajarinya membuatnya mempertanyakan tentang ajaran Katolik resmi, ia langsung menyuarakannya. Ia mempertanyakan hak gereja atas kuasa duniawi dan kekayaannya. Ia mempertanyakan juga penjualan surat-surat pengampunan dan jabatan-jabatan gerejawi, penyembahan para santo dan relikwi yang berbau takhayul, serta kuasa paus. John Wyclif mempertanyakan juga pandangan resmi tentang Ekaristi (doktrin transubstansiasi) yang dikeluarkan oleh Konsili Lateran Keempat. Untuk pandangan-pandangan semacam ini dan lainnya, ia selalu harus membela diri di hadapan para uskup dan konsili-konsili.

Inggris penuh sentimen terhadap Gereja Roma, bahkan pada tahun-tahun 1300-an. Kepemimpinan sekuler sangat kuat di Inggris. Para pangeran — dan banyak orang awam — menyesalkan cara Gereja merampas kekuasaan dan harta. John Gaunt sering memakai ide-ide dan kesohoran Wyclif dalam berargumentasi dengan Gereja. Sebagai imbalannya, ia memberi Wyclif semacam perlindungan dari hierarki.

Untuk sementara, Wyclif merupakan pahlawan yang populer. Para pengikutnya, yakni Lollard, para imam yang menganut kemiskinan para rasul dan mengajarkan Kitab Suci kepada kalangan umum, mengembara di Inggris dengan Injil. Tetapi tatkala pengaruhnya menurun, Wycliffe menjadi kurang berguna bagi para sponsornya, termasuk Lancaster. Peristiwa tahun 1377 mengakibatkan tulisannya dilarang. Oposisi pun semakin intensif. Sementara ia sendiri diamankan dari kekerasan, tulisan-tulisannya dibakar dan ia dicopot dari kedudukannya di Oxford serta dilarang menyebarluaskan pandangannya.

Hal ini memberinya waktu untuk menerjemahkan Alkitab. Menurut Wyclif, setiap orang harus diberi keleluasaan membaca Kitab Suci dalam bahasanya sendiri. “Oleh karena Alkitab berisikan Kristus, yang diperlukan untuk mendapatkan keselamatan, Alkitab sangat diperlukan bagi semua orang, bukan bagi para imam saja,” tulisnya. Maka meskipun Gereja tidak setuju, ia bekerja bersama sarjana lain untuk menerjemahkan Alkitab Inggris pertama yang lengkap. Menggunakan salinan tulisan tangan Vulgata (Alkitab terjemahan Bahasa Latin), Wyclif berusaha keras membuat Kitab Suci agar dapat dimengerti oleh orang-orang sebangsanya. Edisi pertama diterbitkan. Penerbitan kedua yang diselesaikan setelah Wyclif meninggal, mengalami perbaikan. Namun edisi itu dikenal sebagai “Alkitab Wyclif”, dan dibagi-bagikan secara ilegal oleh para Lollard.

Wycliffe terkena stroke di gereja dan meninggal pada tanggal 31 Desember 1384. Tiga puluh satu tahun kemudian, Konsili Konstanz mengucilkan dia, dan pada tahun 1428 kuburannya digali dan tulang-tulangnya dibakar, abunya disebarkan di sungai Swift.

Tidak ada yang tahu secepat apa idenya akan tersebar di seluruh Eropa. Dampak ajarannya pada para pemimpin di kemudian hari, seperti Yohanes Hus, memberikan Wyclif julukan “Bintang Fajar Reformasi”. Ia sendiri berusaha tetap bertahan di Gereja Roma sepanjang hidupnya, tetapi dalam hati dan benak para pendengarnya, Reformasi sudah bergerak secara diam-diam.[39]

(2)          John Hus (1369-1415). John Hus adalah seorang pemikir dan reformator agama dari Ceko (yang saat itu tinggal di wilayah itu dan dikenal sebagai Bohemia). Ia memulai suatu gerakan keagamaan yang didasarkan pada gagasan-gagasan John Wycliffe. Para pengikutnya dikenal sebagai kaum Hussit. Gereja Katolik menganggap ajaran-ajarannya sesat, dan Hus dikucilkan pada 1411, dikutuk oleh Konsili Konstanz, dan dibakar di tiang pada 6 Juli 1415, di Konstanz, Jerman.

Hus mengembangkan perlawanan terhadap kaum rohaniwan bukan saja dengan meninggalkan gaya hidup rohaniwan yang amoral dan mewah – termasuk paus – tetapi menegaskan bahwa hanya Kristus sajalah Kepala Gereja. Dalam bukunya On the Church (De Ecclesia = Tentang Gereja), ia mengatakan bahwa Gereja adalah universitas Praedestinatorum. Hus juga membela otoritas kaum rohaniwan, namun menekankan bahwa hanya Allah yang dapat mengampuni dosa. Paus ataupun uskup, tambahnya, tidak dapat menciptakan doktrin yang berlawanan dengan Alkitab, tidak juga seorang Kristen sejati yang dapat patuh pada perintah rohaniwan, jika ternyata hal itu jelas-jelas salah.

(3)          John Gerson (1363-1426). Gerson adalah seorang ‘Doktor Kristianissimus’ yang berpegang pada ajaran Nominalis – yang menekankan kebebasan Allah – Allah tidak akan bertindak sebab mereka baik, tetapi mereka baik sebab dia menyukai mereka. Gerson menolak pandangan yang mengatakan bahwa secara institusional hanya ‘agama’ dapat menemukan kesempurnaan. Karyanya yang terkenal adalah Nocturnal Pollutions dan Pusillanimity sangat mempengaruhi pemikiran Katolik dan Protestan. Gerson dikenal sebagai ‘Devosi Modern’ karena dia menekankan pembaharuan kehidupan moral sebagai jalan hidup dan visi pada Allah.

(4)          Gerhard Groote (1340-1384). Groote lebih dikenal sebagai seorang pengacara daripada seorang teolog divine. Groote sangat disiplin terhadap kontemplasi dan kehidupan yang baik, sehingga dia menjadi direktur dari kelompok pengacara. Pengajarannya menekankan meditasi dan kontemplasi yang disebarluaskan melalui buku dan naskah-naskah foto kopian. Gerson terus berjuang untuk melakukan reformasi di dalam tubuh gereja melalui tulisan-tulisannya.

(5)          Nicholas dari Kusa (1401-1464). Nicholas juga sangat bertekad berjuang untuk pembaharuan gereja. Lahir di Moselle, Kusa dan belajar di Heidelberg dan Padua menyelesaikan gelar doktor bidang hukum. Nicholas melawan tradisi rasionalis dan menemukan kunci kebenaran dengan menyakini bahwa pengetahuan manusia memiliki keterbatasan tentang hal-hal yang ilahi. Nicholas lebih dalam mengatakan bahwa pengetahuan itu jangan seperti kesalahan binatang tanpa pengertian tetapi kita harus mempelajari kesalahan itu (docta Ignorantia) di dalam kehadiran Allah. Nicholas menggaris bawahi apa yang dikatakan oleh Thomas dan Eckhart dan Dionysius tentang via negativa dan via eminentiae, analogi seluruh bahasa dan simbol-simbol. Nicholas percaya bahwa Allah adalah yang menyatukan perlawanan: pada-Nya ada kebenaran seluruh polaritas pengetahuan sebagaimana Allah menyatukan alam semesta dan manusia.

(6)          Marsilius Ficino  (1439-1499) dan Florentinus Platonisme. Ficino sendiri ditahbiskan pada usia yang dewasa, seorang pujangga dan ahli kesehatan, yang sangat menyukai musik dan memiliki banyak sahabat. Karyanya yang terkenal berkaitan dengan jiwa yang tidak bermoral yang diberi judul Of the Dignity of Man.. Karyanya ini dikerjakan bersama sahabatnya Pico della Mirandola (1463-1494) yang mengekspresikan pandangan Renaisans mengenai gambar Allah di dalam manusia.

Pada masa ini (abad ke-15) Rupp menguraikan juga tokoh-tokoh Skolastisisme pada abad kelima belas yaitu: John Wesel (kira-kira 1400-1481), John Pupper dari Goch dan Wessel Gansfort.

(7)          Gabriel Biel (kira-kira 1420-1495). Sebenarnya Biel merupakan figur yang lebih dikenal daripada tiga orang yang disebut ‘Reformator sebelum Reformasi’. Biel menggabungkan skolastisisme dengan kunjungan pastoral dan khotbahnya. Biel sangat papalis dan sangat mendukung otoritas kepausan yang dituliskannya dalam karyanya yang berjudul Defensorium Obedientiae Apostolicum (1462). Biel lahir di Spenyer dan pindah ke Heidelberg, Erfurt dan Cologne dan terakhir sebagai profesor di Universitas Tubingen. Biel sangat kuat menekankan Mariologi dalam khotbahnya. Biel menekankan kebebasan Allah dan kebebasan manusia dan membuat dialektika yang penuh pada ‘Potestas absoluta’ dan ‘Potestas ordinata’. Biel mengkombinasikan doktrin penyelamatan melalui amal dan penyelamatan melalui anugerah. Keselamatan diperoleh oleh amal dalam arti bahwa kita layak menerima anugerah, karena usaha kita yang sebaik mungkin, kemudian Allah menerima kita karena kita melakukan pekerjaan baik di bawah anugerah. Namun keselamatan juga diperoleh melalui anugerah dalam arti bahwa Allah tidak diharuskan menetapkan perjanjian-perjanjian yang ditetapkan-Nya.[40]

(8)          Erasmus (1469-1536). Erasmus adalah figur yang terbesar Renaissans. Erasmus juga banyak mengkritik Gereja dan ia lebih menekankan manusia daripada Tuhan. Erasmus menerima otoritas Gereja yang menekankan pentingnya ‘communis sensus fidelium’ – konsensus dari iman. Erasmus semasa hidupnya sering berpolemik dengan Martin Luther. Semasa hidupnya Erasmus bekerja sebagai seorang pastor. Karyanya yang terpenting antara lain adalah edisi teks Alkitab dalam bahasa Yunani dan bahasa Latin. Karyanya yang lain adalah De libero arbitrio diatribe sive collatio (1524), analisanya mengenai takdir dan kebebasan bertindak. Erasmus adalah orang yang meletakkan dasar Reformasi Protestan. Seperti pepatah mengatakan: “Erasmus menelorkannya dan Luther menetaskannya”.[41]

2.6    CATATAN TEOLOGI KRISTEN TIMUR: ABAD KELIMA BELAS HINGGA ABAD KETUJUH BELAS (Kallistos Ware)[42]

Artikel Ware ini yang sangat singkat ini membicarakan catatan penting tentang teologi Kristen Timur sejak abad kelima belas hingga abad ketujuh belas. Menurut Ware pemikiran keagamaan Yunani selama periode Turkis – di antara kejatuhan Konstantinopel tahun 1453 dan timbulnya Perang Kemerdekaan Yunani tahun 1821 – ditandai dengan dua tendensi yang saling berlawanan yakni: konservatisme dan westernisasi. Hal yang sangat penting lagi bagi teologi Yunani pada masa post-Bizantin selama seratus tahun dari tahun 1573 hingga 1672 adalah Ortodoksi berhadapan dengan kekuatan Reformasi dan Kotra-Reformasi. Konfrontasi ini terjadi dalam tiga tahapan yaitu: (a) Perseteruan Jeremia II dengan orang-orang Lutheran; (b) Perseteruan Cyrillus dengan Calvinis; dan (c) reaksi Latinisasi.

2.7    MARTIN LUTHER (Benjamin Drewery)[43]

Artikel Benjamin Drewery ini hanya membahas dua bagian besar yaitu: pertama, Drewery membicarakan bagaimana proses lahirnya teologi Luther dan pemikiran Luther tentang pembaharuan Gereja. Dan kedua, Drewery membahas perkembangan pemikiran teologi Luther yang sudah semakin matang dan dewasa.

Pada bagian pertama ini, Drewery  menjelaskan tanggal dan tempat kelahiran Luther dan proses pendidikan yang ditempuh Luther serta pengalaman rohani Luther sendiri yang membentuk pemahaman baru dan pemikiran baru tentang teologi yang dipahaminya selama ini.  Lebih dalam lagi Drewery menguraikan bagaimana tahapan yang dijalani Luther dalam rangka menyampaikan pemikirannya kepada Gereja dan Paus ketika itu. Drewery membagi perkembangan teologi Luther ini ke dalam tiga tahapan yaitu:  (1) Usaha Luther untuk menempelkan 95 Dalilnya dan praktik Indulgensia. (2) Reaksi Luther melawan skolastisisme dan Indulgensia. (3) Perkembangan teologi Luther kemudian dilanjutkan dengan ‘teologi Salib’.[44]

Pada bagian kedua, Drewery menguraikan perkembangan pemikiran teologi Luther yang semakin matang dan dewasa. Drewery menguraikan pemikiran Luther yang sangat terkenal yaitu:

(1) SOLA FIDE, SOLA GRATIA, DAN SOLA KRISTUS. Luther dikenal sebagai teolog ‘Pembenaran oleh iman’. Ada dua hal pokok yang dikemukakan oleh Drewery dalam bagian ini yakni: Coram Deo (Di hadapan Allah) dan Pembenaran oleh Iman. Menurut Luther, Allah dalam Alkitab adalah Satu. ‘Satu’ artinya ‘sendiri’(alone) – oleh iman, anugerah, Kitab Suci, dan Kristus sendiri. Dalam suratnya Open Letter on Translating (1530), Luther mengatakan bahwa Katolik Roma membuat kekuatiran yang luar biasa sebab kata ‘hanya’ bukan teks kunci pembenaran dalam surat Paulus (Roma 3:28). Luther mempertahankan pendapatnya dengan membandingkan linguistik – Jerman dan Latin pada teks Roma 4:2: ‘jikalau Abraham dibenarkan karena perbuatannya, maka ia beroleh dasar untuk bermegah, tetapi tidak di hadapan Allah’. Dengan demikian Pembenaran oleh Iman berhubungan dengan penciptaan – tentang creatio ex nihilo.

Apakah ‘pembenaran’ itu? Pembenaran adalah ‘membuat benar’ atau ‘dinyatakan benar’. Pembahasan kata ini secara etimologi akan membawa pada kebingungan. Bagi Luther yang penting adalah bagaimanakah manusia berdosa mampu berdiri di hadapan Allah yang Hidup.  Anfechtung Luther sering dianggap sebagai logika abnormal dari sekian banyak ‘tipe’ pengalaman manusia. Kendati pun demikian, Luther tetap pada pendiriannya bahwa visi Allah adalah Salib Kristus dan seluruh dosa kita disingkapkan. Dalam Alkitab digambarkan manusia sebagai incurvatum in se (spiritual yang bengkok secara batiniah). Dan manusia itu sendiri akan selalu mengganggap dirinya lebih benar. Dengan demikian pembenaran adalah pemulihan kehidupan yang hilang di hadapan Allah.

Dalam karyanya Preface to the Epistle to the Romans (1522) Luther menjelaskan pembenaran melalui iman. Ada tiga isu yang diutarakan Luther dalam karyanya ini yaitu: (1) Iman bukanlah sebuah ‘pendapat atau mimpi’ manusia atau ‘ide’ atau ‘imajinasi’ manusia. Iman adalah pekerjaan ilahi di dalam manusia. Iman adalah sebuah hidup, keyakinan di dalam anugerah Allah. (2) Kebenaran yang memberikan manfaat di hadapan Allah diberikan oleh Allah dan ‘dihitung’ sebagai kebenaran demi Kristus. (3) Bagaimanakah ajaran Luther mempertimbangkan pertumbuhan realitas moral? Apakah hubungan di antara pembenaran dengan pengudusan?

(2) ALLAH: MANUSIA: TAURAT. Dalam uraian Drewery ini kita akan menemukan lima pokok bahasan yang berkaitan dengan Allah, Manusia dan Taurat. Pertama, Allah yang tersembunyi dan menyatakan diri. Karya Luther deus absconditus/revelatus harus dibedakan secara hati-hati dari potentia Dei ordinata/absoluta ahli skolastik. Menurut Luther, penyataan Allah di dalam Kristus adalah penyataan yang dibuka hanya oleh iman. Inkarnasi adalah sebuah ‘lapisan’ dan ‘cermin’; keilahian Kristus ‘disembunyikan’ di dalam kemanusiaan-Nya. Inkarnasi memperlihatkan ketersembunyian Allah. Kedua, pengetahuan Allah dan alasan kemanusiaan. Pengetahuan Allah adalah ganda yakni: ‘umum’ (ditemukan di mana-mana) dan ‘khusus’ (diberikan sendiri melalui Yesus). ‘Pengetahuan umum’ ditengahi melalui penciptaan, pelukan. Ketiga, taurat. Firman Allah dinyatakan kepada manusia dalam dua bentuk yaitu: Taurat dan Injil, dan Taurat itu sendiri dalam dua bentuk atau ‘penggunaan’. Firman adalah satu sebagaimana Allah adalah satu, artinya ada kesatuan ilahi antara Taurat dan Injil. Hanya satu Taurat yang efektif di dalam semua jaman dan dikenal seluruh manusia sebab taurat itu ditulis di dalam setiap hati orang. Ketika Luther menggunakan pertama taurat itu di dalam ‘masyarakat’ atau di dalam ‘politik’, maka harus dibedakan identifikasinya dengan ‘Hukum Alam’ skolastik sebagai kategori metafisika. Pembedaan Luther di antara ketaatan ‘moral’ dan ‘spiritual’ pada Taurat menjadi tajam dan relevan di dalam – in loco justificationis – ketika keselamatan kita dipancangkan. Luther menggunakan ayat dari Yesaya 28:21, “Sebab TUHAN akan bangkit seperti di gunung Perasim, Ia akan mengamuk seperti di lembah dekat Gibeon, untuk melakukan perbuatan-Nya — ganjil perbuatan-Nya itu; dan untuk mengerjakan pekerjaan-Nya — ajaib pekerjaan-Nya itu!”. Menurut Luther, Taurat itu digunakan dalam dua bagian yaitu: jika digunakan dalam kedagingan, maka ia di bawah Taurat, tetapi jika digunakan sebagai roh, maka ia di bawah Injil. Simul iustus ac peccator. Taurat dan Injil bukan untuk dua kelas manusia, melainkan bagi seluruh orang Kristen di sepanjang masa. Keempat, Kebebasan Kristen. Pada tahun 1520, Luther telah mempublikasikan tiga ringkasan pemikirannya yang disebut dengan ‘manifesto Reformasi Jerman’.  Ringkasan ketiganya tersebut dinamakan Mengenai Kebebasan Kristen. Dalam tulisan ini, Luther menyanjung kebebasan (batin) manusia, yang dibenarkan oleh karena iman dan kesatuan dengan Kristus. Baginya perbuatan-perbuatan yang baik tidak bermanfaat samasekali untuk pembenaran. Manusia tentu saja tetap wajib melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik; akan tetapi hal itu tidak lebih daripada konsekuensi logis dari pembenaran. Dengan kata lain, justru karena manusia dibenarkan karena imannya, maka ia wajib melakukan pekerjaan-pekerjaan atau perbuatan-perbuatan baik. Menurut Luther, kebebasan sejati kebebasan manusia sebelum kejatuhan dalam dosa, keinginan manusia hanya untuk menaati Allah secara voluntary dan spontaneous.[45] Kelima, ‘Dua Kerajaan’[46]. Dua Kerajaan adalah kasus misnomer. Zwei Regimente, sama seperti basileiai pada Injil, lebih merujuk pada ‘pemerintahan raja’ atau ‘pemerintah’ daripada ‘kerajaan’ Allah. Dua ‘pemerintahan’ adalah milik Allah, seluruh ciptaan di dalam larva-Nya. Artinya ‘temporal’ di bawah pemeliharaan Allah yang dikontrol oleh ‘spiritual’. Dalam kemahakuasaan-Nya, Allah memiliki dua model pemerintahan yaitu, pemerintahan ‘rohani’ dan ‘duniawi’. Pemerintahan spiritual terlihat dalam khotbah dan sakramen Gereja yang membawa manusia kepada kebaikan hati dan ‘damai yang kekal’. Pemerintahan temporal terlihat dalam Raja-raja, pegawai- pemerintah, bapa-bapa dalam keluarga.  Beberapa catatan Drewery tentang ajaran Dua Kerajaan Luther yaitu: (1) bahwa ‘Dua Kerajaan’ hanya relevan bagi Kristendom, dan ajaran ini memiliki banyak masalah dalam pengertian modern. (2) Pengertian tentang Superman telah dikritisi berdasarkan alasan hanya dengan meninjau ke belakanglah ia (Luther) dianggap demikian, sebab pada saat itu dia adalah tidak lebih dari pemberontak. (3) Ajaran ini diperdebatkan bahwa analisis Luther tentang individu dalam Christperson dan Weltperson merupakan ketegangan yang tidak mungkin. (4) Luther dituduh menyalahgunakan pengabdian kepada Tuhan dengan otoritas temporal. (5) Kelemahan posisi Luther berada pada kesulitan akhir. Garis demarkasi di antara zwei Regimente semakin tajam.

(3) GEREJA DAN SAKRAMEN.[47] Drewery membahas dua pokok pemikiran Luther ini secara bersamaan. Secara ringkas Drewery memaparkan pemikiran Luther tentang kedua topik ini sebagai berikut: (1) Gereja adalah ‘special community’ (persekutuan yang khusus), pekerjaan Roh Kudus di dunia ini. Gereja adalah persaudaraan yang ilahi, persekutuan sorgawi – sebab di dalam Gereja kita memiliki satu baptisan, satu Kristus, satu sakramen, satu makanan, satu Injil, satu iman, satu Roh, satu orang merupakan bagian dari anggota yang lainnya. (2) Gereja Kristus adalah communio sanctorum (persekutuan yang kudus) secara fundamental. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam Gereja itu harus ada persekutuan dan persaudaraan pribadi dan harus memiliki sharing di dalam ‘hal-hal’ kekudusan. (3) Gereja, Israel Baru adalah hidup setelah daging / hidup setelah roh (Life after flesh / life after the spirit). Pandangan ini dipengaruhi pemikiran Augustinus tentang Gereja yang kelihatan dan tidak kelihatan (visible / invisible church). (4) Jabatan dan Pelayanan. Jabatan adalah esensi realisasi atau aktivasi dari kesatuan kita di dalam Kristus – tanggung jawab kita di hadapan Allah (Coram Deo) bagi orang lain. (5) Sakramen. Di antara ‘tanda-tanda’ Gereja termasuk di dalamnya Baptisan, Perjamuan Kudus dan ‘kunci Kerajaan Sorga’. Dalam manifesto kedua tahun 1520, On the Babylonish Captivity of the Church) Luther menolak ‘sakaramen-sakramen’ tradisional. Baptisan menggambarkan dua hal yaitu: kematian dan kebangkitan. Baptisan memberikan keselamatan – pengampunan dosa, kebebasan dari kematian dan kehidupan yang kekal, baik di dalam tubuh maupun jiwa. Menurut Luther, Perjamuan Kudus adalah ‘kehadiran nyata’ Kristus di dalam Sakramen. Perjamuan Kudus merupakan tanda ilahi di mana tubuh Kristus dan darah Kristus benar-benar hadir. Luther tidak mengakui ‘transubstansiasi’ dalam Perjamuan Kudus. Bagi Luther, Perjamuan Kudus adalah konsubstansiasi. Artinya: kedua unsur perjamuan, yaitu roti dan anggur, mencakup kedua hakikat (substansi) sekaligus: hakikat jasmani, tetap sebagai roti dan anggur, dan hakikat rohani, sebagai tubuh dan darah Kristus yang diterima peserta Perjamuan Kudus secara nyata.[48] Luther menolak ex opere operato (secara harfiah berarti ‘melalui karya yang dikerjakan’).[49]

2.8    ULRICH ZWINGLI (Basil Hall)[50]

Artikel Hall ini menguraikan tokoh Reformator Ulrich Zwingli yang berpengaruh di Strasbourg dan di kota-kota lainnya si sebelah selatan Jerman seperti di Basel dan di Berne dan di Swiss.[51] Reformasi di Strasbourg, Basel dan Zurich ditandai dengan perasaan persaudaraan–persaudaraan orang-orang urban. Yang ditekankan adalah persekutuan dalam pendidikan dan moral sebagai mana yang dipraktikkan dalam praktik kekudusan. Misalnya, Zwingli, sebagai seorang imam memulai pelayanan pastoralnya tentang apa yang baik bagi Konfederasi. Starting pointnya adalah, ‘Bagaimana Kristus yang baik dihormati di antara orang Swiss’. Zwingli berbeda dengan Luther bukan hanya karena Swiss, tetapi juga karena pelatihan alami jabatannya dan perkembangan komitmen humanisnya. Zwingli lebih radikal dari Luther dalam mendobrak pembebasan dari tradisi dan praktik Gereja Katolik Roma (GKR).

Hall juga memaparkan apakah pengajaran Zwingli dipengaruhi oleh Luther atau tidak. Seeberg menuliskan: ‘Tidak dapat diragukan lagi bahwa Zwingli memperoleh ide pembenaran oleh iman dari Luther’. Demikian juga Loofs mengatakan bahwa seluruh dasar ide kegiatan keagamaan Reformasi Zwingli diperolehnya dari Luther.

Ada dua aspek pokok pemikiran Zwingli yakni: kebutuhan untuk memperbaiki penyalahgunaan dalam masyarakat pertama melalui pembaharuan kekudusan batin, dan  kedua melalui perubahan di dalam praktik pemerintahan termasuk dalam tujuan dan metode-metodenya. Hal ini dapat dilihat dalam buku Enchiridion dan Institution of a Christian Prince dari Erasmus. Bagi Zwingli, Indulgensia adalah sesuatu yang mustahil dan tidak relevan.

Ada dua pengaruh lain yang disebutkan sebelum memasuki analisa teologi Zwingli. Pada tahun 1524 Zwingli menerima surat dari Cornelis Hoen (Honius) meminta sebuah penafsiran dari kehadiran Kristus dalam Perjamuan Kudus yang telah ditolak di Wittenberg tetapi diterima oleh Oecolampadius Reformator Basel dan mengirimkannya ke Zurich. Surat ini membuat tekanan yang dalam bagi Zwingli dan surat tersebut diterbitkan di Zurich tahun 1525. Pengaruh yang lain yang bersifat negatif, Zwingli memiliki pengaruh oposisi kuat pada gerakan Reformasi di Zurich dengan Anabaptis.

Menurut Hall sangatlah sulit mendeskripsikan teologi Zwingli tanpa melihat tema-tema penting yang dibahas Zwingli. Misalnya, teologinya yang ditulis bulan Januari 1523 Sixty-seven Theses yang dipersiapkan untuk Perbantahan dengan Katolik di Zurich. Tesis ini akan memimpin pada asumsi bahwa pemikirannya dikontrol dengan Kristossentrisme. Dua tulisan lainnya adalah On True and False Religion (1525), On the Providence of God (1530) Zwingli menggantikan penekanan Kristosentris dengan penekanan Teosentris. Pemikiran lain yang dikemukakan oleh Hall adalah mengenai Kitab Suci. Zwingli menekankan bahwa Kitab Suci adalah pusat pengajaran dan kesaksian Gereja.

Secara umum Hall memamparkan perbedaan Luther dan Zwingli. Bagi Luther, iman adalah pintu masuk dan iman membutuhkan dukungan lainnya untuk bertumbuh, meditasi akan Firman Tuhan dan Sakramen. Tetapi bagi Zwingli, iman hanya membutuhkan sedikit meditasi. Pembenaran bagi Zwingli termasuk proses indikasi regenerasi. Pemikiran lainnya yang dibahas Hall mengenai Zwingli adalah tentang pemeliharaan Allah, pemilihan Allah, Gereja dan Sakramen. Pemeliharaan sangat dekat diasosiasikan dengan pemilihan, sebab Zwingli menekankan kekuatan aktif dalam kekuatan omnipresent Allah. Pemilihan direpresentasikan sebagai kekuatan yang tak dapat ditahan (irresistible). Gereja dilihat dalam dua jalan: pertama sebagai gereja yang invisible dari seluruh yang dipilih di dalam Kristus, dan kedua persekutuan lokal, imam dan kantonal Gereja.

2.9    PHILIP MELANCHTHON DAN MARTIN BUCER (E.Gordon Rupp)[52]

Dalam artikel ini Rupp membahas dua tokoh Reformator yakni:

Pertama, PHILIP MELANCHTHON (1497-1560). Melalui kelahiran dan hubungannya dengan Reuchlin, Melanchthon tidak hanya hidup dalam situasi renaisans di sebelah Utara, tetapi juga dalam situasi humanisme di Jerman Selatan. Melanchthon mengkonsentrasikan seluruh latihannya dalam gerakan klasik dan kemanusiaan. Dia dikenal sebagai ‘Master’ Philip.[53] Bagi Melanchthon, Kitab Suci ditafsirkan menjadi otoritas tertinggi bagi kebenaran Kristen. Melanchthon dikenal sebagai orang yang mengajarkan metode teologi revolusi dengan kembali ke Kitab Suci, menggantikan teologi post-Lombard dengan tulisan-tulisan Bapa-bapa Gereja.

Karya Melanchthon “Loci Communes” (1521) menjadi Buku Pegangan Dogmatika pertama yang dibuat untuk kalangan Gereja Lutheran. Isinya antara lain adalah pembahasan tentang kebenaran Firman Allah yang disusun berdasarkan urutan yang dipakai Rasul Paulus dalam suratnya kepada Jemaat di Roma. Menurut Melanchthon seluruh isi Alkitab dapat dibagi menjadi tiga topik/ bagian besar, yaitu: Dosa, Taurat dan Anugerah.

John Brenz pada tahun 1531 menuliskan sebuah definisi baru tentang pembenaran dalam istilah hukum – ‘gratis justifficentur, propter Christum per fidem, cum se in gratiam recipi, et peccata remitti propter Christum, qui sua morte pro nostris peccatis satisfecit. Hanc fidem imputat Deus pro justicia coram ipso’ – bahwa manusia dibenarkan oleh Kristus sungguh hanya oleh iman, ketika mereka percaya bahwa mereka diterima ke dalam anugerah dan dosa mereka dihapuskan Kristus yang melunasinya melalui kematian-Nya bagi dosa kita. Iman kepada Allah membuat kesalahan menjadi kebaikan dalam terang-Nya. Inilah penekanan objektivitas Melanchthon. Kemudian dalam pengajarannya, Melanchthon lebih menekankan unsur pengetahuan di dalam iman.

Kedua, MARTIN BUCER (1491-1552).[54] Bucer menekankan unsur intelektual dalam iman dan ajarannya tentang predestinasi menjadikan pembenaran oleh iman di tempat lain. Sama seperti Melanchthon, Bucer merupakan seorang yang moralis. Bagi Bucer perlu ditambahkan tiga dimensi bagi gereja – Firman, Sakramen,dan disiplin Kristus. Bucer telah banyak belajar bagaimana cara mencapai pembaharuan melalui proses pembelajaran.

Setelah kematian Francis Lambert dari Avignon, Bucer menjadi pemimpin penasihat teologi dengan Melanchthon. Bucer mulai membaharui liturgi dan pendidikan dalam tulisannya Foundation and Origin (1527). Bucer banyak dipengaruhi John Calvin ketika Bucer berada di Strasbourg sebagai pendeta Jemaat Perancis. Pada tahun 1529 di Marburg, Bucer baru sadar bahwa dia telah salah paham dengan Luther.

2.10 JOHN CALVIN (T.H.L.Parker)[55]

Artikel Parker ini sepenuhnya membahas isi buku karya John Calvin[56] (1509-1564) yang terkenal itu Institutio Christianae Religionis. Edisi pertamanya tahun 1536 dalam bentuk kateketikal berisikan enam pasal yaitu: Taurat, Iman, Doa, Sakramen dan lima upacara yang dinamakan Sakramen, dan kebebasan Kristen. Dan buku ini terus mengalami perubahan dan perkembangan substansi dari tahun 1539, kemudian tahun 1543-1550 hingga 1559. Edisi terakhir ini berisikan empat buku/kitab dan delapan puluh bab. Yang disoroti oleh Parker di sini adalah edisi tahun 1559 dengan ringkasan-ringkasan isi dari Institutio Calvin tersebut.

Metode teologi Calvin dibagi dalam tiga bagian. Pertama, metode umum teologinya berisikan penyusunan dan susunan ajaran Alkitabiah. Aspek kedua, teologi adalah penafsiran hubungan Allah dan manusia. Dan ketiga, perubahan-perubahan isi dari buku Institutio ini akhirnya menetapkan pada edisi terakhir penggunaan Pengakuan Iman Rasuli sebagai kerangkanya.

Karena buku ini sangat tebal maka tidak mungkin dibahas secara mendalam, maka Parker menguraikan isi ringkas dari buku Institutio. Ada pun isi ringkas buku tersebut adalah:[57]

Buku I :  PENGETAHUAN TENTANG PENCIPTAAN ALLAH berisikan lima topik utama: pengetahuan alami, objek pengetahuan langsung tentang Allah, ajaran tentang Allah, pendiptaan dan pemeliharaan Allah.

Buku II :  PENGETAHUAN TENTANG ALLAH PENYELAMAT DI DALAM KRISTUS berisikan empat bab: bab i-v, manusia berdosa, bab vi, Kristus Juruselamat, bab vii-xi, kesaksian PL dan PB tentang Juruselamat, bab xii-xvii, ajaran tentang Kristus.

Buku III :  CARA BAGAIMANA KITA MENERIMA ANUGERAH ALLAH, KEUNTUNGAN APA YANG KITA PEROLEH DARINYA DAN APA HASIL-HASIL YANG DIBAWANYA. Buku ini berisikan hanya empat atau lima subyek: Roh Kudus dan Iman; Kehidupan Kristen; pembenaran dan kebebasan; doa, dan predestinasi.

Buku IV :  BERHUBUNGAN DENGAN HAL-HAL LUAR BAHWA SECARA OBYEKTIF BENAR DI DALAM KRISTUS MENJADI SUBYEKTIF BENAR DI DALAM ORANG PERCAYA. Buku ini berisikan beberapa topik: kesatuan Gereja adalah kesatuan di dalam satu Kristus, pelayan Gereja hubungannya dengan hasil pekerjaan keselamatan Kristus di dalam Gereja, disiplin Gereja, Sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus, dan bab terakhir berbicara mengenai pemerintahan sipil. Buku keempat ini sangat banyak menyoroti polemik anti-Romawi sejak Calvin menggantikan Gereja Roma dengan Gereja evangelikal. Bagi Calvin dasar gereja adalah pemilihan individu ke dalam Kristus kemudian kesatuan dalam diri-Nya. Gereja adalah ibu orang-orang percaya.

2.11 KONSILI TRENTE (Benjamin Drewery)[58]

Drewery mencatat beberapa ahli yang sudah mempelajari tentang Konsili Trente ini seperti: Hubert Jedin (Geschichte des Konzils von Trient, Band I – 1949; Band II – 1957; terjemahan bahasa Inggrisnya A History of the Council of Trent oleh Dom Ernest Graf, Vol.I – 1957; Vol.II – 1961). Dalam artikel ini secara ringkas Drewery mencoba memaparkan sejarah dan indikasi isi pengakuan penting dalam Konsili Trente ini.

Konsili ini mengalami tiga kali perpanjangan, tetapi tidak bersambung di antara tahun 1545 dan 1563, melakukan dua puluh lima ‘sesi’. Trente dipilih sebagai tempat Konsili di dalam Kekaisaran tetapi dalam praktiknya di bawah kontrol Italia. Pada akhir periode pertama Konsili dipindahkan ke Bologna.

Drewery secara detail menguraikan kedua puluh lima sesi yang dilakukan lengkap dengan topik-topik yang dibahas dalam sesi-sesi tersebut. Namun secara umum pembahasan ini memberikan tiga tema utama bagi para ahli sejarah doktrin yaitu:

Pertama, Kitab Suci/Tradisi. Topik ini dibahas dalam sesi keempat dengan isi ringkasannya sebagai berikut:

(1)   ‘Sumber dari seluruh keselamatan yang benar dan disiplin moral adalah Injil’;

(2)   Kebenaran dan disiplin ini dikandung di dalam buku-buku tertulis dan di dalam tradisi-tradisi yang tidak tertulis;

(3)   Kanon PL yang didaftarkan mencakup Apokrifa; di dalam PB, Surat Ibrani diberikan sebagai surat Paulus keempat belas;

(4)   Versi yang berwewenang dipakai adalah Vulgata;

(5)   Adalah hak prerogatif ‘gereja induk’ untuk ‘menghakimi ajaran dan penafsiran yang benar dari Kitab Suci.

Kedua, Pembenaran oleh Iman. Bagian ini dibahas dalam dua sesi yaitu: sesi kelima membicarakan tentang Dosa asali dengan isi keputusannya sebagai berikut:

(1)   Dosa Adam menghilangkan ‘kekudusan dan kebenaran yang telah dilakukannya’, maka dia membuat murka Allah, kematian dan kejatuhan ke dalam dosa;

(2)   Hukuman tubuh dan dosa yakni kematian jiwa telah ditransfusikan kepada seluruh manusia melalui Adam (melalui propagasi bukan imitasi);

(3)   Dosa Adam ini dipindahkan melalui rekonsiliasi Yesus Kristus yang dinampakkan melalui baptisan;

(4)   Dengan Kristus seluruh esensi dosa asali dibuang bukan dikurangi;

(5)   Berkat Perawan Maria dibebaskan dari syarat (proviso) ini.

Sesi keenam membahas Pembenaran oleh Iman dengan isi keputusannya sebagai berikut:

(1)   Pembenaran dimulai dengan anugerah Allah melalui Yesus Kristus;

(2)   Persiapan Pra-baptisan berisikan percaya, pertobatan dan memutuskan untuk memulai hidup baru;

(3)   Pembenaran bukan hanya remisi dosa-dosa melainkan penebusan dan pembaharuan di dalam batin manusia melalui menerima secara sukarela anugerah dan pemberian Allah;

(4)   Pembenaran juga diikuti dari isu kepercayaan dan kepastian

(5)   Seluruh pembenaran – melalui penghukuman Allah dan Gereja, iman bekerjasama dengan pekerjaan baik;

(6)   Anggapan bahwa seseorang termasuk di antara mereka yang  dipredestinasikan harus dihindarkan, pembenaran hanya dapat dikenal dengan pewahyuan khusus.

(7)   Kehidupan yang kekal adalah baik anugerah dan penghargaan selama hidup.

Ketiga, Sakramen. Keputusan mengenai sakramen sangat banyak di dalam sejarah doktrin. Melalui sakramen seluruh kebenaran benar kendati pun dimulai atau ditambahkan atau juga dikembalikan. Mereka mengatakan anugerah ex opere operato, bukan oleh iman saja, tiga di antaranya (baptisan, peneguhan sidi, jabatan) mengangkat karakter noda atau stempel dan akhirnya tidak dapat diulangi.

Dalam Konsili Trente ini ada beberapa hal  pemikiran Reformasi yang ditolak seperti: imamat am orang percaya (artinya Konsili ini tetap mempertahankan hierarhy Kepausan), kehidupan selibat, menolak pemahaman bahwa hanya ada dua Sakramen (tetap mempertahankan ketujuh Sakramen), menolak predestinasi, dan mempertahankan Mariologi. Dan bahkan Konsili ini menganggap para Reformator sebagai orang-orang yang terkutuk.

2.12 TEOLOGI ANGLIKAN ABAD KEENAMBELAS (H.F.Woodhouse)[59]

Dalam artikel ini, Woodhouse memaparkan secara ringkas pengajaran Gereja Anglikan. Sebelum tahun 1547, ketika Raja Henry VIII meninggal, kita tidak dapat mengatakan bahwa sudah ada doktrin pembaharuan yang sudah permanen di Inggris. Henry menguasai Gereja tetapi tidak membuat perubahan doktrin. Menurut Woodhouse, ada empat hal yang perlu dibicarakan dalam hal ini yaitu: Katolik (bukan Roma), Calvinis, Lutheran dan Erastian.

Kita menemukan di dalam pemerintahan Henry VIII, sebagian karena alasan politik, bahwa buku yang disebut buku Uskup dan Raja, metunjukkan jejak-jejak pengajaran Luther, dan Thomas Cranmer sendiri tertarik pada aspek-aspek tertentu dari ajaran Luther itu..

Woodhouse membahas teologi Anglikan pada Abad Keenambelas ini dengan menguraikan Pasal-pasal penting saja. Uraian teologi Anglikan ini tidak terlepas dari para penulis teologi Anglikan itu sendiri. Misalnya, Rogers dalam eksposisinya tentang Pasal Enam, mengatakan bahwa GKR menempatkan doktrin, peraturan-peraturan mereka sama dengan firman Allah. Di sisi lain, Anglikan tidak mengasumsikan bahwa setiap apa yang disebutkan dalam Kitab Suci harus diimatasikan sebagaimana yang diajarkan orang-orang Puritan.

Berkaitan dengan jabatan Gereja, Hooker berbicara tentang kebutuhan untuk memberikan tempat dan penghormatan pada alasan yang terkandung pada jaman dulu, otoritas Gereja.

Pengajaran Gereja Anglikan ini terdiri dari 39 pasal. Lima pasal yang pertama membicarakan iman dan Trinitas, Kristus dan Roh Kudus. Baik Anglikan dan Puritan menerima ajaran dosa asali, tetapi mereka sangat berbeda secara serius tentang akibat perasaan sakit hati manusia. Pasal 9 berbicara tentang ‘Dosa asal atau dosa di bawa lahir’. Manusia sangat jauh dari kebenaran asali dan kodratnya tunduk kepada dosa. Melihat doktrin ini, Woodhouse mengatakan bahwa pengajaran Anglikan adalah sebuah modifikasi bentuk Augustinianisme. Dengan kata lain, Allah bertindak dan manusia membutuhkan anugerah, manusia tidak dapat melakukan apa pun terhadap dirinya sendiri, sehingga pembenaran oleh iman sangat dibutuhkan yang dikerjakan oleh Yesus Kristus.

Dalam hal keselamatan, teologi Anglikan menekankan tiga hal penting bagi pembenaran yaitu: Tindakan Allah ‘Anugerah dan kasih-Nya’; Tindakan Yesus yang adil; dan tindakan kita dengan hidup benar dan beriman benar kepada Yesus Kristus. Iman tersebut bukan milik kita sendiri melainkan oleh tindakan Allah di dalam kita dan akhirnya iman itu pemberian Allah. Rogers memberikan tiga komentar atas pembenaran bahwa kita dibenarkan: (1) hanya karena kasih Tuhan kita dan Juruselamat kita Yesus Kristus, (2) hanya karena iman, (3) bukan karena usaha kita.

Mengenai predestinasi dibahas dalam Pasal 17 yang mengatakan bahwa hidup kita memiliki tujuan kekal dari Allah dan bahwa Allah memberikan anugerah dan pemberian untuk memampukan setiap orang sehingga predestinasi hidup di dalam kehidupan orang-orang Kristen. Pasal ini menyimpulkan, kita harus menerima janji Allah di dalam kebijaksanaan. Komentar Rogers tentang Pasal ini adalah:

(1) Ada predestinasi manusia pada kehidupan yang kekal.

(2) Predestinasi telah ada kekal selama-lamanya.

(3) Mereka yang dipredestinasikan untuk keselamatan tidak dapat binasa.

(4)  Bukan hanya manusia, tetapi pasti, seluruhnya dipredestinasikan untuk selamat.

(5) Di dalam Yesus Kristus, beberapa orang akan dipilih dan bukan  yang lain pada keselamatan.

Mengenai penebusan, Hooker menekankan bahwa pekerjaan baik sebagai bukti kehidupan orang yang beriman. Ada dua jenis kebenaran Kristen yaitu: kebenaran tanpa kita yang kelihatan dengan implikasi, dan kebenaran di dalam kita yang kelihatan dalam iman, pengharapan, caritas, dan kebaikan orang-orang Kristen.

Mengenai Gereja tertulis dalam beberapa Pasal yang mengatakan bahwa Gereja adalah gereja yang kelihatan. Gereja yang kelihatan adalah sebuah jemaat yang dipenuhi iman, di dalamnya ada firman Allah yang murni dikhotbahkan dan sakramen dilayankan sesuai dengan ordinansi Kristus. Rogers memberikan komentarnya sebagai berikut:

(1) Ada Gereja Kristus, bukan hanya gereja yang kelihatan (visible), tetapi juga gereja yang tidak kelihatan (invisible).

(2) Gereja hanya satu.

(3) Gereja yang kelihatan adalah Gereja Katolik.

(4)  Tanda-tanda Gereja yang kelihatan adalah melaksanakan firman dan sakramen dengan baik dan benar.

Ridley memberikan tiga pengertian kata Gereja yaitu: pertama, gereja itu adalah semua orang yang mengaku Kristus; kedua, gereja adalah orang-orang Kristen yang benar di dalam hati; ketiga, gereja adalah orang yang bersekutu di dalam keseluruhan.

Gereja adalah Katolik dan Gereja Inggris merupakan bagian dari Gereja Katolik itu sendiri. Secara umum Gereja Allah adalah gereja yang kelihatan dan bisa dilihat; tetapi gereja yang benar yang Allah pilih adalah gereja yang tidak kelihatan dan tidak dapat dilihat oleh manusia, melainkan hanya dikenal oleh Allah sendiri. Di dalam gereja Anglikan masih kuat diajarkan tentang tradisi-tradisi dalam Gereja seperti yang tertulis dalam Pasal 34.

Hooker berbicara mengenai otoritas Gereja untuk mengukuhkan pelayan yang baru. Hooker juga memberikan tiga bab mengenai pelayan: pertama tentang kodratnya; kedua, kekuatan yang diberikan kepada manusia untuk menjalankan tugas gereja; ketiga, pemberian Roh Kudus di dalam penahbisan pelayan. Mengenai jabatan di dalam Gereja Anglikan, Hooker menjelaskan bahwa jabatan Gereja itu terdiri dari: Uskup, Presbiter, dan Diakon. Ada tiga hal penting lain yang dibahas dalam Pasal Anglikan tersebut yakni: pertama, berkenaan dengan penahbisan (Pasal 36). Yang kedua mengenai masalah hubungan dengan gereja-gereja non-episkopal. Dan ketiga mengenai suksesi kepemimpinan Gereja.

Bahasan terakhir dalam tulisan Woodhouse ini adalah mengenai Sakramen dan pemerintahan sipil. Untuk membahas teologi Anglikan mengenai Sakramen tidak bisa terlepas dari dua teolog Anglikan yakni: pertama Cranmer dan kedua, Hooker. Dari beberapa Pasal Anglikan tersebut, paling sedikit ada tiga yang membicarakan tentang sakramen. Pertama, Gereja Anglikan mengajarkan bahwa hanya ada dua sakramen yaitu: Baptisan dan Perjamuan Kudus. Kedua, sakramen sangat dibutuhkan baik untuk ‘kekuatan maupun untuk kebaikan generatif. Sakramen merupakan ‘tanda-tanda yang kelihatan dari berkat yang tidak kelihatan’ dan kekuatan instrumen Allah tentang kehidupan yang kekal. Ketiga, bahwa anak-anak bayi dan anak-anak remaja dibaptiskan (Pasal 27).

Pembahasan mengenai gereja dan warga negara, politik, dan disiplin dibahas dalam Pasal 37. Pemerintah merupakan milik Raja. Batasan Gereja dan pemerintah sangat tipis sekali. Satu Allah, satu raja, satu iman, satu profesi merupakan semboyan yang umum. Ratu memiliki supermasi di dalam kekuasaan kegerejaan, tetapi bukan untuk menjalankan fungsi kegerejaan untuk berkhotbah, melayankan sakramen atau menjadi uskup.

2.13 SEJARAH DOKTRIN KRISTEN ABAD KETUJUH BELAS (R.Buick Knox)[60]

Sejarah doktrin Kristen abad ketujuh belas ini diuraikan Knox dalam lima bagian besar. Knox mengakui bahwa sebenarnya selama abad ketujuh belas definisi doktrinal baik berupa keputusan Konsili-konsili, Pasal-pasal Kepercayaan dan Pengakuan-pengakuan Iman sudah mulai permanen.

Knox membahas doktrin Kristen Abad Ketujuhbelas ini dalam lima bagian besar yaitu:

Bagian pertama, membahas perkembangan doktrin Gereja Roma. Di Gereja Roma sendiri perubahan doktrin berjalan dengan lambat untuk menyadari keseriusan Reformasi hingga akhirnya diadakan Konsili Trente. Tokoh yang dimunculkan Knox ialah Kardinal Robert Bellarmine (1542-1621) dan Galileo Galilei (1564-1642). Bellarminus menyadari bahwa pengetahuan baru telah mengubah pengetahuan Gereja dengan segera, walaupun isu-isu perubahan tersebut masih dalam perdebatan. Tokoh lainnya adalah Cornelius Jansen (1585-1638). Jansen yang dipengaruhi Augustinus ini adalah seorang warga jemaat yang kuat beriman di dalam Gereja. Karyanya yang dipublikasikan tahun 1640 adalah Augustinus, seu doctrina S.Augustini de humanae naturae aegritudine, sanitate et medicina (Augustinus, atau pengajaran Augustinus tentang penyakit, kesehatan dan perawatan alami manusia). Buku ini melawan tindakan Pelagius tentang Adam dan Kejatuhan ke dalam dosa dan anugerah Kristus sebagai Juruselamat.

Pemikiran Jansen ini diteruskan oleh Antoine Arnaul dari Sorbonne dan Cornet tahun 1649 dengan lima saran yang diperoleh dari Augustinus. Proposisi pertama menyatakan bahwa sejumlah perintah Allah tidak mungkin dipelihara/dilaksanakan. Kedua, manusia tidak mampu menolak anugerah dari dalam yang diberikan Allah. Ketiga, bagi setiap manusia untuk menerima kelebihan atau kekurangan di dalam penglihatan Allah harus bebas dari kendala eksternal tetapi bukan dari tekanan keinginan dari dalam. Keempat, Semi-Pelagianisme harus ditolak. Kelima, sebagai kelanjutan penolakan terhadap pengajaran Semi-Pelagianisme yang salah, Kristus menumpahkan darah-Nya bagi seluruh manusia. Komisi kepausan mempelajari usulan ini lebih dari dua tahun dan tahun 1653 paus Innocent X mengutukinya dengan surat Bulla Cum occasione.

Kendati demikian pengikut Jansenisme masih banyak yang meneruskan pemikiran Jansen ini, seperti Blaise Pascal (1623-1662) yang dalam tulisannya Lettres Provinciales (Surat kepada propinsial) membela usulan-usulan Antoine dan Cornet sebagai sebuah pemahaman iman tentang pengajaran Agustinus dan Jansen. Knox juga membahas tokoh lainnya seperti: Luis de Molina (1535-1600), Miguel Molinos (1640-697), Madame Guyon (1648-1717) dan Bossuet (1627-1704).

Bagian kedua, membahas doktrin standar umum pada akhir abad keenambelas dari Gereja-gereja Luhteran yakni Formula Konkord yang disusun tahun 1577 dan tahun 1580 diterima sebagian besar negara-negara Jerman. Teolog yang perlu dicatat dalam masa ini adalah: (1) Abraham Calovius (1612-1686), seorang guru besar teologi di Wittenberg. Abraham menulis dua belas volume Tema-tema Teologi Sistematik (Systema Locorum Theologicorum). (2) Johann Gerhard (1582-1637), seorang guru besar teologi di Jena dan salah seorang penulis penjelasan teologi Luther kontemporer. Tulisannya Loci communes theologici (Masalah-masalah Teologi Umum) pada tahun 1610 hingga 1622 menjadi buku pegangan dan pada tahun 1606 menerbitkan buku Meditaiones Sacrae ad veram pietatem exitandam. (3) Johann Arndt (1555-1621), seorang pendeta Lutheran yang lebih menaruh perhatian pada kekuatan sistem teologi tentang pekerjaan Kristus di dalam hati manusia. Bukunya True Christianity (Kristen yang Benar) menjadi sumber spiritualitas dan perhatian sosial. (4) George Calixtus (1586-1656), seorang guru besar teologi di Helmstadt tahun 1614. (5) Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716), seorang filsuf agama yang menulis Systema Theologicum (1686). (6) Paul Gerhardt (1607-1876) dan Jakob Boehme (1575-1624). (7) Philip Spnener (1635-1705) yang paling tekenal dari semua tokoh pada masa ini. Ia adalah seorang yang memiliki wawasan pendidikan yang sangat luas dan menjadi pendeta Lutheran tahun 1666 di Frankfurt di Main di mana dia memulai pendalaman Alkitab. Tulisannya yang sangat terkenal adalah Pia Desideria (1675). (8) August Hermann Francke (1663-1727), seorang guru besar Yunani yang banyak menjadikan orang menjadi pendeta Lutheran dan juga dia menulis banyak buku untuk menstimulasi gerakan Pietis dan memberikan kerangka teologis Pietis. (9) Johann Valentine Andreae (1586-1654) dan terakhir (10) Johannes Albercht Bengel (1687-1752) yang menulis Gnomon (1742) yang berisikan penafsiran Perjanjian Baru.

Bagian ketiga, membahas pemikiran Jakobus Arminius (1560-1609), seorang pengkhotbah di Amsterdam dan menjadi guru besar di Leyden tahun 1603. Arminius menghadapi perdebatan di universitas Leyden mengenai ajaran tentang kesetiaan politik dengan dosen-dosen teologi misalnya dengan Gomarus. Gomarus mendukung pemerintahan monarkial Pangeran Maurice dari Orange, tetapi Arminius mendukung partai republik yang dipimpin oleh Oldenbarnevelt. Arminius menginginkan sebuah sinode nasional untuk menuntut posisi hubungan Gereja dengan pengajaran Calvinis yang telah diputuskan di dalam Konfesi Belgia dan Katekismus Heidelberg. Arminius meninggal tahun 1609, namun pada tahun1610, empat puluh enam pelayan yang dipimpin Uytebogaert berkumpul di Gouda dan membuat keempat pengajaran Arminius di dalam lima penegasan. Pertama, Allah melalui tujuan kekal di dalam Yesus Kristus anak-Nya menjadi dasar bagi orang yang jatuh ke dalam dosa untuk diselamatkan di dalam Kristus demi Kristus dan melalaui Kristus. Kedua, ketika Yesus mati, Dia mati bagi seluruh manusia dan setiap orang. Ketiga, tidak ada seorang pun mampu memilih untuk percaya. Keempat, dorongan prevenien dan anugerah Allah membuat manusia tetap memiliki kekuatan untuk melawan dorongan Roh Kudus. Kelima, dengan dorongan anugerah Roh Kudus setiap orang yang bekerjasama dengan Kristus melalui iman yang benar memiliki sumber-sumber kekuatan untuk melawan Setan, dosa, keinginan dunia dan daging. Intinya adalah Arminino menolak doktrin predestinasi dan menganut/mengajarkan doktrin tentang kebebasan manusia untuk memilih.

Tokoh lain yang dibahas Knox adalah Moses Amyraut (Amyraldus). Amyraut adalah seorang pelayan di Saumur yang menerbitkan tulisannya Brief Traite de la Predestination. Amyraut yakin pengajarannya berdasarkan Kitab Suci dan Calvinis dan dia dikenal sebagai seorang penulis Calvinis. Amyraut percaya bahwa Allah telah menyatakan tujuan umum-Nya di dalam Taurat Tuhan untuk menyelamatkan umat manusia melalui penebusan Kristus. Pengajarannya ini kemudian diikuti oleh Peter du Moulin dan Frederich Spanheim. Amyraut juga menerbitkan tulisannya Defensio doctrinae J.Calvini de absoluto reprobationis decreto (Pembelaan pengajaran John Calvin mengenai pencelaan yang absolut) tahun 1644. Pengajaran Calvin ini dibahas dalam sinode Charenton tahun 1644 dengan mengambil dua keputusan yaitu: pertama, pemilihan Allah dan pemanggilan yang efektif dibatasi hanya pada yang dipilih saja; kedua, dosa asali Adam bukan hanya sebuah kesalahan transmisi turun-temurun.

Perdebatan lain yang dilaporkan Knox adalah di Perancis yang dimulai oleh Claude Pajon (1626-1685). Di Geneva pengajaran Amyraut diadposi oleh Alexandar Morus, namun tahun 1675, pengajaran Amyraut dikutuk di Switzerland dengan Formula Consensus oleh Heidegger di Zurich. Klimaks pengajaran motif Perjanjian (Covenant) ini di bawa oleh Johannes Cocceius (Koch) (1603-1669).

Knox juga menguraikan seorang tokoh Gereja-gereja Reformed yang masih menerima ortodoksi yaitu Francis Turretin (1623-1687) dalam sebuah tulisannya Institutio Theologiae Elencticae (Sistem Teologi Elenktik). Turretin mengatakan bahwa pemilihan Allah sungguh anugerah dan bagian dari seluruh pengetahuan. Dengan kata lain, Allah yang telah menulis nama-nama yang dipilih di dalam buku kehidupan.

Bagian keempat, membahas Gereja Inggris. Bahasan ini sebenarnya sudah dibahas oleh H.F.Woodhouse, namun Knox mau menyoroti secara khusus pengaruh Gereja-gereja Reformed yang terlihat dalam Pasal-pasal Lambeth yang dipersiapkan oleh Usukup Whitgift tahun 1585. Gereja Inggris pada waktu itu mendirikan Gereja Irlandia yang berjuang di tengah-tengah orang yang sangat loyal kepada Gereja di Roma. Posisi Gereja Irlandia ini diperjelas oleh James Ussher dengan menggunakan Pasal-pasal Lambeth. Dalam penjelasannya, James mengatakan bahwa Gereja Inggris adalah Gereja Nasional. Keputusan ini dikenal dengan ‘Caroline divines’ yang diprakarsai oleh Lancelot Andrewes, James Ussher, Joseph Hall, John Bramhall, John Prideaux, John Cosin, Robert Sanderson dan Jeremy Taylor.

Bagian kelima, membahas masukan-masukan pada pembentukan atau definisi doktrin. Pertumbuhan kesadaran banyak agama-agama dunia dengan tradisi-tradisi dan pembangian yang banyak di dalam Kekristenan menimbulkan permasalahan mengenai penilaian kebenaran setiap doktrin sebagai dasar pewahyuan ilahi.

Lord Herbert dari Cherbury (1583-1648) dalam De Veritate (Mengenai Kebenaran) (1624) memberikan motivasi lahirnya Deisme. Herbert menemukan dugaan standar dalam ‘pengertian umum’ yang ditanamkan di dalam pikiran manusia dan hanya ada ‘Gereja Katolik’ yang benar. Pengertian umum ini termasuk percaya kepada Allah yang Mahakuasa yang bekerja melalui pemeliharaan umum dan khusus dalam tujuan akhir-Nya.

Yang paling berpengaruh adalah William Chillingworth (1602-1644) dengan karyanya The Religion of Protestants (1638). Chillingworth mengekspresikan wewenang dari Firman Allah sebagai kriteria doktrin dan dia lebih menitik beratkan pada ‘tradisi umum’ pada penafsiran Kitab Suci.

Rene Descrates (1596-1650) dalam karyanya Discours de la Methode (Percakapan Metode) (1637) menjelaskan dasar pengetahuan. Semboyan Descrates yang terkenal adalah: ‘Cogito ergo sum’ (Aku berpikir, karena itu aku ada).

Tokoh lain yang dibahas Knox adalah Thomas Hobbes (1588-1679) dengan karyanya Leviathan (1651) yang mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia dan merencanakan keselamatan bagi manusia, tetapi manusia tidak dapat diselamatkan dari ambisi mereka. Pengikut pemikiran Descrates dan Hobbes ini adalah Benjamin Whichcote (1609-1683), Ralph Cudworth (1617-1688) dan Henry More (1614-1687).

2.14 CATATAN TEOLOGI KRISTEN TIMUR: ABAD KEDELAPANBELAS HINGGA ABAD KEDUAPULUH (Kallistos Ware)[61]

Ware memberi catatan atas teologi Kristen Timur dari Abad kedelapanbelas hingga abad keduapuluh dengan menampilkan dua contoh besar tentang perkembangan sejarah doktrin Timur antara tahun 1700 dan 1900 yaitu: Hesychast Renaissans di Yunani-Romawi selama pertengahan kedua abad kedelapanbelas; dan kebangkitan teologi Rusia pada pertengahan abad kesembilanbelas.

(1)   Hesychast Renaissans di Yunani-Romawi. Pada dekade terakhir abad kedelapanbelas, sudah ada ketertarikan terhadap pembaharuan di dalam teologi mistik. Ada dua tokoh kunci pada masa ini yaitu: St.Macarius Notaras (1731-1805) dan St.Nikodemus (1748-1809). Karya utama mereka adalah Philokalia yang diterbitkan pada tahun 1782. Hesychast Renaissans lebih menekankan gerakan spiritual daripada gerakan doktrinal khusus. Anggota-anggotanya lebih tertarik pada hal-hal praktis dari Doa Yesus atau frekuensi persekutuan daripada pembedaan di antara esensi dan energi Allah.

(2)   Kebangkitan teologi Rusia. Sekitar tahun 1850 Gereja Ortodoks Rusia pertama kali mulai menghasilkan teolog-teolog yang terkenal seperti St.Nilus dari Sora (kira-kira 1433-1508). Nilus lebih dikenal sebagai murid yang setia daripada seorang pemikir yang handal dan perhatiannya lebih dititik beratkan pada pengajaran praktis Hesychast daripada dasar-dasar doktrinal mereka. Tokoh lain yang muncul pada periode 1850-1900 adalah: Alexis Khomiakov (1804-1860) dan Philaret Drozdov (1782-1867). Pandangan Khomiakov, seluruh Kristen Barat, apakah Gereja Roma atau Reformed, memiliki dasar yang sama, di mana Ortodoks termasuk di dalamnya. Ortodoks akhirnya berhenti menggunakan argumen-argumen Protestan melawan Roma dan Roma berargumen-argumen melawan Protestan. Khomiakov meluangkan perhatian khusus pada doktrin tentang Gereja. Gereja adalah kesatuan dan otoritas. Gereja sebagai kombinasi unik dari kebebasan dan kebulatan suara, beraneka ragam namun satu. Philaret menghidupkan semangat Patristik di dalam sekolah-sekolah teologi Rusia. Dalam banyak khotbahnya, Philaret membuat ciri liturgi Ortodoks untuk menjangkau iman.

Revolusi Rusia tahun 1917 merupakan pukulan keras dalam perkembangan pemikiran keagamaan di dalam Rusia sendiri, tetapi tradisi-tradisi teologi Rusia telah dikombinasikan oleh penulis-penulis terkenal seperti: Fr.Sergius Bulgakov (1871-1944), seorang rektor Institut Teologi Rusia yang menuliskan karyanya Sophia atau Kebijaksanaan Ilahi. Pemikiran Bulgakov ini ditentang keras oleh Vladimir Lossky (1903-1958) dan Fr.George Florovsky (lahir 1893). Lossky dan Florovsky bersikeras pada ciri esensi Patristik bagi seluruh teologi orang Kristen, tetapi juga bersikeras memperlakukan Bapa sebagai kesaksian hidup bukan sebagai teks yang mati.

Untunglah generasi teolog muda Rusia kemudian memperbaharui teologi Rusia seperti: Fr.Alexander Schmemann (lahir 1921) yang menuliskan teologi liturgi dan Fr.John Meyendorff (lahir 1926) yang menuliskan buku pegangan dari karya St.Gregorius Palamas dengan judul Byzantine Theology: Historical Trends and Doctrinal Themes (London, 1975).

2.15 TEOLOGI KRISTEN ABAD KESEMBILAN BELAS HINGGA ABAD KEDUA PULUH (John H.S.Kent)[62]

Artikel Kent ini adalah artikel kedua terpanjang dalam buku ini (130 halaman). Kent membahas lima pokok bahasan dalam paparannya ini yaitu: Abad kedelapanbelas, Abad kesembilan belas, Doktrin Gereja di seluruh periode, Teologi sosial di seluruh periode, dan Abad keduapuluh.

Pertama, Abad kedelapanbelas. Pada masa ini sejarah teologi disebut dengan masa teologi klasik Katolikisme dan Protestanisme. Masa ini juga ditandai dengan perubahan sosial dan politik. Dengan demikian teologi Kristen juga dipengaruhi perubahan sosial, perkembangan teknologi dan akibat perpindahan penduduk. Kombinasi perubahan sosial dan intelektual memasuki Kekristenan mulai dari  masyarakat yang marjinal hingga ke mazhab teologi Kristen modern. Perubahan lainnya, banyak kritik teolog-teolog menjadi diyakini bahwa perubahan intelektual dan sosial mampu menjangkau transformasi Kristen. Hal ini yang menandakan mulai munculnya post-masyarakat Kristen. Kent menjelaskan perkembangan teologi Kristen abad kedelapanbelas ini mulai dari pemikiran Johannes Wollebius (1586-1629) dalam karyanya Compendium of Christian Theology (1626) yang memaparkan pengetahuan tentang Allah dan manusia. Di Jerman, lembaga agama Protestan menikmati budaya yang baik dan juga mengidentifikasikan diri mereka sendiri dengan ancien regime. Ernst Troeltsch mengatakan bahwa Reformasi Protestan bukan sebuah ekspresi ‘roh modern’ sebagai sebuah gerakan keras di dalam batasan intelektual dalam pembaharuan budaya. Kent berpendapat, fungsi teologi sosial abad kedelapanbelas mengalami erosi disebabkan masyarakat itu sendiri berhenti berpegang pada kesetiaan untuk mampu mempertahankannya. Pada pertengahan abad keduapuluh, ketika situasi menjadi lebih buruk, beberapa teolog Kristen bereaksi dengan sebuah teologi ‘revolusi’ atau sebuah teologi ‘politik’, tetapi teolog-teolog abad kedelapanbelas bertahan pada teologi sosial yang lalu. Hasilnya, mereka tidak mendominasi pemikiran pada periode tersebut. Teolog yang sangat terkenal saat itu adalah uskup Butler dengan karyanya Analogy of Religion (1736).

Menurut Kent, ada beberapa faktor yang mendukung perubahan iklim intelektual dalam pemikiran teologi pada abad ketujuhbelas dan kedelapanbelas yaitu: faktor geografi, historiografi Kristen, dan kebudayaan.

Perubahan demi perubahan teologi pun semakin berkembang. John Locke dalam karyanya Reasonableness of Christianity as delivered in Scriptures (1695) berusaha untuk merekonsiliasi tuntutan Kristen pada wahyu ilahi langsung di dalam Alkitab dengan etika sederhana theisme. Locke berhadapan dengan tradisi Deisme yang salah satu tokohnya adalah John Toland (1670-1722) yang mempublikasikan karyanya Christianity not Mysterious (1696) yang disebarkan ke Eropa pada abad kedelapanbelas.

Locke dan kaum Deist sepakat bahwa pengetahuan keagamaan terdiri dari:  (a) sejumlah soal-soal mengenai Allah, (b) pengalaman moral. Kaum Deist menerima ringkasan ‘agama alami’ bahwa Allah berada dan harus disembah, dan bentuk tingkah laku ibadah adalah perbuatan baik. Immanuel Kant mengatakan bahwa manusia seharusnya bertobat dari perbuatan salah mereka sehingga Allah akan memberikan penghargaan dan penghukuman pada manusia di dalam kehidupan masa yang akan datang. Hanya ‘pengalaman’ keagamaan di dalam perasaan mereka yang merupakan pengalaman moral.

Perdebatan mengenai kemungkinan pengalaman keagamaan manusia di dalam iman Kristen menjadi permasalahan yang mendasar bagi Kekristenan kemudian pada periode ini. Schleiermacher, Soren Kierkegaard, J.H.Newman, F.D.Maurice, von Hugel dan bahkan Dietrich Bonhoeffer berpikir untuk menjaga Kekristenan melawan kerusakan pada abad Pencerahan dengan membuat validitas pernyataan John Baillie dalam karyanya Our Knowledge of God tahun 1939 yang berisikan: “… bahwa pengetahuan tentang realitas Allah datang kepada kita”. Pengetahuan ini datang melalui hubungan pribadi langsung dengan-Nya di dalam Pribadi Yesus Kristus anak-Nya Tuhan kita.

Formulasi Locke tentang pernyataan teologi yang sulit menjadi salah satu ciri pendapat pada abad kedelapanbelas. Hal ini ditemukan pada bab sembilanbelas dari buku keempatnya The Essay on the Human Understanding, di mana Locke membedakan di antara iman dan akal budi sebagai dasar persetujuan.

Di sisi lain tentang argumen pada abad kedelapanbelas kita harus kembali pada Uskup Butler (1692-1752), seorang pembela ortodoksi dan penulis The Analogy of Religion, Natural and Revealed, to the Constitution and Course of Nature (1736). Secara umum, Butler melawan Deist dengan menekankan batas akal budi manusia, sehingga manusia tidak dapat mengerti lebih banyak lagi. Butler menolak pandangan Deist bahwa pertobatan manusia dicukupi dengan usahanya sendiri untuk menyelamatkan dirinya dari penghakiman yang akan datang. Kekuatan Butler terletak pada perhatiannya akan kemungkinan untuk membangun kemungkinan bahwa Kristus benar. Kelemahannya adalah bahwa Butler masih mempercayai ada kemampuan untuk menyakinkan pembacanya bahwa masih ada setidaknya kemungkinan logika bahwa suara kenabian Perjanjian Lama dipenuhi Kristus.

Tokoh lain yang dibahas Kent dalam perkembangan teologi abad kedelapanbelas ini adalah John Wesley yang menekankan pengajarannya pada Kesempurnaan Kristen atau Kesucian Kristen. Wesley berusaha memikirkan sebuah model kehidupan budaya Kekristenan pada abad kedelapanbelas dengan model kesempurnaan manusia. Doktrin Wesley ini dipelajari dalam dua dokumen yakni: sebuah sermon yang disebut ‘Kesempurnaan Kristen’ yang diterbitkan tahun 1741 dan sebuah karangan singkat yang disebut dengan ‘Pemikiran-pemikiran tentang Kesempurnaan Kristen’ yang dikeluarkan tahun 1760. Kedua dokumen ini ditemukan dalam John Wesley sebuah antologi (bunga rampai) yang diedit oleh A.C.Outler (1964).

Menurut Kent, ajaran Wesley ini ada yang membingungkan di dalam pembedaannya atas dosa yang sengaja dan yang tidak sengaja. Kelemahan Wesley adalah keinginan Wesley untuk menggambarkan bukan hanya kesempurnaan itu yang menjadi tujuan tetapi bagaimana caranya agar kesempurnaan itu dapat dicapai. Wesley menggambarkan ‘kesempurnaan’ sebagai sebuah ‘pengetahuan’ pribadi bahwa seseorang telah dibebaskan dari semua dosa dengan tindakan langsung Allah.

Kent juga membahas masalah rekonsiliasi model tradisi Kristen mengenai kesempurnaan hidup dengan pertumbuhan semangat borjuis yang dihadapi Katolik pada abad kedelapanbelas. Misalnya Daniel Concina (1687-1756) dalam karyanya Theologia Christina Dogmatico-Moralis (1749) menegaskan ada kekuatan yang bergerak untuk mengakurkan kehidupan Kristen dengan kesenangan dunia ini.

Kent mengakhiri bagian pertama ini dengan pembahasan pemikiran dua orang teolog Barat yang mencoba memenuhi harapan yang belum tercapai dalam Revolusi Perancis yakni: Immanuel Kant (1724-1804) dan J.A.Semler (1725-1791). Kant meringkaskan ajarannya dalam Religion within the Limits of Reason Alone (1793) sebuah bentuk Kekristenan yang mungkin bertahan mengkritik rasionalisme kontemporer. Semler ingin membaharui Kekristenan saat itu dari dalam persekutuan Kristen. Kant memulai dari anggapan bahwa Allah berada sebagai pemerintah moral secara umum. Bagi Semler, teologi menjadi pelajaran pengetahuan dokumen agama.

Kedua, Abad kesembilan belas. Aspek sejarah yang paling penting pada teologi abad kesembilanbelas adalah perjuangan atas dominasi di antara dua sistem teologi yaitu: ortodoksi dan liberalisme. Bagi Protestan, liberal dilihat untuk memperoleh metode kritik sejarah dalam menganalisa Alkitab pada abad kedelapanbelas. Protestanisme mencoba mengurangi ketegangan imam-imam dan kaum awam mengenai sejarah pengakuan, dominasi pengakuan dan pernyataan doktrin lainnya seperti Tiga puluh sembilan Pasal Kepercayaan Anglikan. Banyak liberalis mengkiritik kalangan ortodoks khususnya bentuk-bentuk tradisional seperti doktrin Trinitas, Pribadi Kristus, dan ajaran Pertobatan. Liberalis mempromosikan ajaran non-dogmatik dan kadang-kadang  bahkan anti-dogmatik bagi orang-orang percaya.

Liberalis tidak menerima sistem ide doktrin Kristen sebagai sebuah revelatio revelata, sebuah pesan pasti dari Allah untuk manusia. Schleiermacher, tidak membantah menggunakan kata ‘wahyu’ untuk melambangakan kegiatan ilahi tetapi dia tidak berpikir bahwa wahyu berfungsi pada manusia sebagai sebuah keberadaan kognitif.

Abad kesembilanbelas ini juga ditandai dengan berbagai revolusi baik di Amerika, Perancis. Di Amerika revolusi diikuti oleh kebangunan Protestan Injili di mana tradisi-tradisi tidak relevan lagi di Amerika. Di Perancis juga dapat dikatakan bahwa perubahan politik dan sosial secara umum telah mengarah pada sekularisme. Secara umum, baik di Amerika dan Perancis, juga revolusi Marxist selalu didasarkan pada pemikiran Kristen, dari politik dan budaya Kekristenan Barat seperti: Joseph de Maistre (1753-1821), Lamennais muda (1782-1854), S.T.Coleridge (1772-1834) dan F.D.Maurice (1805-1872).

Abad kesembilanbelas ini juga ditandai dengan perkembangan teologi liberal yang disebut dengan ‘quest for the historical Jesus’ (permasalahan mengenai Yesus Sejarah) yang membahas tentang ‘kehidupan Yesus’ seperti yang dilakukan oleh: D.F.Strauss (1808-1874), M.Arnold (1822-1888), J.E.Renan (1823-1892), F.Nietzsche (1844-1900), Johannes Weiss (1863-1914) dan A.Schweitzer (1875-1965). Kent secara mendetail memaparkan pendapat mereka dalam bagian ini.

Tokoh lainnya adalah Soren Kierkegaard, seorang penulis dan teolog terkenal dari Denmark yang memerangi semangat duniawi yang telah merajalela dalam agama Kristen, sehingga orang Kristen pada zaman itu kurang mengerti lagi “perbedaan yang mutlak antara Allah dengan manusia”.

Ketiga, Doktrin Gereja di seluruh periode. Secara umum Kent menguraikan doktrin Gereja pada seluruh periode hanya bertitik pusat pada dua topik di dalam disukusi modern teologi yaitu: doktrin mengenai Gereja dan teologi sosial Gereja. Kent juga memaparkan analisa hubungan di antara Gereja dan Masyarakat pada periode ini. Diskusi mengenai Gereja pada abad kesembilanbelas terlihat dalam berbagai macam ide yang mengejutkan, mulai dari pandangan supremasi Kepausan pada kesimpulan bahwa seseorang boleh memberikan dispensasi dengan Gereja secara bersama. Teologi sosial pada abad kesembilanbelas disaksikan secara perlahan-lahan tetapi juga revolusi yang drastis di dalam pemikiran teologi. Uraian tentang kedua topik ini dibahas secara mendalam oleh Kent dalam bagian ini.

Keempat, Teologi sosial di seluruh periode. Dalam bagian ini, Kent lebih memfokuskan pembahasan mengenai teologi sosial. Teologi sosial sendiri mulai berubah secara jelas pada abad kesembilanbelas. Hal ini disebabkan perkembangan revolusi industri dan revolusi sosial.

Kelima, Abad keduapuluh.[63] Pada permulaan abad keduapuluh doktrin tradisional nampaknya sering menjadi permasalahan, namum masih ada juga para teolog yang membela kedudukan pemikiran ortodoks. Di Inggris, Darwell Stone (1859-1941) memberikan pemikiran bagi teologi Anglikan melalui tulisannya Outlines of Christian Dogma (1900), sementara itu, P.T.Forsyth (1848-1921) membuat penegasan ulang kedudukan Gereja Reform di dalam sebuah buku The Person and Place of Jesus Christ (1909).

Hal yang sangat positif pada abad keduapuluh ini adalah adanya kombinasi ilmu biologi dengan tradisi Kristen yang dituliskan oleh F.R.Tennant (1866-1957) dalam tulisannya The Origin and Propagation of Sin. Tennant menolak tradisi pesimisme Kristen mengenai manusia yang diperoleh dari Alkitab khususnya dari gabungan Kejadian dengan surat-surat Paulus. Bagi Tennant, cerita tentang Adam dan Hawa merupakan sebuah teologi yang tidak relevan lagi. Tennant lebih menekankan perasaan moral dengan perbuatan yang langsung kepada Allah.

Sisi lain yang menandai teologi abad keduapuluh ini adalah kebangunan teologi mistik misalnya Paul Tillich (1886-1974) dalam karyanya Systematic Theology (1951-1957, Volume 2) yang menegaskan ulang Lutheranisme. Dalam bagian ini juga Kent menguraikan pemikiran teolog-teolog abad keduapuluh lainnya seperti: H.Kraemer, Karl Barth (1886-1968) yang menuliskan pemikirannya dalam karya-karyanya (Protestant Thought in the Nineteenth Century, Fides Quaerens Intellectum dan Church Dogmatics) dan Rudolf Bultmann.

3.      TANGGAPAN HISTORIS

A.     ISI BUKU

Buku Hubert Cunliffe-Jones ini secara umum membahas Sejarah Doktrin Kristen mulai dari Bapa-bapa Gereja hingga Abad Keduapuluh. Buku ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan para ahli Sejarah Gereja yang diedit oleh Hubert. Karena merupakan kumpulan tulisan-tulisan lepas dari para penulis maka ketika kita membaca isi buku ini tidak jarang kita akan menemui dan menjumpai bahasan yang diulas kembali oleh penulis lainnya. Walaupun kita menemukan bahasan yang sama tetapi kita juga menemukan pemikiran dari sisi lain dari penulis tersebut terhadap topik yang dibahas bersama itu.

Tulisan-tulisan dalam buku ini ada yang sangat tebal dan ada juga yang sangat tipis dan sederhana. Buku ini sangat cocok dibaca dalam rangka membuka kasanah berpikir untuk mengetahui secara mendalam apa dan bagaimana sebenarnya persoalan doktrin yang terjadi sejak abad kedua hingga abad keduapuluh. Melalui pemikiran para teolog yang ditulis oleh para penulis dalam buku ini, kita diperkaya dengan berbagai pengajaran Kristen yang terus diperdebatkan, bukan hanya pada masa lalu namun juga masih ada yang terus diperdebatkan dan digumuli hingga saat ini.

Dengan membaca isi buku ini, maka kita akan dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa ternyata sangatlah rumit untuk memahami ajaran-ajaran Gereja dari masa ke masa. Tetapi harus disadari juga bahwa Gereja harus mempunyai ajaran baik dalam bentuk Katekismus, Konfesi, Pokok-Pokok Iman, Pokok-Pokok Ajaran dan lain sebagainya. Memang banyak konsekuensi yang dihadapi dalam menyusun ajaran sebuah Gereja itu. Sebab ajaran Gereja itu tidak hanya mengikuti apa yang sudah dirumuskan oleh Bapa-bapa Gereja maupun para Rasuli jaman dulu, sehingga Gereja tidak mempunyai jati diri yang cukup jelas. Dengan demikian kita (Gereja) terangsang untuk berpikir merumuskan dan menggali ulang warisan masa lalu yang relevan bagi Gereja saat ini.

B.     AJARAN GEREJA

Buku ini memang secara tersirat menguraikan perbedaan Gereja Timur dan Barat. Secara umum perbedaan Gereja ini bertitik-tolak dari ajaran yang dianutnya. Gereja Barat mengajarkan: “Apa yang harus kuperbuat agar aku selamat?”. Ajaran ini menekankan aktivitas manusia untuk berbuat baik. Untuk menjawab pertanyaan tadi maka isu-isu tentang dosa, pembenaran, penebusan menjadi hal-hal pokok dalam ajaran Gereja Barat ini. Gereja di Timur mengajarkan: “Apa yang harus kuketahui supaya aku memperoleh hidup yang kekal?”. Ajaran ini mengajarkan hal-hal yang ilahi demi memperoleh hidup yang kekal ini. Gereja di Timur ini juga memakai ikon-ikon dalam rangka mengetahui dan memuji Tuhan. Artinya ikon-ikon tersebut menjadi sarana untuk lebih dekat dengan Tuhan. Dalam rangka menjawab pertanyaan apa yang harus kuketahui supaya aku memperoleh hidup yang kekal ini, maka Gereja Timur sangat rajin menyusun doktrin-doktrin mereka. Demikian juga halnya dengan Gereja Barat sangat rajin menyusun doktrin-doktrin mereka untuk mencapai dan menjawab pokok ajaran mereka.

Suatu kelebihan Gereja Barat jika dibandingkan dengan Gereja Ortodoks Timur, salah satunya adalah sikap militan yang dipadu dengan keterpanggilannya untuk menyebarkan Injil kepada suku-suku atau wilayah yang dianggapnya masih menyembah berhala (kafir). Sikap inilah yang memungkinkan Kekristenan di Barat hidup secara dinamis dan cepat tanggap dengan segala hal yang mengganggu (dianggap membahayakan) Gereja. Sekalipun sikap yang demikian tidak selalu benar dan Gereja bisa terjebak pada otoriterianisme. Dan inilah yang terjadi pada Gereja Barat Abad Pertengahan.[64]

Harus kita sadari bahwa pasti ada hal-hal yang positif dan relevan dari perumusan ajaran Gereja sejak abad kedua hingga abad keduapuluh ini bagi perkembangan Kekristenan dewasa ini misalnya:

(1)   Ajaran Gereja terus-menerus dirumuskan untuk menjawab tantangan dan permasalah teologi yang sedang dihadapinya. Ajaran Gereja ini merupakan pilar Gereja untuk perkembangannya selanjutnya.

(2)   Gereja terus belajar untuk merumuskan ajaran Gereja. Harus disadari bahwa merumuskan sebuah ajaran Gereja bukanlah sebuah perkara yang mudah, namun pekerjaan ini adalah perkara yang perlu digali secara komprehensif dan matang serta diterima secara mendalam.

(3)   Gereja dari waktu ke waktu ditantang untuk terus-menerus merumuskan ajarannya baik dengan cara menggali warisan-warisan masa lalu maupun merumuskan ajaran dalam menghadapin dan menjawab realitas masa kini.

Hal-hal positif lainnya yang perlu ditiru dari Gereja jaman dulu adalah mengenai pemimpin agama dan keteladanannya. Sebutan seorang tokoh yang sanggup memimpin dan berkarya demi kesaksian pada zamannya yang tidak mendukung apa yang diimaninya, hanya ada satu alasan yang memungkinkan itu bisa dilakukan, yaitu memahami betul apa itu artinya menjadi pengikut Kristus. Sudah pasti kerelaannya untuk ‘menderita’ dan kebenaran iman Kristen itu sendiri yang sanggup menjawab tantangan jamannya. Dalam hal inilah gereja memberi pengaruh di tengah jamannya. Di situ keteladanan para pemimpinnya secara signifikan sangat menentukan. Nuansa inilah yang hilang dalam tubuh Gereja sekarang ini.

Keteladanan seorang pemimpin bukan terletak pada kepandaiannya semata, atau kekayaan materinya. Tetapi kerelaannya untuk menderita demi Tuhannya, tingkat moralitasnya dan yang tak kalah penting adalah pemimpin itu dapat menjawab tantangan yang menyangkut tantangan jamannya. Keteladanan moralitas komunitas Kristen (terutama para tokoh-tokoh Gereja) berbeda dengan masyarakat kafir yang menyembah dewa-dewa yang sering kali digambarkan amoral. Keteladanan kepemimpinan inilah yang hilang (kurang disadari) dalam tubuh Gereja (Kekristenan). Sekarang justru banyak pemimpin Gereja yang “pamer” materi atau prestasi duniawi dari pada karakter dan keteladanan sikap.[65]

Selain itu juga harus perlu dicatat bahwa peran lembaga kebiaraan sangat menentukan dalam perkembangan ajaran Gereja pada masa lalu. Peran lembaga kebiaraan ini sudah mulai terasa pengaruhnya sejak masa-masa Augustinus. Dewasa ini kita masih melihat spirit itu ada pada gerakan pada cendekiawan Katolik yang berkumpul dalam wadah Serikat Yesus. Peran mereka sangat besar dan berpengaruh bagi kesaksian saat ini, terutama melalui dunia pendidikan dan literatur. Spirit Kristiani dalam pengembangan literatur inilah yang perlu digalakkan. Dalam hal ini, terutama bidang pendidikan – Gereja-gereja Protestan ketinggalan. Spirit yang melatarbelakangi hidup Kekristenan model kebiaraan ini tetap relevan di segala jaman. Tidak salah bila digalakkan dan disesuaikan dengan semangat jaman yang terus berubah. Kaum Protestan pun tidak harus memandang hidup model kebiaraan sebagai model (milik) Katolik.[66]

Memang harus diakui bahwa gereja sering kali tidak mampu menjawab atau merumuskan ajaran yang solid tentang ajaran yang baru. Misalnya: masalah internet, teknologi informasi, globalisasi, HIV/Aids dan lain-lain sebagainya.

4.      KEPUSTAKAAN

Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran Di Dalam dan Sekitar Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995.

Calvin, Yohanes. Institutio (terj.)  Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980.

Cunliffe-Jones, Hubert. A History of Christian Doctrine. Edinburgh: T & T Clark, 1997.

Curtis dkk, A. Kenneth. 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.

Kuiper, A. De. Didache. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1967.

Kristiyanto, Eddy.  Gagasan yang Menjadi Peristiwa: Sketsa Sejarah Gereja Abad I-XV. Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Kristiyanto, Eddy. Visi Historis Komprehensif: Sebuah Pengantar.  Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Kristiyanto, Eddy, Reformasi dari Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern, Yogyakarta: Kanisius. 2004.

Lane, Tony. Runtut Pijar. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.

McGrath, Alister E., Sejarah Pemikiran Reformasi, (terj.) Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.

Naftallino, A.  Teologi Misi: Misi di Abad Postmodernisme. Jakarta: Logos, 2007.

Tanner, Norman P. Konsili-Konsili Gereja: Sebuah Sejarah Singkat. Yogyakarta: Pustaka Teologi // Kanisius, 2003.

Urban, Linwood. Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen (terj.) Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.

Wellem, F.D., Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.


[1] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian Doctrine, (Edinburgh: T & T Clark, 1997), hlm.v-vi

[2] Ibid., hlm.1-20.

[3] Memang masih ada buku-buku lain yang ditulis oleh ahli-ahli Sejarah Gereja seperti: Adolf von Harnack dan JND.Kelly.

[4] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.21-180.

[5] Ibid., hlm.23-29.

[6] A. de Kuiper, Didache, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1967), hlm.18-19.

[7] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.30-39; A.Kenneth Curtis dkk, 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 5-6; bnd. Tony Lane, Runtut Pijar, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 7-9.

[8] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.40-50.

[9] Bnd. F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 145-146; bnd. Tony Lane, Runtut Pijar…, hlm, 9-11.

[10] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.51-63; bnd. F.D. Wellem, Riwayat Hidup …, hlm. 232-234; bnd. Tony Lane, Runtut Pijar…, hlm, 11-14 .

[11] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.64-84;  bnd. F.D. Wellem, Riwayat Hidup …, hlm. 80-81, 205-208; bnd. Tony Lane, Runtut Pijar…, hlm, 14-20.

[12] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.85-97;  bnd. F.D. Wellem, Riwayat Hidup …, hlm. 21-25, 104-105; bnd. Tony Lane, Runtut Pijar…, hlm, 22-26.

[13] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.98-120;  bnd. F.D. Wellem, Riwayat Hidup …, hlm. 4-6, 28-29, 30-33; bnd. Tony Lane, Runtut Pijar…, hlm, 26-44.

[14] Pandangan Athanasius tersebut didukung oleh 3 serangkai dari Kapadokia, yaitu Basilius yang Agung Uskup Kaisarea dan Metropolitan Kapadokia, Gregorius dari Nyssa, dan Gregorius dari Nazianzus. Mereka sepikir dan sepakat menyatakan dalam diri Allah terdapat kesatuan ilahi di antara ketiga keilahianNya. Hanya bedanya, jika Athanasius menekankan “konsubstansialitas” antara ketigaNya; maka menurut tiga serangkai dari Kapadokia di antara ketiga keilahian itu tetap memiliki perbedaannya, dan masing-masing memiliki hypostasis. Dari ketiga serangkai dari Kapadokia tersebut memunculkan ide “Trinitas” yaitu: Tiga pribadi dalam satu keallahan. Mereka tetap menekankan keesaan Allah, tetapi juga pada saat yang sama menegaskan bahwa ketiga keilahian Allah tetap memiliki kekhasan.

[15] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.121-148.

[16] Konsili ini menghukum berbagai tulisan dari tiga pendukung Nestorius yakni Theodorus dari Mopsuestia, Theodoret dari Cyrrhus, dan Ibas dari Edessa. Politik sekuler dan gerejawi masuk ke dalam kotroversi ikonoklas hingga mendalam. Ini hendak mengatakan, bahwa keluarga kekaisaran dan istana Bizantium terbagi menjadi kelompok ikonoklas dan ikonofil sepanjang garis politik dan atas dasar keagamaan. Sosok paling penting satu-satunya adalah Irene yang bertindak sebagai wali raja, yang sekali lagi menggambarkan peran wanita-wanita dalam konsili-konsili. (Lih. Norman P.Tanner, Konsili-Konsili Gereja: Sebuah Sejarah Singkat, (Yogyakarta: Pustaka Teologi & Kanisius, 2003), hlm. 48-52.

[17] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.149-169.

[18] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.170-180.

[19] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.180-225.

[20] Ibid., hlm.183-186.

[21] Ibid., hlm.187-190.

[22] Konsili ini mengakhiri monothelitisme sekaligus mendefinisikan dua kodrat dan kehendak dari Kristus (ilahi dan manusiawi) sebagai suatu prinsip yang berbeda dalam operasionalnya. Konsili ini mengutuk (anathematizing) Sergius, Pyrrhus, Paul, Macarius, dan para pengikutnya.

[23] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.191-200.

[24] Eddy Kristiyanto, Gagasan yang Menjadi Peristiwa: Sketsa Sejarah Gereja Abad I-XV, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 146-147.

[25] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.201-215. Gereja Barat (berbahasa Latin) dengan pusat kekuasaan di Roma (Paus) yang disebut juga Gereja Katolik Roma (GKR); dan Gereja Timur (berbahasa Yunani) dengan pusat kekuasaannya di Konstantinopel (Batrik) yang disebut juga Gereja Orthodoks.

[26] Bnd. Eddy Kristiyanto, Gagasan yang Menjadi …, hlm. 160.

[27] Bnd. Eddy Kristiyanto, Visi Historis Komprehensif: Sebuah Penganta, (Yogyakarta: Kanisius, 2003, hlm. 65-66.

[28] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.216-225.

[29] Bnd. Tony Lane, Runtut Pijar, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm.67.

[30] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.227-286.

[31] Ibid., hlm.231-241.

[32] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.242-245.

[33] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.246-256.

[34] Bnd. Tony Lane, Runtut …, hlm.91.

[35] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.257-265.

[36] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.266-279.

[37] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.280-286.

[38] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.287-304.

[39] A.Kenneth Curtis dkk, 100 Peristiwa …, hlm. 67.

[40] Bnd. Tony Lane, Runtut …, hlm. 120-121.

[41] Bnd. Tony Lane, Runtut …, hlm. 127.

[42] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.305-309.

[43] Ibid., hlm.311-350.

[44] Martin Luther bukanlah seorang pemikir Protestan pertama. Seabad sebelumnya dia sudah didahului oleh John Hus dari Bohemia, dan kemudian John Wycliffe pada abad ke-14.. Malahan di abad ke-12 seorang Perancis bernama Peter Waldo dapat dianggap seorang Protestan pertama. Tetapi, pengaruh para pendahulu Martin Luther itu dalam gerakannya cuma punya daya cakup lokal. Di tahun 1517, ketidakpuasan terhadap gereja Katolik sudah merasuk ke mana-mana. Ucapan-ucapan Martin Luther sudah merupakan kobaran api yang berantai menyebar ke sebagian besar kawasan Eropa. Luther karena itu punya hak yang tak terbantahkan bahwa dialah orang yang bertanggung jawab terhadap sulutan ledakan dinamit pembaharuan.

[45] Uraian lebih jelas dikemukakan dalam buku Jan S.Aritonang, Berbagai Aliran Di Dalam dan Sekitar Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hlm. 31; Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, (terj.) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hlm.128.

[46] Bnd. Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran …, hlm.267-279.

[47] Bnd. Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran …, hlm.214-221; Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, (terj.) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 369-372; Jan S.Aritonang, Berbagai Aliran …, hlm. 41-46.

[48] Jan S.Aritonang, Berbagai Aliran …, hlm. 45-46.

[49] Ex opere operato berarti kemujaraban dari sakramen itu dipahami tidak bergantung pada kualitas pribadi dari imam, tetapi pada kualitas yang melekat di dalam sakramen itu sendiri. Berbeda dengan ex opere operantis (secara harfiah berarti ‘melalui karya dari orang yang bekerja). Dalam hal ini kemujaraban sakramen itu dipahami bergantung pada moral pribadi dan kualitas rohani dari imam itu (Lih. Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran …, hlm.215).

[50] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.351-370.

[51] Huldrych (atau Ulrich) Zwingli (1 Januari, 148411 Oktober 1531) adalah pemimpin Reformasi Swiss, dan pendiri Gereja Reformasi Swiss. Zwingli adalah seorang doctor biblicus (pakar Alkitab) yang terpisah dari Luther. Ia tiba pada kesimpulan-kesimpulan yang sama setelah meneliti Kitab Suci dari sudut pandangan seorang sarjana humanis. Zwingli dilahirkan di Wildhaus, St. Gall, Swiss dari sebuah keluarga kelas menengah terkemuka. Ia adalah anak ke-3 dari delapan anak lelaki. Ayahnya, Ulrich, adalah hakim kepala di kotanya, dan pamannya, Bartolomeus seorang pendeta.

[52] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.371-383.

[53] Secara umum, Phillip Melanchthon dikenal sebagai “Guru Jerman,” atau dalam istilah Latin, “Praeceptor Germaniae”. Sebutan ini diberikan pada saat ia masih hidup. Tetapi pengaruh pekerjaan dan tulisan-tulisannya dalam jangka waktu yang lama telah sampai ke pinggiran-pinggiran Jerman. Kaum Humanis memberikan penghormatan kepada Melanchthon sebagai ahli bahasa yang ideal.

[54] Martin Bucer (atau Butzer, bahasa Latin: Martinus Buccer) (14911551) adalah seorang reformator Protestan Jerman. Ia dilahirkan pada 1491 di Schlettstadt, daerah Alsace (sekarang Sélestat, di Prancis). Pada 1506 ia memasuki Ordo Dominikan, dan diutus untuk belajar di Heidelberg. Di sana ia berkenalan dengan karya-karya Erasmus dan Luther. Ia pun hadir pada sebuah perdebatan tentang Luther dengan sejumlah pakar Kepausan. Ia beralih kepada pandangan-pandangan Reformasi, meninggalkan ordonya dengan surat dispensasi Kepausan pada 1521, dan tak lama kemudian menikah dengan seorang biarawati, Elisabeth Silbereisen.

[55] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.385-399.

[56] John Calvin (nama aslinya: Jean Cauvin) lahir tahun 1509 di kota Noyon, Perancis. Dia peroleh pendidikan baik. Sesudah belajar di College de Montaigue di Paris, dia masuk Universitas Orleans belajar hukum. Dia pun belajar hukum di Bourges. Pandangannya yang begitu beraneka ragam tentang masalah seperti teologi, pemerintahan, moral pribadi dan kebiasaan bekerja, lebih dari empat ratus tahun mempengaruhi tingkah laku dan perikehidupan jutaan orang.

[57] Lebih lengkap dapat dilihat dalam Yohanes Calvin, Institutio, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980).  Ini ajaran edisi dipersingkat (abridged) yang lengkap ada dalam bahasa Latin dan Inggris.

[58] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.401-409.

[59] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.411-424. Uraian mengenai Reformasi Anglikan ini dapat dibaca dalam buku Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern, (Kanisius: Yogyakarta, 2004), hlm. 83-92.

[60] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.425-451.

[61] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.453-457.

[62] Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian …, hlm.459-591.

[63] Uraian pemikiran teologi para Reformator Abad ke-20 ini diulas dan dibahas secara mendalam dalam buku Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke 20, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993).

[64] A.Naftallino, Teologi Misi: Misi di Abad Postmodernisme, (Jakarta: Logos, 2007), hlm. 69.

[65] A.Naftallino, Teologi Misi…, hlm.61-62.

[66] Ibid., hlm, 66-67.

SEJARAH DOGMA TENTANG DOSA DAN KESELAMATAN

PADA GEREJA LAMA

(ISTIMEWA AUGUSTINUS DAN PELAGIUS)

1. PENDAHULUAN

Berbicara mengenai sejarah dogma tentang dosa dan keselamatan pada Gereja Lama, maka pasti akan berbicara mengenai paham-paham tentang dosa yang dianut oleh para tokoh Kristen pada masa Gereja Lama tersebut. Jika mengulas semua paham yang dianut oleh para Bapa Gereja, maka akan ditemukan perdebatan-perdebatan mereka tentang ajaran dosa dan keselamatan. Sebut saja dari mereka yang berdebat adalah Augustinus dan Pelagius. Dua tokoh ini sangat banyak mempengaruhi perkembangan iman Kekristenan pada abad-abad berikutnya.

2. PENGERTIAN UMUM

2.1 TENTANG DOSA

Alkitab menggunakan beraneka macam istilah untuk dosa. Istilah paling lazim dalam Perjanjian Lama (PL) adalah ‘khatta’ [pelanggaran] (Keluaran 32:30). Kata ini muncul ratusan kali dalam Perjanjian Lama dan mengungkapkan pikiran yang memilih jalan sesat. Istilah lain yang dipakai adalah pesya (pemberontakan) yaitu memberontak terhadap kekuasaan yang sah (1 Raja 12:9; 2 Raja 8:20) atau pemberontakan terhadap hukum-hukum Tuhan (Hos. 8:1), dan awon [perbuatan tidak senonoh] ( 1 Raja-Raja 17:18 ).[1] Awon  mengacu pada rasa bersalah yang dihasilkan dosa. Secara umum dalam PL, dosa itu dimengerti sebagai “ketidaktaatan” umat Allah kepada Allah.

Lebih dalam lagi dosa dalam PL sering diartikan sebagai kehilangan (Kel. 20:20 ; Ams. 8:36). Artinya manusia kehilangan tujuannya atau tidak mencapai tujuannya, sebab ia tidak memperhatikan peraturan yang ditetapkan oleh Tuhan. Selanjutnya, dosa disebut juga sebagai “bengkok, keliru, menyimpang dari jalan“. Artinya ada kesengajaan melakukan dosa dan pelanggaran tersebut.[2]

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pengertian dosa dalam PL dikategorikan menjadi empat kelas yaitu: (1) penyimpangan dari jalan yang benar; (2) perubahan penyebaran status (berdosa); (3) pemberontakan melawan yang lebih baik atau ketidakpercayaan pada perjanjian; (4) beberapa karakterisasi kualitas tindakan itu sendiri.[3]

Di dalam Perjanjian Baru (PB) kata utama untuk dosa adalah ‘hamartia’ (Matius 1:21). Kata ini mempunyai makna tidak kena sasaran dan meliputi gagasan kegagalan, salah dan perbuatan jahat. ‘Adikia’ (1 Korintus 6:8) berarti ketidakjujuran atau ketidakadilan. ‘Parabasis’ (Roma 4:15) mengenai pelanggaran hukum. ‘Asebeia’ (Titus 2:12) mengandung arti kuat mengenai tidak mengenal Allah, sedangkan ptaisee lebih berarti tergelincir secara moral (Yakobus 2:10).  Dosa itu juga disebut sebagai pelanggaran hukum Allah (1 Yoh. 3:4), atau menurut aslinya: anomia, yaitu perbuatan yang tanpa kasih (1 Yoh. 4:8) atau kejahatan (1 Yoh. 5:17). Ungkapan-ungkapan yang lain ialah: ketidaktaatan, ketidaksetiaan, tidak percaya, dan lain sebagainya. Semua ungkapan itu menunjukkan, bahwa ada sesuatu yang hilang karena dosa.[4]

Aspek yang paling khas dari dosa adalah bahwa dosa bertujuan melawan Allah (bandingkan dengan Mazmur 51:6; Roma 8:7; Yakobus 4:4). Setiap usaha untuk mengurangi ini, misalnya dengan mengartikan dosa sebagai sifat mementingkan diri, sangat meremehkan kegawatannya. Ungkapan dosa yang paling jelas ialah saran Iblis bahwa manusia dapat merampas tempat Penciptanya, “kamu akan menjadi seperti Allah…” (Kejadian 3:5). Dalam peristiwa kejatuhan, manusia berusaha meraih persamaan dengan Allah (bnd. Flp. 2:6), mencoba memberlakukan kemerdekaan dari Allah serta mempertanyakan integritas Sang Pencipta dan pemeliharaan-Nya yang penuh kasih. Ia memberi penghormatan kepada musuh Allah dan juga memperhatikan ambisi-ambisinya sendiri.

2.2 TENTANG KESELAMATAN

Dalam teologi Kristen ajaran tentang keselamatan ini beraneka ragam. Bagi kalangan Skolastik, keselamatan itu dipahami sebagai “rahmat” saja, sedangkan para Reformator melihat keselamatan itu bukan hanya berfokus pada rahmat saja namun melihat keselamatan itu lebih dalam dan luas dengan mengambil perspektif “pembenaran”.

PL sering menggambarkan keadaan manusia yang selamat atau dirahmati itu dengan keadaan “damai sejahtera” (syalom). Kata Ibrani syalom tersebut belum menjadi istilah teknis-teologis. Kata ini bernada positif, mengungkapkan sesuatu yang baik. Istilah syalom begitu kaya akan arti sehingga hampir tidak dapat diterjemahkan dalam bahasa lain. Dalam arti absolut, syalom mencakup segala sesuatu yang berupa kebahagiaan manusia seluruhnya dan seutuhnya, baik rohani maupun jasmani, baik sebagai orang perorangan maupun sebagai persekutuan (Kel. 18:23; Hak. 8:9); 11:31), khususnya umat Israel (1 Raja 5:4) serta pusatnya Yerusalem/Sion (Mzm. 76; 122; 125), bahkan seluruh alam di sekitarnya ikut dan termasuk dalam keadaan bahagia itu (Hos. 2:20; Yes. 11:6-9).[5] Syalom itu merupakan sesuatu yang kongret, yang dapat diraba dan dilihat. Syalom juga diartikan dengan kesehatan (Kej. 29:6), keadaan yang menguntungkan (2 Sam. 11:7 = syalom perang: keadaan perang yang menguntungkan), kesuburan (Za. 8:12: syalom dalam benih: yaitu benih tumbuh dengan baik, subur).[6]

Dalam kitab-kitab Nabi, syalom itu mengandung perspektif masa depan yang besar. Yahweh akan memberikan syalom kepada Israel setelah penghukuman (Yer. 29:11; Yes. 54:10,13, 57:19). Yehezkiel menyebutkan syalom sebagai unsur dari “Kerajaan Selamat” di mana binatang buas tidak lagi merupakan hal yang menakutkan manusia. Yesaya menghubungkan syalom dengan “Raja Selamat” (Yes. 9:5).[7]

Sama seperti dalam PL, demikian juga dalam PB, istilah keselamatan belum mempunyai sebuah istilah teknis-teologis. Kata yang paling sering dipakai sehubungan dengan apa yang dimaksud dengan “keselamatan” ialah soteria (penyelamatan). Kata soteria mempunyai konotasi negatif (penyelamatan dari sesuatu yang buruk) dan pertama-tama menunjuk kepada tindakan yang menyelamatkan dari yang buruk itu. Konsep keselamatanan yakni keadaan selamat dan damai sejahtera (soteria dan eirene) yang dianugerahkan Allah kepada manusia dihubungkan secara tegas dengan diri Yesus Kristus dan dengan karya Roh Kudus.[8] Artinya sifat keselamatan itu mendapat arti lebih dalam dibandingkan dalam PL. Konsep keselamatan dalam PL digenapi dalam PB di dalam diri Yesus Kristus. Keyakinan ini sudah nyata dalam cara Simeon menyalami bayi Yesus, yakni sebagai “keselamatan (soteria) yang dari Allah”, sehingga dia merasa damai sejahtera (eirene) untuk mati (Luk.2:29-32).[9]

Keselamatan (damai-sejahtera) tidak hanya mencakup hubungan antar manusia secara perorangan, tetapi juga antara kelompok-kelompok manusia. Artinya: keselamatan mempunyai dimensi politis. Keselarasan antara kelompok-kelompok dan golongan itu pada dasarnya merupakan hasil karya Kristus. Keselamatan itu malah mencakup alam semesta, sehingga mempunyai ciri kosmis. Keselamatan itu juga menyangkut hubungan timbal-balik antara Allah dan manusia.

2.3 SEKILAS TENTANG AUGUSTINUS[10]

Augustinus anak tertua dari Monika lahir pada 13 November 354 di provinsi Numidia (sekarang meliputi kawasan Aljazair dan Tunisia) di kota kecil yang bernama Tagaste (sekarang Souk Ahras di Aljazair Timur), sebuah kota di Algeria Afrika Utara yang merupakan wilayah Romawi saat itu. Ia dibesarkan dan dididik di Karthago, dan dibaptiskan di Italia. Ibunya seorang Katolik yang saleh, ayahnya, Patricius seorang kafir, namun Augustinus mengikuti agama Manikhean[11]. Ada beberapa hal yang membuat Augustinus tertarik pada ajaran Manikheisme yaitu: Pertama, Manikheisme merupakan aliran agama dualistis yang bertitik tolak dari dua kerajaan yang sama kuat kekuasaannya. Kedua, dalam Manikheisme ada unsur gnostis yang menyatakan bahwa penyelamatan manusia dikarenakan pengetahuan yang khusus.

Pada masa mudanya, Augustinus hidup dengan gaya hedonistik. Di Karthago ia menjalin hubungan dengan seorang perempuan muda yang selama lebih dari sepuluh tahun dijadikannya sebagai istri gelapnya, yang kemudian melahirkan seorang anak laki-laki baginya. Pendidikan dan karier awalnya ditempuhnya dalam filsafat dan retorika, seni persuasi dan bicara di depan publik. Ia mengajar di Tagaste dan Karthago, namun ia ingin pergi ke Roma karena yakin bahwa di sanalah para ahli retorika yang terbaik dan paling cerdas berlatih. Namun demikian Augustinus kemudian kecewa dengan sekolah-sekolah di Roma, yang dirasakannya menyedihkan. Sahabat-sahabatnya yang beragama Manikheanis memperkenalkannya kepada kepala kota Roma, Simakhus, yang telah diminta untuk menyediakan seorang dosen retorika untuk istana kerajaan di Milano.

Pemuda dari desa ini mendapatkan pekerjaan itu dan berangkat ke utara untuk menerima jabatan itu pada akhir tahun 384. Pada usia 30 tahun, Augustinus mendapatkan kedudukan akademik yang paling menonjol di dunia Latin, pada saat ketika kedudukan demikian memberikan akses ke jabatan-jabatan politik. Namun demikian, Augustinus merasakan ketegangan dalam kehidupan di istana kerajaan. Suatu hari ia mengeluh ketika sedang duduk di keretanya untuk menyampaikan sebuah pidato penting di hadapan kaisar, bahwa seorang pengemis mabuk yang dilewatinya di jalan ternyata hidupnya tidak begitu diliputi kecemasan dibandingkan dirinya.

Pengaruh uskup Milano, Ambrosius, sangat banyak mempengaruhi hidupnya. Ambrosius adalah seorang jagoan retorika seperti Augustinus sendiri, namun lebih tua dan lebih berpengalaman. Pengaruh khotbah-khotbah Ambrosius, dan studi-studinya yang lain, membuat Augustinus beralih dari Manikheanisme. Namun bukannya menjadi Katolik, tetapi ia malah mengambil pendekatan Neoplatonis kafir terhadap kebenaran, dan mengatakan bahwa selama beberapa waktu ia merasakan bahwa ia benar-benar mengalami kemajuan di dalam pencariannya, meskipun pada akhirnya ia justru menjadi seorang skeptik.

Pada musim panas tahun 386, setelah membaca riwayat hidup St. Antonius dari Padang Pasir yang sangat memukaunya, Augustinus mengalami suatu krisis pribadi yang mendalam dan memutuskan untuk menjadi seorang Kristen. Ia meninggalkan kariernya dalam retorika, melepaskan jabatannya sebagai seorang profesor di Milano, dan mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk melayani Allah dan praktik imamat, termasuk selibat.

Sebuah pengalaman penting yang mempengaruhi pertobatannya ini adalah suara dari seorang gadis kecil yang didengarnya pada suatu hari menyampaikan pesan kepadanya melalui sebuah nyanyian kecil untuk “Ambillah dan  bacalah” (tolle, lege) Alkitab. Pada saat itu ia membuka Alkitab dengan sembarangan dan menemukan sebuah ayat dari Paulus. Ia menceritakan perjalanan rohaninya dalam bukunya yang terkenal Pengakuan-pengakuan Augustinus (Confessiones) yang kemudian menjadi sebuah buku klasik dalam teologi Kristen maupun sastra dunia. Ambrosius membaptiskan Augustinus pada hari Paskah pada 387, dan tak lama sesudah itu pada 388 ia kembali ke Afrika. Dalam perjalanan ke Afrika ibunya meninggal, dan tak lama kemudian anak laki-lakinya, sehingga ia praktis sendirian di dunia tanpa keluarga.

Setelah kembali ke Afrika Utara, ia membangun sebuah biara di Tagaste untuk dirinya sendiri dan sekelompok temannya. Pada 391 ia ditahbiskan menjadi seorang imam di Hippo Regius, (kini Annaba, di Aljazair). Ia menjadi seorang pengkhotbah terkenal (lebih dari 350 khotbahnya yang terlestarikan diyakini otentik), dan dicatat karena melawan ajaran sesat Manikheanisme, yang pernah dianutnya.

Pada 396 ia diangkat menjadi pendamping uskup di Hippo dan tetap sebagai uskup di Hippo hingga kematiannya pada 430. Ia meninggalkan biaranya, namun tetap menjalani kehidupan biara di kediaman resminya sebagai uskup. Ia meninggalkan sebuah Buku Aturan (bahasa Latin Regula) untuk biaranya yang membuat ia digelari sebagai “santo pelindung dari rohaniwan biasa,” artinya, imam praja yang hidup dengan aturan-aturan biara.

Sepanjang hidupnya Augustinus banyak menulis. Tulisannya yang berjudul Confessiones ditulisnya sebelum tahun 400. Di dalamnya diceritakan riwayat hidup sampai pertobatannya. Karya besarnya yang lain adalah De Civitate Dei (Kota Allah) dan De Trinitate (Trinitas). De Civitate Dei terdiri dari 22 buku. Sepuluh buku pertama menguraikan tentang iman Kristen. Dua belas buku berikutnya menguraikan tentang perjuangan kota Allah (Civitas Dei) dengan kota dunia (Civitas Terrena). Kota Allah akan mengalahkan kota dunia.  Kota Dunia adalah kerajaan-kerajaan dunia ini, khususnya kekaisaran Roma. Proses mengalahkan kerajaan dunia menjadi kerajaan Allah disebut dengan masa pengembaraan (Civitas Penegerire). Yang ada sekarang harus ditinggalkan bukan diperbaharui. Artinya Civitas Dei bukan turun ke dunia. Dengan demikian pemikiran Augustinus sangat Platonis. De Trinitate terdiri dari lima belas buku. Sebagian besar merupakan kumpulan surat-surat, khotbah-khotbah, dan suatu kumpulan dialog filosofis. Tidak lama sebelum kematiannya ia menerbitkan bukunya yang berjudul Retractations, di mana ia meninjau kembali karya literernya.

Bagi Agustinus gereja terdiri dari dua bagian yaitu: (1) Gereja yang kelihatan (Visible Church) – gereja yang tidak sempurna – yang penuh cacat dan cela; dan (2) Gereja yang tidak kelihatan (Invisible Church) – gereja yang sempurna atau ideal. Gereja yang kelihatan adalah bayang-bayang dari gereja yang tidak kelihatan.[12]

Augustinus meninggal dan dikebumikan pada 28 Agustus 430 di Hippo akibat kekejaman bangsa Vandal. Jenazahnya kemudian dibawa ke Pavia di Italia Utara. Lengan kanannya yang seumur hidupnya menulis dan memberkati, disimpan dan dihormati di katedral Hippo.

2.4 SEKILAS TENTANG PELAGIUS[13]

Pelagius dilahirkan sekitar 354. Pada umumnya disepakati bahwa ia dilahirkan di Britania, namun di luar itu, tempat kelahirannya yang pasti tidak diketahui. Ia disebut sebagai “biarawan” oleh orang-orang sezamannya, meskipun tidak ada bukti bahwa ia terkait dengan ordo monastik manapun (gagasan tentang komunitas biara masih agak baru pada zamannya, orang lebih lazim mempraktikkan asketisisme sendiri) atau bahwa ia ditahbiskan menjadi imam. Ia menjadi lebih terkenal sekitar tahun 400 ketika ia pindah ke Roma untuk menulis dan mengajar tentang praktik asketisismenya. Di sana ia menulis sejumlah karya penting — “De fide Trinitatis libri III,” “Eclogarum ex divinis Scripturis liber primus,” dan “Commentarii in epistolas S. Pauli,” sebuah tafsiran atas surat-surat Paulus. Malangnya, kebanyakan dari karya-karyanya bertahan hanya dalam kutipan-kutipan oleh lawan-lawannya. Di Roma, Pelagius merasa prihatin tentang kehidupan moral masyarakat yang kendur. Ia mempersalahkan hal ini pada teologi anugerah ilahi yang diajarkan, antara lain, oleh Augustinus.

Sekitar tahun 405, konon Pelagius mendengar sebuah kutipan dari karya Augustinus, Pengakuan-pengakuan, ‘Berikan kepadaku apa yang Engkau perintahkan, dan perintahkan kepadaku apa yang Engkau inginkan.’ Kutipan ini membuat Pelagius prihatin karena tampaknya di sini Augustinus mengajarkan doktrin yang bertentangan dengan pemahaman-pemahaman Kristen tentang anugerah dan kehendak bebas, dan mengubah manusia menjadi robot saja.

Ketika Alarik bersama suku bangsa Goth Timur mengepung kota Roma pada tahun 410, Pelagius dan pengikutnya yang terdekat Coelestinus melarikan diri ke Karthago. Di sana Pelagius menyebarkan ajaran-ajarannya serta mendapat banyak pengikut. Bahkan Coelestinus sempat ditahbiskan menjadi presbiter di Karthago.   dan di sana ia melanjutkan karyanya dan berjumpa dengan Augustinus secara pribadi.

Pelagius meninggal dunia barangkali tahun 419. Namun ajarannya hidup terus di bawah pimpinan Julianus dari Eclanum, seorang uskup yang cakap sekali. Ia merumuskan ajaran-ajaran Pelagius dengan sangat sistematis.

3. SEJARAH DOGMA TENTANG DOSA DAN KESELAMATAN PADA  GEREJA LAMA

Ketika perdebatan Kristologi masih merisaukan Gereja Timur, maka permasalahan lain yang muncul di Gereja Barat adalah perdebatan tentang dosa dan anugerah, kehendak bebas dan predestinasi. Hal paling penting diperhatikan adalah praktek Kekristenan. Perilaku mereka atas pekerjaan penebusan lebih diutamakan daripada permasalahan Kristologi itu sendiri. Perhatian utama pada Bapak Gereja sebenarnya adalah mengenai Teologi dan Kristologi. Namun mereka juga menghadapi dualisme pandangan tentang dosa dan anugerah yang membawa kebingungan lebih besar, dengan munculnya ajaran Pelagius dan Augustinus.[14]

Pandangan mereka atas dosa sangat dipengaruhi oleh perlawanan mereka terhadap Gnostisisme yang mengganggap bahwa kejahatan melekat pada materi dan penolakan atas kehendak bebas. Gnostisisme menekankan bahwa penciptaan Adam sebagai gambar Allah tidak melingkupi kesempurnaan etisnya tetapi hanya kesempurnaan moral di dalam kodratnya. Artinya pertemuan antara jiwa manusia dan materi segera dianggap sebagai dosa. Pengertian seperti ini akan menyingkirkan dosa dari karakter etisnya. Kejahatan tubuh (materi) semakin bertambah di dalam manusia, tetapi ini bukanlah dosa itu sendiri dan juga bukan termasuk dosa seluruh umat manusia. Mereka juga memahami bahwa tidak ada dosa asli. Irenaeus berpendapat bahwa manusia adalah anak-anak, pengertiannya belumlah sempurna; karena itu pula ia mudah disesatkan oleh pendusta. Dengan diciptakan menurut citra Allah, manusia belum sempurna seperti Allah. Irenaeus berpendapat bahwa tujuan umum dari ciptaan dan peran sang penebus adalah membawa semua makluk ciptaan yang tidak sempurna ini pada kesempurnaannya.[15] Origenes berusaha menjelaskan pengertiannya dengan menggunakan teori pra-eksistensinya. Menurut Origenes jiwa-jiwa manusia sudah berdosa dalam masa pra-eksistensi dan ketika jiwa itu masuk ke dalam dunia, maka jiwa itu sudah berdosa. Gagasan Origenes tentang pra-eksistensi jiwa ditolak Gereja tetapi penekanannya atas kejatuhan sebagai sumber ketidaksempurnaan manusia diterima. Bagi Origenes kejatuhan pra-historis itu bukan hanya menerangkan keterbatasan kefanaan manusia, melainkan juga realitas keberdosaan  manusia: “Semua manusia menurut hakikatnya sangat jelas cenderung berdosa”.[16] Origenes yang terpengaruh filsafat Yunani tidak melihat adanya hubungan antara dosa Adam dan dosa keturunannya. Pendapat Athanasius yang ditulisnya dalam The Incarnation of the Word of God, memandang kisah kejatuhan dalam Kejadian sebagai suatu peristiwa historis, bukan suatu peristiwa pra-historis. Oleh karena dosa Adam dan Hawa, keturunan mereka “tidak lagi hidup di dalam Firdaus, tetapi mengalami kesengsaraan hidup di luar Firdaus, selanjutnya mati dan hancur.[17]

Tertullianus mengajarkan bahwa keadaan kita yang berdosa adalah akibat dari kejatuhan Adam. Akan tetapi doktrin tentang dosa Adam yang mengakibatkan dosa seluruh keturunannya sama sekali belum pernah mereka sebutkan. Tertullianus menyatukan ajaran Tradusianisme dengan teori realisme. Dalam peribahasanya yang terkenal, Tradux animae, tradux peccati, artinya perkembangan jiwa meliputi penyebaran dosa. Artinya keseluruhan umat manusia secara potensial dan numerik ada dalam diri Adam, karena itu seluruh manusia berdosa ketika Adam berdosa dan menjadi tercemar karena Adam tercemar. Kodrat manusia secara keseluruhan berdosa di dalam Adam, dan karena itu setiap individualisasi dari kodrat itu juga berdosa.[18]

Tentang ajaran anugerah dan keselamatan sebenarnya para Bapa Gereja masih banyak dipengaruhi oleh konsepsi dosa. Mereka lebih menekankan kehendak bebas daripada anugerah itu sendiri. Kehendak bebas manusia melakukan inisiatif untuk mendapatkan keselamatan, namun pekerjaan manusia itu sendiri tidak sempurna tanpa bantuan anugerah. Kekuatan Allah bekerjasama dengan kehendak manusia dan memampukan manusia menjauhi setan dan melakukan kehendak Allah.[19]

4. AJARAN AUGUSTINUS

4.1 TENTANG DOSA

Augustinus tidak memandang dosa sebagai sesuatu yang positif, tetapi merupakan sesuatu penyangkalan atau keadaan yang serba kurang. Manusia diciptakan untuk kekal, bukan berarti dia tidak dapat mati tetapi dia memiliki kesanggupan untuk hidup yang kekal. Menurutnya, keadaan manusia dari posse non peccare et mori (mampu untuk tidak berdosa dan mati) dia akan melewati keadaan non posse peccare et mori (tidakmampu untuk berdosa dan mati). Tetapi dia berdosa dan konsekuensinya memasuki keadaan non posse non peccare et mori (tidakmampu untuk tidak berdosa dan mati).[20]

Augustinus menggambarkan dosa sebagai yang hakiki melekat pada keberadaan manusia. Dosa merupakan suatu aspek yang integral, bukan opsional, dari keberadaan kita. Manusia dengan cara dan kemampuannya sendiri tidak pernah dapat masuk ke dalam suatu hubungan dengan Allah. Tak satu pun perbuatan manusia yang dapat mematahkan belenggu dosa. Karenanya Allah turut campur dalam dilema manusia.[21] Augustinus mengajarkan bahwa manusia setelah Adam jatuh ke dalam dosa telah menjadi “kaum kebinasaan”, artinya: ia sudah menjadi budak dosa dan tidak dapat berbuat baik lagi. Oleh karena itu kutuk Allah ada padanya dan hidupnya menuju kepada maut yang kekal. Manusia telah berada di dalam lumpur kebinasaan. Akan tetapi Tuhan Allah, karena kasih karunia-Nya semata-mata, telah memilih sejumlah manusia tertentu untuk diselamatkan, sedang sisanya dibiarkan dalam kebinasaannya atau dalam lumpur kebinasaan itu.[22] Pemilihan Allah atas sejumlah manusia untuk diselamatkan inilah yang disebut predestinasi (dari pre = sebelumnya, dan destinatio = ketentuan, keputusan atau juga tujuan). Jadi nasib kekal manusia telah ditentukan sebelum ia dilahirkan. Tiada seorangpun yang dapat menentang/menggagalkan pilihan Allah ini. Siapa saja yang dipilih tentu selamat, sekalipun ia mungkin melakukan dosa yang besar. Sebab bagaimanapun orang yang dipilih akhirnya akan bertobat. Jadi di dalam predestinasi ini kasih Allah terhadap para orang yang dipilih tampak bersinar-sinar. Di dalam ajaran Augustinus ini semua manusia dipandang sebagai telah dalam alam kebinasaan. Dan Allah menyatakan kasih-Nya kepada beberapa jumlah manusia dari antara mereka itu semuanya.

4.2 TENTANG KESELAMATAN

Buku Confessiones membahas banyak hal tentang keterbatasan kebebasan manusia dan perlunya rahmat ilahi. “Lakukanlah apa yang engkau perintahkan, dan perintahkan apa yang engkau inginkan”, adalah tema pokok dari Kitab Kesepuluh yang sudah mengimplikasikan bahwa hukum itu sendiri adalah tidak memadai untuk mengubah hati. Augustinus dalam proses pertobatannya sendiri menyatakan kelemahan kehendak, yang hanya mendapat kebebasan manakala dibebaskan oleh rahmat ilahi:

Tetapi Kau, ya Tuhan, Engkau baik dan penuh kemurahan, Kauduga dengan tangan-Mu dan Kaulihat kedalaman kematianku dan dari dasar hatiku Kaukosongkan jurang kerusakan. Yang diperlukan ialah supaya aku tidak menghendaki apa yang kuhendaki dan supaya kuhendaki apa yang dikehendaki oleh-Mu. Namun, di mana kemauanku yang bebas itu selama sekian tahun dan dari dasar tempat perasingan dalam yang manakah kemauanku itu dipanggil dalam sekejap …? (Co.9:1.1)[23]

Pandangan Augustinus tentang keselamatan (rahmat) hanya dapat dipahami kalau mengingat pandangannya mengenai dosa, yakni sebagai suatu kuasa yang mengurung, membelenggu dan memperbudak manusia. Kuasa dosalah yang disebut “dosa asal”. Karena dosa Adam, manusia sudah masuk ke dalam lingkaran setan yang mengurungnya. Artinya, apa saja yang secara konkret diperbuat oleh manusia, hanya mengukuhkan saja perbudakannya terhadap dosa, biarpun perbuatan konkret itu dilakukannya secara bebas dan atas tanggung jawab sendiri. Dari dirinya sendiri manusia tidak dapat keluar dari lingkaran ini. Secara harafiah manusia berada dalam kuasa setan. Yang dapat menyelamatkan manusia dari kuasa dosa itu hanyalah Allah. Dan, Allah memang membebaskan manusia dari “lingkaran setan” itu. Tindakan Allah itulah yang oleh Augustinus disebut “rahmat”. Istilah rahmat dipakainya karena tindakan Allah itu bukan karena jasa atau hak manusia, melainkan semata-mata karena anugerah bebas dari Allah yang diberikan-Nya dengna cuma-cuma. Dari dalam kebebasan cinta kasih-Nya Allah masuk ke dalam hati manusia dan mengubahnya secara radikal.[24]

Dengan demikian, Augustinus melihat rahmat sebagai pengaruh langsung dari Allah dalam hati dan jiwa manusia yang dikuasai dosa. Hal itu bukanlah sesuatu yang dapat kita raih dengan usaha kita sendiri, melainkan merupakan sesuatu yang harus diperbuat untuk kita. Augustinus menekankan bahwa sumber keselamatan itu terletak di luar manusia, di dalam Allah sendiri. Allah yang empunya inisiatif untuk melakukan proses penyelamatan itu, bukan manusia.[25]

5. AJARAN PELAGIUS

5.1 TENTANG DOSA

Pelagius mengajarkan, bahwa setelah Adam jatuh ke dalam dosa tabiat manusia masih tetap baik. Tiada dosa turunan misalnya: tidak ada dosa yang diwariskan dari generasi dari keturunan pertama kepada keturunan generasi mendatang sehingga mereka mendapatkan hukuman.[26] Manusia dilahirkan seperti kertas putih yang masih belum ditulis. Dosa bukan terletak pada tabiat manusia, tetapi pada kehendaknya. Bahwa manusia dalam kenyataannya berdosa, hal itu disebabkan karena contoh-contoh yang tidak baik dari dunia sekitarnya. Oleh karena itu manusia dengan amal-amal dan kebajikannya tentu dapat mendapatkan keselamatan. Kasih karunia Allah kepada manusia terdiri dari hal ini, bahwa Ia memberikan kehendak yang bebas kepada manusia, dan memberikan pengajaran PL serta ajaran dan teladan Tuhan Yesus Kristus.[27]

Pandangan Pelagius tentang dosa sangat berbeda sekali dengan konsep Alkitab dan juga pandangan Augustinus. Pelagius memulai dari kemampuan alamiah manusia. Pernyataan dasarnya adalah: Allah telah memerintahkan manusia melakukan apa yang baik; karena itu manusia harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Hal ini berarti bahwa manusia memiliki kehendak bebas dalam arti kata yang mutlak, sehinga ia mungkin memutuskan untuk melakukan sesuai atau bertentangan dengan apa yang baik dan juga melakukan apa yang baik, atau yang jahat. Keputusan ini tidak tergantung pada karakter moral manusia, sebab kehendak sama sekali tidak menentukan. Apakah manusia akan melakukan apa yang baik atau jahat tergantung pada apapun. Dari sini tentu saja kemudian muncul bahwa perkembagan moral individual itu sebenarnya tidak ada.  Baik dan jahat ditempatkan pada tindakan manusia yang terpisah. Tidak ada kodrat manusia yang berdosa, juga tidak ada karakter dosa. Dosa selalu merupakan pilihan berbuat jahat kehendak yang sepenuhnya bebas dan kehendak ini juga bisa memilih untuk melakukan kebaikan. Akan tetapi jika memang demikian, maka kesimpulannya adalah bahwa Adam tidak diciptakan dalam keadaan kesucian yang sempurna, tetapi dalam keadaan moral yang seimbang. Keadaan Adam adalah keadaan moral yang netral. Ia tidak baik, juga tidak jahat, dan karena itu tidak memiliki karakter moral; akan tetapi ia lebih memilih kejahatan dan karena itu ia berdosa. Sejauh dosa hanya terkait pada tindakan yang terpisah dari kehendak manusia, gagasan tentang perkembangan dosa melalui kelahiran adalah absurd. Jika memang kodrat manusia yang berdosa memang ada, mungkin saja diturunkan kepada keturunannya. Tidak ada dosa asal. Anak-anak dilahirkan dalam keadaan netral, dimulai sejak Adam, kecuali bahwa mereka dihalangi oleh contoh buruk yang mereka lihat di sekitar mereka. Masa depan mereka harus ditentukan oleh pilihan bebas mereka. Universalitas dosa diakui, sebab semua pengalaman mengakui akan hal itu. Tetapi dosa dilihat sebagai peniruan dan menjadi kebiasaan berdosa. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dari sudut Pelagius sebenarnya tidak ada orang berdosa, tetapi hanyalah tindakan-tindakan dosa yang terpisah-pisah.[28]

5.2 TENTANG KESELAMATAN

Menurut Pelagius, manusia sendiri bertabiat yang sehat. Anugerah berarti bahwa Allah memberikan kepadanya kemampuan untuk hidup baik, ditambah dengan teladan Yesus. Kehendak manusia itu bebas untuk memutus tentang percaya atau menolak, tentang keselamatan atau kebinasaan. Keselamatan manusia berdasarkan keputusannya sendiri. Dari belakang Allah memilih orang yang sudah memutus untuk percaya. Sebenarnya manusia tidak perlu binasa, sebab Allah berkehendak bahwa semua orang diselamatkan (1 Tim. 2 :4 ; 1 Yoh. 1 :10). Tidak ada pembuangan sebagai keputusan kekal. Allah bergantung kepada kehendak dan keputusan manusia, biar Allah mengetahui keputusan manusia sebelumnya.[29] Jadi manusia sendirilah yang memutuskan tentang kepercayaan dan keselamatannya  (free will)! Keputusan Allah tergantung kepada keputusan manusia. Si manusia harus dapat kesempatan memilih secara bebas lebih dahulu: menerima atau menolak keselamatan.

Lebih dalam Pelagius berpendapat bahwa anugerah Allah berarti bahwa Allah hanya membuka kemungkinan keselamatan bagi manusia. Lalu manusia bebas untuk memutuskan apakah mau percaya atau tidak. Kehidupan rohani manusia melebihi kuasa Allah. Asal manusia diajak dan didorong dengan cukup kuat, maka ia akan percaya. Semua orang bisa menjadi percaya.

6. PERTIKAIAN AUGUSTINUS DAN PELAGIUS TENTANG DOSA DAN KESELAMATAN

6.1 PERTIKAIAN TENTANG DOSA

Ketika Augustinus dan Pelagius tiba di Roma pada dasawarsa 380-an, mereka mempunyai banyak kesamaan. Keduanya dari Provinsi, Augustinus dari Thagaste di Afrika Utara, Pelagius dari Inggris. Sama seperti Augustinus, Pelagius kemungkinan besar datang ke sana untuk mengejar karier duniawi. Namun, dua-duanya kemudian menjadi pemimpin religius dengan kekuatan rohani yang amat besar.

Di atas semuanya, mereka hidup pada kurun sejarah yang sama. Anehnya, meskipun Gereja pada akhir abad keempat berkembang pesat dari agama minoritas yang dianiaya menjadi agama negara, namun tradisi pertobatan radikal kepada kehidupan Kristen yang sejati dalam pengabdian dan kesempurnaan, tetap saja kuat. Augustinus bertobat kepada kehidupan Kristen sejati itu. Ketegangan perpisahan radikal dengan masa lampau dapat dilihat dalam buku kedelapan Confessiones.[30]

Dalam pengalaman hidupnya, Augustinus membuka matanya terhadap kebenaran Injili, yaitu bahwa iman bukanlah suatu perbuatan atau jasa dari manusia sendiri, melainkan dikaruniakan semata-mata oleh rahmat Tuhan saja. Inilah ajaran Paulus yang hampir tak diingat lagi pada masa itu. Di antara segala Bapa Gereja barulah Augustinus yang membangun teologinya atas dasar ajaran Paulus itu.

Lebih dalam Augustinus berpendapat bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dengan sempurna. Adam diberi kehendak yang bebas, sehingga ia dapat memilih sendiri jalan yang mana yang akan diturutinya: taat dan patuh kepada Tuhan atau menuruti kesukaan hati dan kehendaknya sendiri. Tuhan mengajak dia berbuat yang baik saja, serta mengaruniakan kepadanya pertolongan rahmat-Nya. Itulah sebabnya Adam dapat tidak berdosa. Akan tetapi Adam tidak mempergunakan kemungkinan ini. Ia jatuh ke dalam dosa oleh salahnya sendiri, karena ia tidak suka menuruti kehendaknya sendiri. Akibatnya sangat mengerikan. Sekarang ia dikuasai oleh dosa; persekutuannya dengan Tuhan terputus; pertolongan rahmat telah hilang; ia menjadi hamba keinginan badannya dan harus mati. Tak dapat ia berbuat baik lagi, malahan mulai saat itu ia tidak dapat tida berdosa, atau harus berdosa saja.

Di dalam Adam segala keturunannya berdosa juga (Rm. 5:12). Tubuh dan jiwa tiap-tiap manusia telah diracuni oleh dosa turunan, yang turun-temurun dari orang tua kepada anak-anaknya. Segenap umat manusia tak lain daripada suatu “kaum kebinasaan”, yang tak sanggup berbuat baik, sehingga dikutuki oleh Tuhan dan menuju kepada maut yang kekal. Tetapi syukur bagi Allah! Tuhan sayang kepada makhluk-Nya. Sejumlah manusia yang tertentu dipilih oleh Tuhan untuk mendapat rahmat-Nya supaya diselamatkan kelak. Inilah ajaran “predestinasi” (artinya: tujuan hidup atau nasib kekal manusia sudah ditentukan atau ditakdirkan oleh Tuhan sebelum manusia lahir). Kaum pilihan itu tak dapat melawan pekerjaan rahmat Tuhan dalam batinnya; meskipun mereka mau menolak kasih Tuhan itu, akhirnya mereka dialahkan juga oleh kuasa rahmat.  Pun mereka itu akan sampai akhirnya; kendati pun mereka digodai oleh iblis dan banyak kali jatuh lagi dalam dosa, tetapi akhirnya; mereka akan mencapai tujuan yang telah ditentukan baginya. Kalau begitu, bagaimanakah pandangan Augustinus tentang segala manusia yang tak terpilih lagi? Adakalanya ia mengaku bahwa mereka itu dipredestinasikan untuk kebinasaan. Tetapi hal itu biasanya tidak dititik-beratkannya. Apalagi, dalam hal ini, kata Augustinus, manusia belum mengetahui, apakah ia terpilih untuk keselamatan atau kebinasaan. Hendaknya tiap-tiap orang Kristen berjuang untuk membuktikan dengan kebajikan dan amalannya bahwa ia sudah terpilih untuk keselamatan. [31]

Lawan Augustinus yang paling besar, Pelagius, menyangkal adanya hubungan antara dosa Adam dan dosa keturunannya. Pelagius melihat bahwa penyebaran dosa dari satu generasi ke generasi berikutnya didasarkan di dalam teori Tradusianisme tentang asal mula jiwa. Ia menganggapnya sebagai kesalahan para bidat; dan menyebarnya dosa Adam pada setiap orang kecuali Adam akan bertentangan dengan kejujuran ilahi.[32]

Pelagius sangat berkeberatan terhadap ucapan Augustinus dalam “Confessiones”. ‘Berikan kepadaku apa yang Engkau perintahkan, dan perintahkan kepadaku apa yang Engkau inginkan.’ Teologinya adalah seperti berikut: Adam sebagai ciptaan Allah tidak memberikan kekudusan positif. Kondisi aslinya adalah netral, bisa dalam keadaan kudus maupun berdosa, tetapi memiliki kapasitas untuk memilih yang baik dan yang jahat. Dia memiliki kebebasan yang tidak dapat ditentukan untuk memilih yang baik maupun yang jahat.[33] Dosa Adam tidak menghilangkan kehendak bebas manusia. Tiap-tiap manusia lahir dengan dengan tidak bercacat, sama seperti Adam di Firdaus. Jadi dosa turunan tidak diakuinya. Duduknya dosa bukannya di dalam tabiat manusia, melainkan dalam kehendaknya. Tiap kali kalau kehendak manusia bermaksud berbuat jahat, ketika itulah manusia berdosa. Dan tidak diwariskan turun-temurun, tetapi teladan Adam yang jahat itu ditiru oleh anak-anaknya. Dengan demikian tiap-tiap manusia mulai berdosa, sebab ia melihat dan meniru contoh yang kurang baik dari orang sekelilingnya: ibu, bapa, saudaranya dan sebagainya. Jadi secara teori mungkin juga seorang manusia sama sekali tidak berdosa seumur hidupnya. Kematian bukanlah akibat dosa atau hukuman dari Tuhan, tetapi termasuk hukum alam. Keselamatan yang kekal itu diperoleh manusia selaku pahala karena amal dan kebajikannya yang dilakukan manusia menurut kehendaknya yang bebas itu. Rahmat Tuhan hanya terdiri dari pemberian kehendak yang bebas itu, pengajaran PL dan pengajaran dan teladan Tuhan Yesus. Jadi rahmat tidak dianggapnya sebagai suatu kuasa rohani dari sorga yang bekerja dalam hati manusia.

Menurut Louis Berkhof, ada banyak yang tidak setuju terhadap pandangan Pelagius tentang dosa ini, dan dari sekian ketidaksetujuan itu, beberapa di antaranya adalah:

  1. Keadaan mendasar di mana manusia harus bertanggung jawab kepada Tuhan hanya atas apa yang mampu ia lakukan, jelas bertentangan dengan pengakuan hati nurani dan Firman Tuhan. Suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal adalah bahwa semakin manusia berdosa, maka kemampuannya melakukan kebaikan akan makin kecil. Manusia itu akan makin menjadi budak dosa. Menurut teori yang sedang kita bicarakan ini maka ketidakmampuan berbuat baik juga akan makin memperkecil tanggung jawab itu. Tetapi dengan demikian bisa pula dikatakan bahwa dosa itu makin lama makin membebaskan korbannya dengan cara membebaskan mereka dari tanggung jawab yang dituntut daripadanya. Hati nurani segera meneriakkan rasa tidak setujunya terhadap pandangan seperti ini. Paulus tidak berkata bahwa ia mengeraskan orang berdosa sebagaimana yang ditulisnya dalam Roma 1:18-32 jelas tanpa tanggung jawab, tetapi Paulus melihat bahwa mereka layak mengalami maut. Tuhan Yesus mengatakan tentang orang Yahudi yang memuliakan kebebasan mereka, tetapi menunjukkan kejahatan mereka yang luar biasa dengan usaha untuk membunuh Dia, dan mereka adalah budak dosa, tidak tahu apa yang Ia katakan, sebab mereka tidak dapat mendengar Firman-Nya, dan akan mati dalam dosa-dosa mereka (Yoh. 8:21,22,34,43).[34]
  2. Teori Pelagius tidak dapat memberikan penjelasan yang memuaskan tentang universalitas dosa. Contoh buruk dari orang tua tidak dapat memberikan penjelasan yang memuaskan. Kemungkinan yang hanya abstrak saja tentang dosa manusia kendatipun jika diperkuat oleh contoh yang jahat, tetap tidak menjelaskan bagaimana dapat terjadi manusia sesungguhnya berdosa. Bagaimana mungkin dikatakan bahwa kehendak manusia akan kemudian membelok ke arah dosa dan tidak pernah meuju ke arah yang lain ? Jauh lebih wajar jika kita memikirkan tentang sifat dari dosa itu sendiri.[35]

Ajaran Pelagius ini ditolak oleh Gereja, pertama kalinya di Carthago pada tahun 418 dan akhirnya oleh konsili di Efesus (431).[36]

6.2 PERTIKAIAN TENTANG KESELAMATAN

Berkaitan dengan keselamatan, Roger Haight melihat Augustinus dan Pelagius sama-sama mengakui adanya keselamatan atau rahmat. Namun demikian pemahaman rahmat di antara mereka berdua saling berbeda satu sama lain. Bagi Pelagius, rahmat pertama-tama merupakan kebebasan manusiawi kita sendiri; kemampuan yang kita terima dari Allah untuk memilih antara baik dan buruk. Bagi Augustinus, meskipun pilihan bebas tetap ada, namun hasrat dan perasaan umat manusia terjerat dosa. Adat-istiadat serta kebiasaan dosa pribadi memenjarakan pilihan bebas di dalam tembok-tembok sempit pencarian kepentingan diri. Pelagius melihat rahmat Allah dalam hukum-Nya. Dalam agama Kristen, orang secara lebih khusus memiliki rahmat ajaran Kristus serta teladan-Nya. Rahmat eksternal ini menantang kebebasan manusia dan orang tidak dapat ikut, jika ia tidak ingin ikut. Belenggu eksternal dosa, baik dosa masa lampau pribadi seseorang maupun dosa lingkungan yang lebih luas, dapat dilepaskan, jika orang Kristen memiliki keberanian untuk mengikuti teladan Yesus. Bagi Augustinus, rahmat harus pertama-tama merupakan kekuatan internal, sebab dosa membelenggu seseorang dari dalam. Kehendak seseorang merupakan penjara untuk dirinya sendiri. Inilah pusat pandangan Augustinus tentang rahmat dan justru merupakan titik perbedaan antara dia dengan Pelagius. Rahmat bagi Augustinus merupakan kegemaran akan kebaikan, sebuah bentuk baru kebebasan yang menuntut pembaharuan internal kehendak manusia. Tak seorang pun sebelum Augustinus sungguh-sungguh menyatakan apapun juga yang agak mirip dengan kebutuhan akan campur tangan Allah ini di dalam kebebasan. Biarpun ajaran Kristus sudah tentu merupakan juga rahmat eksternal maupun publik, namun hanya orang-orang yang dipanggil dan diberikan kekuatan internal untuk menjawab dapat diselamatkan.[37]

Lebih dalam Haight mengatakan bahwa mengupas ajaran-ajaran Augustinianisme dan Pelagianisme mengandung bahaya, sebab hal ini memisahkan pandangan-pandangan yang jelas dan tegas dari pengalaman serta pandangan hidup para penganutnya. Ajaran-ajaran yang bertentangan ini masing-masing sesungguhnya mewakili suatu aspek dari jawaban utuh terhadap dunia dari dalam iman Kristen. Satu cara menyelami ajaran-ajaran ini ialah mencari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan yang menjadi dasarnya.[38]

Haight  melihat perbedaan di antara Augustinus dengan Pelagius dari sudut nilai-nilai. Nilai utama yang mendasari pandangan Pelagius adalah kebebasan suatu pribadi, kekuatan untuk menentukan diri sendiri. Bagi Pelagius, orang Kristen dewasa seharusnya menjadi “anak Allah”, yaitu seorang ahli waris yang dibebaskan dan kini bertanggung jawab. Sebaliknya, nilai utama yang mendasari ajaran Augustinus adalah pengalamannya akan kemutlakan Allah serta ketergantungan total manusia pada-Nya. Nilai kedua yang mendasari ajaran Pelagius ialah soal kemungkinan universal bagi keselamatan. Pandangan Pelagius jauh lebih luas dan global daripada pandangan Augustinus. Pelagius tidak dapat menerima massa damnata (umat manusia terhukum). Dan akal sehat mengajarkan dia, bahwa penghukuman abadi bagi bayi-bayi yang tidak dibaptis merupakan penghinaan bukan saja bagi umat manusia, tetapi juga bagi Allah. Dosa sudah barang pasti tersebar, akan tetapi dosa mempengaruhi orang-orang terutama melalui mekanisme eksternal pengaruh-pengaruh sosial, yang tidak mengganggu kodrat batin dan inti kebebasan seorang pribadi. Seorang dapat menjawab panggilan Allah kapan saja. Allah tidak pilih kasih, memilih sebagian dan bukan yang lain. Sebaliknya, Augustinus jadi sadar bahwa rahmat Allah sama sekali cuma-cuma dan ini dituangkan ke dalam ajaran tentang pemilihan dan predestinasi. Dosa mencengkeram hidup manusia dari dalam dan di dalam. Jika orang-orang terbuka kepada Yang Baik, kepada yang lebih tinggi dan yang rohani, ini terjadi sebagai suatu gerakan sekonyong-konyong dan spontan yang tidak dikendalikan oleh orang-orang itu.[39]

Haight juga melihat hal-hal ekstrem yang berbahaya dalam pandangan Augustinus dan Pelagius ini. Penekanan Pelagius atas kebebasan manusia untuk taat, kelihatannya menjadikan Allah seorang tiran. Pelagianisme dipertalikan dengan tradisi Stoisisme. Peranan utama hukum dan penekanan berlebihan atas hukum dapat dengan gampang merosot menjadi legalisme yang hendak diatasi oleh Injil. Pelagius menginginkan seluruh Gereja menjalani kehidupan asketis ala biarawan. Akhirnya, tekanan Pelagius pada kebebasan dan otonomi manusia terlalu besar. Agama Kristen tidak lagi membebaskan. Sebaliknya ia menjadi sesuatu yang mengerikan. Namun bahaya-bahaya padangan Augustinus menurut Haight lebih halus tetapi sama riilnya. Ajarannya mengenai takdir tidak boleh tidak membuat orang berkecil hati. Ajaran itu pada akhirnya tidak saja menyakiti perasaan manusia tetapi juga merusakkan pandangan Kristen tetang Allah. Dalam jangka panjang, otonomi manusia sesungguhnya dibahayakan. Otonomi yang menurut keyakinan orang Kristen dikukuhkan oleh Allah dan dijamin oleh rahmat-Nya.[40]

Namun Haight juga melihat adanya tema-tema yang lebih besar dalam pandangan Augustinus dan Pelagius ini. Masing-masing pandangan mempunyai akibat-akibatnya baik dulu maupun sekarang. Tema pertama adalah Idealisme Pelagius jangan kita tafsirkan sebagai naturalisme. Pelagius percaya akan rahmat Allah. Orang yang baru bertobat dan dibaptis, dibarui karena rahmat Allah. Kehidupan Kristen dilihat sebagai kesaksian dan tanda tentang Allah serta rahmat-Nya kepada kekaisaran kafir dunia ini. Pelagianisme dapat saja dipandang sebagai asketisme yang ketat atau perfeksionisme. Sebaliknya, keputusan-keputusan Augustinus sepertinya mendukung toleransi terhadap cara hidup Kristen yang lali. Orang Kristen pada hakikatnya adalah “orang yang baru sembuh dari sakit”. Hidupnya diselamatkan, tetapi ia tetap “sakit”. Pandangan Augustinus memperbolehkan di dalam Gereja semua kesalahan manusia yang kita temukan di luar Gereja. Dan akibatnya ialah penyamaran seluruh kesaksian Kristen dengan standar umum orang biasa. Hal ini membenarkan standar ganda: Kekristenan nominal bagi orang-orang biasa dan Kekristenan “riil” yang mendorong orang-orang melarikan diri ke biara-biara.

Tema kedua berkaitan dengan soal antropologi Kristen dan Gereja. Penekanan Pelagius pada kebebasan hendaknya jangan disamakan dengan individualisme. Di belakang pembaruan Pelagius terletak pemahaman tentang Gereja. Pelagius tidak menginginkan seorang individu menjadi seorang asketis di luar Gereja. Dia menginginkan Gereja menjadi asketis. Biarpun hal ini sama sekali tidak riil dalam konteks Gereja massa, Gereja “masyarakat Kristen”, namun tidak demikian dalam Gereja minoritas, Gereja segelintir orang yang penuh pengabdian. Pelagius puas dengan kelompok kecil macam ini.  Pandangan Augustinus membayangkan Gereja sebagai agama mayoritas, Gereja negara dan Gereja massa. Kekristenan merangkul dan mencaplok seluruh kekaisaran dan mulai menciptakan masyarakat Kristen abad Pertengahan. Akan tetapi kesadaran akan Kekristenan runtuh.

Dan tema ketiga bersangkutan dengan penilaian Kristen tentang sejarah manusia yang berkembang di luar batas pewahyuan Kristen yang eksplisit. Optimisme Pelagius dapat dituangkan ke dalam pandangan positif tentang sejarah tersebut. Sekalipun Pelagius menganjurkan asketisme yang ketat atau keras, ia memandang kebebasan kodrat manusia untuk membuat yang baik sebagai tetap utuh. Jika diperluas, interpretasi macam ini mendorong seseorang menerima kemungkinan sejarah manusia yang dapat bergerak menuju Allah, tanpa bantuan Kekristenan eksplisit. Namun Augustinus kurang optimis dengan dunia ini beserta sejarahnya. “Baginya tugas-tugas duniawi tidak dapat memiliki makna definitif. Sebab tidak gampang dimengerti bagaimana pembangunan kota duniawi dapat membuat banyak perbedaan bagi hasil akhir sejarah”. Bagi Augustinus, rahmat sama sekali gratis, “sebab rahmat datang kepada manusia yang secara radikal berdosa, dan sama sekali tidak pantas bagi prakarsa yang diambil Allah untuk mengubah kehendak buruknya menjadi kehendak baik”. Bagi Augustinus, perbuatan-perbuatan baik orang kafir, kendati kelihatan mempunyai nilai, pada akhirnya semu. Sebab perbuatan-perbuatan baik itu tidak membawa orang-orang kafir lebih dekat kepada persekutuan dengan Allah.[41]

Pendapat lain yang menentang pandangan Pelagius dikemukanan oleh CJ.Haak. Menurutnya pandangan Pelagius yang mengatakan bahwa anugerah Allah berarti bahwa Allah hanya membuka kemungkinan keselamatan bagi manusia, lalu manusia bebas memilih apakah percaya atau tidak, tidak sesuai sama sekali dengan Alkitab (Roma 3:6-8; Ef. 2:1). Alkitab mengatakan bahwa anugerah itu bukan kemungkinan, melainkan keselamatan sendiri yang diberikan Tuhan. Apabila Tuhan datang dengan Injil-Nya dan seseorang mau bertobat, maka orang itu ditangkap dan tidak bisa melawan lagi (bnd. Paulus dalam Kis.9). Ajaran Pelagius rupanya manis dan menekankan bahwa Allah mengasihi hanya secara umum. Ajaran Pelagius ini mematikan orang lemah, memadamkan harapan orang yang letih lesu dan menolak orang yang ingin lari kepada Tuhan dengan menyesal karena dosanya. Ajaran Pelagius ini menutup pintu bagi ‘yang lemah’, yang berdosa, maka memihak ‘yang kuat’. Ajaran Pelagius ini meniadakan setiap harapan akan pengampunan, kemurahan, dan anugerah. Pelagius telah menjadikan Allah yang penuh kasih itu menjadi seorang raja yang membunuh dengan sewenang-wenang.[42]

Jelaslah bagi kita bahwa teologi Augustinus semata-mata berpusat pada rahmat Tuhan yang bebas, yang mau mencari dan menyelamatkan manusia, walaupun dalam manusia itu sebenarnya tidak terdapat apa-apa yang layak  untuk mendapat cinta-kasih Tuhan itu. Ajaran ini memang sangat bertentangan dengan pikiran, pendirian dan kelakuan kaum Kristen pada zaman itu. Karena masa itu yang diutamakan ialah amal yang membawa kepada mistik, askese, dan kerahiban. Sebab itu Gereja mengajak anggotanya untuk membuat banyak pekerjaan yang baik supaya nanti diganjari oleh Tuhan. Sampai pada waktu itu Gereja selalu melawan pandangan kafir, bahwa nasib manusia ditentukan oleh takdir atau “fatum”. Pada hemat Gereja, manusia berkehendak bebas dan bergantung jawab sendiri. Tidak mengherankan bahwa Augustinus mendapat perlawan keras dari pihak rahib.

Jelaslah bahwa kedua teologi yang berbeda itu mempunyai pengertian-pengertian yang sangat berbeda pula tentang hakikat manusia. Bagi Augustinus, hakikat manusia adalah lemah, sudah jatuh dan tidak berdaya; bagi Pelagius, hakikat manusia adalah otonom dan dapat mencukupi dirinya. Bagi Augustinus adalah mutlak perlu bergantung pada Allah untuk keselamatan; bagi Pelagius, Allah semata-mata hanya menunjukkan apa yang harus dilakukan kalau keselamatan itu akan diperoleh dan kemudian membiarkan manusia memenuhi syarat-syarat itu tanpa bantuan dari luar. Bagi Augustinus, keselamatan adalah suatu anugerah tanpa jasa dari manusia; bagi Pelagius, keselamatan adalah upah yang pantas diterima.[43]

Dalam perdebatan selanjutnya di dalam Gereja Barat, pandangan Augustinus dianggap benar-benar Kristiani dan pandangan-pandangan Pelagius dikecam sebagai bidat. Dua konsili yang penting menegaskan pandangan-pandangan Augustinus sebagai pandangan yang normatif (resmi), yaitu Konsili Karthago (418) dan Kosili Orange II (529). Menarik sekali, pandangan-pandangan Augustinus mengenai predestinasi tidak begitu disambut, sedangkan pokok-pokok lain di dalam sistemnya didukung dengan sangat entusias.

7. TANGGAPAN HISTORIS

Apa yang menjadi perdebatan Augustinus dan Pelagius ini masih diteruskan oleh pengikut-pengikutnya. Teori Augustinus dikembangankan oleh Thomas Aquinas,  Martin Luther dan Johannes Calvin. Aquinas mengembangkan teori rahmat Augustinus tersebut. Menurut Aquinas rahmat dipahami sebagai mengangkat, kebiasaan, yang diciptakan, adikodrati, gratis, membenarkan dan menyucikan. Rahmat itu kebiasaan yang tercipta di dalam jiwa karena partisipasi Allah. Rahmat merupakan partisipasi dalam kebaikan Allah dan partisipasi dalam kodrat Allah. Artinya melalui rahmat manusia berpartisipasi dalam kehidupan Allah sendiri. Dengan cara ini, rahmat yang mengangkat juga menyucikan.[44]

Baik Luther maupun Calvin, sangat menekankan keyakinan bahwa keselamatan diperoleh hanya karena kasih karunia melalui iman (sola gratia, dan sola fide). Karena itu mereka sama-sama melancarkan protes terhadap Gereja Katolik Roma (GKR) yang memahami keselamatan sebagai hasil kerjasama antara karunia Allah dan perbuatan baik manusia. Namun Calvin selanjutnya mengembangkan pemahaman dan ajaran tentang keselamatan ini dalam suatu wawasan yang biasa dikenal dengan istilah predestinasi.[45] Perhatian utama Luther pada rahmat berpusat pada keberadaan dosa manusia. Dalam kuliahnya tentang surat Paulus kepada jemaat di Roma (1515-1516) Luther mengidentikkan dosa dengan konkupisensi. Dia menulis, “Maka dari itu dosa aktual sebenarnya merupakan pekerjaan dan buah dosa. Dan dosa itu sendiri adalah nafsu dan konkupiensi, atau kecenderungan kepada yang jahat dan penolakan terhadap yang  baik…”

Membandingkan Luther dengan Augustinus yang berpengaruh kepadanya, kesamaannya ialah titik tolak ajaran keselamatan, yakni kedosaan manusia dan kerahiman Allah. Perbedaannya menyangkut jawaban atas masalah kedosaan. Luther berbicara tentang simul iustus et peccator (serentak orang benar dan pendosa), sedangkan menurut Augustinus manusia sungguh benar sesudah pembenarannya oleh Allah, bahkan terjadi reparatio naturae (pembetulan kodrat), yang berarti bahwa Augustinus meletakkan rahmat dalam manusia (teologi bersifat antropologi). Luther tidak menghendaki antropologi, tetapi teologi radikal: rahmat diletakkannya seluruhnya dalam Allah.[46]

Setelah Augustinus dan Pelagius meninggal, maka pertikaian teologis di Gereja Barat semakin hebat. Sebab di Gereja Timur perdebatan seperti ini tidak kita temukan di Gereja Timur. Pusat perhatian Gereja Timur bukan bagaimana supaya aku orang berdosa diselamatkan tetapi bagaimana supaya aku memiliki pengetahuan untuk hidup yang baka. Perdebatan di Gereja Barat adalah bagaimana supaya aku orang berdosa bisa selamat dan apa yang harus kuperbuat. Augustinus mengatakan kita tergantung sepenuhnya pada rahmat Allah karena kita sebelumnya sudah ditentukan untuk selamat (predestinasi).  Sementara Pelagius mengatakan bahwa kita ini bukan robot. Sejak kita diciptakan, kita sudah berakal budi dan diberi kebebasan untuk berpikir, dan memilih. Jika kita bertanya mana yang lebih alkitabiah dari antara mereka? Pada dasarnya mereka berdua sama-sama alkitabiah. Dalam perkembangan selanjutnya di Gereja Barat menempuh jalan mengkombinasikan ajaran Augustinus dan Pelagius ini. Itulah yang disebut dengan Semi Pelagianisme (Sinergisme). Semi Pelagianisme menganggap keadaan manusia yang telah jatuh itu bukan sebagai mati (Augustinus) dan bukan juga sebagai segar-bugar (Pelagius), melainkan sebagai sakit. Untuk disembuhkan ia memang memerlukan rahmat Allah, tetapi sekali sembuh, ia dapat menjalankan kehidupan Kristiani dengan kekuatannya sendiri, tanpa rahmat Allah. Ajaran inilah yang dianut oleh Katolik hingga sekarang, walaupun pada momen-momen tertentu menekankan rahmat. Sebaliknya bagi Protestan tidak sepenuhnya mengacu pada Augustinus. Sebab di gereja Protestan diberi kebebasan untuk memilih mana yang baik dan benar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pertikaian Augustinus dan Pelagius ini bukan hanya pertikaian Gereja Lama saja, tetapi perdebatan ini masih bahagian perdebatan teologi masa kini.

Baik Augustinus maupun Pelagius, dalam memahami Alkitab selalu didasarkan pada pengalaman dan hasil studi-studi mereka. Jika memang mereka mendasarkan pengajaran mereka pada pengalaman dan studi-studi mereka, maka timbul pertanyaan, apakah pengajaran gereja-gereja masa kini didasarkan pada pengalaman dan hasil studi-studi gereja? Bisa saja gereja memiliki pengalaman-pengalaman dan hasil studi-studi tertentu dalam menentukan pengajaran dan dogma gereja masing-masing. Artinya pengajaran gereja yang ada sekarang sangat dipengaruhi oleh banyak aliran pengajaran yang ada disekitar gereja itu sendiri. Karenanya sangatlah kurang pas jika sebuah gereja terlampau berani mengatakan diri sebagai gereja yang menganut aliran-aliran gereja (misalnya: Lutheran, Calvinis, Wesleyan, Anglikan, dan lain-lain) yang murni.[47]

8. DAFTAR PUSTAKA

Aland, Kurt, A History Of Christianity, Philadelphia: Fortress Press, Vol.I, 1985.

Aritonang, Jan S., Berbagai Aliran Di Dalam dan Sekitar Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995.

Augustinus, Pengakuan-Pengakuan, Jakarta & Yogyakarta: BPK Gunung Mulia & Kanisius, 1997

Becker, Dieter, Pedoman Dogmatika: Suatu Kompendium Singkat, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991.

Berkhof, H., & I.H.Enklaar, Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992.

Berkhof, L., The History of Christian Doctrines, Grand Rapids, Michigan: Wm.B.Eerdmans Publishing Company, 1953.

Curtis dkk, A.Kenneth., 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.

Johnson, Marshal D., The Evolution of Christianity: Twelve Crises That Shaped The Church, New York: Continuum, 2005.

Diepen, Mgr.P.van,  Augustinus Tahanan Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Dister, Nico Syukur, Teologi Sistematika: Ekonomi Keselamatan, Yogyakarta: Kanisius, 2004, jilid 2.

Erickson, J. (ed.), Reading in Christian Theology: Man’s Need and God’s Gift, Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1976 volume 2.

Groenen, C., Soteriologi Alkitabiah: Keselamatan yang Diberitakan Alkitab, Yogyakarta: Kanisius, 1989.

Haak, CJ., Pemilihan: Ajaran Alkitab menurut Pengakuan-pengakuan Iman Reformasi, Tanpa Penerbit, 1988.

Hadiwijono, Harun, Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990

Henry, Carl F.H. (ed.), Basic Christian Doctrines, Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1983.

Haight, Roger., Teologi Rahmat Dari Masa Ke Masa, (Flores: Nusa Indah, 1999.

Lane, Tony, Runtut Pijar, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.

Lohse, Bernhard, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.

McGrath, Alister E., Sejarah Pemikiran Reformasi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.

Price, Richard,  Agustinus, Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Simatupang, TB., dkk, Keselamatan Masa Kini, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1973.

Urban, Linwood, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.

Wellem, F.D., Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.


[1] Lihat Dieter Becker, Pedoman Dogmatika: Suatu Kompendium Singkat, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), hlm.101; bnd. Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), hlm.235.

[2] Harun Hadiwijono, Iman Kristen …, hlm.235.

[3] H.Wheeler Robinson, “Old Testament Terminology for Sin”, dalam Millard J.Erickson (ed.), Reading in Christian Theology: Man’s Need and God’s Gift, (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1976),  volume 2, hlm.103-105.

[4] Harun Hadiwijono, Iman Kristen …, hlm.235.

[5] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika: Ekonomi Keselamatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), jilid 2, hlm.129.

[6] TB.Simatupang, dkk, Keselamatan Masa Kini, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1973), hlm.11.

[7] TB.Simatupang, dkk, Keselamatan Masa Kini …, hlm.12; bnd. C.Groenen, Soteriologi Alkitabiah: Keselamatan Yang Diberitakan Alkitab, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm.45-55.

[8] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika …, hlm. 141.

[9] Ibid., hlm.134.

[10] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 30-33; Mgr.P.van Diepen, Augustinus Tahanan Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 21-41; A.Kenneth Curtis dkk, 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 26-27; H.Berkhof & I.H.Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), hlm. 62-71; Richard Price, Agustinus, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm, 15-30; Tony Lane, Runtut Pijar, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm, 39-45; Cornelius Van Til, „Original Sin, Imputation, and Inability“, dalam Marshall D.Johnson, The Evolution of Christianity: Twelve Crises That Shaped The Church, (New York: Continuum, 2005), hlm.59-67.

[11] Sekte Manikheisme namanya diambil dari seorang guru “kebatinan”, Mani dari Persia.

[12] Bnd. Empat nota eklesia bagi gereja yang tidak kelihatan yaitu: Esa, Kudus, Am, dan Rasuli (Unam, Santam, Catolicam, Apostolikam).

[13] F.D. Wellem, Riwayat Hidup …, hlm. 211-212; Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), hlm.135-140.

[14] L.Berkhof, The History of Christian Doctrines, (Grand Rapids, Michigan: Wm.B.Eerdmans Publishing Company, 1953), hlm.131.

[15] Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2003), hlm.176-177.

[16] Ibid.

[17] Ibid.

[18] L.Berkhof, The History of …, hlm.133.

[19] Ibid.

[20] Ibid., hlm.138.

[21] Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hlm.93.

[22] L.Berkhof, The History of …, hlm.139.

[23] Richard Price, Agustinus, hlm, 69; Lih. Augustinus, Pengakuan-Pengakuan, (Jakarta & Yogyakarta: BPK Gunung Mulia & Kanisius, 1997), hlm.243-244.

[24] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika…, hlm.155-156; bnd. L.Berkhof, The History of …, hlm.135.

[25] Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran …, hlm.94.

[26] Gustave F.Wiggers, “The Pelagian View of Original Sin”, dalam Millard J.Erickson (ed.), Reading in Christian …, hlm.153.

[27] Harun Hadiwijono, Iman Kristen …, hlm.289;  bnd. Carl F.H.Henry (Ed.), Basic Christian Doctrines, (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1983), hlm, 113.

[28] Louis Berkhof, Teologi Sistematika  …, hlm.118-119.

[29] CJ.Haak, Pemilihan: Ajaran Alkitab menurut Pengakuan-pengakuan Iman Reformasi, (Tanpa Penerbit, 1988), hlm. 38.

[30] Roger Haight, Teologi Rahmat Dari Masa Ke Masa, (Flores: Nusa Indah, 1999), hlm, 38.

[31] H.Berkhof  & I.H.Enklaar, Sejarah …, hlm. 68.

[32] Louis Berkhof, Teologi Sistematika …, hlm.125-127.

[33] L.Berkhof, The History of …, hlm.136.

[34] Louis Berkhof, Teologi …, hlm.119-120

[35] Ibid., hlm.121

[36] Lih. Kurt Aland, A History Of Christianity, Philadelphia: Fortress Press, Vol.I, 1985, hlm.204-212

[37] Roger Haight, Teologi Rahmat …, hlm, 41-42.

[38] Ibid., hlm, 42.

[39] Roger Haight, Teologi Rahmat …, hlm, 42-43.

[40] Roger Haight, Teologi Rahmat …, hlm, 44.

[41] Roger Haight, Teologi Rahmat …, hlm, 44-46.

[42] CJ.Haak, Pemilihan: Ajaran …, hlm. 40-41.

[43] Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran …, hlm. 94.

[44] Roger Haight, Teologi Rahmat …, hlm, 67-72.

[45] Jan S.Aritonang, Berbagai Aliran Di Dalam dan Sekitar Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hlm. 65.

[46] Nico Syukur Dister, Teologi …, hlm.180.

[47] Misalnya Gereja-Gereja Batak di Sumatera tidak bisa mengklaim diri sebagai gereja Lutheran murni karena di dalam ajaran gereja-gereja Batak tersebut tidak seutuhnya mengadopsi ajaran Matin Luther.

PENDAHULUAN Buku yang berjudul A World History of Christianity ini merupakan kumpulan beberapa tulisan dari para penulis yang disunting oleh Adrian Hastings. Sebenarnya buku ini berasal dari bahan kursus tahun 1994 secara koresponden di antara Judith Longman dengan Peter Hinchliff. Menurut mereka Kekristenan itu dilihat hubungannya dengan perbedaan budaya dunia dan daerah yang terjadi di Asia, Afrika, Amerika, Australia dan Pasifik. Namun dalam bahasan ini Kekristenan itu akan dibahas di beberapa negara dan daerah yaitu: India, Afrika, Amerika Latin, serta Cina dan tetangganya.

1. INDIA Oleh: R.E.Frykenberg

“Kedatangan” atau “timbulnya” Kekristenan di India bukanlah tiba-tiba dan juga bukan sederhana. Penyebaran orang Kristen dan jemaat di India masih terus berlangsung dan berproses. Proses ini diyakini dimulai dua ribu tahun yang lalu atau kira-kira tahun 52M hingga saat ini. Injil berkembang pelan, orang-orang yang percaya juga satu persatu dan kadang-kadang secara massal. Secara sederhana, identifikasi gelombang orang Kristen tiba di India adalah: masa dulu, pertengahan dan modern yang dihubungkan dengan rasul Thomas (termasuk Babilonia/Chaldean/Orthodoks Siria), Katolik (Roma) dan Evangelis (Protestan). Secara umum orang Kristen dikenal sebagai: “Orang Kristen Thomas“, (orang Kristen yang tertua dan hampir diutamakan); kemudian “Kristen Katolik” dan “Kristen Protestan” yang masing-masing memiliki atribut yang berbeda dalam istilah normatif yang diterapkan pada orang Kristen. Misalnya orang Kristen di Malabar dan Mylapur mengatakan berasal dari pertobatan Rasul Thomas dan berbaur dalam pertumbuhan yang kompleks. Setiap yang datang kemudian membangkitkan ‘reformasi’ internal, ‘kebangkitan’, atau ‘kebangkitan kembali’.

GELOMBANG PERTAMA TIBA: KRISTEN THOMAS

Zaman Purbakala orang Kristen di India tidak mudah untuk diidentifikasi dan dipahami. Kekristenan di India memiliki tendensi memamerkan sejarah pemahaman mereka dalam perbandingan dengan penduduk lain India. Mereka memelihara itihasa-puranas dan vamshavalis mereka. Anggota keluarga harus menceritakan dan menceritakan ulang sejarah mereka sendiri. Tradisi mereka mengindikasikan bahwa Rasul Thomas datang dari laut Arab dan mendarat di pantai Malabar. Sumber ini mengindikasikan bahwa Rasul, setelah tinggal di Malabar, berlayar mengelilingi Cape Kanya-Kumari hingga Pantai Coromandel dan berhenti di Mylapur (dulu kota Madras dan sekarang Chennai); dan setelah itu diteruskan ke Cina dan kembali lagi kira-kira tahun 52M ke Malabar dan tinggal di Tiruvanchikkulam (dekat Cranganore) dan mendirikan jemaat di Malankara, Chayal, Kokamangalam, Niraman, Paravur (Kottakkayal), Palayur, dan Quilon. Akhirnya, mereka mengindikasikan bahwa mereka mendapatkan pelatihan kepemimpinan (acharyas dan gurus) dari keluarga kasta tertinggi setiap jemaat. Frykenberg memberikan data Kekristenan di India sebagai berikut: 6.850 (Brahma), 2.800 (Ksatria), 3.750 (Waisia), dan 4.250 (Sudra). Namun tidak disebutkan dari golongan yang “lain” (misalnya: Adivasis atau Dalit) yang mungkin sudah menjadi orang Kristen. Menurut Frykenberg, tradisi lisan masih membekas di hati para keluarga di Kerala bahwa pertobatan mereka waktu itu dihubungkan dengan Rasul Thomas. Bahkan Vamshavalis (sejarah silsilah) otoritas kependetaan turun-temurun sebagai kattanars (pendeta) atau sebagai metrans lokal (uskup atau penatua) – atas dasar suksesi apostolik kembali ke Thomas. Seluruh tradisi ini lebih lanjut mengindikasikan sejarah bahwa Thomas kembali ke Mylapur, barangkali tahun 69M. Mereka menceritakan bagaimana raja setempat memenjarakan Thomas, ketika uang yang dipercayakan padanya untuk mendirikan sebuah istana dibagi-bagi kepada orang miskin; dan akhirnya bagaimana saudara raja bersaksi dan tujuh ratus narapidana menerima Injil dan dibaptis. Literatur tertua yang melaporkan pekerjaan misionaris Rasul di India ditemukan dalam Kisah Thomas (Act of Thomas). Dokumen ini tidak diketahui aslinya, bahasa atau asal mulanya. Penelitian paling awal tentang dokumen ini adalah dalam bahasa Syria. Cerita itu sendiri diulangi dalam bentuk yang beraneka ragam dengan respon pada Amanat Agung. Dalam cerita ini dikatakan bahwa Abban orang Gundaphorus sedang mencari ahli bangunan untuk membangun istana baginya. Thomas adalah seorang ahli bangunan. Lebih lanjut diceritakan bahwa seorang gadis peniup seruling Yahudi menjadi petobat rasul yang pertama. Kemudian Putri Raja menyaksikan imannya kepada Kristus ketika hari pernikahan putri raja dan menolak untuk mengikuti ritual pernikahan. Raja marah hingga memasukkan Thomas dan Abban ke penjara. Suatu malam, abang raja (Gad) meninggal dan masuk sorga, memasuki istana megah yang Thomas bangun bagi saudaranya, dia memohon kesempatan untuk mengatakan pesan saudaranya dan tiba-tiba ia menjadi percaya bersama yang lainnya. Semuanya menerima tiga tanda anugerah dari Rasul: mengurapi dengan minyak (‘segel’), baptisan (‘tambahan segel’), dan perjamuan (‘roti dan anggur’ Perjamuan Kudus) (Kis.Thomas 2:22-27). Setelah hal ini, Rasul kembali memulai perjalanan dan membangun jemaat di tempat lain di India sebelum meninggal dalam kerajaan Raja Mazdai di pantai sebelah timur. Isyarat kehadiran Kekristenan mula-mula di India ditemukan dalam tulisan yang tanggalnya hanya seabad atau dua abad kemudian dari tahun 73M hari kematian Thomas yang dipelihara dalam tradisi setempat. Dari Aleksandria, seorang sarjana Yahudi dan petobat Kristen yang bernama Pantaenus diutus ‘untuk memberitakan Kristus pada orang Brahma dan para filsuf’. Menurut Eusebius, dia pergi ke India dan ‘menemukan bahwa Injil Matius telah ada sebelum dia dan sudah ada di tangan orang di sana yang telah menerima Kristus’. Apakah hal ini benar, bahwa India adalah tempat di mana Pantaenus pergi, tidak dapat ditentukan. Bukti hubungan antara orang Kristen di Parthian Persia dan di Edessa (sekarang dikenal sebagai Urfa yang modern di Turki) adalah kuat. Mengacu pada pluralisme keagamaan, pemerintah Parthia mengijinkan orang Kristen mengatur komunitas keagamaan dan menjadi kelompok minoritas yang penting di dalam Kekaisaran Persia. Mereka umumnya keluarga menengah yang agak kaya, dikenal dari obat-obatan mereka, pengetahuan dan posisi yang terpercaya di dalam pemerintahan. Edessa adalah ibu kota dari sebuah negara kecil yang diperintah seorang pangeran yang dikenal sebagai Osrhoene yang berada di antara kekaisaran Roma dan Parthia. Setelah pengumuman resmi Edik Toleransi Yezderd (kira-kira tahun 401), Gereja Persia menikmati masa restorasi. Hal ini bisa tercapai pada masa pemerintahan Catholicos Isaac, ‘Metropolitan Agung dan Kepada Seluruh Uskup’. Tetapi terjadilah perpecahan yang mendasar antara orang Kristen Barat dan Timur. Para teolog di Edessa hingga Kekaisaran Sassania, melewati batas Byzantium, menolak Konsili Efesus dan berpandangan Maria sebagai ‘Theotokos’ atau ‘Ibu Allah’. Setelah tahun 431, hubungan dengan Barat menjadi melemah dan patriarkha Babilonia atau ‘Gereja Timur’ mempengaruhi orang Kristen di Persia dan India. Menurut Frykenberg mengapa Kekristenan menghilang dari Persia (dan juga dari sebagian Arab) tidak bisa terjawab dengan tuntas. Namun menurutnya paling sedikit ada dua faktor yang menyebabkan Kekristenan itu menghilang dari Persia. Pertama, bentuk bahasa Kekristenan baik Syria maupun Persia hanya dipakai di antara pemimpin gereja dan orang percaya yang sudah dibaptis. Bahasa Gereja, yaitu bahasa Syria (sebuah bentuk Aram), menjadi bahasa eksklusif yang terus dipelihara dan dipelajari. Di Persia dan di daerah lain ke timur, bahasa Syriac bukanlah bahasa umum masyarakat. Dengan demikian banyak orang akhirnya tidak mengerti dan buta huruf. Kedua, Kekristenan di Timur menjadi meningkat, bukan karena dipengaruhi karakter biarawan dan selibat dalam ajaran-ajaran normatif sosial. Konsekuensinya sangat sedikit diketahui tentang kehidupan sehari-hari orang percaya Kristen di Persia atau di daerah timur lainnya. Orang bijak Persia, Aphrates, menulis pada permulaan abad keempat bahwa orang Kristen di sana di bagi dalam dua kelompok : ‘Keturunan Perjanjian’ (Bar Qiyama) dan ‘Orang-orang Petobat’ yang menekankan hanya orang yang memiliki asketik dan hidup selibat yang dapat dibaptiskan. Namun sangat ironis menurut Frykenberg bahwa setelah Islam masuk ke Persia, baik Kristen dan Zoroaster menjadi terpinggirkan. Hanya orang Kristen Armenia yang bertahan di daerah utara dan barat. Dari perspektif orang India, proses yang orang Kristen lakukan, baik sebagai pengungsi atau pendatang yang menetap dan pedagang yang telah tiba di pantai-pantai sebelah barat India dari beragam waktu dan abad baik sebelum maupun setelah kebangkitan Islam, dapat didokumentasikan. Misalnya dapat dilihat dari pengabulan tanah dan hak istimewa yang diterima oleh orang Kristen. Sebuah tradisi mengindikasikan bahwa pada permulaan tahun 293 penganiayaan besar terjadi di dalam Kerajaan Chola di mana 76 keluarga lolos ke Malabar dan diam di antara orang Kristen Quilon. Tahun 345 tidak lama setelah penganiayaan besar orang Kristen di Kekaisaran Persia dimulai, komunitas orang Kristen Siria mendarat di pantai Malabar di bawah pimpinan pedagang bankir Armenia yang bernama Thomas dari Kana. Proses pemisahan di antara Timur dan Barat yang meningkat setelah kebangkitan dan ekspansi Islam membawa banyak pengungsi Kristen menyeberang ke Pantai Arab, yang terbebas dari penganiayaan. Pada abad kedelapan belas di Kottayam diindikasikan bahwa dana bantuan diberikan oleh seorang raja yang bernama Veera Raghavan Chakravarthi kepada pemimpin Kristen yang bernama Eravi Korthan. Yang lain menyatakan empat tempat (dikenal sebagai Tarisa Palli tempat [Kristen Persia], dua di Thiruvalla dan tiga di Kottayam) menunjukkan bahwa hak istimewa itu diberikan oleh Aryan Aigal dari Venad kepada Marwan Savriso dari Tyre pada permulaan abad selanjutnya (kira-kira 825) dan kemudian bahwa raja Ayyan dari Vencat memberikan hak istimewa kepada Tarisa (Orang Kristen Persia), Anjunannam (Yahudi), dan Manigrammam (anggota serikat pekerja buruh yang menjadi Kristen). Dengan demikian, menurut Frykenberg jelaslah bahwa perbedaan komunitas orang Kristen yang berkembang dengan perlahan di Malabar menjadi banyak karena daerah tersebut termasuk elit bangsawan. Dalam abad berikutnya menurut Frykenberg, ekpresi Kekristenan mula-mula ini ditemukan di mana saja di subkontinen (provinsi), baik bentuk idiologi maupun institusional. Paling sedikit ada enam komunitas (masyarakat) yang masih mengklaim tradisi apostolik St.Thomas sebagai dasar sejarah baik dalam sejarah asli maupun bagi ajaran mereka dan juga otoritas kegerejaan. Keenam komunitas yang ditemukan saat ini adalah Gereja Orthodoks Syria (dalam dua cabang), Gereja Independen Syria Malabar (Kunnamkulam), Gereja Mar Thoma, Gereja Katolik Malankara (Ritus Syrian), Gereja (Chaldea) Timur dan Gereja Evangelis St.Thomas.

RESPONS PADA MASA PADROADO DAN PROPAGANDA FIDE

Sejarah umat Kristen di Timur dan di India, sejak masa penaklukan Mongol hingga abad-abad selanjutnya adalah sungguh cerita respons asli dari ekspansi Eropa (Farangi/Parangi) terhadap dunia Indo-Islam – militer, perdagangan dan misionaris. Sementara itu masih banyak orang Kristen ‘Nestorian’ di antara orang Turki nomaden di Asia Tengah berdasarkan laporan Marco Polo. Di bawah kekuasaan Indo-Islamik, orang Kristen Armenia pindah bersama jalur perdagangan dan tinggal di pusat-pusat pasar. Hanya setelah kejatuhan Konstantinopel tahun 1453 dan kedatangan orang Portugis di Calicut tahun 1498, informasi tentang orang Kristen dan institusi Kristen di Timur meningkat. Estado da India Oriental Portugis belum pernah terjadi. Tahun demi tahun armada-armada membawa ribuan tentara Farangi. Kekaisaran maritim Portugal mempertahankan stasiun-stasiun – direntangkan di sepanjang pantai Lautan India dari Mozambique dan Mombasa ke Muscat, Mumbai (Bombay), Kolombo, Maluku dan Macau. Para tentara yang tinggal di sana menikah dengan gadis-gadis setempat. Bentuk masyarakat keturunan Indo-Portugis masih ada saat ini. Setelah penggabungan Portugis oleh Paduka Spanyol sebagai kekuatan militer di Timur menyusut, akibatnya ‘kekaisaran bayangan’ tinggal di dalam spiritualitas dan juridiksi kegerejaan atau padroado (pendukung/majikan raja). Kekuatan institusi Padroado aslinya diberikan paus selama abad kelima belas. Banyaklah orang Kristen Eropa (Farangi) di India memanifestasikan derajat luar biasa dengan adaptasi transkultural – secara individu, ideologi dan institusional. Dari misionaris biarawan dan imam-imam pergi ke seluruh kota memenangkan jiwa dan menyebarkan Injil. Proses penginjilan dan ekspansi ini sering terjadi. Pemimpin Kristen India dari Cochin dipanggil Vasco da Gama tahun 1502, pada perjalanan kedua ke India, meminta perlindungan dari Islam dan predator ‘kafir’ agar orang Kristen tidak musnah. Dengan demikian hubungan orang Kristen Eropa dan Kristen India menjadi baik dan bahagia. Ternyata harmoni Eropa dan India ini tidak bertahan lama. Baik orang Eropa dan orang Kristen Thomas saling membutuhkan, karena keduanya golongan minoritas di dalam wilayah yang luas dan lingkungan yang tak bersahabat, begitu banyak komplikasi, persaingan dan motif-motif yang bercampur di dalamnya. Salah satu ialah Islam diusir dari pantai-pantai Lautan India, sehingga orang Eropa menjadi makin tegas dan memaksa tinggal di sana. Tanda pertama dalam masalah ini adalah kesalahpahaman dalam bidang bisnis dan praktik ritual. Orang Eropa digoncang oleh orang Kristen India, sebab banyak dari antara mereka menghubungkan ide-ide ’Orang Nestorian Sesat’ yang dipelihara Gereja di Timur dengan belajar kekudusan dan ibadah dalam bahasa Syria. Orang Kristen Thomas menolak Bunda Maria sebagai ’Ibu Allah’ tetapi hanya sebagai ’ibu Kristus’. Orang Kristen India juga menolak untuk menyembah patung-patung. Setidaknya hingga kematian Mar Jacob (Metran 1504-1549/52), persetujuan penampilan perilaku sopan dan protokol ibadah diamati. Setelah itu, kesalahpahaman kegerejaan, perdebatan dan skisma mulai terbuka. Menurut Frykenberg, begitu komplek persoalan mereka sehingga sulit untuk diklarifikasi dan dimasuki. Orang Kristen Thomas yang merupakan bagian Gereja Timur menderita dari perjuangan dan skisma mereka sendiri. Mar Joseph mengangkat dirinya sendiri sebagai Metran yang tertinggi. Dipengaruhi kekesalan orang Kristen India, dia tidak mengakui ritus Latin, menegaskan kembali kesetiaannya kepada Gereja Chalsedon dan membaharui dirinya kembali ke jalan lama, melepaskan mandat konfesi, menghukum gambaran ibadah yang berisikan bahwa Maria dikenal sebagai Ibu Kristus dan bukan sebagai Ibu Allah. Akibatnya, dia dikejar dan ditangkap, dikirim ke Cochin, Goa dan Lisbon untuk diindoktrinasi dan kemudian mengijinkannya kembali ke India pada tahun 1565. Gereja India juga menghadapi skisma, Mar Joseph kembali ke Portugis. Sementara Portugis telah menangkap Mar Abraham dan mengirimnya ke Eropa, gagal untuk mencegah pelariannya ke Antiokia. Di sana ia ditolong oleh Patriarkh, Mar Ebed Jesu (Abdiso), Mar Abraham sendiri dikirim ke Roma. Kedua Patriarkh dan Paus yang bergabung bersama dalam mengirim Mar Abraham ke India, memberi Mar Abraham otoritas untuk membagi kesatuan orang Kristen Thomas (Serra) di antara dua metran, Mar Abraham dan Mar Joseph. Tetapi pengaturan baru ini tidak pernah dilakukan. Mar Joseph sudah ditangkap lagi untuk ketiga kalinya, mengirimkannya ke Roma (di mana dia mati tahun 1569). Mar Abraham, telah mencapai Goa tahun 1568 dengan surat dari Paus dan Patriarkh di tangan. Dengan demikian Mar Abraham semakin berkuasa di India dengan Padroado yang diputuskan tahun 1575 bahwa Serra tidak akan pernah lagi dipegang oleh orang yang diangkat Patriarkh Chalsedon dan bahwa tidak ada Metran Ankamali (Uskup seluruh orang Kristen Thomas). Mar Abraham pada waktu itu mengirimkan konfesi iman khusus kepada Paus Gregorius XII dan mengirimkan peringatan kepada Patriakh Mar Abdiso. Akhir krisis orang Kristen Thomas India dimulai tahun 1590 dan diakhiri dengan perlawanan, penaklukan dan penyerahan bagian orang Kristen pada Sinode Diamper, 20-26 Juni 1599. Persoalan memuncak ketika Mar Abraham menolak untuk menahbiskan 50 murid praktek di Seminari Yesus di Vaipikkottai. Sekolah seminari ini didirikan tahun 1587 yang dipimpin oleh Francis Roz menggabungkan pelajaran Malayalam dan bahasa Syria dengan Latin dan Portugis, membandingkan teologi dan liturgi Chaldea dengan teologi Roma. Mar Abraham menolak panggilan untuk menghadiri Konsili di Goa. Paus Klement VIII kemudian mengukuhkan Alexis de Menezes menjadi Uskup kepala Goa, untuk menanyakan persoalan dan menjaga orang Metran. Lebih lanjut, paparan Frykenberg ini menyatakan bahwa orang Kristen Thomas tidak menginginkan orang Farangi untuk memerintah mereka. Tahun 1653, mereka membuat usaha baru untuk membawa uskup dari Babilonia, Diabekr atau Aleksandria. Ketika hal ini digagalkan, sehingga membangkitkan rasa marah kattanars dan mereka berkumpul dalam sidang hikmat di Koonen Cross Mattanceri tanggal 30 Januari 1653. Kemudian di Vaipikkottai dan Manat setelah itu berkumpul untuk mendeklarasikan bahwa mereka tidak akan menerima setiap uskup Frangi atau metran dari luar Gereja Timur. Akhirnya di tengah dukungan yang banyak, Parambil Tumi (Deakon kepala Thomas) mengambil jabatan Mar Thoma I dan menjadi orang India pertama pribumi menjadi uskup kepala. Propaganda Fide di Roma memutuskan untuk mengirimkan empat misionaris Carmelit untuk memperbaiki situasi tersebut. Tetapi ketika mereka tiba dan melihat bahwa mereka tidak dapat melakukan apa-apa tanpa memiliki otoritas resmi dari paus, akhirnya mereka kembali ke Roma melaporkan hasil pengalaman mereka. Setelah itu, baik Padroado maupun misionaris Roma tak pernah lagi memakai kekuasaan mereka atas orang Kristen India. Uskup Joseph diberikan waktu 10 hari meninggalkan India, dan menguduskan uskup orang India, Parampil Chandi Kattanar (Aleksander de Campos) sebagai Metran tertinggi bagi orang Kristen Thomas. Selanjutnya Frykenberg memberikan bahasan lain tentang pengaruh orang Kristen Farangi di India selama ’masa jaya’ (high moon) Indo-Islam di sub-benua yang diduga sukses. Frykenberg juga membahas kekristenan di daerah Parava di sepanjang Teluk Mannar dari Vembar (dekat Rameswaram) ke Kanya Kumari (Cape Comorin). Mereka adalah pemancing, penyelam mutiara dan pedagang burung laut. Mereka hanya orang Kristen nama saja (Kristen KTP). Bentuk ibadah mereka masih seperti agama Hindu. Mereka kemudian mengetahui iman baru ketika Fransiskus Xaverius mendarat di ”Pantai Pemancing”. Ketika Francis Xavier meninggalkan Maluku bulan Agustus 1545, para misionaris dan imam meneruskan apa yang telah dilakukannya. Salah seorang di antaranya adalah Antony Criminali terbunuh ketika dia mencoba berkhotbah kepada peziarah dekat Rameswaram. Secara perlahan budaya orang Kristen berkembang namun masih memelihara jat atau budaya ’kelahiran’ bagi Paravas. Berbeda dengan Francis Xavier, Roberto de Nobili melakukan bentuk kesucian dan Sanskrit klasik dan bahasa, literatur dan adat serta pengetahuan Tamil. Roberto de Nobili menjadi ’Brahmana Roma’. Selama lima puluh tahun, paling tidak hingga kematiannya di Mylapur tahun 1656, dia membangun tradisi yang luar biasa.

EVANGELIKAL (PROTESTANISME) DAN GERAKAN PENCERAHAN

Setelah Portugis tiba tahun 1498 dan mendirikan Estado da India, pemerintah Katolik di bawah Padroado Goa menikmati otonomi yang luas dari Roma dan juga Lisbon. Dari biara para misionaris pergi ke daerah pedesaan, memenangkan jiwa dan memperluas daerah pelayanan, merangkul seluruh masyarakat di sepanjang pantai selatan dan mempelajari tradisi mereka. Misionaris Evangelis Jerman (Denmark – Ziegenbalg) tiba di Tranquebar tahun 1706. Sambil mempelajari situasi, mereka juga melakukan perubahan secara radikal. Kemudian setelah kedatangan William Carey ke Bengal tahun 1793, interaksi transkultural dan perpindahan orang ke agama Kristen meningkat. Hal ini menjadi tantangan bagi budaya Hindu dan Islam bahkan bagi Kongres Nasional India yang dipimpin Gandhi dan Nehru dan seluruh Liga Islam India yang dipimpin Jinnah. Menurut Frykenberg yang menandai kehadiran pemikiran Pencerahan dan Pietisme Protestan di India adalah dengan diutusnya dua pemuda Jerman sebagai penginjil pertama (bukan Katolik atau Protestan). Keluar dari penderitaan Perang 30 Tahun muncullah Gerakan Pietis dan Kebangunan Evangelikal Inggris dan Amerika. Para Pietis Moravian yang berhasil melarikan diri dari penganiayaan tersebut misalnya; Count Zinzendorf berlindung di pengungsian Herrnhut; Profesor August Hermann Franke yang menjadi pengajar di Universitas Halle, Ratu Anne Inggris dan Raja Frederick IV Denmark. Mereka inilah yang dikenal sebagai tenaga sukarela ekumenis yang membentuk lembaga misi internasional seperti Lembaga Promosi Pengetahuan Kristen (Society for Promoting Christian Knowledge – SPCK) tahun 1698, Lembaga Penyebaran Injil ke Luar Negeri (Society for the Propagation of the Gospel in Foreign Parts – SPG) tahun 1702, dan Misi Raja Denmark (Royal Danish Mission) yang didukung oleh SPCK. Berdirinya lembaga-lembaga ini menandai lahirnya gerakan misi modern yang bertumbuh dan berkembang di seluruh dunia. Lembaga misi ini jugalah yang membawa pendidikan dan ilmu pengetahuan serta teknologi yang dikembangkan di Halle sehingga membawa perubahan pada masyarakat. Diktum Francke mengajarkan bahwa kepercayaan yang benar adalah kepercayaan yang alkitabiah artinya kepercayaan alkitabiah tanpa kemampuan membaca dan menulis adalah sesuatu yang tidak mungkin. Sehingga kemampuan baca-tulis dan pendidikan secara menyeluruh menjadi sesuatu yang mendasar sekali dalam Amanat Agung. Bukan hanya setiap manusia, anak-anak atau dewasa, laki-laki atau perempuan, harus dapat membaca Alkitab dalam bahasanya sendiri, tetapi Francke juga percaya, setiap pribadi seharusnya memiliki beberapa keahlian. Frykenberg mengatakan bahwa kaum Kristen Protestanlah yang pertama sekali tiba di India pada bulan Juli 1706, dengan mendaratnya Bartholomaeus Ziegenbalg dan Heinrich Plutschau di Tranquebar (atau Tarangambadi). Pelayanan Denmark ini dekat dengan wilayah Kaveri Delta yang telah disewa dari Raghunat Nayaka di Thanjavur tahun 1620. Para misionaris yang telah dilatih di kampus mulai bekerja dengan mengajar anak-anak orang Eropa di rumah mereka. Sementara melakukan pekerjaan ini, mereka juga secara sistematis meningkatkan kemampuan mereka untuk tugas-tugas lain misalnya: belajar bahasa setempat, mendirikan sekolah-sekolah (sebanyak-banyaknya jika memungkinkan), termasuk seminari (sekolah pendeta) untuk pelatihan guru-guru Tamil, menerjemahkan buku-buku sekolah (termasuk buku Alkitab dan ilmu pengetahuan) ke dalam bahasa Tamil, mendirikan percetakan. Mulailah berdiri jemaat kecil Tamil. Murid-murid Tamil dididik sebagai pengajar katekisasi, pendeta dan guru bagi mereka yang telah menjadi Kristen dan menunjukkan kemampuan dan kersediaan untuk membantu pelayanan. Untuk menyempurnakan semua hal ini, Bartholomaeus Ziegenbalg telah melakukan tugasnya hingga perlawanan gubernur Tranquebar pada Perusahaan Denmark di India Timur. Ketika perjalanan pulang Plutschau ke Eropa tahun 1711 yang gagal, Ziegenbalg sendiri memutuskan untuk pergi dan meminta bantuan. Perjalanannya berhasil dan dirinya dinamai dengan Provost Misi Tranquebar. Ziegenbalg kembali ke Tranquebar dengan Maria Salzmann istrinya dan dia menyelesaikan pembangunan Gereja Yerusalem yang luas dan cantik tahun 1707. Namun secara tiba-tiba, datanglah surat yang menghancurkan para misionaris dari pemimpin baru yang berpikiran sempit, Christopher Wendt. Akibatnya, Ziegenbalg meninggal pada permulaan tahun 1719 pada usia 36 tahun. Empat bulan kemudian, tibalah misionaris yang baru, Grundler, sahabat dekat Ziegenbalg yang memiliki keahlian, namun hanya beberapa bulan saja, ia pun menyerah. Frykenberg lebih lanjut mengatakan bahwa pekerjaan Ziegenbalg sungguh luar biasa. Ziegenbalg menjadi guru bahasa Tamil, baik bahasa klasik maupun bahasa setempat, menggunakan perbandingan di antara manuskrip-manuskrip daun palma dalam koleksinya yang banyak dan tiga ratus buku-buku untuk memastikan macam-macam tumbuhan dan kata-kata idiom-idiom. Ziegenbalg juga mengajar orang Tamil untuk bisa mendapat tahbisan. Dialah sarjana pertama yang menyempurnakan terjemahan PB ke dalam bahasa Tamil yang dicetak di Tranquebar tahun 1715. Karyanya yang terkenal adalah Silsilah Ilah-ilah Malabarian (Genealogy of the Malabarian Gods) yang diselesaikan tahun 1713. Frykenberg juga menjelaskan masa di antara tahun 1728 dan 1731, di mana ada model sekolah baru yang menarik perhatian Rajanayakam, yaitu servaikaran atau kapten penjaga tempat di Thanjavur. Dia dan saudaranya, dengan para tentaranya menjadi alat untuk membawa satu dari pendidikan sekolah ini agar mendirikan rumah doa di dalam kerajaan dan mendapatkan dukungan. Aaron segera menjadi pelayan Gereja Evangelikal Tamil pertama ditahbiskan yang memulai melayani di jemaat-jemaat desa di dalam kerajaan; Rajanayakam juga menjadi seorang guru. Dengan demikian, persekutuan Evangelikal di India terdiri dari enam orang Eropa (terutama: Lutheran Jerman), dosen katekisasi pendeta-guru Tamil (Savarimuthu) dan lima belas ribu orang percaya. Frykenberg juga mencatat para pengganti Ziegenbalg yang datang ke India seperti: Benjamin Schultze (1719; Madras/Chennai: 1727-1743) dan Philip Fabrcius (Madras/Chennai: 1740-1790). Schultze bekerja di Telugus, membuat kamus dan menciptakan tata bahasa, mengumpulkan naskah-naskah dan menerjemahkan Injil-Injil. Fabrcius bekerja untuk menyempurnakan apa yang telah dimulai Ziegenbalg, menyempurnakan tata bahasa Tamil (dalam bahasa Inggris), membuat kamus Inggris-Tamil, menerjemahkan bagian-bagian PL, dan merevisi seluruh isi PB. Bahkan Frykenberg berpendapat bahwa penginjil yang termashur dari seluruh misionaris Eropa yang datang ke India pada abad kedelapan belas adalah Christian Frederick Schwartz (1750-1798). Nama Christian berdiri sejajar dengan Xavierus, Nobili, Beshi dan Ziegenbalg. Selama lima puluh tahun, orang Kristen India pindah ke India Selatan – dari Tranquebar ke Tiruchirapalli, ke Thanjavur, ke Tirunelveli dan bahkan ke Kanya Kumari dan Travancore. Christian fasih dalam bahasa Tamil, Telugu, Marathi, Persia, Sanskrit, Portugis dan bahasa Eropa, baik dalam bahasa modern dan klasik, termashur sebagai pengkhotbah, pendidik, berdiplomasi, bernegosiasi dan seorang negarawan. Frykenberg akhirnya menguraikan kisah perjalan dua orang murid Kristen India yang meneruskan penginjilan tersebut seperti: Satyanathan Pillai dan Vedanayakam Sastri. Satyanathan Pillai merupakan murid Schwartz yang sangat aktif dan enerjik. Tugas pertamanya adalah sebagai pendeta pada kamp pasukan militer di Vallam, tujuh kilomenter dari Thanjavur. Pelayanan Satyanathan Pillai di tempat ini sangat menggembirakan karena jemaat di sana kembali hidup dan bahkan seorang janda kaya dari suku Brahmin di Palayamkottai yang bernama Clorinda dibaptiskan. Kemudian ditempatkanlah pendeta di sana yang bernama Rayappan yang membimbing jemaat dan membina sekolah (baik sekolah berbahasa Inggris dan Tamil). Setelah itu, Schwartz menempatkan Satyanathan Pillai sebagai pendeta dan guru. Setelah ditahbiskan di Thanjavur Pada tahun 1790, Satyanathan Pillai menjadi misionaris Tamil SPCK secara formal dan diutus kembali ke Tirunelveli. Dari seluruh pembantu Schwartz yang terkenal adalah Vedanayakam Sastri yang lahir di Palayamkottai, anak dari Devasahayam Pillai. Pada tahun kedua belas, Schwartz meminta agar Devasahayam mengijinkan Vedanayakam Sastri dilatih di Thanjavur. Segera setelah itu Vedanayakam menjadi guru, penulis dan kepala sekolah salah satu di antara tiga sekolah modern yang didirikan Schwartz. Sekolah ini didukung oleh Raja Thanjavur, Shivaganga dan Ramnad sehingga sekolah tersebut dikenal sebagai contoh pendidikan yang terbaik. Vedanayakam juga memiliki banyak kontribusi pada literatur-literatur Tamil khususnya pada pemikiran Kristen Tamil. Jejak Vedanayakam diikuti juga oleh H.A.Krishna Pillai.

TANTANGAN-TANTANGAN PADA MASA RAJ

Kekristen India pada abad kesembilan belas dan kedua puluh menjadi lebih penting dari pertumbuhan kegiatan misionaris Eropa dan oleh kehadiran sistem kekuasaan militer, administrasi dan teknologi. Belum lagi di bawah pengaruh Raj, masukan yang dibuat oleh orang Kristen India sendiri untuk mengembangkan institusi mereka berlanjut menjadi gawat seperti yang sudah pernah terjadi. Sebagaimana sebelumnya, setiap gelombang perluasan Kekristenan selalu membawa perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan tersebut sering sangat radikal, khususnya seperti Injil diterjemahkan dalam cara baru dan dilanjutkan kepada orang baru, baik dari masyarakat terendah, di hutan, atau bagi kaum perempuan dan anak-anak. Gagasan kemanusiaan yang radikal dan pengharapan masyarakat bahwa seluruh manusia – laki-laki, perempuan, dan anak-anak – harus dipandang sama terhadap yang lain, paling tidak di hadapan Allah, dan mereka seharusnya diberikan hak yang sama dalam pemeliharaan dan kebutuhan pokok – seperti obat-obatan, pendidikan dan kesempatan. Ketidak-ramahan terhadap orang Kristen di India, dan kepada misionaris asing, telah menjadi tindakan yang menonjol, setidaknya kebijakan pada masa pemerintahan Pemerintah India. Posisi ini, berdasarkan pandangan yang jelas dan dugaan yang rasional dari kekuatan Perusahaan Raj India Timur. Segala struktur sistem kekuasaan tergantung atas dukungan dari kaum elit Hindu secara khusus kasta Brahma yang mendukung untuk mendirikan dan membentuk kelompok Hindu modern. Ketidak-ramahan terhadap orang Kristen dan misionaris asing dapat dilihat meskipun warga setempat, kadang-kadang memberikan pengecualian-pengecualian khsusus. Dan bahkan orang Kristen dan misionaris asing (baik Katolik dan Protestan) dimanfaatkan sebagai pendeta tentara, guru sekolah atau agen rahasia diplomatik (misalnya: dengan mengirimkan Schwartz ke Tipu Sultan). Namun Frykenberg juga mencatat bahwa ada juga orang Kristen yang mendapat perlakuan yang baik. Kecuali mati martir (seperti: John de Britto SJ, di Ramnad), orang Kristen India dan misionaris asing ada juga yang mendapatkan perjalanan yang baik, menerima kebaikan dan keberhasilan (seperti : dalam pemerintahan Vellama Nayakas di Madurai, Marava Tevars dan Setupatis Ramnad dan Sivaganga, Kallar Tondaimans di Pudukottai, Maratha Rajas di Thanjavur, Nayar Raja Vermas di Travancore dan lain sebagainya). Frykenberg berpendapat bahwa pengaruh William Carey sebagai “Bapa Gerakan Misi Modern” sangat besar bagi perkembangan agama Kristen di India. Sebab William Carey dan pengikut-pengikutnya Baptis di Inggris yang pertama memprakarsai tumbuhnya tenaga sukarela di kalangan orang percaya kelas bawah yang iman Kekristenannya dibangunkan selama Kebangunan Evangelikal (atau Kebangunan Besar di Amerika). Banyak orang yang akhirnya mendukung dan mengirimkan para misionaris ke seluruh penjuru dunia. Tulisannya yang berjudul, An Enquiry into the Obligations of Christians to Use Means for the Conversion of Heathens (1792), diambil dari bagian bacaan tentang tindakan-tindakan Pietis Jerman di India. Sejak penjajah melarang bebas memasuki tapal batas Inggris, kelompok Carey berusaha mencari cara agar mereka bisa memasuki India dengan berbagai cara, misalnya bersedia dikontrak untuk mengajar bahasa orang timur di Fort William College. Tantangan lain yang dipaparkan Frykenberg, datang dari orang Kristen India. Hubungan di antara orang Kristen India penuh dengan konflik dan ketegangan. Hal ini terjadi di antara Katolik dan Protestan dan orang Kristen Thomas dan bahkan juga di antara orang misionaris yang bekerja di India. Hal yang memicu perseteruan di antara orang Kristen ini adalah akibat „mencuri domba“ di antara kelompok orang Kristen itu sendiri. Namun persoalan yang paling besar menurut Frykenberg, bukanlah persoalan „mencuri domba“, melainkan tentang pembagian dan penempatan di antara seluruh kelompok orang Kristen di India, apakah mereka orang India atau orang Barat, Katolik atau Protestan, Anglikan atau Dissenter, Mar Thoma atau Syria, konservatif atau liberal, dilanjutkan dengan masalah kasta, budaya dan akulturasi. Sehingga, sungguh sangat menyulitkan untuk menemukan sejarah Kekristenan di India sepanjang persoalan ini belum diselesaikan. Menurut Frykenberg, hal ini sangat sulit hilang dan masih akan terus perselisihan dan ketegangan ini berlangsung. Namun di sisi lain, Frykenberg menganggap bahwa kehadiran misionaris adalah menjadi agen pembaharuan dan penghancur status quo. Perubahan ini bukan hanya bagi orang Kristen sendiri tetapi juga orang non-Kristen juga merasakan perubahan itu. Dalam kaitannya dengan Raj, Raj menganggap kehadiran para misionaris di India (baik Katolik maupun Protestan) seolah-olah mereka ingin menjadikan India bagian dari Kristendom. Padahal sebenarnya, dalam kenyataannya para misionaris ini sangat mendukung perjuangan anti penjajahan. Hal ini terbukti dengan bergaul karibnya para misionaris dengan Gandhi (mulai dari Allen dan Varrier hingga Charles F.Andrews, Edward Thompson dan Amy Carmichael). Lebih jauh Frykenberg mengatakan bahwa ketika semakin banyak orang menerima Kekristenan dari masyarakat Telugu pada akhir abad kesembilan belas, sekali lagi kesadaran kasta terjaga dari percampuran Malas dan Madigas. Para misionaris sebagai agen perubahan, memahami prosedur dan nilai-nilai penting bagi kemajuan Raj atau membantu untuk menjaga orang Kristen ketika gangguan hukum dan hubungan dengan Hindu atau Islam terjadi. Mereka tidak pernah dipecahkan oleh permasalahan budaya kasta. Sebagaimana abad kesembilan belas berakhir, beberapa misionaris liberal secara teologis dibingungkan oleh perubahan dengan peradaban sebagai tujuan yang berguna dan kemudian meninggikan dan menyanjung peradaban Brahmana. Di antara misionaris terpelajar kelas atas, seperti William Miller dari Perguruan Tinggi Kristen Madras yang mengajarkan teori ‘penyaringan ke bawah’ digantikan oleh ‘pemenuhan ke atas’ sebuah alasan untuk menjelaskan mengapa orang Eropa tidak efektif membawa perubahan di antara kasta tertinggi India. Kinerja orang Kristen tidak begitu banyak merubah masyarakat India dengan nilai-nilai Kekristenan. Perubahan yang lebih nyata kelihatan adalah pada masa J.N.Farquhar. Sejak itu seluruh agama-agama dan Hindu berusaha mengembangkan dialog dan pemahaman yang sama dengan para misionaris. Pemikiran seperti ini dikenal dengan ‚teori pemenuhan’ di Barat misalnya pada Parlemen Agama-agama Dunia di Chicago tahun 1892 dan Konferensi Misionaris Dunia di Edinburgh tahun 1910. Dengan demikian, mulailah terjadi kemajuan bagi kalangan orang Kristen India. Di Bangladesh dan India Utara, di mana di sana orang Kristen sangat sedikit dan di mana orang Kristen Brahma, Anglikan Krishna Mohan Banerjea, berargumentasi tahun 1875, bahwa orang Hindu dapat menjadi Kristen tanpa melepaskan budaya atau tradisi sosial mereka; Kali Charan Banerjea, dalam Calcutta Christo Samajnya (dimulai tahun 1887), memerlukan baik liturgi maupun imam; dan Upadhyaya, seorang Katolik Brahma, memakai jubah kuning. Di Maharashtra, Narayan Vaman Tilak, seorang puitis Kristen Brahma, mendirikan sebuah ashram Kristen tahun 1917 dan seorang Anglikan Christa Seva Sangh (Pelayanan Masyarakat Kristen) dibangun. Di Madras (Chennai), Gereja Nasional didirikan tahun 1886 yang hanya bertahan hidup hingga tahun 1920-an. Tetapi ketika mereka katakan bahwa Kekristenan di India seharusnya menjadi di dalam budaya India, beberapa pemikir kemudian berkata lain, kadang-kadang kurang lebih ortodok dari apa yang dipikirkan Vedanayakam Sastri atau Roberto de Nobili, walaupun mereka menggunakan kata yang sama. Namun masih ada juga misionaris yang datang dengan gaya konservatif dan pragmatis dari tingkatan terendah Amerika, Inggris dan masyarakat Eropa yang bekerja dengan budaya yang berbeda. Akhirnya, orang yang tidak terikat adat yang radikal ini, menerima kritikan yakni Methodis di Inggris tak begitu lama menjadi atau menjangkau kelas pekerja tetapi menjadi kelas menengah. Bagi mereka dan bagi orang-orang lain, liberalisme teologi adalah masalah yang serius daripada kasta dan budaya. Banyak misionaris, dari negara mana pun, mengkritisi mereka yang gagal membawa Injil dan yang hanya melayani kelas kasta tertinggi Hindu bagi keuntungan karir sementara, pada waktu yang sama, mengabaikan keadaan buruk dari orang-orang Kristen kalangan kasta rendahan dan gagal menolong mereka untuk mengatasi ketidakmampuan budaya, ekonomi, dan sosial. Berbeda dengan Bala Keselamatan yang tiba tahun 1880-an yang melepaskan pakaian, makanan, peralatan, dan bahkan musik Eropa, dan memakai nama-nama Kristen India dan mengadopsi banyak elemen budaya India untuk identitas mereka. Maka Pdt.Ramabai, janda Brahma, telah menjadi Kristen saat dia di Inggris. Teologi liberalisme juga menghadapi tantangan dengan pemikir misionaris Kristen konservatif, seperti Hendrik Kraemer, seorang teolog Belanda yang bekerja di Indonesia. Menurut Hendrik, iman Kristen bukanlah buatan manusia tetapi pemberian Allah. Seluruh agama, bahkan elemen yang ditemukan dalam Kekristenan, hanya berasal dari manusia.

MANDIRI SEJAK 1947

Sejak Pemisahan tahun 1947 dan permasalahan India, Pakistan dan Bangladesh, misionaris dari luar negeri hampir menghilang. Gerakan keagamaan dan sosial radikal, diikuti oleh transformasi budaya silang dibangkitkan di dalam lingkungan Hindu-Islam atau orang India, melanjutkan dengan segera bersama dengan sebuah kompetisi fundamentalis dan kebangkitan entusiasme (Buddha, Kristen, Hindu, Islam dan Sikh). Kemerdekaan India tahun 1947 membawa banyak tuntutan bagi orang Kristen di India dan Gereja-gereja. Sehingga Gereja-gereja Anglikan, Kongregasionalis dan Methodis di India pun menyatu dalam bentuk Gereja India Selatan yang diprakarsai oleh Bishop V Azariah yang meninggal tahun 1945. Namun Gereja India Utara dan Gereja Protestan Pakistan pada tahun 1970 tidak begitu menyatu dan kuat. Baptis dan Lutheran, bersama gereja Anabaptis dan Gereja Bebas, dilarang membentuk organisasi mereka sendiri-sendiri. Hal yang sama juga terjadi bagi enam hingga sepuluh gereja Syria dan persekutuan orang Kristen Thomas di Kerala. GKR terus berjuang dengan menyimpang dari Padroado, dan perjuangan ini pecah setelah masa pendudukan India di Goa tahun 1961. Portugis tidak mungkin lagi melanjutkan otoritas kegerejaan di dalam kemerdekaan India. Ketika Bishop terakhir di Cochin pensiun tahun 1952, kebencian di antara orang Kristen kasta tinggi dan kasta rendah membuat gereja itu pecah menjadi dua keuskupan. Sehingga sejak itu, Gereja Katolik India mejadi tiga bagian. Pertama, adalah bagaimana mengimplementasikan dekrit Konsili Vatikan II (1962-1965), yang mendorong adaptasi dan pluralisme, khususnya dalam hubungannya dengan liturgi. Kedua, hubungan di antara Katolik Latin pada satu sisi dan Katolik di dalam Gereja Syro-Malabar dan Syro-Malankara pada sisi lain. Ketiga, adalah perkembangan orang Kristen seperti Jules Monchanin, Abhishiktananda dan Bede Griffith. Gereja Katolik India unik di belahan selatan khususnya jumlah imamnya, baik dalam keuskupan dan keagamaan. Berbeda sekali dengan Gereja di Filipina dan Amerika Latin dan Afrika. Jika secara umum jumlah Yesuit menurun di dunia, maka di India mereka bertumbuh dengan luar biasa. Bahkan India mampu mengutus para misionaris ke Korea Utara. Kekesalan dan kecurigaan tetap ada. Nasionalis Hindu masih beranggapan bahwa orang Kristen India adalah milik kekuasaan orang luar. Bahkan pemerintahan Madhya Pradesh melaporkan orang Kristen India adalah anti-nasionalisme – yang berada pada pengaruh Amerika. Sehingga sejak permulaan Kekristenan di India, Hindu menyerang gerakan ‚perpindahan agama’ (proselytizing activities). Ketidak-ramahan kepada orang Kristen begitu kuat. Bangunan-bangunan Gereja dihancurkan di berbagai tempat dengan dalih bahwa bangunan tersebut adalah bangunan penjajah. Orang Kristen India di beberapa wilayah diserang dan dibunuh, dianiaya dan disiksa. Respons orang Kristen terhadap situasi tersebut adalah bermaca-macam. Gerakan Katolik Shoreline, lebih menonjol dan siap mempertahankan ‚daerah kekuasaan’ mereka sendiri. Yang lain, seperti Mennonit, diam-diam, dan kadang-kadang mereka bermuka dua. Di sisi lain, beberapa orang Kristen menikmati situasi hak istimewa sosial. Banyak orang Kristen Thomas di Kerala, sebuah negara bagian yang tetinggi pengetahuannya di seluruh India, menikmati posisi mereka di pemerintahan, dunia bisnis dan dunia profesionalisme. Di Nagaland (dekat perbatasan Cina, matanya sipit), di mana di atas 95% penduduknya Kristen, mereka menduduki seluruh posisi tertinggi di daerahnya. Berlawanan dengan hal tersebut di atas, orang Kristen yang berasal dari kelas orang termiskin, masih banyak tinggal di daerah pedesaan dan ‘daerah yang tak tersentuh’. Secara hukum mereka disebut dengan „Scheduled Caste“, „Backward Castes“ dan „Other Backward Castes“. Namun secara politik mereka bukan disebut seperti golongan tadi namun mereka disebut sebagai “orang Kristen” dan bukan “Hindu”. Dengan demikian ada dua atau bahkan tiga gerakan kekuatan orang Kristen. Pertama, Gerakan Dalit, dengan Gerakan Kristen Dalit. Dalit, artinya „hancur“ atau „lumat“ atau „ditindas“. Hal yang sama adalah gerakan di antara Adivasis, orang asli atau penduduk suku di sebelah timur laut, yang banyak di antara mereka adalah orang Kristen. Kedua, Gerakan Pentakosta yang aktif dan terkenal di wilayah perkotaan. Dan ketiga, gerakan perpindahan agama di antara bermacam-macam persekutuan.

2. AFRIKA Oleh: Kevin Ward

Menurut Kevin Ward, tradisi keagamaan yang cukup terkenal di Afrika adalah Islam, Kekristenan dan Agama Tradisional orang Afrika. Berbeda dengan ciri asli tradisi keagamaan dan inkulturasi alamiah Islam, orang Kristen Afrika sering ditampilkan sebagai sesuatu yang asing, agama orang Barat, atau para misionaris Eropa. Dan bahkan Kekristenan sangat kuat mengklaim sebagai tradisi tertua dari ketiga tradisi tersebut. Di samping itu, Lamin Sanneh, seorang sejarawan dan teolog Afrika Barat, melihat Kekristenan di dalam Afrika modern adalah sebagai gerakan penegasan dan pemeliharaan kebudayaan setempat. Hal ini menjadi kejutan yang diberikan secara luas dalam pandangan misionaris Kristen sebagai yang memandang rendah dan perusak kebudayaan orang Afrika. Bahkan, penerjemahan Alkitab ke dalam ‚bahasa Afika’ di dalam kenyataan menambah kebudayaan Afrika di dalam ciri khas dan perbedaannya, apa pun motivasi dan perhatian para misionaris. Para misionaris terlalu menekankan budaya Barat tanpa memperhitungkan pendapat orang Afrika sebagai penerima. Penekanan bahasa ibu dalam penginjilan dan ibadah khususnya di daerah perkotaan, seperti bahasa – Swahili atau Lingala, Amharinya atau Hausa, bukanlah bahasa orang Afrika.

MESIR, AFRIKA UTARA, NUBIA DAN ISLAM

Untuk memahami Kekristenan di Afrika ini, menurut Kevin harus dimulai dari pemahaman sejarah Kekristenan Afrika sejak periode pertama 600 tahun masa Kekristenan. Kekristenan tersebar di sepanjang pantai Mediterania Afrika Utara. Telah ditemukan bahasa Yunani dan Latin sebagai bahasa perdagangan dan militer, administrasi dan pelajaran, dan berita Kekristenan itu sendiri di daerah Afrika adalah: dalam bahasa Yunani asli, antara lain Athanasius dan Crylius di Mesir; Latin: Tertullianus, Cyprianus dan Augustinus di Afrika Utara; dan juga tradisi Arius (Yunani) dan Donatus (Latin). Dari permulaan sejarahnya, Kekristenan di Afrika mulai diartikulasikan dalam bahasa ibu. Di Mesir, gerakan biara adalah penting dalam memampukan kesalehan dan teologi Kristen yang diekspresikan dalam istilah budaya Koptik. St.Antonius sendiri tidak tahu ada bahasa Yunani; salah satu dari karya Athanasius yang berjudul Kehidupan Antonius yang menekankan perhatian pada gereja Yunani dan Koptik dalam menopang orang Kristen Orthodoks. Lebih lanjut Kevin paparkan bahwa pada abad berikutnya mulailah terjadi masalah yang membahayakan. Dengan penaklukan Aleksandria oleh tentara Islam tahun 641M, Islam menyebar ke seluruh Afrika Utara, lebih cepat daripada penyebaran Kekristenan yang 500 tahun lebih duluan. Islam mengambil warisan Kerajaan Roma, menggantikan bahasa Yunani dan Latin dengan bahasa Arab dan menggantikan kekuasaan Kekristenan dengan kekuasaan Islam. Dengan demikian Kekristenan di Afrika Utara lumpuh karena kehadiran Islam. Namun menurut Kevin hal ini menarik tetapi mungkin juga salah, untuk mencari penjelasan tentang dugaan wilayah Kekristenan Afrika tidak asli. Hubungan Islam dengan Arab begitu intim daripada hubungan orang Kristen dengan Yunani dan Latin. Hal ini bukanlah menandakan bahwa Kekristenan gagal berbaur dengan budaya setempat, dan Islam berhasil, melainkan karena dunia keagamaan dilihat sebagai keadaan yang tak bisa dihindari dengan peradaban umum. Ketika di Afrika Utara peradaban Kekaisaran Romawi digantikan oleh Arab, hal ini ditandai sebuah perubahan sesuatu yang baru tetapi seimbang dengan monoteistik keagamaan universal. Kekristenan di Afrika Utara bertahan hidup dalam perkembangan Islam namun hanya dengan jumlah yang sedikit. Kekristenan bertahan hidup di Mesir tetapi tidak sehebat di Barat. Di Mesir penaklukan Arab sangat cepat dan diterima dengan damai oleh masyarakat. Hal ini berhubungan dengan ketaatan keagamaan dan penganiayaan Koptik atas kepatuhan kepada teologi „satu tabiat“ (Monofisit) yang dijatuhi hukuman pada Konsili Kalsedon tahun 451. Demikian juga Koptik Orthodoks, bangga dengan teologi mia physis (satu hakikat) Cyrulius, yang menganggap kedatangan pemerintahan Islam sebagai sesuatu yang melegakan dari penindasan Melkitis dari Byzantium. Kevin mengatakan bahwa satu aspek yang membuat Gereja bertahan hidup di Mesir, karena gerakan biara pada permulaan abad keempat, Kekristenan menghentikan urban dan Hellenis yang sangat besar dan bersatu dengan budaya asli orang Mesir di lembah Nil. Alkitab dan liturgi telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Koptik. Mereka menjadi alat bagi bertahannya Kekristenan di dalam pertumbuhan kebudayaan Arab dan Islam. Pemerintahan Islam Mesir melanjutkan mempercayai persekutuan orang Kristen bagi profesi, kesusasteraan, dan keahlian komersil mereka sebagai pegawai administrasi, pedagang, dan pembuat perabot rumah. Pada abad kesepuluh, Koptik menjadi minoritas di dalam penduduk, dan mereka diharuskan untuk hidup di dalam kelompok penduduk yang khusus (kampung orang yang tidak disukai=ghetto), dan memakai seragam yang berbeda. Orang Kristen laki-laki tidak diizinkan untuk menikah di luar kelompok mereka. Laki-laki Muslim dapat menikahi perempuan Kristen – dan anak-anaknya wajib menjadi Muslim. Penginjilan Kristen dilarang, dan bagi orang Kristen yang beralih agama menjadi Islam diberikan keringanan membayar pajak. Akibatnya, orang Kristen Koptik menjadi orang yang minoritas sepanjang abad. Kevin juga melaporkan keadaan Kekristenan di Nubia (bagian selatan Sudan). Kekristenan menyebar di Nubia dengan sebuah cara informal melalui perdagangan dan mungkin juga melalui gerakan biara Koptik di sepanjang tepi sungai Nil. Pada abad keenam, Nubia menjadi target misi penginjilan dari istana Byzantium. Hal ini terbukti dari hasil ekskavasi UNESCO pada tahun 1950-an dan 1960-an di sepanjang tepi sungai Nil ditemukan imam-imam kulit hitam (misalnya orang Nubia) dan keagamaan seperti Koptik. Ketika kerajaan Nubia kuat, mereka bahkan mampu melindungi orang Koptik minoritas. Namun kemudian pada abad-abad berikutnya, meningkatlah penekanan pada Kekristenan. Invasi Arab dan berbalik agama ke Islam dan orang Mesir membela perlawanan Muslim untuk merebut kekuasaan. Raja Kristen Nobatia terakhir dikalahkan tahun 1323. Banyak Gereja dihancurkan pada masa ini.

ETIOPIA

Kekristenan datang ke Etiopia lebih dulu. Dan kesulitan menghadapi Islam hampir sama dengan di Nubia. Tetapi di Etiopia, Kekristenan bertahan hidup. Etiopia juga bergantung pada dukungan makanan dan minuman dari Koptik dan harus ditekankan bahwa Gereja Orthodoks Etiopia bukanlah hasil misi Gereja Mesir. Ini bukanlah Koptik dan mereka memiliki gaya dan tradisi hidup sehari-hari. Orang Kristen asli pada kerajaan Aksum adalah akibat kunjungan dua orang pedagang Kristen dari Siria, Frumentius dan Aedesius ke istana raja Negus. Mereka menjadi figur yang sangat penting sejak kerajaan kecil Raja Ezana menggunakan kedudukan mereka untuk menyebarkan Kekristenan ke istana. Tahun 346, Frumentius pergi ke Mesir untuk mendiskusikan kebutuhan orang Kristen yang baru bertobat dengan Bishop Athanasius. Dia mengangkat dirinya menjadi Bishop (Abuna) pertama Gereja Etiopia dan akhirnya dikenal sebagai Abba Salama. Salah satu keunikan Kekristenan Etiopia adalah pewarisan identitas Yahudi dalam Kekristenan. Etiopia adalah bagian dari dunia Semitik (Amharinya adalah sebuah bahasa Semitik). Mungkin di Etiopia sudah ada orang Yahudi jauh sebelum Kekristenan masuk. Sebab setiap kelompok penduduk Amharik, Falasa, menyatakan diri mereka sebagai orang Yahudi: mereka mematuhi hukum Taurat dan menghargai hari Sabat. Gereja Etiopia juga melihat diri mereka sendiri sebagai ahli waris Yehuda. Raja terbesar Zagwe, Lalibela, kembali dari ziarah ke Yerusalem memutuskan untuk membentuk kembali „Sion“ di Etiopia. Di Kebra Negast (Kemuliaan Raja-raja), pewarisan kerajaan raja-raja dari Raja Salomo ditekankan, dengan legenda Sheba kepada anak Salomo, Menelik I. Berdasarkan mitos ini, Menelik kembali ke istana ayahnya untuk membawa kembali tabut Perjanjian ke Etiopia. Kebra Negast diterjemahkan ke dalam Ge’ez dari bahasa Arab pada masa pemerintahan Amda Siyon (1314-1344), yang ‘memerintah gilang-gemilang’ diingat pada saat Kekristenan menyebar sebagaimana yang terjadi sebelumnya, melalui penaklukan militer yang diikuti proses Kristenisasi dan akulturasi. Raja yang kuat seperti Raja Amda dan Zara Ya’iqob (1434-1468), berhasil menempa perasaan persaudaraan nasional. Namun pada masa Abuna (yang dipanggil dari Mesir) dan kepala biara (Echage), mengalami kemunduran dari tradisi kuno Gereja. Ketegangan pun terjadi. Misalnya permasalahan tentang hari Sabat. Kelompok biarawan sebelah utara, Kepala Biara Ewostatewos, secara konservatif membela tradisi Yahudi dan menekankan hari Sabat. Ada juga ‘dasar mitos’ yang sangat penting di Etiopia yang digunakan untuk menjelaskan perbandingan hubungan yang baik antara kerajaan Kristen dan Islam. Hal ini dihubungkan dengan perlindungan Nabi Muhammad ketika lolos dari penganiayaan di Mekah. Hubungan baik ini dibangun sepanjang abad. Namun hubungan baik ini dirusak oleh serangan mendadak Gran pada abad keenam belas. Di antara tahun 1529 dan 1543, Gran merusak dan menghancurkan seluruh wilayah Kekristenan, menghancurkan gereja-gereja dan biara-biara. Etiopia mencari bantuan dari Portugal dan orang Kristen Eropa. Seorang Yesuit Spanyol, Father Paez, tiba di Etiopia tahun 1603. Dia berusaha meminta bantuan dari Roma untuk menjaga orang Kristen Koptik dari perlawanan Islam. Kemudian dikirim lagi seorang Yesuit Portugis, Alphonsus Mendez, sebagai seorang Abuna pertama yang bukan Mesir sejak Frumentius. Mendez mencoba untuk membaharui Gereja Etiopia ke bentuk teologi dan pelayanan Roma Katolik. Hal ini membuat orang Etiopia merasa tidak nyaman. Mendez membaptis ulang orang awam, menahbiskan ulang para imam (pendeta), menyucikan ulang Gereja-gereja. Akhirnya terjadilah perang sipil yang menurunkan Susenyos dari tahtanya. Hal ini mengakibatkan permasalahan di gereja Etiopia terutama mengenai ajaran Kristologi khususnya ajaran Duofisit. Daya tarik Kekristenan Etiopia terletak pada pertumbuhan yang saling berhubungan dan bentuk iman yang khas, dibangun di dalam tradisi mereka (khususnya bagi orang Afrika pertama sekali). Budaya Kristen menyatupadukan kehidupan orang Afrika dan ide-ide kerajaan, dipadukan dengan budaya setempat dalam rasa kekeluargaan. Mereka juga memadukan musik debtara di dalam Kekristenan. Sehingga Kekristenan di Afrika menyatupadukan pandangan-pandangan roh tradisional tanpa menjadikannya menjadi sebuah konflik pada abad kesembilan belas hingga abad kedua puluh misi Kekristenan. Di sisi lain masalah pernikahan menjadi permasalah yang cukup serius bagi Gereja Etiopia, khususnya tentang poligami. Gereja di Mesir, Nubia dan Etiopia, sering dengan sedih menahan tekanan-tekanan dari perkembangan Islam.

KERAJAAN KONGO DAN MISIONARIS PERUSAHAAN PORTUGIS

Kekristenan di Kongo bermula dari pekerjaan Raja Portugis yang membaptiskan raja Kerajaan Manikongo (pemimpin), Nzinga Nkuwa tahun 1482. Kekristenan menjadi budaya di istana. Kemudian setelah Afonso memimpin Kongo (1506-1543), dia sangat aktif dan dengan tekun membangun kerajaan Kekristenan di Kongo melalui pembangunan budaya Kristen yang kuat di istana. Perjanjian Regimento tahun 1512 diangan-angankan menjadi sebuah aliansi dengan Portugis, meliputi perdagangan dan program akulturasi Portugis, yang dipromosikan oleh imam-imam dan misionaris. Don Henrique, Anak Afonso, dikirim ke Portugis untuk belajar, dan kembali ke Kongo untuk ditahbiskan menjadi ‘Bishop Utica dan Praktek Apostolik Kongo’. Perkembangan Kekristenan selanjutnya di Kongo adalah pada tahun 1645, biarawan Kapusin Italia dikirim dengan Propaganda. Mereka sangat antusias disambut oleh Manikongo, Gracia II. Di bawah inspirasi Kapusin, Kekristenan semakin mengembang ke luar. Para biarawati mengatur untuk menghancurkan nkisi (penyembah berhala) dan dan merusak pekerjaan penyembuh tradisional (nganga). Walaupun para biarawan menyebut diri mereka nganga dalam arti sebagai orang yang dipilih memutuskan sesuatu perselisihan untuk menggantikan para ahli-ahli agama tradisional. Kekristenan di istana sangat dekat dengan budaya Portugis, diakulturasikan dengan irama dan keadaan kehidupan orang Kongo. Baptisan menjadi terkenal dan bahkan setiap orang bangga dengan memakai nama Portugis seperti ‘Dom’ atau ‘Donna’. Kendatipun demikian, Kekristenan di Kongo, seperti Hasting tuliskan, bahwa mentalitas orang Kongo tidak begitu jauh berubah dari pra-Pencerahan Katolik di sebelah selatan Eropa. Dampak yang kuat Kekristenan pada lingkungan Afrika di Kongo dapat dilihat secara dramatis dalam munculnya gerakan Antonian Donna Beatice (dalam bahasa Afrika namanya adalah Kimpa Vita) pada permulaan abad kedelapan belas. St.Antony Padua, lahir di Lisbon, seorang yang kudus dari pedagang Portugis terkenal yang pengabdiannya tersebar di Brazil dan Kongo. Di bawah bimbingan Antoni, Beatrice meminta Manikongo mendorong menempati ulang pusat Sao Salvador, kota kudus Kristus.

KEBANGKITAN MISI ABAD KESEMBILAN BELAS

AFRIKA BARAT

Tiga setengah abad, hubungan di antara Eropa dan Afrika adalah merupakan perdagangan budak. Sistim Atlantik Utara menerima orang hanya sebatas kebutuhan industri. Yang sangat antusias dalam penyebaran Kekristenan di Afrika Barat adalah para pedagang Inggris dan Perancis pada abad kesembilan belas. Sementara itu, hingga tahun 1860-an, perdagangan budak itu sendiri masih terus berlanjut pada kelas atas. Lembaga Persaudaraan (The Society of Friends) adalah kelompok Kristen yang pertama yang menunjukkan ketidakcocokan dengan perdagangan budak dengan sebuah padangan kemanusiaan Kristen. Pada akhir abad kedelapan belas gereja Injili di Inggris melawan perdagangan budak dan membangun perdagangan bebas dan liberalisme ekonomi yang dipelopori oleh Adam Smith. Menurut Kevin, dampak pertama yang cukup jelas dalam ketertarikan Inggris di Afrika setidaknya mengandung makna: penciptaan sebuah ‘bebas penjajahan’ di Sierra Leone. Cara ini adalah cara ‘menyelesaikan’ masalah hitam London dengan membuang urban kulit hitam ke perkampungan yang padat dan kotor. Kebimbangan ini diberikan demi kelangsungan hidup dengan penghapusan perdagangan budak pada tahun 1807, dan mendirikan sebuah Skuadron Inggris di pantai Afrika Barat untuk memaksa pengabulan kekuatan Eropa. Freetown (kota bebas) menjadi tempat di mana budak Afrika, yang tidak pernah menyeberang Atlantik, yang dipulangkan ke Afrika. Mereka disebut “orang yang tertangkap”. Secara umum mereka berasal dari Yoruba, dengan nama kecil ‘Aku’ di Sierra Leone. Lembaga Gereja Misi Anglikan (The Anglican Church Missionary Society – CMS) dan Lembaga Misi Methodis Wesley juga membangun masyarakat Kristen di Freetown. Di gereja dan lembaga sosial selalu didasarkan pada pengajaran Wilberforce dan Waterloo. Ada sebuah inspirasi yang dibagikan para misionaris dan Creoles, dengan mengadakan pendidikan yang bertujuan membangun kemampuan berhasa Inggris orang Afrika, contohnya Creole, pengacara Sir Samuel Lewis (1843-1903). Karirnya sebagai contoh orang Afrika yang sukses yang merespon budaya Barat Eropa. Dan masih banyak lagi orang ‘Aku’ yang berhasil dan kembali ke kampung mereka menjadi pelaku-pelaku bisnis, dan juga sebagai tenaga misionaris. Abeokuta, sebuah kota Yoruba telah dibangun kembali setelah penghancuran pada abad kesembilan belas. Kevin juga mencatat salah seorang tokoh terkenal dalam perkembangan kesadaran Creole dan kritik terhadap Kristen Creole adalah Edward Wilmot Blyden (1832-1912). Dia menghabiskan banyak hidupnya di Afrika Barat (di Liberia dan Sierra Leone). Dia seorang ahli bahasa yang brilian. Dia juga menulis buku yang berjudul Christianity, Islam and the Negro Race (1887). Salah satu tema yang terkenal darinya adalah potensi Kekristenan untuk berbicara dari dalam kondisi Afrika. Tetapi dia mengkritisi cara palsu yang dibangun dalam Kekristenan Creole, sebagai bandingan dengan proses alami dengan yang dia kenal dalam perkembangan yang lamban sepanjang abad dari Islam Afrika Barat. Dia mendorong membentuk Gereja Afrika – sebagai sebuah saran yang menarik pada orang yang terlibat dalam perdebatan Jabatan Pendeta di dalam CMS dan lingkungan Anglikan di Sierra Leone tahun 1870-an. Perdebatan ini muncul dari perasaan bahwa Gereja diseret dalam mengimplementasikan kebijakan ‘three selves’ Henry Venn, sekretaris CMS. Venn berpendapat bahwa tugas misionaris pada dasarnya adalah sebagai yang terdepan (pion). Tujuannya untuk menjadikan pemerintahan sendiri (self-governing), swadana sendiri (self-financing), dan pengembangan sendiri (self-propagating) gereja setempat. Tokoh lain adalah James Johnson (1840-1917). Johnson seorang jurubicara masyarakat Kristen Creole di Sierra Leone, khususnya selama pertikaian Jabatan Kependetaan tahun 1871-1874. Dia melawan Bishop Cheetham dengan protesnya melawan praktek diskriminasi ras di dalam struktur Anglikan Sierra Leone. Johnson kemudian menjadi pelawan kuat Bishop Samuel Ajayi Crowther (1806-1891). Crowther adalah orang Kristen Afrika Barat yang terkenal pada abad kesembian belas. Dia seorang budak Yoruba yang dibebaskan, yang menjadi orang pertama menamatkan pendidikan dari Perguruan Fourah Bay. Ditahbiskan sebagai pendeta Anglikan, dan melakukan misionaris di daerahnya. Tahun 1862, ketika dia mau pensiun, Henry Venn meninta padanya untuk menerima panggilan menjadi Bishop Nigeria.

AFRIKA UTARA

Perkembangan misi Kristen di Afrika Utara sangat berbeda dengan misi Kristen di Afrika Barat pada abad kesembilan belas. Salah satu tema umum dalam perkembangan Kekristenan di Gereja Afrika adalah aturan yang krusial yang dimainkan dalam kedua wilayah baik di bidang pendidikan Afrika ala Barat. Perbedaan yang menyolok adalah kekuatan orang Kristen kulit putih di Afrika Utara, dan substansi kehadiran misi Kristen Eropa. Keluarga para misionaris, khususnya di dalam generasi kedua dan ketiga, sering digabungkan ke dalam masyarakat kulit putih dan menyerap nilai-nilainya. Petani-petani Boer, dari Belanda, Hugenot dan Jerman, menyatakan diri mereka sebagai ‘orang Afrika’: ‘ik bin ein Afrikander’ merupakan bualan yang cukup terkenal dari salah seorang trekboer. Pada abad kesembilan belas penginjilan Scotlandia memberitahukan kehidupan Gereja Reformed Belanda melalui perkenalan pelayan-pelayan (dominies) Scotlandia. Masyarakat kulit hitam juga mengklaim untuk dikenal sebagai bagian dari budaya Afrika, dan banyak penduduk kulit hitam milik Gereja Reformed. Bahkan DRC pada akhir abad kesembilan belas telah mulai aktif dalam pekerjaan misi pada masyarakat kulit hitam Afrika – khususnya pada daerah utara Limpopo dan di wilayah Nigeria. Agama kulit putih Afrika sangat penting bagi diskusi Kekristenan Afrika, sebab di dalam keagamaan inilah terkandung jati diri orang Afrika itu sendiri dan keagamaan ini menjadi dasar dari seluruh kehidupan orang Afrika. Hal yang terpenting lagi adalah pertengkaran di antara Bishop Robert Gray di Cape Town dan pengikutnya Bishop Natal, John Colenso, yang Gray tuduh musuh, memiliki implikasi penting bagi perkembangan persekutuan Anglikan, menjadi faktor besar dalam Konferensi Lambeth pertama tahun 1867. Misionaris Inggris pertama di Cape Town (dari 1799), khususnya London Missinary Society, sangat keras mengkritisi akibat sosial dalam penduduk asli dan budak import dari masyarakat Cape Belanda. Yohanes van der Kemp (seorang Belanda yang dipekerjakan LMS) dan penggantinya Dr.John Philip (seorang Scotlandia) mengkampanyekan martabat kemanusiaan dari Khoikhoi (penduduk asli Cape sebelah barat). Apa yang terjadi di Afrika Utara ini menurut Kevin bukan semata-mata penggembalaan orang Afrika, melainkan merupakan penjajahan orang Inggris dan hanya merupakan pencarian berlian, dan emas, mengacaukan kapitalisme dan industrialisasi internasional. Disamping itu, para misionaris sering kelihatan bertingkah laku negatif pada seluruh elemen penting di dalam kehidupan sosial orang Afrika seperti: poligami, lobola (mahar), perkawinan levirat (campur), dan ibadah-ibadah inisiasi. Misionaris LMS, John Mackenzie mengatakan kelemahan hubungan komunistik dari anggota suku dari seorang ke orang lain dan membiarkan kompetisi individualistik. Di Xhosa, Kekristenan diganggu oleh perpecahan pada masyarakat melalui sebuah perang dengan penduduk pendatang (Inggris sebagai orang Afrika di daerah Port Elizabeth sejak tahun 1820). Dua orang Xhosa yang terkenal dari abad kesembilan belas yang menyimbolkan dua cara respon kekuatan Kekristenan dan Inggris yaitu: Nxele dan Ntsikana. Nxele adalah seorang peramal yang berhubungan dengan petani-petani Boer dan mengetahui tentang Kekristenan. Kadang dia juga dikenal di dalam masyarakat Xhosa dan penduduk kulit putih. Dia melihat pusat misi sebagai ‘alat pengintai penjajah’ dan menyimpulkan bahwa agama misionaris bertentangan dengan sipritualitas orang Afrika. Jalan yang benar menyembah Allah bukanlah dengan menyanyikan “M’Dee, M’Dee,, M’Dee setiap hari dan berdoa dengan berlutut di tanah dan kembali kepada Yang Mahakuasa – melainkan menari dan menikmati hidup dan saling mengasihi, sehingga orang kulit hitam semakin bertambah banyak dan memenuhi bumi. Berbeda dengan Nxele, Ntsikana sosok yang dihormati dalam masyarakat Xhosa, seorang penasihat pemimpin Ngqika. Dia mendukung perdamaian dengan pemerintah kulit putih. Dia menciptakan lagu-lagu pujian dan hymne kepada yang Maha kuasa. Dia tidak pernah dibaptis tetapi menginginkan dikubur ‘dalam cara Kekristenan’. Dia memiliki pengaruh yang mendalam dalam seluruh generasi Kristen yang berpendidikan di Xhosa.

SEBELAH TIMUR AFRIKA

Berbeda dengan di Afrika Barat dan Afrika Utara, di Afrika sebelah timur tokoh misionaris memainkan peranan sangat penting: mereka menjadi penjelajah, yang memiliki visi transformasi sosial yang radikal, sebagai seorang ahli strategi lebih daripada Gereja Kristen Afrika. David Livingstone (1813-1873) mengadakan perjalan jauh melalui Afrika Timur, memberitakan pertumbuhan perdagangan budak yang mengerikan di Afrika sebelah timur ini. Livingstone berbeda dengan Ludwig Krapf, seorang Lutheran Wurttenberger yang bekerja bagi CMS di Etiopia sejak tahun 1844, dan di Rabai dekat Mombasa. Livingstone sangat marah atas penderitaan dan penindasan orang Afrika. Pietisme Krapf memimpinnya untuk melihat orang Afrika dalam istilah kejatuhan yang mereka bagikan dengan seluruh manusia. Mereka berdua gagal seandainya memenangkan jiwa menjadi ukuran kesuksesan. Tetapi mereka berdua menjadi sumber inspirasi bagi banyak misionaris di dalam kesadaran mereka. Livingstone yakin bahwa akhir penderitaan hanya akan datang dari perbaikan ulang masyarakt secara radikal: “Aku kembali ke Afrika membuka jalan bagi perniagaan dan Kekristenan”. Artinya penduduk kulit putih menjadi pioner sebuah agrikultur yang baru. Di Afrika Barat dan Afrika Utara, misi Gereja Katolik Roma (GKR) mengalami kegagalan dibandingkan dengan Protestan pada abad kesembilan belas. Di Afrika Timur, GKR menduduki jabatan di pemerintahan. Tahun 1838, pendeta Lazarist, Justin de Jakobis membangun ulang Katolik di Etiopia, yang diikuti oleh Kapusin Italia di bawah Guglielmo Massaja yang bekerja di Oromo sebelah selatan Etiopia. Daniel Comboni mengilhami dukungan baru untuk membangun ulang Gereja Kristen di Sudan. Dia membuka pekerjaan misi baru, Verona Fathers. Tokoh lain adalah Charles Levigerie, Ukup Kepala Algiers. Dia mendirikan White Fathers, yang memiliki dampak yang kuat di Afrika Timur. Misi Perancis pertama yang bekerja di pantai Afrika Timur adalah The Holy Ghost Fathers. Tahun 1863, mereka mendirikan pembebasan hutang budak di Bagamoyo. Misionaris Eropa memang menjadi pemprakarsa pekerjaan misi bagi orang Kristen Afrika. Pendirian misi ke daerah pedalaman adalah lebih diprakarsai para misionaris Eropa daripada ininisiatif orang Kristen Afrika Timur. Walaupun ada misi pribadi orang Afrika pada tahun 1880-an dan 1890-an seperti Pdt.William Jones yang mengikuti Bishop Hannington pada perjalanannya ke Buganda dan James Mbotela yang mendirikan Misi Dalam Negeri Afrika yang memulai pekerjaan mereka di Ukambani. Buganda adalah pusat masyarakat yang terkenal, yang terbuka dan menerima setiap ide-ide baru. Islam memperoleh pengaruh kuat bagi para pemuda (bagalagala) yang tinggal di istana dan yang dilatih kelak menjadi pemimpin bangsa. Tahun 1875, Henry Morton Stanley mengunjungi Buganda. Dengan rasa ketakutan atas konsekuensi politik, raja Kabaka mendiskusikan kemungkinan masuknya para misionaris Kristen ke Buganda. Stanley menyambut usulan tersebut dan dia mengirimkan surat permohonan kepada Paus agar mengirimkan misionaris ke Buganda. Pada tahun 1877 CMS Anglikan tiba Buganda dan menyusul pula Chatolic White Fathers tahun 1879. Dan segera lembaga misi ini tiba di Buganda maka mulailah terjadi konflik dan fiksi dengan umat Islam. Kabaka segera menemukan bahwa Kekristenan memiliki sifat subversif sama dengan Islam. Bishop pertama Anglikan James Hannington dibunuh dalam perjalanannya ke Buganda kemudian 100 orang Kristen yang bertobat, banyak yang mati dibakar, juga banyak yang mati diniaya di Namugongo sehingga di kemudian hari tempat ini dikenal sebagai makam orang suci. Hal yang penting dicatat dalam keadaan ini adalah bahwa setiap agama baik Islam, Katolik dan Protestan sama-sama menunjukkan kekuatan mereka sendiri. Namun pada akhirnya kekuatan Protestanlah yang menjadi pemenangnya. Sebenarnya masih banyak lagi contoh sejarah Kekristenan modern di dalam pemerintahan Afrika sebagai patron misi Kristen. Tetapi Buganda memperlihatkan dalam seluruh elemen pemerintahannya menjadi Kristenisasi bahkan dalam masyarakatnya pun terlihat pola kehidupan Kristenisasi tersebut. Gereja di Buganda menjadi ‘Gereja bangsa’ yang kuat.

PEREBUTAN DAN PENJAJAHAN MISIONARIS

Pada abad kesembilan belas para misionaris hidup sebagai tamu dalam pemerintahan Afrika. Dalam keadaan tertentu mereka memaksa apa yang disebut dengan ‘kebijakan ke depan’ (forward policy) dalam artian keterlibatan mereka di dalam pemerintahan Afrika. Pemerintah Afrika mencurigai keterlibatan dalam pemerintahan ini. Tuan Palmerston menyindir keras tentang ekspedisi Zambezi tahun 1858: ‘Saya sangat tak menyukai skema baru pengambilalihan Inggris. Informasi Dr.Livingstone sangat berharga namun dia seharusnya tidak dibolehkan membawa kita pada bentuk penjajahan hanya untuk menjadi kaya’. Di antara Kongres Berlin 1885 dan permulaan abad kedua puluh, hampir seluruh orang Afrika dibagi melawan hal ini. Sejak tahun 1880-an mulailah semangat misi nasional yang didorong negara-negara Eropa. Sehingga jiwa nasionalis menjadi alat penangkal bagi penjajahan asing. Misalnya, misi Scots bagi Inggris untuk menegaskan perhatiannya pada Nyasaland sebelum Portugis datang. Memang sedikit banyaknya, masyarakat Kristen Afrika memberi kecenderungan, paling sedikit menerima kontrol Eropa dan bekerjasama dengan kekuatan mereka. Hal yang sama di daerah pengaruh Islam, kekuatan Eropa bergantung kepada Islam untuk menetapkan para pegawai dan fungsi aparat administrasi. Masyarakat tradisional bertahan pada misi orang Kristen, seperti Ijebu di Lagos. Hal yang sangat mendalam yang dialami oleh orang Afrika hingga pada akhir abad kedua puluh adalah krisis ekologi, krisis dalam patologi, dalam masyarakat dan pertumbuhan persatuan Afrika ke dalam ekonomi kapitalis global.

KEKRISTENAN DALAM MASA PENJAJAHAN: PENDIDIKAN DAN ”ADAPTASI“

Bagi misioaris Kristen, menjadi seorang Kristen dan berpendidikan adalah dua aspek dalam proses yang bersamaan. Katekumen disebut ‘pembaca’ sebab mereka harus belajar dasar-dasar pendidikan untuk menguasai teks, apakah itu teks Alkitab atau katekisasi sidi. Pada abad kesembilan belas, misionaris telah mendirikan sekolah menengah atas, dengan kurikulum ‘sekolah grammar’ untuk kelas bahasa dengan bahasa Eropa sebagai bahasa pengantar. Pada akhir abad kesembilan belas telah dibuka kurikulum ‘modern’. Isu yang umum menjelang akhir Perang Dunia I adalah kekawatiran atas tindakan pemerintah yang tidak mencoba membangun sistim paralel sekular di mana etos orang Kristen akan hilang. Pemerintah terlihat kuatir memenuhi pemerintahan baru. Padahal banyak kesempatan untuk bekerja sama. Pada awal tahun 1920-an, lembaga sosial Amerika, Phelps-Stokes Commission, mengadakan perjalanan melalui daerah tropis Afrika, yang dipimpin langsung oleh seorang pendidik yang bernama, Jesse Jones. Komisi ini ditandai dengan pembangunan pendidikan di negara-negara bagian dari selatan Afrika yang diinpirasikan oleh Booker T.Washington dan Institut Tuskegee yang diadaptasi dari ekonomi partikuler dan kondisi sosial dalam masyarakat. Di dalam konteks Afrika, bagian positif dari pemberitaan mereka adalah bahwa pendidikan dihubungkan dengan kenyataan kehidupan desa Afrika. Tetapi juga sangat mudah menafsirkannya secara negatif, yaitu sebuah usaha memperkenalkan pemisahan dan tipe superior pendidikan, menjauhkan orang Afrika dari kemajuan modern. Namun apa pun kritikan yang terjadi, Phelps-Stokes memiliki dua tujuan pokok mereka yaitu: pertama, menciptakan pendapat yang kuat bahwa ‘kenderaan sekolah’ ditekankan lebih mendalam dan sifat orang Kristen dikuatkan. Kedua, komisi ini sangat penting bagi orang Kristen Afrika, salah seorang anggotanya Dr.James Aggrey, seorang pendidik orang Afrika Barat asli, yang membuat gerakan yang luar biasa kemana pun dia pergi. Aggrey menegaskan pentingnya kerja sama di antara kulit hitam dan putih. Joe Oldham, dari Dewan Misi Internasional (The International Missionary Council) – salah seorang pelopor pendiri Dewan Gereja Se-Dunia – sangat aktif di antara tahun-tahun perang dalam membangun sistim kerja sama misi pemerintahan. Beberapa dari misi iman injili (seperti contoh Misi Inland Afrika) sangat mencurigai kelanjutan sistim ini sebab mereka takut bahwa pembebanan kurikulum pemerintah dan campur tangan dari kuasa misi injili dan mendorong tendesi sekularisasi di antara murid. Ketegangan ini juga dirasakan di dalam hubungan kerja sama Katolik Roma dengan pemerintah. Hal ini dapat terlihat jelas dalam perbedaan pandangan misi Katolik Nigeria di Afrika Barat. Karlo Zappa, Misi Masyarakat Afrika di Lokoja, dalam penolakan gaya misi lama yang tidak dipercayai atas pembebasan budak dalam isolasi perkampungan orang ‘Kristen’, dan tidak ingin menghasilkan misi Kristen yang ‘detribalisasi’ dan mempunyai persamaan dengan ‘pendidikan kebarat-baratan’ yang mencurigakan. Karlo menolak sekolah-sekolah sekuler di seluruh wilayah misinya dan berkonsentrasi pada pembangunan kelas katekisasi dan sistim seminari. Sehingga orang Igbo pertama yang ditahbiskan menjadi pendeta adalah Fr.Paul Emecete pada tahun 1920. Berbeda sangat tajam dengan Bishop Joseph Shanahan dari Holy Ghost Father. Dia sangat tertarik menjalin kerjasama dengan pemerintah. Dia berkata, “Barang siapa yang memegang sekolah, memegang negara, memegang agamanya, dan memegang masa depannya”. Artinya seluruh perhatian kerja sama dicurahkan dengan departemen pendidikan kolonial dan menerima kurikulum sekuler. Hasilnya, diperkirakan hampir 40% sekolah-sekolah di Igbo menjadi Katolik dan Katolikisme menjadi yang terbesar di Igbo. Seandainya Fr.Zappa dan AIM di Kenya dilihat sebagai sesuatu yang aneh dalam melawan pendidikan sekular, perhatian Zappa tentang tidak menghasilkan ‘detribalisasi’ penduduk, digemakan kembali dan kembali dalam tahun-tahun dalam perang. Dengan demikian ide ‘tribalisme’ sangat kurang dilakukan dalam kenyataan Afrika daripada persepsi orang Eropa tentang kehidpan orang Afrika. Di sisi lain, campur tangan misionaris dalam adat dapat memiliki pengaruh yang cukup kuat, sebagaimana yang terjadi di dalam krisis adat-istiadat perempuan yang meletus di Kenya tahun 1929. Usaha untuk mendorong orang Kristen Kikuyu untuk berjanji pada waktu baptisan atau institusi sebagai pemimpin Gereja bukan menyunat anak perempuan mereka. Para misionaris turut campur tangan dalam banyak hal di dalam adat-istiadat orang Kikuyu.

KEBANGKITAN GEREJA-GERAJA INDEPENDEN

Kolonialisme memiliki peran ganda dalam dampaknya bagi Kekristenan. Pada satu sisi, kolonialisme membuat Gereja lebih bergantung dari pada sebelumnya pada masa misioaris asing. Dalam masa pra-kolonial, para misionaris berhubungan intim dengan masyarakat setempat, tinggal berdampingan dengan penduduk, sering berbagi rasa dalam materi budaya yang sama. Tetapi sekarang, sudah ada ‘penarikan ke atas’ pada benteng institusional. Disamping itu juga, mentalitas kolonial membuat jarak sosial di antara orang asing dan penduduk asli yang disebut dengan ‘serambi Kekristenan’. Di sisi lain, kolonialisme dengan cepat menyebarkan kegiatan misionaris ke seluruh wilayah jajahannya. Misalnya dengan melakukan katekisasi, penginjilan dan pengajaran oleh orang Afrika. Sehingga orang-orang yang percaya dibolehkan mendirikan Gereja di daerah penjajahan tersebut. Kevin berpendapat bahwa hari berdirinya Gereja Kristen di Afrika adalah pada periode sebelum dan sesudah Perang Dunia Pertama. Pada tahun 1913, William Wade Haris dari masyarakat Grebo di Liberia, melihat visi dari malaikat Gabriel di penjara. Dia memulai penginjilan yang luar biasa di sepanjang pantai Afrika Barat dengan menyampaikan kuasa Kristus dan kuasa Roh Kudus. Dia memakai gaun putih dan selempang hitam, membawa guci, salib, Alkitab, dan cawan untuk membaptiskan. Dia membaptiskan ribuan orang tanpa melihat aturan yang diperbuat oleh para misionaris. Beberapa tahun sebelumnya, di Afrika Selatan, nabi Zulu yang diberi nama Yesaya Shembe mendirikan “Nazaret”-nya di Ekuphakameni pegunungan Drakensberg. Nabi lain dalam periode ini adalah Simon Kimbangu dari orang rendah Kongo, Katolikisme Kongo dan nabi Kristen yang independen, Donna Beatrice. Kimbangu besar dalam Gereja Baptis dan sudah dibaptiskan. Tahun 1921 memulai pelayanan penyembuhan di desanya Nkamba. Gereja Kimbangu menjadi gereja independen terbesar di Afrika. Haris, Shembe, dan Kimbangu adalah yang lebih dulu dan tentu penuh dengan semangat dan perhatian dalam gerakan ‘independensi’ yang menyebar luas di bagian Afrika. Di Nigeria, fenomena ini dikenal sebagai Aladura: Gereja yang berdoa. Para Kerubim dan Serapim, didirikan oleh seorang perempuan, Christiana ‘Kapten’ Abiodun. Masih banyak lagi contoh perempuan pendiri dan pemimpin gereja independen seperti: Gaudencia Aoko pendiri Gereja Maria Legio di sebelah barat Kenya, gereja independen terbesar yang keluar dari Gereja Katolik Roma.

GERAKAN PEMBAHARUAN SPIRITUAL LAINNYA

Gerakan pembaharuan yang terkenal adalah gerakan Kebangkitan Balokole di dalam Gereja-gereja Protestan di Afrika Utara (Balakole adalah Luganda bagi ‘Umat yang Diselamatkan). Gerakan ini timbul dari hubungan kemitraan di antara tenaga medis misionaris CMS, Gereja Dr.Joe dan Simeoni Nsibambi dari keluarga yang berbeda di Buganda. Para anggota menyebut diri mereka sebagai Ab’oluganda. Dalam istilah Inggris, ‘Saudara-saudara’ sering digunakan (yang menunjukkan kepada laki-laki dan perempuan dalam Ab’oluganda di Luganda). Kebangkitan tumbuh untuk menentukan misi pendirian Gereja-gereja. Pada satu sisi, misinya adalah tipe gerakan Injili, yang menekankan pertobatan dosa dan hanya percaya pada penebusan darah Kristus di kayu salib. Kebangkitan tidak takut bertentangan dengan dosa, dengan praktek agama tradisional ‘penyembah berhala’ di dalam Gereja. Pada sisi lain, gerakan yang lebih mendalam dari orang Afrika, melihat diri mereka sendiri sebagai ‘suku’ yang baru, yang menekankan semangat solidaritas kelompok, menentukan pernikahan-pernikahan, dan mengurus para janda dan duda. Dimulai dalam Gereja Anglikan di Uganda dan Rwanda, kemudian gerakan menyebar ke Gereja-gereja Mennonit dan Lutheran di Tanzania dan Presbiterian dan Gereja-gereja Metodist di Kenya. Di dalam Katolikisme, kaum awam didorong, misalnya berpartisipasi dalam Legion dan devosi Maria pada orang martir Uganda, tetapi para klerus sering menjadi faktor penghambat. Gerakan Jamaa (keluarga) di Katolikisme Shaba dan Kasai di Zaire contoh yang terkenal dari kekuasaan spritualitas kaum awam. Sama dengan di Balokole, Jamaa melihat diri mereka sendiri sebagai gerakan di dalam Gereja. Perempuan sering memainkan peran memimpin dalam kehidupan Gereja, bahkan kaum perempuan selama beberapa tahun menjadi jemaat yang terbanyak. Salah seorang tokoh yang terkenal dari mereka adalah Moder Lena (Magdalena) Vehegtte Tikkuie. Ketika George Schmidt meninggalkan misi Moravia di Genadendal di Afrika Utara tahun 1742, dia telah membaptiskan tiga orang anggota persekutuan Kristen: dua orang laki-laki dan Lena. Dia menugaskan kedua laki-laki itu meneruskan pekerjaan misi tersebut, namun tidak lama mereka pun berhenti. Hanya Lena yang bertahan dalan iman, mengajar orang lain Alkitab dan doa-doa Kristen selama 50 tahun, hingga tahun 1792, kelompok baru Moravian tiba. Misi Protestan kemudian memakai misionaris perempuan yang bernama Maria Slessor dari Kalabar. Slessor adalah seorang perempuan yang enerjik dan inisiatif. Bagi perempuan Afrika, keuntungan Kekristenan adalah bermakna ganda. Kadang-kadang misi Kekristenan begitu kuat ‘membangkitkan kalangan perempuan’, tetapi pada saat yang sama memagari apa yang seharusnya dilakukan oleh perempuan. Lembaga Gereja menjadi lebih terstruktur, menahbiskan pelayan hanya dari kalangan laki-laki saja. Di Uganda, telah berhasil menerima perempuan dalam pegawai lokal seperti contoh Bannabikira (Anak perempuan dari Perawan) dan Anak perempuan dari St.Francis. Baik misi Protestan dan Katolik telah memberikan pendidikan dasar dan pengetahuan domestik bagi perempuan untuk menyelesaikan sekolahnya. Kebijakan pemerintah Afrika Utara sering memaksa agar perempuan tinggal di rumah. Tetapi, di Afrika Utara sendiri, kaum perempuan menjadi sandaran utama dalam kehidupan Gereja. Iris Berger menyarankan bahwa di dalam kondisi aparteit, perempuan di dalam kota tidak dapat mempertahankan hubungan patriarkad. Gereja harus memberikan komunitas alternatif.

PEMBERIAN KEBEBASAN POLITIK (DEKOLONIALISASI)

Walaupun dalam periode kolonialisme yang tinggi, namun masih ada para misionaris yang secara individu mengkritik kebijakan penjajah. Beberapa di antara mereka adalah Archdeacon Owen di Kenya, dan Arthur Shearly Cripps di Sebelah Selatan Rhedesia. Bahkan ada juga orang-orang Kristen Afrika khususnya dari Gereja-gereja Protestan yang menyuarakan suara-suara kritikan kepada kolonialisme. Misalnya Terence Ranger dalam bukunya yang berjudul Are We Not Also Men? Mengungkapkan gambaran tentang keluarga Samkange di Sebelah Selatan Rhodesia. Perbedaan di antara pendeta miskin, pendidikan kaum awam di dalam berbagai tingkatan menjadi salah satu kritikan utama Gereja-gereja Protestan dalam memasuki era kebebasan di Afrika, khususnya dalam gerakan Afrikanisasi jabatan Gereja yang dimulai tahun 1950-an. Bagi kalangan Gereja Katolik, kebebasan ini pun mulai diperjuangkan. Joseph Kiwanuka menjadi Bishop pada diocese pertama Afrika pada tahun 1939 di Masaka, Uganda. Demikian juga Aberi Balya menjadi Bsihop pertama di Gereja Anglikan Uganda delapan tahun sebelumnya.

KEBEBASAN KEKRISTENAN DAN POLITIK DI AFRIKA

Proses dekolonialisasi yang cepat adalah pada tahun 1950-an dan 1960-an yang dilakukan oleh pemerintah di berbagai bagian di Afrika. Berbicara tentang kebebasan ini tidak terlepas dari kritikan terhadap misi Kekristenan itu sendiri yang memberi dukungan misi pendidikan kepada kolonialisme. Nkrumah adalah salah seorang tokoh yang menyebarkan penafsiran kebebasan spiritual yang dikutipnya dari diktum misi agama yang mengatakan, ‘Carilah dahulu kerajaan politik’. Pan-Afrikanisme tahun 1960-an adalah alternatif yang tepat bagi kolonialisme dan misi Kekristenan. Tetapi ada juga kekuatan yang memperkuat Kekristenan di dalam negara baru. Hampir seluruh politikus melanjutkan hubungan dengan Gereja-gereja mereka. Jika misi yang didirikan Gereja-gereja ditopang pemerintahan penjajah, mentalitas mereka juga sering menjadi pemimpin di negara merdeka tersebut. Ada sebuah elemen kuat tentang idealisme keagamaan dalam banyak program pemimpin-pemimpin generasi pertama: Katolikisme Nyerere merupakan elemen yang penting dalam program Sosialisme Afrika bagi Tanzania; Presbiterian Kaunda membawa humanisme Afrika di Zambia. Kebebasan membuat orang Afrika bebas menerima baptisan. Dekade setelah kemerdekaan, negara-negara Afrika melampaui berbagai krisis sosial, politik dan ekonomi dan gereja mencoba meningkatkan moral, spritual dan pengharapan. Pada tahun 1980-an, Gereja (misalnya di Malawi atau Benin) menjadi pusat gerakan demokratisasi. Disamping itu juga di Afrika Selatan bermunculanlah pejuang-pejuang individu seperti Michael Scott atau Trevor Huddleston atau Cosmos Desmond. Pemerintahan Archbishop Desmon Tutu dan Alan Boesak sangat berarti bagi pekerjaan UDF (United Democratic Front). Dengan demikian, Gereja berperan aktif memampukan umat untuk terjun dalam dunia politik, pendidikan, jurnalisme dan pelayanan sosial. Bahkan ada yang menjadi mati martir seperti Archbishop Anglikan Janani Luwun yang mati secara brutal di tangan Idi Amin di Uganda. Selain itu, sekitar 200 orang para imam Afrika mati akibat kekerasan selama 40 tahun, seperti: Fr Clement Kiggundu editor Majalah Ktolik Munno, Ananias Oriang dari Lango, Gabriel Banduga dari Arua, dan Charles Oberu dari Tororo. Jika etnis sering dilihat sebagai elemen yang paling mudah mengakibatkan konflik pada akhir abad kedua puluh, agama juga sebuah faktor yang dinampakkan dalam konflik Islam – Kristen.

TEOLOGI AFRIKA

Kevin mencatat beberapa teolog Afrika yang memunculkan teologi Afrika, misalnya Rwandan Tutsi Alexis Kagame dan Congolese Vincent Mulago. Mereka adalah termasuk orang yang belajar di Roma tahun 1950-an yang menghasilkan tulisan-tulisan yang terkenal Des pretres noirs s’interrogent. Ada juga teologi Katolik yang diwarnai dengan ‘inkulturisasi’ Injil di Afrika dan memberikan makna yang sangat mendalam dan resonansi pada transformasi ibadah melalui pengenalan liturgi dan musik. Teolog Protestan berasal dari kaum awam Prebiterian Ghana (seorang pengacara dan politikus) yang bernama J.B.Danquah. Dalam The Akan Doctrine of God (1944), Danquah berusaha secara rinci dan tegas untuk menunjukkan agama tradisional sebagai dasar monoteistik, yang kemudian menjadi dasar pandangan Kristen tentang Allah. Disamping Danquah, masih ada lagi teolog-teolog Protestan lainnya yakni: Bolaji Idowu, Harry Sawyerr, C.G.Baeta, Kwesi Dickson. Teolog dari Afrika Timur adalah John Mbiti, dengan karyanya African Religions and Philosophy. Mbiti berpendapat bahwa tradisi orang Afrika melengkapi agama, dan melihat agama orang Afrika sebagai dasar yang selaras dengan Kekristenan. Walaupun pendapat Mbiti ini ditentang keras oleh Okot p’Bitek (seorang pujangga dan pemikir Uganda). Bagi Okot pandangan orang Afrika lebih mengarah pada orientasi sekuler. Teologi Kekristenan di Afrika Utara lebih mengarah kepada perjuangan melawan aparteit. Teologi Afrika Utara mengadopsi teologi perlawanan yang hampir sama dengan teologi hitam (black theolgy) di Amerika Utara. Tokoh perjuangan ini adalah seorang mahasiswa kedokteran yang bernama Steve Biko. Biko dibunuh oleh polisi tahun 1977. Tahun 1985 kelompok teolog kulit hitam dan putih Afrika Utara, menghasilkan dokumen penting berkaitan dengan situasi politik. Dokumen ini dinamakan dengan „Dokumen Kairos“

KESIMPULAN

Akhirnya, Kevin menyimpulkan, Kekristenan di Afrika bervariasi sangat besar dan memiliki fenomena yang serba komplek. Juga memiliki kekuatan yang luar biasa, mengakar dalam masyarakat desa. Katolikisme pada awal abad kedua puluh sangat tekun dalam mengelola kampung Kekristenan dan sebagai hasilnya banyak daerah Gereja-Gereja Protestan yang diambil alih selama hampir 30 tahun. Pada masa kemerdekaan, ada penekanan yang dapat dimengerti pada perkembangan sistem pendidikan nasional, pengenduran misi dan kontrol Gereja. Gereja Katolik lebih waspada dan penuh perhatian pada kebutuhan untuk menjaga kegiatan pendidikan dan melanjutkan mendukung pendirian sekolah-sekolah. Pemerintah gelisah melibatkan Gereja-Gereja kembali dalam sistem pendidikan. Perbedaan di antara pendiri misi Gereja-gereja ‘arus utama’ dan Lembaga Gereja-gereja Afrika adalah mengenai bentuk inkulturisasi dalam gereja. Namun di sisi lain masih ada kecurigaan di antara dua tradisi. Bagi gereja-gereja misi, mereka menerima kebebasan Gereja-gereja sebagai orang Kristen yang selayaknya. Sementara Lembaga gereja-gereja Afrika berkecil hati dan menganggap gereja misi sering bertingkah laku angkuh. Dekade terakhir abad kedua puluh, terlihat dengan menjamurnya gerakan Gereja-gereja Pentakosta baru. Di satu sisi, hal ini menunjukkan budaya Amerikanisasi.

3. AMERIKA LATIN Oleh: Adrian Hastings

SPANYOL ABAD KEENAM BELAS

Kekristenan Amerika Selatan, pada mulanya, persis sebuah pemboyongan Katolikisme oleh orang Iberia Peninsula pada masa ‘Raja-raja Katolik’ – Isabella dan Ferdinand, Charles V, Philip II. Penaklukan Amerika menjadi sebuah penambahan Mahkota Castile dan di dalam Castile inilah sejarah Gereja Amerika Latin dimulai. Ketika Kolumbus ‘menjelajah’ Amerika tahun 1496, Spanyol memasuki masa kekuatan yang besar dan penentu konstruksi Katolikisme. Hubungan toleransi ‘convivencia’ Kekristenan, Yudaisme dan Islam yang menjadi ciri permulaan Abad Pertengahan Spanyol, telah berakhir. Orang Yahudi sudah diusir dari Spanyol dan Granada, kerajaan Iberia Muslim terakhir, telah ditaklukkan dan digabungkan kepada Castile. Pemaksaan konversi ‘Mudejans’ pun dimulai. Identitas Castile, sama seperti Portugis, ditempa oleh Perang ‘Salib’. Semangat Perang Salib, tidak toleran, agresif, bersikeras pada kesatuan politik – ortodoksi keagamaan menang atas seluruhnya di bawah Isabella. Spanyol pada abad keenambelas adalah sebuah masyarakat ‘Abad Pertengahan’, yang dipengaruhi gerakan Renaisans. Medieval adalah istilah yang tidak cocok : medieval Spanyol kurang toleran. Namun di bawah kepemimpinan Franciscan, Kardinal Ximenez de Cisneros, peraturan keagamaan diperbaharui dan mendukung kemajuan para sarjana di Universitas Alcala yang didirikannya. Spanyol negara yang kuat dalam abad keenam belas di Eropa. Jika kekuatan itu dipakai untuk perluasan kerajaan di dunia dan kemajuan Katolik, maka kekuatan itu akan dihubungkan dengan kebangkitan teologi dan filosofi seperti Thomist (penganut ajaran Thomas Aquinas) di Universitas Salamanca. Kemajuan yang dilakukan oleh teolog Dominican, Francisco de Victoria tentang sebuah teori hukum internasional, didasarkan pada konsep Thomist tentang hukum alam. Penulis spritual lainnya pada abad itu adalah John the Cross, Teresa dari Avila dan Ignatius Loyola, mendemonstrasikan kualitas kehidupan keagamaan itu. Pada abad keenambelas, Spanyol juga memiliki tentara misionaris – Dominikan, Franciskan dan kemudian Yesuit.

SERATUS LIMA PULUH TAHUN PERTAMA KATOLIKISME AMERIKA LATIN

Pada tahun 1493, baik raja-raja Katolik maupun Paus memiliki ide kebesaran atau ciri kemasyarakatan barat di Atlantik. Ekspedisi mereka hanya dimulai untuk meneliti dan menaklukkan. Mereka memasuki ‘Antilles’, pulau-pulau Karibia. Hispaniola pusat konstitusi Santo Domingo inti kerajaan baru bagi dekade pertama dan diocese Santo Domingo didirikan tahun 1504, kemudian 1515 menaklukkan Kuba dan mendirikan pusat imperialis baru di Havana. Hanya tahun 1519 ada serangan utama dengan penaklukan Cortes atas Meksiko yang akhirnya disebut dengan ‘Spanyol Baru’. Dari penaklukan ini menyebar ke semua arah hingga Pizarro menyerang Peru tahun 1532. Hanya dalam tempo beberapa tahun upaya Kerajaan Spanyol membentuk Dunia Baru telah lengkap. Satu ‘Amerika’ ditaklukkan, beban baru diberlakukan. Hastings menjelaskan bahwa penduduk asli Amerika ini adalah suku Indian yang terdiri dari tiga kelompok yang berbeda yakni Mexias (Aztecs) di Meksiko, Tenochtitlan dan Incas di Tawantinsuyu (Peru). Bahasa mereka adalah bahasa Nahuatl bagi Aztecs dan bahasa Quechua untuk Incas. Mereka memiliki banyak agama. Namun dewa yang sangat terkenal adalah Tonantzin, dan dewa yang disembah dalam ibadah mereka (Aztecs dan Incas) adalah dewa matahari. Sehingga mereka dikenal sebagai ‘Umat Matahari’. Mereka juga sangat tegas melakukan hukum moral misalnya dilarang minum alkohol, harta milik bersama dan organisasi mereka secara bersama. Kehadiran Spanyol di Amerika ini membawa benturan dengan suku Indian. Bahkan benturan ini sudah terlihat sejak tahun 1493 dengan membangun invasi sebagai ciri penginjilan. Motivasi dan tingkah laku para penakluk Meksiko (Conquistadores) sangat berbeda sekali. Ada yang menjadi geng petualangan. Pedrarias Davila, seorang Conquistadores yang brutal, menemukan kota Panama, saat Hernan Cortes menyerbu Meksiko dari Kuba. Sebenarnya, Montezuma (raja Aztecs), menyambut Cortes sebagai figur legendaris Quetzalcoatl yang kembali dari timur untuk meminta kembali tanah mereka. Namun Montezuma ditangkap, orang Aztecs dibunuh secara massal dan beberapa bulan kemudian orang-orang Spanyol memaksa melepaskan Tenochtitlan. Kekuatan militer yang diikuti pemaksaan orang Indian dengan sistem borgol encomienda, mengakibatkan dua keputusan yakni: pertama, menurunnya jumlah penduduk asli. Dan kedua, timbulnya kota-kota Spanyol pada abad keenambelas. Sehingga pertumbuhan orang Indian otomatis menjadi berkurang. Sementara itu aspek institusional dan kegerejaan sudah dikontrol oleh dua raja muda – Spanyol Baru dan Peru. Di bawahnya ada berbagai pengurus dan sembilan audiencias di Santo Dominggo, Kota Meksiko, Panama, Quito, Lima dan lain-lain. Gereja Amerika Latin secara ideologi berempati pada Tridentine. Walaupun dalam istilah adiministratif masih ada pengecualian dengan Serikat Yesuit. Serikat Yesuit menjadi kekuatan besar di Amerika Latin yang tunduk kepada Paus di Roma. Di Spanyol Baru sama seperti di Spanyol Lama, Yesuit memelihara kebebasan mereka dari kontrol raja, dari pengawasan episkopal, dan dari Penyelidikan jurisdiksi. Perkembangan sejarah Kekristenan di Amerika Latin adalah samar-samar. Bukan hanya usaha Katolikisme yang bergabung dengan Kontra-Reformasi, bukan juga karena penjajahan, melainkan karena imperialisme khusus yang dilakukan Spanyol. Ketika banyak biarawan Franciskan dan Dominikan melayani di Amerika, maka banyak orang Indian menjadi Kristen. Di Meksiko, dua belas orang biarawan Franciskan yang tiba tahun 1524 merasa bahwa mereka dengan mudah dapat mengkristenkan orang Indian. Menurut Hastings, yang menandakan entusiasme orang Meksiko atas iman baru mereka terlihat dalam entusiasme mereka dalam ibadah, membangun gedung-gedung gereja dan mendorong satu dengan yang lainnya untuk bertobat. Mereka juga mau belajar bahasa Spanyol, seni dan banyak keahlian lainnya. Cortes mengumpulkan seribu anak-anak kaum bangsawan Indian dan membawanya ke Perancis untuk mendapatkan pendidikan khusus dengan harapan agar banyak dari mereka menjadi imam-imam seperti Uskup Agung pertama Meksiko, Jua de Zumarraga. Namun orang yang sangat terkenal dalam awal Kekristenan Meksiko adalah Toribio de Benavente salah seorang dari dua belas biarawan Franciskan yang tiba di Meksiko yang dikenal dengan nama Nahutatl-nya Motolinia yang artinya ‘seorang miskin’. Sewaktu Motolinia mengenal betapa kejamnya orang Indian diperlakukan oleh orang-orang Spanyol, maka pusat perhatiannya adalah sekitar tema pembebasan dari gelap ke terang yang ditulisnya dalam Historia de los indios de la Nueva Espania (1541). Bernardino de Sahagun adalah seorang sarjana Perancis yang terkenal mengenai Nahuatl. Dia belajar dan meneliti kebudayaan Indian bersama dengan murid-muridnya. Sahagun sedikit demi sedikit membangun sejarah dan kebudayaan Indian yang mengagumkan yang mirip sebuah ensiklopedia. Tulisannya Historia general de las cosas de Nueva Espana aslinya ditulis dalam bahasa Nahuatl kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol. Tulisan ini selesai tahun 1570-an, namun dipublikasikan pada abad kesembilan belas. Sahagun sangat pesimistik tentang seluruh usaha misionaris dan penjajah. Pertumbuhan orang Indian sangat menurun tajam sebagaimana pertumbuhan orang creole (percampuran orang Eropa dan kulit hitam), sehingga mereka menjadi orang yang terpinggirkan (marjinal) di negeri mereka sendiri. Di Peru, gambarannya selalu suram. Tidak ada entusiasme orang Kristen yang pernah dilaporkan. Orang Indian dijauhkan dari Kekristen yang murni bahkan mereka dilarang untuk Perjamuan Kudus pada Konsili Lima tahun 1552. Pizarro dibunuh Inca Atahualpa dan Cuzco ditangkap tahun 1533. Hastings mencatat bahwa tokoh Katolikisme di Peru adalah Martin Garcia de Loyola (kemenakan laki-laki St. Ignatius Loyola) dengan istrinya Ratu Beatriz Nusta dan lima orang lainnya yang tidak kalah pentingnya seperti: pertama, Domingo de Santo Tomas yang tiba di Peru tahun 1540, seorang teolog dan ahli bahasa yang menerbitkan buku tata bahasa Quechua pertama (1560). Kedua, Toribio de Mogrovejo, archbishop Lima yang dilantik Philip II tahun 1580. Dia seorang yang sangat enerjik mereorganisasi Gereja Peruvia di antara tahun 1580 hingga kematiannya tahun 1606. Catecismo Mayor-nya dipublikasikan di Lima tahun 1584 dalam bahasa Spanyol, Quechua dan Aymara. Ketiga, St.Rose dari Lima (1586-1617). Dia anak seorang perempuan creole, yang bergabung dengan Third Order of St.Dominic. Keempat, Martin de Porres (1579-1639), tinggal di Lima, keturunan mullatos (peranakan Negro dan kulit putih). Pemerintah Provinsi Peruvia Dominic tidak mengijinkan menerima orang kulit hitam atau mulattos, namun Martin diijinkan sebagai pelayan, memakai pakaian keagamaan. Kelima, Guaman Poma de Ayala. Dia seorang tua-tua Indian keturunan kaum bangsawan yang mengenal Spanyol secara singkat. Testamennya yang sangat kejam ditulis sebagai protes kepada raja muda yang berlaku tidak adil dalam pemerintahan Spanyol. Guaman Poma memuji Yesuit dan Fransiskan tetapi menentang keras Dominikan, Augustinian dan Mercedarian sebab mereka angkuh dan menyakiti orang Indian. Guaman Poma yang lahir di Seville tahun 1484 lama sekali tinggal sebagai pendatang di Hispaniola dan Kuba sehingga dia tahu benar apa dibicarakannya tentang perjuangannya melawan kejahatan atas nama Spanyol dan Kekristenan. Dari tahun 1516 Guaman berjuang hingga mencapai puncaknya tahun 1550 di Spanyol. Tokoh perjuang lainnya adalah Bartolomes de Las Casas. Las Casas adalah tokoh pejuang yang berjuang untuk membela hak-hak orang pribumi. Las Casas selalu menghadapi sebuah dilema. Tantangan yang dihadapinya adalah hampir setiap orang Spanyol telah melakukan segala sesuatunya di Dunia Baru dibandingkan dengan memberitakan Kekristenan. Las Casas dengan sangat berani membenarkan pengorbanan tubuh sebagai ekspresi alami tugas manusia menyembah Allah. Dia meninggal tahun 1566.

1650 – 1780

Katolikisme Amerika Latin memiliki bentuk yang didominasi oleh orang-orang creole yang walaupun mereka harus menerima uskup-uskup dari Spanyol sebagai gubernur dan raja muda dan mereka masih terlihat menjaga dan mengawasi orang-orang Indian. Akibatnya terjadilah penurunan kekuatan intelektual dan kekuatan spiritual Gereja Spanyol. Di Spanyol tenaga semakin habis akibat perang-perang dan kesalahan kebijakan dan ketidakmampuan raja-raja. Kehidupan Katolikisme yang sangat menonjol pada abad keenambelas di Eropa ditemukan di Spanyol. Konsili Trente menekankan bahwa jemaat-jemaat seharusnya memiliki imam-imam terutama dari imam projo di bawah uskup. Pada mulanya di Amerika imam projo diperuntukkan bagi orang-orang creole yang dibagi dalam doctrinas. Ada dua orang petani Meksiko yang menjadi pemimpin mereka yang terkenal pada tahun 1810-1815 yakni : Miguel Hidalgo dan Jose Maria Morels yang kedua-duanya adalah pendeta. Hidalgo seorang creole, dan Morelos seorang mestizo (percampuran orang Spanyol dan Amerika Latin). Para biarawan yang ditangkap lebih menekankan perjuangan kepada creole dan peninsular dibandingkan dengan creole dan Indian. Ada ratusan creole Fransiskan, Dominikan dan Augustinian yang merasa bahwa pengawasan tugas mereka berada pada orang Spanyol. Akhirnya, alternativa harus diadopsi, sebuah aturan di mana setiap posisi penting diduduki secara bergantian di antara orang creole dan peninsular. Katolikisme di Paraguay dimulai tahun 1603. Sedikit demi sedikit kelompok Yesuit tak bersenjata datang ke daerah pegunungan, dan ke pedesaan dengan arak-arakan membawa salib. Pada abad kedelapan belas misi di Paraguay menghasilkan seratus ribu orang yang tinggal di desa. Di Paraguay, sama seperti di Meksiko atau Peru, Gereja Indian sangat rentan dengan perpecahan jika mereka memiliki pelayan dari orang Indian sendiri, padahal beberapa orang mestizos telah ditahbiskan menjadi imam sebelum abad kedelapan belas. Pada tahun 1627, Alonso de Sandoval menerbitkan bukunya yang berjudul De instauranda Aethiopum salute yang menceritakan tentang rasul-rasul dari budak Afrika. Sandoval bersama asistennya, Pedro Claver bekerja dengan tidak mengenal lelah di dermaga Cartagena di mana ribuan orang kulit hitam diperjual-belikan setiap tahun, dan bahkan banyak di antara mereka yang mati daripada yang hidup setelah mereka menyeberangi Atlantik. Sandoval dalam bukunya mencela tindakan keji kepada orang-orang budak. Sehingga Sandoval dan Claver dikenal sebagai pahlawan dalam sejarah keagamaan bahkan dalam sejarah Yesuit. Di Brazil, Yesuit tiba tahun 1549 yang kemudian disusul oleh Franciskan, Carmelit dan Benediktin yang menghadirkan Gereja Eropa yang memiliki teologi dan spiritual yang brilian. Di Brazil ini juga orang-orang kulit hitam yang datang dari Afrika sebagai budak dalam perkebunan tebu mengalami penderitaan.

1780 – 1900: REVOLUSI DAN REAKSI

Hastings berpendapat jika Amerika mampu melakukan sebuah Revolusi Amerika tahun 1780-an, mengapa Amerika Latin tidak bisa melakukannya? Jawabannya menurut Hastings adalah orang-orang creole sangat takut kehilangan bantuan dari penjajah, padahal mereka mayoritas di negeri mereka sendiri. Barangkali hanya 15% dari penduduk Spanyol Amerika kulit putih, bahkan di Spanyol Baru (Meksiko) dari 6 juta penduduknya hanya satu juta kulit putih. Alasan lainnya menurut Hastings adalah akibat terjadinya pemberontakan Tupac Amaru II di Peru dan revolusi berdarah kulit hitam di Saint-Domingue (Haiti). Pertanyaan lain yang diangkat Hastings adalah apakah pengaruh yang diterima Gereja atas revolusi dan apakah akibat yang diterima oleh Gereja dari revolusi? Menurut Hastings, setidaknya ada tiga klasifikasi imam untuk melihat pengaruh dan akibat revolusi ini bagi Gereja. Pertama, kelompok uskup-uskup dan para kaum agama dari peninsular dan yang setia. Mereka diangkat raja dengan demikian mereka membayangkan keselamatan diri. Kedua, kalangan imam-imam creole kelas atas melihat hal-hal yang agak berbeda. Mereka lebih terinspirasi untuk melakukan gerakan-gerakan pembaharuan. Pada dasarnya mereka ingin sebuah Gereja creole bagi negara creole – sebuah negara yang secara ideologi mengadopsi identitas Amerika yang bebas dari non-kulit putih Amerika. Ketiga, kalangan imam-imam dari creole dan mestizo yang tinggal dan bekerja bagi penduduk non-kulit putih. Mereka melihat perlakuan buruk yang dilakukan kepada kulit hitam sehingga mereka memberikan simpati yang mendalam dan membentuk lagi masyarakat creole dan mestizo. Banyak imam yang dihukum mati di Meksiko karena mendukung pemberontakan Hidalgo dan Morelos. Perang 1810-1815 menunjukkan prisma bagi pengungkapan ambiguitas yang terjadi di Meksiko. Perjuangan menuju kemerdekaan dimulai dengan Perang Kemerdekaan yang dikenal dengan Grito de Dolores Hidalgo pada hari Minggu, 16 September 1810. Gerakan ini diikuti oleh orang Indian dan mestizos yang menolak pemerintahan Spanyol dan memperjuangkan kebebasan Indian dari penderitaan mereka. Penduduk asli Guadalupe memproklamasikan kelompok revolusi tetapi hubungannya dengan orang-orang creole masih samar-samar. Sementara itu di Guadalaraja uskup Kabanas telah mengatur resimen cruzado di mana dia sendiri keluar dari katedral. Kabanas ditangkap dan dihukum gantung dan kepalanya dipertontonkan di Guanajuato. Ketika hari kemerdekaan tiba, seluruh orang Amerika Latin berkomitmen untuk memodernisasi, memperbaiki Gereja dalam berbagai cara. Para pemimpin politik dengan sadar menjadi anti-Katolik. Pertanyaan yang sangat penting yang diajukan Hastings adalah bagaimanakah hirarki Amerika Latin dilanjutkan dan bertahan secara keseluruhan. Raja-raja Spanyol dan Portugis telah memberikan jaminan hak untuk membuat pengangkatan uskup. Secara seimbang pemerintahan baru melakukannya bagi jaminan bahwa patronato harus diberlakukan juga bagi mereka. Konsekuensinya tidak ada lagi uskup yang diangkat untuk beberapa tahun. Diosis Meksiko kosong dari tahun 1824-1825, di Buenos Aires dari tahun 1813-1833 dan Nikaragua dari tahun 1825-1849. Ketika Uskup Kepala Guatemala dan Uskup Puebla mati tahun 1829, Amerika Tengah dan Meksiko ditinggalkan tanpa seorang uskup. Perubahan yang berarti dalam pengawasan hirarki Amerika tidak dapat ditaksir. Perubahan ini menghasilkan sistem episkopal baru. Akibat kekosongan dari yang lama ke yang baru adalah penurunan yang tajam dari para imam. Di beberapa tempat tidak ada imam yang ditahbiskan selama dua puluh tahun. Banyak imam yang baik telah ditarik ke Spanyol. Hastings juga mencatat permasalahan yang terjadi dalam hubungan Gereja dan negara. Negara sama seperti Gereja di berbagai kota-kota berantakan. Misalnya di Peru memiliki enam konstitusi dan delapan presiden dalam rentang waktu sepuluh tahun. Pemerintahan baru selalu kekurangan uang. Mereka juga membutuhkan sebuah ideologi untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Ideologi yang didukung oleh pensadores adalah perjuangan liberalisme anti-klerus di Eropa bagian selatan dengan monarkhi absolut dan Gereja yang reaksionis. Di Peru, figur yang terkenal dari tahun 1840-an hingga 1860-an adalah Presiden Ramon Castilla, seorang mestizo yang menunjukkan pragmatisme yang luar biasa dalam mengejar sebuah agenda ‘liberal’ dan menghindari benturan dengan Gereja. Di Meksiko yang terjadi adalah hal yang berlawanan. Konstitusi asli dideklarasikan bahwa “Agama negara Meksiko adalah dan terus-menerus agama Katolik, Apostolik, dan Roma. Negara dilindungi dengan bijaksana dan hukum dan dilarang melakukan hal-hal lain”. Namun dalam kenyataan negara Meksiko jauh dari perlindungan. Kebijakan pemerintah bergeser secara tidak teratur dan terjadilah beragam perebutan kekuasaan (coup) menuju penghapusan perbudakan, juga terjadilah fuero dan penyitaan harta milik gereja. Akhirnya terjadilah Perang Tiga Tahun yang dimulai tahun 1857. Presiden Juarez lebih agresif memprogramkan: penyitaan seluruh kekayaan Gereja, menindas seluruh biarawan, memisahkan Gereja dan Negara, dan kebebasan beragama. Hastings lebih dalam menemukan beberapa ciri Katolikisme Amerika Latin yaitu: Pertama, kebangkitan Atusparia di Peru tahun 1885. Akibat kekalahan Peru terhadap Chili, maka pemerintahan pun semakin lemah. Karenanya timbullah gerakan yang memprotes melawan pajak yang tinggi dan tindakan yang kurang baik. Kedua, gerakan yang dipimpin Antonio ‘Conseheiro’ yang ditindas oleh tentara Brazil di Kanudos pada bulan Oktober 1897. Antonio Vicnete Mendes Maciel adalah penjaga toko dan pengacara gereja di timur laut Brazil. Karena ditinggalkan isterinya, maka dia menjadi beato (laki-laki kudus) sehingga dia dikenal sebagai ‘nosso conselheiro’. Ketika pemerintah mengumumkan bahwa pajak akan dinaikkan, Conselheiro membatalkannya. Dia memutuskan untuk memimpin umat yang sulit sekali dicapai yakni Kanudos tahun 1893. Segera setelah itu, orang Kanudos bertumbuh dari 4.000 orang menjadi 25.000 orang. Daerah ini bebas dan makanan berlimpah ruah. Namun pemerintah melihat mereka sebagai bahaya bagi negara sehingga pemerintah menghancurkan Kanudos pada tanggal 5 Oktober 1897. Tubuh Conselheiro mati tergelat bersama reruntuhan bangunan gerejanya. Victor Lanternari mengklaim bahwa Antonio berpikir bahwa dirinya menjadi ‘seorang mesias, juru selamat manusia dan reinkarnasi Kirstus’. Dan ketiga, Cristiada di Meksiko tahun 1920-an.

ABAD KE DUA PULUH

Cristiada di Meksiko secara keseluruhan sangat besar, yang secara politik cukup berbahaya. Gerakan lain tentang konfrontasi Gereja-negara telah dibangun sejak Revolusi Meksiko tahun 1910 yang secara konsisten dan agresif anti-agama dibanding pemerintahan sebelumnya dalam post-Kemerdekaan Amerika Latin. Pada pertengahan 1920-an Presiden Calles mulai mengimplementasikan secara sistematik pasal-pasal anti-agama pada Konstitusi 1917. Akhirnya terjadilah kerusuhan pertama pada tanggal 31 Juli 1926 yang diikuti kemudian pada bulan Januari 1927 yang bersifat umum. Tiga tahun kemudian pemerintah secara efektif kehilangan kemampuan melawan tentara gerilya. Otoritas Gereja hampir seluruhnya memalukan. Sehingga pada bulan Juni 1929, Gereja dan Negara dipaksa untuk membuat persetujuan. Viva Cristo Rey, tuntutan-perang kaum tani Indian menamakan perang tersebut dengan Cristiada. Cristiada ini, gerakan kebangkitan tebesar di seluruh Amerika Latin yang tidak memiliki tekanan khusus selain keagamaan yang membedakan gerakan petani Kristen dari klerus Gereja dan juga dari negara anti-keagamaan. Dalam sebuah surat pastoral tahun 1916, Uskup Kepala dan Kardinal kemudian Rio de Janeiro D.Sebastiao Leme telah menggambarkan orang miskin sebagai ‘orang yang kurang berpendidikan, orang yang percaya takhyul, orang yang kurang ajar dan fanatik’. Dengan situasi demikian maka mulailah kebangkitan kegerejaan tahun 1872 ketika Uskup Receife di Brazil, Dom Vital Maria de Oliveira masuk penjara karena melawan pengawasan negara atas gereja. Hal ini cukup berarti karena terjadi di Brazil yang penduduknya bertumbuh pesat dengan imigrasi dari Eropa dan yang segera menjadi memimpin Amerika Latin. Tahun 1899, Leo XIII mengadakan pertemuan Dewan Lengkap uskup-uskup Amerika Latin di Roma. Secara kegerejaan, inilah permulaan jaman baru di mana Roma harus merealisasikan hal yang sangat penting di wilayahnya. Di sepanjang abad kesembilan belas pengaruh Gereja telah menurun; dan baru pada abad kedua puluh kembali lagi pengaruh gereja meningkat. Setelah tahun 1920 dalam pontifikatus Pius XI setelah Perang Dunia II, pembaharuan semakin jelas. Diosis semakin diperbanyak; imam-imam dari Eropa, pertama dari Spanyol kemudian dari negara lainnya berdatangan ke Amerika Latin untuk mengurusi institusi keagamaan baru. Filsuf muda Brazil, Jackson de Figueiredo (1891-1928) memulai gerakan dengan penyerahan dirinya kepada gereja tahun 1917 dan mendirikan Dom Vital Center sebagai pusat kehidupan intelektual Katolik dari masyarakat urban baru. Pada akhir jabatan Pius XII tahun 1958 haluan penting Gereja Amerika Latin di dalam dunia Katolikisme semakin jelas. Brazil sendiri memiliki tidak lebih dari tiga kardinal. Tahun 1955 Konferensi Umum pertama uskup-uskup Amerika Latin dilaksanakan di Rio de Janeiro yang menetapkan dewan yang tetap yang disebut dengan CELAM. Untuk mengakhiri badai sejarah Gereja di Amerika Latin ini maka diadakanlah Kosili Vatikan II (1962-1965). Hampir setiap novelis menekankan resonansi pengajaran Konsili di Amerika Latin. Respons terhadap Konsili Vatikan tentang Gereja Amerika Latin dapat dilihat dengan baik dalam tiga bagian: Pertama, Konferensi Umum Kedua uskup-uskup Amerika Latin dilaksanakan di Medellin, Kolombia tahun 1968. Kedua, dalam perkembangan Teologi Pembebasan. Dan ketiga, dalam pertumbuhan Dasar Komunitas orang Kristen, seluruhnya di Brazil. Di Medellin, Gereja mendeklarasikan ‘keberpihakan bagi orang miskin’, mengarahkan mereka untuk menggunakan liturgi yang sesuai dengan bahasa mereka, dan mendorong kaum awam untuk lebih terlibat aktif di dalam kehidupan Gereja. Dengan demikian maka terbukalah pintu bagi pertumbuhan Teologi Pembebasan. Teologi Pembebasan, dipublikasikan dalam bahasa Spanyol oleh Gustavo Gutierrez, seorang imam Purivia tahun 1971 dan dalam bahasa Inggris dua tahun kemudian. Teologi Pembebasan adalah sebuah gabungan kegembiraan yang meluap-luap melalui Gereja Katolik di seluruh dunia akibat buruk dari Konsili Vatikan II, kerelaan menyebarluaskan di antara pemikir intelektual keagamaan untuk maju dalam Marxisme dan keadaan khusus masyarakat dan Gereja di Amerika Latin. Teologi Pembebasan ini muncul dalam berbagai bentuk, ada yang menggunakan terminologi dan analisis Marxis. Mata rantai dengan Teologi Pembebasan adalah strategi pastoral yang dikenal sebagai Komunitas Basis (Base Community). Komunitas Basis adalah dalam hati, memahami kesederhanaan sebagai cara pengembangan tipe persekutuan jemaat tanpa imam yang menetap. Komunitas Basis didasarkan pada konteks yang benar bagi Teologi Pembebasan dan menetapkan tempat bagi The Gospel in Solentiname dari Ernesto Cardenal, pemain musik klasik terkenal. Teologi Pembebasan juga ditemukan dalam agenda akademik bagi setiap negara Amerika Latin. Sebagaimana Teologi Pembebasan, Komunitas Basis berkembang tahun 1970-an dan permulaan tahun 1980-an menghadapi persoalan utama tentang sistem sosio-politik Amerika Latin dan perlawanan terhadap Gereja dan negara. Dukungan terhadap gerakan ini dilakukan Uskup Lopez Trujillo di Medellin. Kolombia adalah salah satu negara yang kuat melakukan perlawanan itu tetapi di sana juga Gereja Katolik sangat konservatif bahkan yang sangat ironi, pada tahun 1968 Konferensi Umum CELAM dilaksanakan di Kolombia. Trujillo terpilih menjadi sekretaris eksekutif CELAM dan berjuang mendukung Teologi Pembebasan. Peru merupakan pusat Teologi Pembebasan, dan juga negara yang menjadi bagian terbesar dari uskup-uskup Opus Dei dan merupakan penampakan dari Opus Dei (bandingkan dengan Dan Brown: Da Vinci Code) di dunia. Pada saat bersamaan polarisasi politik menjadi semakin buruk di antara sayap kiri dan kanan. Bahkan intervensi US semakin agresif di dalam politik Amerika Latin pada periode akhir Perang Dingin dan perubahan umum pada sayap kanan dalam kebijakan Amerika dalam masa Ronald Reagan. Sementara itu kejatuhan Komunis di Rusia dan berakhirnya Perang Dingin membuat banyak orang Amerika pulang dari Amerika Latin. Menurut Hastings, semua bagian sejarah Kekristenan Amerika Latin di antara Katolikisme populer dan sistem klerus Gereja memiliki faktor yang menentukan. Kedua-duanya bersatu dalam abad pertama dengan kepemimpinan orang-orang Fransiskan dan Yesuit. Keadaan ini dirusak kemudian oleh Ultramontanisme Gereja abad kesembilan belas. Pemahaman dasar seluruh gerakan gereja dibaharui, disebarkan dari tahun 1950-an sampai pada pembunuhan Uskup Romero tahun 1980. Dukungan pemimpin Gereja sebagaimana dilakukan Uskup Trujillo adalah mencegah Katolikisme dan mendorong merangkul Protestanisme di wilayah itu. Di Karibia, orang Protestan sudah ada sejak pertengahan abad ketujuh belas ketika Inggris menaklukkan Barbados dan Belanda menaklukkan Kuracao. Kedua negara ini lebih mementingkan perdagangan budak daripada penginjilan itu sendiri. Moravia, Methodis dan Baptis aktif melayani di Jamaika dan di tempat lainnya. Pada awal abad kesembilan belas, Protestanisme belum ada di mana pun di negeri itu, walaupun Protestanisme dikagumi luas oleh elit politik liberal yang berkuasa setelah Kemerdekaan. Protetanisme abad kesembilan belas memasuki daerah itu melalui imigrasi penduduk. Orang-orang Prostestan bertumbuh dan berkembang baik melalui kegiatan para misionaris dari Amerika, khususnya dari sebelah selatan Bible Belt. Perkembangan selanjutnya menurut Hastings, Persekutuan Gereja-gereja Nasional mulai didirikan : di Meksiko dan Puerto Riko tahun 1920-an, Brazil dan Argentina tahun 1930-an, Peru, Chili, Equador tahun 1940-an, Kolombia dan Guatemala tahun 1950-an. Tahun 1949 Konferensi Injili Amerika Latin pertama dilaksanakan di Buenos Aires. Pada tahun 1950-an perubahan yang besar semakin jelas baik di bidang sosial dan politik yang lebih terbuka kepada Protestanisme. Teolog-teolog Protestan pun bermunculan seperti Jose Miguez Bonino dari Argentina dan Emilio Castro dari Uruguay (pernah menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Gereja-gereja se-Dunia tahun 1985). Bagi mereka membaharui Katolikisme Vatikan II bukanlah sebuah musuh, tetapi tidak lebih menjadi sebuah sekutu. Pertumbuhan Protestan begitu cepat misalnya di Guatemala yang dulunya hanya 2% Protestan tahun 1960 menjadi 35% pada tahun 1990. Hal yang sama juga terjadi di Brazil dan bahkan pelayanan Pentakosta pun semakin meningkat di sana. Protestan mencapai 15% atau sekitar dua puluh juta jiwa dari seluruh penduduk. Sementara di daerah lain Protestanisme sekitar 8% dan 20% seperti di Chili, Nikaragua, Puerto Riko, El Salvador, Panama dan Venezuela. Hampir seluruhnya pertumbuhan ini didominasi Pentakosta.

4. CINA DAN TETANGGANYA Oleh : R.G.Tiedemann

Menurut Tiedemann, pengantar Kekristenan di sebelah timur Asia membuktikan kesulitan khusus sebab di Asia bertemu dengan sofistik tinggi dan masyarakat secara budaya yang mapan didasarkan perbedaan prinsip ideologi dan organisasionalnya. Asia Tenggara sudah lama menampakkan pengaruh-pengaruh budaya dan keagamaan dari India. Theravada Buddhisme di dalam elit dan berbagai masyarakat begitu kuat mengelilingi kelompok etnik Burma dan Siam (sekarang Thailand) dan memainkan bagian sentral di dalam tradisi politik-keagamaan. Di dalam dunia orang Asia Tenggara, tradisi animis sangat kuat. Dunia Asia Timur didominasi ‘budaya-budaya Kong Hu Cu yang tinggi’ di Cina, Jepang, Korea dan Vietnam.

CINA SEBELUM TAHUN 1500: NESTORIAN DAN FRANCISCAN

Banyak dari sejarah pra-modern Asia Timur dan Asia Tenggara dipengaruhi Cina yang mendominasi budaya dan kekuatan politik di wilayah ini. Tempat ini dipadati penduduk tetapi kerajaan masa lampau menjadi objek utama bagi penginjilan Barat. Meskipun demikian, di Cina terdapat macam iman Kristen yang diperoleh pertama ke Cina. Seperti Kristen Nestorian menyebar ke arah timur dari Persia di daerah Turki nomaden di Asia Tengah pada abad ke enam. Bukti pertama kegiatan misionaris Kristen di Cina ditemukan pada museum terkenal Nestorian – dibangun tahun 781 dan ditemukan kembali tahun 1625 – yang panjang lebar dan informasi inskripsinya dalam bahasa Cina dan Syria. Alopen tiba di pusat dinasti Tang, Chang’an (sekarang Xi’an) tahun 635 pada masa pemerintahan Kaisar Taizong (627-649). Masa ini menandakan terbukanya kebudayaan dan toleransi beragama yang diikuti Daoisme asli sama seperti agama Buddhisme, Manichaeisme, Zoroastrianisme, Yahudiisme dan Islam berada bersama Kong Hu Cuisme, tradisi budaya Cina orthodoks. Dengan dukungan dan bantuan kaisar, Gereja Kristen pertama dan biara dibangun di Chang’an tahun 638. Pada tahun yang sama Alopen, atas persetujuan kaisar dan bantuan koloborasi bahasa Cina, menyelesaikan terjemahan The Sutra of Jesus the Messiah, yang menjadi buku pertama orang Kristen dalam bahasa Cina. Diperkirakan ada sekitar 21 orang biarawan Nestorian mungkin dari Persia aktif bekerja di Cina. Meskipun demikian setelah keadaan yang menguntungkan pada awalnya ini, namun ada dua perkembangan yang berakibat bagi misi Nestorian di Cina yakni: penganiayaan di bawah Kaisar Wanita Buddhis Wu (625-705) dan penaklukan Arab di sebelah barat Asia yang memberhentikan misi Nestorian. Pada masa pemerintahan Xuangzong (712-756) Gereja dibangun kembali dan membuat kemajuan yang penting. Berdasarkan monumen tersebut, bangunan-bangunan gereja telah dirusak dan misionaris baru tiba dari Persia tahun 744. Tapi iman Kristen telah menyebar di Uighurs, yang dominan kekuatan Turko-Mongolia di Cina barat laut. Bahkan dalam Kekaisaran Cina sendiri, Nestorian menurun segera setelah pembangunan monumen itu. Penganiayaan terbesar di bawah Kaisar Wenzong tahun 845. Pada tahun 907 Gereja Kristen pertama di Cina dilenyapkan. Samuel Moffet menyimpulkan bahwa faktor yang menyebabkan kejatuhan Gereja Cina bukanlah akibat penganiayaan agama, juga bukan karena teologi yang kompromistis, dan juga bukan karena orang asing, melainkan kejatuhan dari kaisar yang mendukung dan yang melindungi Gereja. Ekspansi Mongolia di Asia menciptakan hubungan yang stabil di sepanjang rute perdagangan di antara Asia Timur dan Asia Barat menciptakan kondisi untuk menampakkan kembali Kekristenan di Cina. Nestorian kembali pada Kerajaan Tengah (Middle Kingdom) dalam kebangkitan penaklukan Mongolia atau Cina Utara tahun 1260. Kaisar Mongolia juga memfasilitasi hubungan langsung di antara orang Cina dan orang Eropa. Paus Innocentius IV dan pemerintah Eropa lainnya memahami ide aliansi dengan Mongolia melawan Islam. Karena itu, Konsili Lyon tahun 1245 memutuskan mengirimkan misi ke Mongolia untuk mendirikan hubungan persaudaraan dengan Mongolia. Salah satu badan misi itu dipimpin biarawan Fransiskan Yohanes Plano Carpini (Giovanni del Pian di Carpini), yang tiba di ibu kota Mongolia Qaraqorum pada saat penobatan Quyuk menjadi Khan Agung ketiga (1246-1248) tanggal 24 Agustus 1246. Namun misi Yohanes ini tidak membawa hasil yang baik. Tenaga misi berikutnya adalah William Rubruck seorang Fransiskan. Tahun 1287 Arghun mengirimkan biarawan Nestorian Rabban Sauma sebagai duta untuk memelihara aliansi dengan orang Eropa. Dia mengunjungi Roma, Paris dan Bordeaux dan bertemu Paus dan raja-raja Perancis dan Inggris. Catatan lain yang perlu diperhatikan menurut Tiedemann, seorang Nestorian Kerait ratu Sorqoqtani yang meninggal tahun 1252 adalah ibu kandung Qubilai Khan yang membangun dinasti Yuan di Cina Utara tahun1271 dan pada tahun 1279 menaklukkan seluruh Cina. Dalam pemerintahannya, Qubilai Khan mengadopsi strategi dan administrasi dari orang asing termasuk orang Kristen. Sehingga dinasti Yuan ini dapat menerima kehadiran Katolik Roma memasuki Kerajaan Tengah itu sendiri. Biarawan Fransiskan lainnya yang datang ke Cina adalah Yohanes Montecorvino yang datang ke Cina melalui pantai India dan tiba di Khanbaliq (atau Dadu yang sekarang Beijing) tahun 1294 dan diterima oleh Kaisar Temur Oljeitu (1294-1307) cucu Qubilai Khan. Yohanes diijinkan membangun Gereja di Beijing tahun 1299 di atas tanah yang dibeli oleh tentara Italia, Peter Lucalongo. Dalam suratnya tahun 1305, Yohanes melaporkan sudah ada 6000 orang yang menjadi Kristen. Setelah Yohanes, masih ada tujuh lagi biarawan yang dikirimkan ke Cina namun hanya tiga yang tiba di Khanbaliq tahun 1308. Dengan kehadiran mereka maka penyebaran Kekristenan semakin meluas ke daerah Quanzhou (Zaitun) di Provinsi Fujian. Sehingga telah berdiri gereja Katolik di Yangzhou, Hangzhou (Quinsai) dan tempat-tempat lainnya. Sekitar tahun 1322 seorang pengunjung Fransiskan, Ordoric Pordenone (kira 1265-1331) yang tiba di Cina Utara dengan membawa tulang-tulang empat orang Fransiskan yang dibunuh di India ketika mereka berusaha menemukan Cina. Kemudian Yohanes meninggalkan Cina kembali ke Eropa. Pada saat itu dinasti Yuan sudah semakin merosot dan digulingkan tahun 1368. Sehingga Uskup Zaitun, James Florence dibunuh oleh pejuang Cina tahun 1362 dan tahun 1369 seluruh orang Kristen diusir dari Beijing.

MENANAMKAN KEKRISTENAN, 1500 – 1800

Ekspansi kolonial Portugis dan kekuatan perdagangan di Asia pada masa pertengahan pertama abad keenam belas diikuti oleh semangat misionaris Katolik untuk menyebarkan Kekristenan kepada penduduk baru dari negara yang ditemukannya. Berdasarkan bulla Paus Aleksander VI (1493) dan perjanjian Tordesillas (1494) dan Saragosa (1529), dunia telah dibagi menjadi dua jurisdiksi spiritual di bawah dukungan penguasa Spanyol dan Portugal yang bertanggung jawab atas pertobatan ‘orang kafir’ dan bangunan gereja-gereja dan biara-biara. Konsekuensinya, Portugis meneruskan mendirikan pusat perdagangan di Asia, dan memperluasnya dari Goa (1510) di India ke Malaka (1511) di Malaysia, Ternate (1522), Tidore dan Ambon di Maluku atau ‘pulau rempah-rempah’, Faifo (sekarang Hoi An) dekat Da Nang di Vietnam, Makao di Cina dan Jepang, imam-imam ikut bersama sebagai chaplain (pendeta yang memberikan khotbah pada golongan tertentu) dan penginjil-penginjil di bawah pengaturan paus (padroado). Kecuali di Malaka, Portugis tidak berhasil menanamkan Kekristenan di Asia Tenggara. Di pulau-pulau Indonesia, Fransiskus Xavierus (1506-1552), seorang Yesuit Spanyol tiba tahun 1546. Dia berada di wilayah Maluku selama dua tahun dan ‘mentobatkan’ ribuan suku-suku non-Muslim. Atas dukungan badan misionarisnya banyak orang yang tertarik menjadi Kristen sehingga tahun 1555, 30 desa di pulau-pulau Ambon menjadi Kristen. Karena Portugis gagal memberikan dukungan yang efektif, maka misisionaris tidak dapat membantu pemimpin setempat yang telah menerima Kekristenan melawan musuh mereka. Misi Katolik jauh lebih melemah setelah tahun 1605 ketika Kompeni India Timur Belanda mengusir Portugis dari Ambon dan Tidore.

FILIPINA

Karena Kekristenan Portugis membuat sedikit penekanan di Asia Tenggara, situasinya agak berbeda di bawah penjajahan Spanyol di Filipina. Setelah komunikasi yang dilakukan Magellan gagal di Cebu tahun 1521, penginjilan dimulai dalam kesungguhan oleh Raja Philip II tahun 1570 untuk mengirimkan Spanyol untuk kolonialisasi dan Kristenisasi seluruh pulau Filipina. Dengan penaklukan Manila, pemimpin setempat menyetujui perjanjian dan menerima pengawasan Spanyol dan penyebaran Kekristenan. Tahun 1595 sudah ada 134 misionaris bekerja di Filipina dan diperkirakan 288.000 telah dibaptiskan. Proses Kekristenan di Filipina diikuti keputusan sebelumnya yang telah dibuat di Spanyol Amerika, di mana para misionaris belajar bahwa adalah sangat penting untuk mengkristenkan para pemimpin beserta pengikutnya dan bahkan lebih efektif lagi jika mengkristenkan pemimpin lokal dan mengajar para anak-anaknya. Hal yang sangat penting juga dalam keberhasilan Kekristenan di Filipina adalah aspek-aspek ibadah mengakomodasi unsur budaya mereka. Di dalam masyarakat di mana penyembahan dipraktekkan, figur kekudusan Katolik diterima sebagai sumber kekuatan yang efektif dan atraktif. Di sisi lain, orang Filipina secara perlahan-lahan menerima ide monogami Kristen dan ketidakberceraian pernikahan.

KEBANGKITAN DAN KEJATUHAN KEKRISTENAN SEBELUM ABAD PERTENGAHAN JEPANG

Usaha misionaris Katolik di Jepang diikuti sangat dekat di belakang perdagangan Portugis yang pertama kali menjangkau negara ini tahun 1543. Pada tanggal 15 Agustus 1549 Fransiskus Xavierus dan teman sekerjanya Torres dan Fernandez mendarat di Kagoshima ibukota Satsuma, salah satu kekuatan ban (penguasa feodal) di Jepang sebelah barat. Mereka ditemani oleh seorang Jepang yang bernama Paul Yajiro (atau Anjiro) yang meninggalkan Jepang tahun 1544 dalam kapal Portugis untuk menghindari penangkapan pembantaian manusia. Dia dibaptiskan dan menerima pendidikan dasar di Perguruan St.Paulus di Goa. Dia melayani para imam sebagai penerjemah. Misi dengan segera mampu membangun hubungan yang ramah dengan beberapa orang Jepang. Yesuit sudah berhasil di di sebelah utara pulau Kyushu dengan menobatkan daimyo (pemimpin feodal) yang berpengaruh. Tidak lama setelah keberangkatan Xavierus tahun 1551, misionaris mulai melihat ke pusat budaya Jepang. Mereka membina hubungan persaudaraan dan menambah dukungan bagi orang-orang yang berpengaruh. Sehingga Gaspar Vilela SJ (1525-1572) dijamini sebagai peserta shogun (pemimpin militer) tahun 1559. Saat itu, Yesuit berhasil mendapatkan hubungan dengan pemimpin hegemonik Oda Nobunaga (1534-1582), seorang yang sangat tangguh dan berpengaruh di Jepang tahun 1568. Pengganti Nobunaga sebagai pemimpin militer Jepang, Toyotomi Hideyoshi (1537-1598) berprinsip sama dengan Nobunaga. Bahan tahun 1583, Hideyoshi memberikan lahan bagi pembangunan sebuah Gereja di Osaka. Misionaris membuat dukungan untuk mengadaptasi budaya setempat. Alessandro Valignano (1539-1606), seorang Yesuit Italia yang tiba tahun 1579 memimpin pertama perjalanan tiga inspeksi. Valignano menekankan agar imam-imam asing sejauh memungkinkan mengakomodasikan diri mereka pada sensibilitas dan gaya melakukan sesuatu dari masyarakat setempat sepanjang hal tersebut tidak jauh menyimpang dari pengakuan iman Kristen. Mereka mengadopsi gaya hidup orang Jepang dalam hal berpakaian, kebersihan, makanan, dan perumahan. Perkembangan selanjutnya mulailah terjadi perebutan lahan penginjilan dari beberapa badan misi di Jepang seperti misi Fransiskan Spanyol. Yang sangat menyedihkan badan misi ini saling menjelek-jelekkan dan berseteru satu sama lainnya. Melihat situasi ini, shogun Ieyasu (1542-1616) yang pada mulanya telah berteman baik dengan orang Kristen dengan segera melawan orang Kristen dan menyatakan bahwa agama Kristen adalah agama yang tidak sah tahun 1606 dan pada tanggal 27 Januari 1614 mempublikasikan edik terkenal yang melawan Kekristenan itu. Hal menyakitkan ini terus berlangsung pada masa pengganti Ieyasu dengan mengusir para misionaris. Tragedi terbesar terjadi tahun 1637-1638, orang petani Kristen di Shimabara-Amakusa wilayah sebelah barat Kyushu secara brutal disiksa oleh pemerintah. Akibat tindakan biadab ini, jumlah orang Kristen (sekitar 300.000 orang dari 25 juta) semakin berkurang. Banyak orang Kristen melarikan diri ke luar negeri dan mendirikan jemaat Kristen Jepang di Faifo di Vietnam dan di Ayutthaya di Thailand (Siam). Memasuki periode Tokugawa ditandai oleh keteguhan dan kekerasan anti-Kekristenan hingga permulaan tahun 1600-an. Tahun 1640 Kantor Penyelidikan bagi Urusan Kristen didirikan di dalam Tokyo modern mengawasi orang-orang Kristen. Pengawasan ini ditambahkan dengan praktek anti-Kristen yang disebut dengan efumi.

KEKAISARAN TERAKHIR CINA

Tidak ada bukti yang konkrit bahwa beberapa jemaat Kristen pada masa Mongolia bertahan hingga akhir dinasti Ming dan pada permulaan dinasti Qing, walaupun komunitas Kristen mengklaim ada sebuah mata rantainya. Permulaan misi modern di Cina sangat dekat dengan Jepang. Fransiskus Xavierus yang memulai bekerja di Jepang berharap juga memulai pekerjaannya bagi orang Cina. Tetapi dia meninggal tahun 1552 di Pulau Shangchuan (Pulau St.Yohanes) pantai sebelah selatan Cina sebelum dia mencapai tujuannya. Tiga orang Yesuit yang berusaha memasuki Cina juga gagal sebelum Alessandro Valignano mendirikan sebuah pusat pelatihan khusus di Makao yang memampukan para misionaris untuk belajar bahasa dan kebudayaan Cina sebagai persiapan pekerjaan di Cina. Pada tahun 1583 baru ada dua orang misionaris Italia yang berhasil memasuki Kekaisaran Cina yaitu: Matteo Ricci (1552-1610) dan Michele Ruggieri (1542-1607). Mereka mulai belajar tata bahasa dan bahasa klasik Cina. Pada tahun 1583, mereka tiba di Zhaoqing dekat Guangzhou (Canton). Di antara tahun 1589 dan 1601, Ricci mendirikan sejumlah badan misi di beberapa kota di ibu kota Cina. Akhirnya, tahun 1601, dia diijinkan ke Beijing pusat kekaisaran dan sejak tahun 1601 hingga kematiannya tahun 1610 menandakan puncak keberhasilannya mengatur pelayanan bagi misi Yesuit di kekaisaran Cina. Ricci sangat cepat mempengaruhi para pemikir intelektual Cina dengan memperkenalkan ilmu-ilmu anstronomi dan matematika serta jam tangan. Ricci juga meyakinkan orang Cina bahwa orang Eropa bukanlah pemakan manusia (barbarian). Dengan demikian maka beberapa orang dari intelek penting Cina menerima Yesus seperti: Xu Guangqi (1562-1633), Li Zhizao (1543-1630), dan Yang Tingyun (1557-1562). Kehadiran para misionaris di Cina membawa kemajuan besar. Misalnya saja Johann Adam Schall von Bell (1592-1666) pengganti Ricci dijadikan sebagai ahli astronomi bagi dinasti Qing. Kemudian misionaris Yesuit khususnya Ferdinand Verbiest (1623-1688) memperoleh penghargaan Kaisar agung Kangxi (1662-1722). Dan sebagai puncaknya maka kaisar mengeluarkan edik toleransi bagi agama Kristen tahun 1692. Namun harus juga dicatat bahwa bukan hanya misionaris Yesuit yang datang ke Cina. Namun masih ada lagi badan misi lain seperti Missions Etrangeres de Paris (MEP) yang melakukan penginjilannya bukan hanya bagi kalangan pemimpin kelas atas, tetapi mereka juga bekerja dan tinggal sebagai masyarakat desa. Di desa mereka bertemu satu per satu dengan pemimpin agama terkenal di Cina. Dalam penginjilannya di Cina, Ricci banyak menerima praktek keagamaan Konfutzu sebab menurutnya bahwa agama ini juga bertujuan untuk membawa damai bagi umatnya dan agama ini bukanlah agama yang percaya pada takhyul. Walaupun demikian, Ricci tetap menolak aliran ortodoks Neo-Konfusianisme sebagai agama takhyul. Rici juga menolak beberapa ajaran yang tidak sesuai dengan iman Kristen misalnya ; dilarang berdoa bagi orang meninggal. Persoalan yang terpenting yang dihadapi Ricci adalah soal kata ‘Allah’. Ricci mengadopsi ide dan ekspresi tradisi klasik Cina dengan dua ekspresi yaitu: pertama, Allah itu disebut Shangdi (Penguasa tertinggi di Atas), dan kedua, Tian (‘Sorga’). Pada tahun 1583, Ricci memilih istilah Tianzhu (‘Raja Sorga’) untuk menyebut ‘Allah’. Namun akibat nasihat dari para sarjana bahasa Cina kemudian, Ricci condong menggunakan istilah Shangdi. Walaupun, tahun 1628 istilah Shangdi ditolah pada kenferensi misionaris di Tianzhu, dan Kristen Katolik mengenal Tianzhujian, agama Tuhan di Sorga. Perdebatan tentang ‘Allah’ ini ternyata menjadi persoalan yang dalam. Bagi beberapa kalangan intelektual Cina mencurigai bahwa Kekristenan telah mencuri istilah Konfutzu untuk menamakan tuhan dan meminjam bahasa Buddhis tentang pemindahan jiwa. Perkembangan selanjutnya menurut Tiedemann, orang Kristen akhirnya secara sosial-politik dinyatakan sebagai orang yang menyimpang secara ideologi. Sehingga sejak tahun 1724 edik Kaisar Yongzheng semakin diintensifkan menganiaya orang yang menjadi Kristen. Orang Kristen diperintahkan meninggalkan iman mereka. Misionaris asing, kecuali yang bekerja di Kantor Astronomi di Beijing, diusir dari Cina. Harta benda gereja disita dan digunakan untuk umum. Walaupun bukan secara eksplisit keberhasilan penginjilan sejak awal bergantung pada dukungan orang-orang Kristen Cina seperti Xu Guangqi (Paul Hsu), Li Zhizao (Leo Li) dan Yang Tingyun (Michael Yang) yang bukan hanya mendukung imam-imam dari Barat tetapi juga mereka mendirikan Gereja-gereja di dalam Jiangnan mereka sendiri. Misionaris Katolik melakukan pelatihan bagi imam penduduk setempat sehingga mereka mengangkat Luo Wenzao [Gregorio Lopez] (1611-1691) orang Cina pertama menjadi imam. Wenzao seorang penduduk asli provinsi Fujian yang memasuki serikat Dominican dan ditahbiskan menjadi imam di Manila tahun 1654. Dia diangkat menjadi uskup di Nanjing yang kemudian menjadi uskup pertama orang Cina yang memimpin wilayah Cina sejak tanggal 1 Agustus 1688. Klerus lainnya dilatih dan dibina di Makao oleh Yesuit, di Manila oleh Dominican, dan di Seminari Umum di Thailand oleh Misionaris Paris. Ada juga yang menarik dalam keterlibatan perempuan dalam penginjilan di Cina ini. Para perempuan mengkonsentrasikan hidup mereka melayani Allah dan misi sehingga mereka disebut perawan-perawan Cina.

ASAL MUASAL GEREJA DI VIETNAM

Walaupun telah ada beberapa hubungan misionaris di Vietnam, namun keberhasilan usaha Kristenisasi dimulai tahun 1624 dengan tibanya Aleksander de Rhodes (1591-1660) di Faifo dari Yesuit Perancis. Dia seorang ahli bahasa dan penulis katekismus pertama dalam bahasa Vietnam. Di antara tahun 1627 dan pengusirannya tahun 1630, Rhodes aktif di Tongking, sebelah utara Vietnam yang diawasi oleh Trinh. Di daerah ini banyak masukan yang diberikannya bagi Gereja Vietnam dengan mendirikan Domus Dei, sebuah organisasi pelatihan-seminar katekis. Dalam kenyataanya, organisasi ini isinya didasarkan pada lembaga Buddhis – terbukti keinginan Rhodes mengikuti apa yang telah dilakukan Valignano dan Ricci – untuk mengadopsi kebiasaan dan praktek agama suku. Dalam kunjungan singkat Rhodes kali kedua ke Vietnam tahun 1640, Rhodes melakukan metode yang sama di wilayah Nguyen di sebelah selatan Vietnam yang walaupun kurang berhasil. Tahun 1658, orang Kristen di Vietnam sekitar 300.000 orang Katolik dan hanya dua orang imam. Sekembalinya Rhodes ke Eropa tahun 1649, dia juga mendirikan sebuah yayasan Lembaga Misi Asing Paris (Missions Etrangeres de Paris) tahun 1659 yang didukung oleh Gereja Perancis, tentara Perancis dan istana Louis XIV. Lembaga ini mengutus dua orang calon pelayan yaitu: Pierre Lambert de la Motte MEP (1624-1679) dan Francois Pallu MEP (1626-1684) ke wilayah Asia Tenggara. Pada tahun 1666 MEP membuka pusat seminari di Ayutthaya di ibu kota Thailand untuk mempersiapkan para pendeta bagi orang Cina, Vietnam dan tempat-tempat lainnya di Asia Timur.

1800 – 1945

Pada abad kesembilan belas badan-badan misi – baik Katolik maupun Protestan berkompetisi – semakin meningkat dengan perluasan kolonialisme dan imperialisme Barat. Meskipun pada permulaan abad kesembilan belas banyak daerah Asia Timur dan Asia Tenggara masih termasuk dalam kekuatan Eropa. Hanya Penang, Malaka, Jawa, beberapa daerah di Maluku dan bagian utara Filipina yang dapat disebut di bawah pengawasan asing. Pada awal abad kedua puluh hampir seluruh wilayah Asia Tenggara berada dalam tangan penjajah, seperti Belanda menjajah seluruh kepulauan Indonesia, sementara itu Ingggris menjajah Burma dan Malasya, Perancis menjajah Indo-Cina (Vietnam, Kamboja, dan Laos).

GEREJA, PENJAJAHAN DAN NASIONALISME DI ASIA TENGGARA

Menurut Tiedemann, hanya Filipinalah negara yang paling banyak menerima Kekristenan pada tahun 1800. Di mana-mana para penginjil selalu berjuang menghadapi Muslim di Malasya dan beberapa bagian wilayah Indonesia dan menghadapi Theravada Buddhis di Myanmar dan Thailand. Tetapi perkembangan di Vietnam, perluasan Kekristenan lebih agresif. Pengaruh Pigneau de Behaine dan tentara Perancis membantu membangun dinasti Nguyen pada kekaisaran Gia Long tahun 1790-an masih terbawa hingga dekade kedua tahun 1800-an. Kekaisaran sangat menghargai iman Katolik. Sehingga para biarawan Spanyol sudah ada di utara Vietnam (Tongking) dan imam-imam Perancis di selatan Vietnam (Annam dan Cochin-Cina). Diperkirakan ada sekitar 300.000 orang Kristen di Tongking dan 60.000 orang di Cochin-Cina tahun 1820. Setelah kematian Gia Long, maka pemimpin baru yang didominasi oleh Konfutzu konservatif mengacaukan para misionaris dan orang yang telah menerima Kristus. Penganiayaan kepada orang Kristen semakin meningkat di Vietnam setelah tahun 1833 dan terjadilah perang di antara Raja Minh Mang dan pemimpin misionaris Perancis. Minh Mang menangkap seluruh para misionaris dan memenjarakan mereka. Beberapa dari para misionaris itu dapat melarikan diri namun tujuh misionaris Perancis dan tiga misionaris Spanyol dibunuh di antara tahun 1833 dan 1840. Berbeda dalam pengawasan Belanda pada abad ketujuh belas dan delapan belas seperti di Indonesia, penginjilan itu tidak didorong oleh para penjajah. Sesungguhnya usaha pengkristenan secara esensial dibatasi pada perpindahan agama Katolik menjadi Protestanisme jika dibutuhkan bahkan dengan paksaan. Setelah tahun 1800 saat penginjilan dihalangi oleh penguasa Belanda, pekerjaan misionaris Protestan aktif dimulai di antara penduduk non-Muslim. Pekerjaan ini diprakarsai oleh Lembaga Misi London (London Missionary Society) di Jawa Timur tahun 1814. Lembaga Misi Rhenish (Rhenish Missionary Society) bekerja di Sulawesi Utara tahun 1836 dan dari tahun 1862 bekerja di Batak Toba di Sumatera Utara dan di Nias tempat Gereja Protestan Indonesia terbesar yaitu Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). The Indische Kerk (atau Protestantsche Kerk//Gereja Protestan di Hindia-Belanda//Nederlandsch-Indie), dulunya adalah Gereja Dutch East India Company (Gereja Kompeni Hindia-Belanda Timur) sejak tahun 1900 memulai kegiatan misinya di kepulauan Sulawesi, Maluku dan Timor. Gereja ini adalah gereja negara di mana para pendetanya diangkat dan digaji oleh pemerintah Hindia-Belanda. Di Thailand dan kerajaan-kerajaan Burmese Ava dan Pegu penginjilan sangat sedikit yang dilakukan. Misi Kristen Protestan hanya bisa dilakukan di antara kelompok minoritas non-Buddhis seperti di Karens dan Kachins. Berbeda dengan di Filipina, masukan yang sangat penting dari imam pribumi bagi kembangkitan Nasionalisme Filipina menjadi bukti gerakan keagamaan yang dipimpin oleh Gregorio Aglipay yang telah dikucilkan tahun 1890-an karena menentang kekuasaan asing di Gereja Filipina. Emilio Aguinaldo, pemimpin Katipunan menugaskan Gregorio menjadi tentara nasionalis. Setelah berpisah dari Roma tahun 1902, Gregorio menjadi uskup Gereja Independen Filipina. Sering sekali timbul anggapan bahwa perpindahan agama menjadi Kristen sering diimplikasikan koloborasi dengan pemerintahan penjajah. Pada hal gerakan-gerakan yang dilakukan mistikus Jawa Paulus Tosari dan Sadrach di Jawa adalah contoh perlawanan orang Kristen pribumi kepada penjajah Belanda pada abad kesembilan belas. Sejak tahun 1930-an, maka banyaklah gereja-gereja yang berdiri sendiri seperti Gereja Batak tahun 1930, Gereja Kristen Jawa Timur tahun 1931, Gereja Pasunda di Jawa Barat dan Gereja Minahasa tahun 1934, Gereja Maluku tahun 1935. Teolog Hendrik Kraemer, tenaga misionaris Belanda patut mendapatkan pujian sebab dia mengakui dampak pertumbuhan nasionalisme Indonesia atas orang Kristen pribumi. Kraemer diingatkan atas hasil Konferensi Tambaran tentang Dewan Misi Internasional tahun 1938 bahwa Gereja-gereja ‘muda’ adalah buah pekerjaan misionaris, dan bukan untuk milik lembaga-lembaga misi itu.

DARI MISI KE GEREJA DALAM CINA MODERN

Cina menjadi perhatian utama gerakan misionaris Barat di Asia Timur dan obyek pengharapan umum orang Kristen di seluruh dunia. Walaupun orang Cina sendiri sangat mencurigai kehadiran orang Kristen dan bersikap tidak ramah terhadap Kekristenan itu sendiri. Reintegrasi Katolik Cina pada pengembangan misi bukanlah tanpa perlawanan. Ada beberapa indikasi bahwa masyarakat setempat dan pemimpin kaum awam enggan memberikan otonomi. Di daerah Shanghai ada juga perlawanan untuk pernyataan kembali bagi kekuatan misi asing. Di kota Songjiang sebuah konfrontasi di antara misionaris dan orang Cina terjadi akibat partisipasi perawan perempuan di dalam liturgi. Kemudian dibiasakan untuk memimpin lagu-lagu penyembahan di Cina pada masa Mass. Ketika Uskup Ludovico de Besi menyusun pendoa-pendoa baik laki-laki dan perempuan secara bergilir, badai protes terjadi di antara laki-laki dan perempuan yang menyinggung perasaan dan sensibilitas orang Cina. Setelah Yesuit mengambil alih misi di Jiangnan tahun 1840-an, mereka menentukan cara untuk mengatasi masalah dengan ‘meregularisasi’ kehidupan ‘perawan perempuan’. Maka tahun 1869 sekelompok orang Perancis mendirikan jemaat Cina pribumi, Assosiasi Presentasi Perawan yang Diberkati. Hal yang perlu dicatat adalah timbulnya peseteruan orang Kristen di Cina yang bersamaan dengan Pemberontakan Taiping [Damai Besar] (1851-1864) yang melawan dinasti Manchu, salah satu perang sipil terparah dalam sejarah kemanusiaan. Negara Qing menganggap Pemberontakan Taiping perjuangan yang merusak ideologi. Bahkan di mata pemerintah, pemberontakan ini identik dengan ‘Kekristenan’. Akibatnya, para misionaris Barat sangat sulit memasuki Cina dan Gereja Cina dilarang untuk berkembang. Kehadiran penginjil Protestan menambah sebuah dimensi baru. Tenaga misi Protestan yang tiba di Cina adalah: pertama, Robert Morrison dari London Missionary Society (LMS) yang tiba tahun 1807 di Makao dan Guangzhou (Canton). Di kedua tempat ini kegiatan mereka sangat dibatasi. Kedua, Karl Friedrich August Gutzlaff (1803-1851). Dia berusaha untuk memperoleh langsung akses ke Middle Kingdom. Tindakannya yang ceroboh dalam penyeludupan opium ke pantai Cina sangat dikritisi. Memang seluruh badan misi, baik Katolik maupun Protestan harus bergantung dengan hubungan opium: banyak pedagan keluar Cina selalu membawa opium. Dana mereka juga diperoleh dari hasil penjualan opium. Pada tahun 1900 sudah ada sekitar dua ribuan misionaris Protestan asing di Cina. Misi Protestan melakukan tugas penginjilan mereka biasanya dari kota-kota dan dari sana mereka berjalan dari satu tempat ke tempat lain (itinerate) di sekitar desa-desa dan bekerja serta tinggal di antara petani-petani pribumi. Banyak para imam-imam Eropa yang melanjutkan untuk tinggal menetap di banyak pusat pertumbuhan Kristen di desa. Sehingga dapat dikatakan bahwa petobat-petobat baru kekristenan berada di daerah pedesaan. Menurut Tiedemann, sangat sulit didapati sumber-sumber apa yang menyebabkan pertikaian kekerasan bagi orang Kristen di Cina. Ada ratusan kasus yang menjadi perdebatan orang Kristen setempat pada abad kesembilan belas seperti: penolakan orang Kristen membayar pajak dan pemberian biaya perawatan candi-candi “kekafiran”, perkara di antara orang Kristen dan non-Kristen, permasalahan atas hak kepemilikan, perdebatan intra-lineage (garis keturunan) atau inter-lineage. Perasaan Anti-Kristen diperoleh dari sumber-sumber yang lain. Konflik juga terjadi di daerah urban. Di daerah urban ini para misionaris memiliki pengaruh yang besar terhadap politik dan budaya. Mereka juga menunjukkan diri sebagai pembawa peradaban manusia sebagai bagian dari ekspansi umum dari penguasaan Barat. Misi Protestan mendirikan sekolah bagi anak-anak laki-laki dan perempuan, rumah sakit dan percetakan, melatih tenaga kerja umum maupun agama. Puncak dari ketegangan bagi orang Kristen ialah dengan timbulnya Pemberontakan Boxer tahun 1900 yang membunuh banyak misionaris dan ribuan orang Kristen dibunuh. Badai ‘musim panas yang gila’ (summer madness) tahun 1900 membawa perubahan yang berarti bagi hubungan Cina dengan Barat. Sentimen anti-Kristen tradisional secara signifikan menurun dan para misionaris dan orang Kristen dapat memainkan usaha pembangunan pembaharuan Cina. Bagi Protestan, Kekristenan menjadi semakin bervariasi misalnya dengan masuknya Pentakostal dan Adventis. Semakin banyak misi independent atau misi ‘iman’ yang datang ke Cina yang bukan dari lembaga-lembaga misi. Pada tahun 1925, sudah ada sekitar 8.000 misi Protestan asing di Cina. Perkembangan lain yang sangat penting adalah pertumbuhan gereja Cina Protestan independen dengan tiga prinsip kemandirian yaitu: mandiri organisasi, mandiri dana, dan mandiri penginjilan. Orang Kristen di Cina juga akhirnya bisa membentuk Dewan Kristen Nasional yang telah mengadakan Konferensinya tahun 1922. Gerakan kemandirian gereja di Cina ini dapat terlihat melalui: (1) Federasi Gereja membuat jemaat mandiri penginjilan dan mandiri organisasi dan memisahkan diri dari badan misi asing. Salah satu di antaranya, Gereja Kristen Cina Independen yang didirikan di Shanghai tahun 1906 oleh Pendeta Yu Guozhen (Presbiterian). Gerakan ini juga diikuti oleh Cina Utara di Shandong tahun 1912, jemaat Tianjin oleh Zhang Boliang (1876-1951) pendiri Universitas Nakai, Gereja Beijing independen oleh Cheng Jingyi (1881-1939). (2) Berdirinya Gereja Yesus yang Benar (The True Jesus Church), gereja Pentakosta tahun 1917. (3) Dengan adanya The Assembly Hall (atau ‘Gereja Lokal’) yang diorganisasikan oleh Ni Tuosheng (‘Watchman Nee’, 1903-1972) pada pertengahan tahun 1920-an. (4) Berdirinya Keluarga Yesus (The Jesus Family), Gereja Pentakosta yang unik yang dipimpin oleh Jing Dianying (1890-1953?) di provinsi Shandong tahun 1920-an. (5) Gerakan kemandirian lainnya yang diorganisasikan Spiritual Gifts Church di Shandong tahun 1930-an dan penginjilan prbadi-pribadi seperti Wang Mingdao (1900-1991) dan Song Shangjie [John Sung] (1901-1944). Hal lain yang perlu dicatat juga adalah perkembangan para pemikir Katolik Cina yang begitu banyak memainkan peranan dalam perkembangan Gereja di Cina seperti: pertama, Ma Xiangbo (1840-1939) yang banyak memberikan masukan di bidang agama, politik dan pendidikan. Dia mendirikan Universitas Aurora (sekarang Universitas Zhendan) di Shanghai tahun 1903, Universitas Furen tahun 1925. Kedua, Lu Bohong [Joseph Lo Pa Hong] (1874-1937). Dia mendirikan rumah sakit dan sekolah-sekolah tahun 1928. Ketiga, Rene Lu Zhengxiang (1870-1949) seorang diplomat pada masa akhit kekaisaran dan permulaan tahun-tahun republik. Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1930-an didirikanlah Pemerintahan Guomindang (Nasionalis) yang dipimpin Chiang Kai-shek. Dengan pemerintahan ini maka Kekristenan semakin leluasa bekerja di lapangan sosial dan bahkan di dunia politik.

JEPANG: PERTEMUAN KEDUA

Pada masa shogun Tokugawa Jepang masih terus melanjutkan kebijakan pengisolasian diri dari kegiatan misionaris asing di Jepang. Periode pengisolasian diri Jepang ini berakhir dengan tibanya ‘Kapal Hitam’ Amerika di bawah pimpinan Komodor Matthew C.Perry tahun 1853. Dengan Perjanjian Damai dan Perniagaan tahun 1859 dan perjanjian yang sama yang ditanda tangani dengan penguasa Barat, maka orang Amerika dan Eropa diijinkan lagi bebas melakukan kegiatan Kekristenan di Jepang. Tahun 1859 misionaris Protestan tiba yang melayani orang Kristen asing yang ada di Jepang dan misi khusus lainnya untuk bekerja di antara orang-orang Jepang itu sendiri. Di Jepang ini juga ditemukan komunitas ‘orang Kristen tersembunyi’ (Kakure Kirishitan) di Nagasaki tahun 1865. Kitab mereka disebut dengan Tenchi hanjimari no koto yang menunjukkan gabungan dua kitab Shinto dan elemen Buddhis dan yang berisikan pesan-pesan Alkitab. Diperkirakan sekitar 60.000 orang Kristen tersembunyi ini. Akhirnya, Restorasi Meiji tahun 1868 pemerintah menarik kembali sanksi agama dan mengijinkan para petani kembali ke rumah mereka masing-masing. Bersamaan dengan masa Restorasi Meiji ini, maka bangkit pulalah samangat gereja mandiri dari kalangan Kristen pribumi. Lembaga pertama yang tumbuh di luar pengawasan badan misionaris Barat adalah Mukyokai (Gerakan Non-Gereja) yang didirikan pada tahun 1901 oleh Uchimura Kanzo (1861-1930). Kebangkitan semangat nasionalisme juga semakin kuat akibat sikap orang Barat atas ‘perjanjian tak seimbang’ membuat orang Kristen semakin memberikan masukan untuk modernisasi negara. Setelah tahun 1900 Gereja-gereja mensponsori bermacam proyek sosial dan kesehatan seperti rumah sakit untuk menolong orang yang sakit TBC, kusta dan menolong anak yatim-piatu dan lain-lain. Semangat nasionalisme ini juga menghasilkan kesatuan gereja-gereja di Jepang yang didorong oleh pemerintah. Sehingga pada tahun 1941 Gereja-gereja di Jepang membentuk Persekutuan Gereja Kristus di Jepang (Nihon Kirisuto Kyodan) yang beranggotakan 30 Gereja Protestan.

KOREA

Korea adalah negara Asia Timur yang terakhir membuka diri untuk dimasuki langsung Kristen. Usaha penginjilan ke daerah Korea ini telah dicoba dari Jepang, Cina dan Filipina, namun usaha ini selalu gagal. Dan penginjilan secara langsung belum dimulai hingga akhir abad kedelapan belas. Meskipun demikian, pengaruh Kekristenan secara tidak langsung telah diterima oleh para sarjana elit pada permulaan abad ketujuh belas melalui penerbitan bahasa Cina oleh Yesuit di Cina dan di bawa ke Korea oleh duta Korea yang datang ke Beijing. Kekristenan di Korea ini bermula dari Yi Sunghun [Peter Lee Seung-hun] (1756-1801) yang meyakinkan Yi Pyok [Lee Pyok] (1754-1786) salah seorang anggota kelompok Buddhis yang datang ke Cina untuk belajar tahun 1784. Ketika di Cina Yi Sunghun dibaptiskan oleh Jean-Joseph de Grammont (1736-1812). Sekembalinya Yi Sunghun ke Korea bersama Yi Pyok, mereka mulai menginjili teman-teman dan tetangga mereka. Merekalah yang membawa Kekristenan ke Korea, bukan orang-orang misionaris dari Barat. Dengan kata lain, sejak semula Gereja Katolik Korea telah mandiri secara organisasi Gereja. Orang Kristen mulai berkembang dan membangun gereja berdasarkan apa yang mereka lihat di Beijing. Uskup dan imam-imam dipilih dan diangkat setelah tahun 1789. Namun reaksi dari Beijing mengirimkan surat yang menyatakan bahwa apa yang orang Kristen Korea lakukan adalah tidak sah berdasarkan hukum yang ada. Tahun 1795, James Zhou Wenmo (1752-1801) seorang imam Cina secara diam-diam datang ke Korea dan menghidupkan kembali Kekristenan di Korea. Pada tahun 1795 sudah ada sekitar 4.000 orang Kristen dan meningkat menjadi 10.000 orang setelah lima tahun kemudian. Biasanya sarjana Konfutzu di Cina, Jepang, dan Korea selalu menghakimi Kekristenan sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, dan berfilosofi subversif. Keterlibatan orang Katolik dengan Sip’a (Party Expediency) yang mengakibatkan kehilangan kekuasaan dan kematian tiba-tiba Raja Chongjo tahun 1800, membuat gereja di kambing-hitamkan secara politik. Akhirnya penyerangan terhadap Katolik diumumkan, dan puncaknya ialah peristiwa Penganiayaan Sinyu berdarah tahun 1801. Banyak orang Katolik Korea dibunuh termasuk imam Zhou Wenmo. Setelah peristiwa Penganiayaan Sinyu ini masih ada lagi penganiayaan lainnya seperti: Penganiayaan Urhae tahun 1815, Penganiayaan Chonghae tahun 1827, dan Penganiayaan Kihae tahun 1839. Kendati penganiayaan bagi orang Kristen ini masih terus berlangsung, namun semangat penginjilan itu tidak berhenti. Badan-badan misionaris asing masih berusaha untuk tetap datang ke Korea, misalnya: Missions Etrangeres de Paris yang tiba di Korea tahun 1831 dan mendirikan sekolah kerasulan yang terpisah dari Beijing – untuk melayani orang Kristen yang tidak memiliki imam bagi generasi berikutnya. Dengan kehadiran badan misi ini, maka Katolik kembali bertumbuh di Korea. Tidak hanya badan misi Katolik yang tiba di Korea, badan misi Protestan juga telah tiba di sana seperti: badan misi Presbiterian Amerika dan Methodis pada pertengahan tahun 1880-an.

1945 – KE ATAS

Kebangkitan semangat nasionalisme sejak abad kesembilan belas, namun meskipun demikian Kekristenan di Asia Timur dan Asia Tenggara masih berlangsung lama didominasi oleh badan misi asing. Perang Dunia Kedua memulai proses dekolonisasi dan penghapusan bentuk-bentuk imperialis di seluruh dunia. Orang Kristen Asia memiliki kesempatan untuk membebaskan diri mereka dari kekuasaan penjajah dan badan misionari dan melakukan Kekristenan yang mandiri.

GEREJA CINA DI BAWAH KOMUNISME

Ketika Perang Anti-Jepang berakhir pada Agustus 1945, maka proselitisasi orang Kristen telah diantisipasi. Orang Kristen Cina sangat bertangung jawab dalam hal ini. Gereja Katolik mendirikan hierarkhi kegerejaan di Cina tahun 1946. Uskup Thomas Tien [Tian Gengxin] SPD (1890-1967) dari Tsingtao menjadi kardinal pertama dan menjadi Arcbishop di Beijing. Namun tantangan orang Kristen di Cina ini adalah Komunis Cina. Dalam pengawasan Komunis yang disebut ‘zona kebebasan’, perjuangan anti-misionaris telah diorganisasikan, pusat-pusat badan misi dihancurkan. Setelah Komunis mendapatkan kuasa di Cina tahun 1949, maka mereka membuat sebuah perjanjian pada tanggal 23 Juni 1950 yang berisikan penindasan terhadap Gereja. Sehingga tahun 1954, seluruh misionaris asing diusir dari Cina. Walaupun secara ideologi dan organisasi Gereja Katolik dilarang, namun secara implisit mereka masih melanjutkan misi mereka seperti yang dikatakan Eric O.Hanson: “Penduduk Republik mempertimbangkan perlawanan laten politik Katolik secara serius…” Melihat situasi tersebut maka pemerintah membentuk Kantor Urusan Keagamaan pada bulan Januari 1951. Pemerintah juga mensponsori Gereja Tiga Kemandirian Katolik yakni: mandiri organisasi, mandiri dana, dan mandiri daya pada tahun 1950-1951. Bahkan negara juga mendirikan Asosiasi Nasional Katolik Patriotik (sekarang Asosiasi Katolik Cina Patriotik [Chinese Catholic Patriotic Association = CCPA]) tahun 1957 serta mendukung keuskupan tahun 1958.

POST-KOLONIAL ASIA TENGGARA

Di Asia Tenggara, orang Kristen memainkan peranan penting dalam perjuangan kebebasan dan proses nasionalisme setelah Perang Dunia Kedua. Di beberapa daerah setelah post-kolonial Kekristenan mengalami tantangan. Misalnya di Aceh, Islam menuntut intervensi pemerintah melawan Kekristenan. Hal yang sama juga terjadi di Myanmar dan Thailand atas dominasi agama Buddha pada Kekristenan. Di negara-negara merdeka lainnya di Asia Tenggara, setelah post-kolonial pemerintah mengancam kelompok etnis minoritas. Meskipun banyak tantangan, Kekristenan memiliki pengalaman pertumbuhan di Asia Tenggara. Berkaitan dengan timbulnya Komunisme, mempengaruhi banyak orang Cina diaspora untuk bergabung dengan gereja. Di Indonesia, setelah perstiwa tahun 1965 pertumbuhan Protestanisme sangat luar bisa. Di Malyasia perkembangan ini memberikan dorongan dalam pembentukan gerakan ekumenis dan asosiasi regional Kristen. Bagi Katolik Vietnam pengalaman paska perang agak tragis. Dulu Katolik adalah minoritas sekitar 10-15% dari jumlah penduduk. Pada mulanya kekuatan Kristeniasi di daerah Phat Diem dan Bui Chu di sebelah utara Vietnam. Gerakan anti-Katolik timbul dan puncak penganiayaan anti-Kristen di Vietnam Utara terjadi tahun 1954 yang diikuti oleh pembagian negara. Hal ini mengakibatkan 600.000 hingga 800.000 orang Katolik melarikan diri ke Vietnam Selatan.

KOREA SELATAN

Paska perang, Gereja-gereja Korea dibawah pengawasan Amerika, Korea Selatan mulai memainkan peran yang berarti dalam pelayanan sosial dan pembangunan kembali fasilitas lembaga-lembaga. Menjelang pecahnya Perang Korea, banyak imam-imam Katolik dan orang-orang percaya ditangkap, dipenjarakan, dan dieksekusi di Korea Utara. Perang Korea (1950-1953) tentu memiliki dampak yang merusak. Akan tetapi, anggota Gereja masih terus bertumbuh di Korea Selatan dan bahkan hingga saat itu seperlima dari jumlah penduduk Korea Selatan adalah Kristen Protestan. Gereja Katolik bertumbuh cepat setelah akhir Perang Korea. Tahun 1962 jumlah Katolik di Korea meningkat hingga 575.000 dari 166.000 tahun 1953. Pada saat bersamaan dimulai pula perubahan dari Gereja desa kepada salah satu bagian masyarakat Korea arus utama dan Katolik menunjukkan perhatian sosial yang lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya. Dan semangat ekumenis menjadi bukti perjuangan pemimpin-pemimpin Gereja bebas melawan yang tidak demokratis, kekuasaan militer Presiden Pak Chonghui [Park Chung-hee] dan Chon Tuhwan [Chun Doo-hwan]. Fenomena pertumbuhan Gereja pada dekade ini diikuti oleh tiga kecenderungan yaitu: fragmentasi, indigenisasi dan sekte sinkretistik.

KOMENTAR PENUTUP

Tiedemann menutup bahasan ini dengan pernyataan bahwa Kekristenan pada abad kesembilan belas sunggung luar biasa walaupun dipenuhi dengan penganiayaan yang sangat kejam telah menjadi gerakan keagamaan yang menonjol di Korea Selatan pada akhir abad kedua puluh. Orang-orang Kristen membuktikan dirinya sendiri adequat untuk bertahan hidup di bawah kondisi kolonial orang asing dan pemerintahan militer pribumi dengan prinsip mandiri dana, dan mandiri perkembangan. Kekristenan berjuang sepanjang abad untuk memperoleh tumpuan dalam menghadapi negara-negara kuat, di mana-mana berusaha untuk menerobos, mengatu dan mengawasi lembaga-lembaga keagamaan. Tiedemann juga menyimpulkan bahwa perkembangan Kekristenan di Cina sangat luar biasa walaupun negara tersebut merupakan negara Komunis. Diperkirakan bahwa tahun 1996 jumlah orang Protestan yang dibaptis sekitar 33 juta (menurut pemerintah Cina: 19 juta) dan Gereja Roma Katolik sekitar 18 juta (perkiraan pemerintah: 6 juta). Hal yang sama juga dicatat Tiedemann di beberapa bagian wilayah lain termasuk Indonesia, Malasya dan Singapura di mana Pentakosta dan kharismatik semakin kuat. Meskipun dengan perkembangan postif ini, Kekristenan juga menghadapi banyak tantangan di Asia Timur dan Asia Tenggara. Sebagaimana di Cina, proses memperbaiki hubungan Sino-Vatikan telah berlangsung sangat lama. Kekristenan juga membangkitkan kecenderungan sektarian, doktrin yang ekstrim dan praktek immoral. Kendatipun demikian, seluruh persoalan internal maupun eksternal dapat diatasi oleh orang Kristen di Asia.

6. TANGGAPAN HISTORIS

Jika ditelusuri sejarah Kekristenan di setiap belahan bumi ini, ternyata akan timbul kesan bahwa Kekristenan membawa pengaruh yang besar bagi perkembangan peradaban manusia di setiap lini kehidupan yang dibawa oleh para misionari ke daerah-daerah yang mereka Injili. Kesan lainnya adalah para misionaris tidak takut dan gentar menghadapi persoalan dan tantangan yang mereka terima dari pihak penguasa baik penjajah maupun pribumi serta masyarakat akibat perjumpaan Injil dengan agama dan budaya. Tidak jarang dari mereka harus menerima siksaan dan penganiayaan bahkan meninggal dunia. Itulah yang terlihat dari paparan para penulis di dalam buku Adrian Hastings (ed.), A World History of Christianity, Cassel: The Bath Press, 1999 ini. Memang tidak semua yang diulas dalam bahasan ini, hanya beberapa daerah saja misalnya: India, Afrika, Amerika Latin dan Cina. Namun dengan pemaparan para penulis artikel ini semakin membuka kasanah berpikir tentang perkembangan Kekristenan di belahan bumi ini. Ternyata tidak mudah menjadikan bumi ini menjadi murid Tuhan Yesus. Kalaupun perintah Amanat Agung Tuhan Yesus dalam Injil menurut Matius sangat mudah kita mengerti, namun ternyata sangat sulit mewujudkannya di dunia nyata ini. ”Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” (Matius 28:19). Jika kita cermati di empat daerah ini maka akan terlihat bahwa di mana-mana Kekristenan itu berhadapan dengan agama, budaya dan adat-istiadat yang sudah mengakar di hati masyarakat. Seringkali akhirnya Kekristenan mengadopsi banyak hal dari budaya dan adat-istiadat setempat agar Kekristenan itu dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat setempat. Memang gerakan seperti ini lebih dikenal dengan nama teologi kontekstual di mana teologi itu dipahami dari sudut pandang masyarakat setempat. Namun terkadang akibat pemahaman yang sempit bisa saja pola ini terjebak dalam dunia sinkritisme agama. Harus diakui memang bahwa tugas berteologi secara kontekstual membutuhkan daya nalar dan spiritual yang handal. Masuknya Kekristenan ke wilayah Asia merupakan akibat dari semangat imperialisme negara-negara Barat yang disambut orang Kristen Barat sebagai kesempatan serta tanggung jawab yang dikaruniakan Tuhan untuk mengabarkan Injil ke seluruh dunia. Para biarawan Katolik Romalah yang lebih dulu menyerahkan diri bagi pekabaran Injil di Asia, kemudian diikuti oleh para pekabar Injil Protestan. Jika ditelurusi lebih mendalam maka akan timbul pertanyaan, sebenarnya apakah hal yang mendasar yang membuat para imperialis dan orang Kristen Barat pergi ke seluruh dunia termasuk Asia ini. Setidaknya ada dua dokumen yang menjadi dasar mereka pergi menjelajah dunia yakni: Bulla Paus dan Perjanjian Teoesillas. Perjanjian Teoesillas ini menetapkan daerah kekuasaan menjadi dua bagian yakni: Portugis menguasai belahan timur (ke arah Afrika dan Asia) dan Spanyol menguasai belahan barat (ke daerah Amerika Latin). Dengan demikian Portugis memasuki daerah Asia dengan menancapkan imperialismenya serta sekaligus memberitakan Injil Kristus di wilayah Asia ini. Kekristenan di Asia masa kini merupakan warisan penginjilan Barat; dengan segala implikasi positif maupun negatif. Umat Kristen masih tetap merupakan kelompok minoritas; pada tahun 1990 baru 7,8% penduduk Asia mengaku iman Kristen. Walaupun demikian, menjelang akhir abad ke-20 titik berat kekristenan berpindah daru dunia Barat ke dunia bukan-Barat. Perkembangan Kekristenan di Asia menjadi pusat perhatian orang Kristen di dunia. Di Asia Kekristenan menghadapi agama-agama dan kebudayaan kuat, yang sulit dimasuki Injil. Para pekabar Injil, baik Protestan maupun Katolik, berusaha menafsirkan iman sesuai dengan konteks Asia, tanpa melupakan bahaya sinkritisme. Kesulitan tersebut menimbulkan beberapa pertikaian, misalnya mengenai isu tentang kasta, upacara menghormati nenek moyang dan lain-lain. Penginjilan diarahkan pada golongan masyarakat yang dianggap stategis. Dampak gerakan Kekristenan di Amerika Latin yang dikenal dengan Teologi Pembebasannya bagi dunia adalah dengan timbulnya semangat perjuangan untuk membela hak-hak kemanusiaan. Paus sendiri (Paus Yohanes Paulus II) mendukung gerakan Teologi Pembebasan ini sejauh gerakan itu tidak menggunakan kekerasan. Di Indonesia sendiri gerakan ini terlihat dari perjuangan Romo Mangun dalam memperjuangkan orang-orang yang terpinggirkan dan membela hak-hak mereka. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh yang berjuang dalam rangka membebaskan orang-orang dari keterbelengguan mereka. Dampak lain dari Kekristenan di Amerika Latin ini yang mempengaruhi perkembangan bangsa lain di dunia adalah gerakan perjuangan kemerdekaan negara-negara di Amerika Latin. Negara-negara di Amerika Latin lebih dulu merdeka di bandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Pada umumnya negera-negara Amerika Latin sudah memperoleh kemerdekaannya pada abad kelimabelas, sedangkan negara-negara lain baru memperoleh kemerdekaannya pada abad kedelapan belas. Perjuangan kemerdekaan di Amerika Latin inilah yang diikuti oleh para pejuang kemerdekaan di negara-negara lain di luar Amerika Latin.

7. DAFTAR KEPUSTAKAAN

a. Buku A.A.Yewangoe, Theologia Crusis Di Asia, Jakarta: BPK GM, 2004 Adrian Hastings (ed.), A World History of Christianity, Cassel: The Bath Press, 1999 Anne Ruck, Sejarah Gereja Asia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006 R.Wahana Wegig, Pewartaan Iman Kontekstual: Menimba Pengalaman Misi di Cina, Yogyakarta: Kanisius, 2001 Tata Gereja (TG) Gereja Kemah Abraham (GKA) b. Website http://reinhardlumbantobing.wordpress.com/2007/07/26/catatan-pendek-mengenai-kekristenan-di jepang/ ; http://misi.sabda.org/vietnam_tahun_2007 http://groups.google.co.id/group/soc.culture.indonesia/browse_thread/thread/ea1a2bc09bb01b49/c88ee6c38d9b0a6f%23c88ee6c38d9b0a6f

PENDAHULUAN

A. PENERJEMAH

Buku Kurt Aland volume II ini aslinya ditulis dalam bahasa Jerman yakni Geschichte der Christenheit yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh James L.Schaaf pada tahun 1986. Tebal buku volume II terjemahan ke dalam bahasa Inggris ini adalah 618 halaman. Volume II membahas tentang Reformasi Kekristenan hingga ke Kekristenan Setelah Reformasi. Menurut James J.L.Schaaf, buku Aland ini mencoba membahas sejarah Kekristenan selama 500-an tahun, dan studi tentang sejarah Reformasi dan Pietisme. Juga Aland sangat memberi perhatian pada kegiatan penerjemahan Alkitab secara khusus dalam studi-studi teks-teks Perjanjian Baru. Schaaf sendiri menyebutkan bahwa naskah asli volume ini selesai bulan Maret 1981. Dan dalam terjemahan bahasa Inggrisnya telah mengalami perubahan pada bab terakhir dan di dalam tabel kronologinya. Dan Aland sendiri telah membaca naskah bahasa Inggrisnya serta memberi masukan dalam edisi bahasa Inggris ini. Schaaf memberikan penjelasan tentang pemakaian istilah dalam terbitan bahasa Inggris ini misalnya istilah evangelisch sebagai sebuah istilah umum yang menunjukkan kepada gereja yang timbul akibat Reformasi di Jerman dan lebih dikenal dengan istilah “evangelis”. Sementara terjemahan “Protestant” merupakan istilah yang menunjuk terjemahan dari istilah protestantisch.

B. PENULIS

Buku ini merupakan lanjutan yang ditulis segera setelah buku volume I. Aland menyadari bahwa buku volume yang pertama sangat sulit diselesaikan karena kekurangan sumber-sumber yang ditemukan, demikian juga untuk volume yang kedua ini, walau ratusan laporan-laporan individu yang berusaha membuat sejarah Kekristenan, namun sangat sulit untuk menyusun sejarah penyebaran Kekristenan itu dalam bermacam-macam manifestasinya. Dalam volume II ini, Aland membahas topik-topik yang dimulai dari Reformasi yang dilanjutkan dengan gerakan Pietisme, masa Pencerahan, sejarah Katolikisme hingga Konsili Vatikan Pertama, gerakan Oikumenis, pernyataan Leuenberg, Konsili Vatikan Kedua dan peristiwa sekitar 1933 – 1945.

Untuk lebih memudahkan pemahaman tentang pemikiran Aland, di bawah ini akan dibahas bagian demi bagian dari bukunya A History of Christianity volume II.

2. KEKRISTENAN PADA MASA REFORMASI

Untuk membahas bagian yang pertama dalam buku ini, Aland mencoba membahasnya mulai dari pertimbangan-pertimbangan dasar Reformasi , kemudian timbulnya Reformasi Martin Luther , dan timbulnya Reformasi Huldreich Zwingli , serta timbulnya Reformasi John Calvin .

I. PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN MENDASAR

Secara umum ada pertimbangan-pertimbangan dasar dalam memahami terjadinya Reformasi. Menurut Aland, setidaknya ada 7 hal yakni:

1. RUNTUHNYA KESATUAN GEREJA?

Pernyataan bahwa hingga awal abad keenam belas gereja adalah satu, dan kesatuan itu diruntuhkan oleh gerakan Reformasi, menurut Aland adalah keliru dalam setiap aspek. Alasannya pertama, klaim yang menyatakan bahwa kesatuan gereja sudah ada sebelum 1517 tidaklah benar, sebab 500 tahun sebelum Reformasi, Gereja Kristen telah terbagi dua yakni: Gereja Timur dan Gereja Barat pada tanggal 16 Juli 1054. Kedua, jauh sebelum tahun 1054, kesatuan gereja telah hancur pada abad kelima dan keenam dengan adanya perdebatan Kristologis sehingga terjadilah pemisahan gereja nasional. Dengan demikian, pernyataan kesatuan gereja dihancurkan oleh Reformasi pada permulaan abad keenam belas adalah keliru jika kita melihat gereja secara universal. Kehancuran kesatuan gereja itu sudah banyak terjadi di berbagai daerah misalnya di Perancis yang mencoba memisahkan diri dari Roma dengan membentuk kepausan di Avignon, di Inggris terjadi pemisahan gereja akibat situasi politik dan di Bohemia akibat gerakan Hussit. Dan memang kehancuran kesatuan gereja ini dilanjutkan oleh Dalil Martin Luther pada tanggal 31 Oktober 1517.

2. MOTIF-MOTIF PERLUASAN (EKSPANSI) REFORMASI

Menurut Aland, jika kita berbicara tentang apa sebenarnya motif-motif perluasan Reformasi maka tidak bisa dipisahkan dari masalah yang dihadapi gereja di Jerman. Pada permulaan tahun 1524 telah ada sebuah gerakan di Jerman yaitu evangelis atau sebuah gerakan yang dipengaruhi oleh iman baru. Luther sebelumnya sudah membaca situasi ini sehingga dia melaporkan bahwa dalam tempo 14 hari Dalilnya telah tersebar di seluruh wilayah Jerman. Apakah motif-motif yang menyebabkan pengembangan Reformasi itu? Menurut Aland, kemungkinan pertama adalah karena kritik terhadap Gereja Katolik. Dalam Sembilan puluh lima Dalil Luther 1517 dan bahkan dalam tulisannya Pada Kaum Bangsawan Bangsa Jerman (“To the Christian Nobility of the German Nation”) tahun 1520, Luther telah memanfaatkan pemikiran yang hidup begitu lama. Demikian juga dengan perkembangan Calvin sebagai reformator mungkin dipengaruhi pengalaman masa mudanya. Kemudian akhirnya Zwingli dipengaruhi kritikan terhadap Gereja Katolik yang dilancarkan humanisme. Seluruh kritikan selama Abad Pertengahan secara langsung memotivasi para reformator melakukan gerakan Reformasinya. Kedua, usaha untuk membangun kesadaran nasionalisme. Sejak Bonifatius VIII kesadaran nasional telah membawa kepausan kepada humanisme yang begitu dalam. Kesadaran nasionalisme ini kemudian berkembang di Inggris, Perancis, dan Italia. Ketiga, faktor politik. Faktor politik dalam penyebaran Reformasi ini tak dapat disangkal, namun sering para sejarawan gereja melupakan faktor politik ini. Memang faktor politik ini tidak memiliki akibat yang positif bagi Reformasi itu sendiri. Keempat, penurunan moralitas. Gereja Katolik pada masa lampau telah berusaha untuk membaharui diri dari dalam, namun usaha ini tidak diakui walaupun di kubu Katolik.

3. MOTIF-MOTIF REFORMASI DAN AJARANNYA

Secara sederhana, jika kita berusaha untuk menyebutkan motif-motif Reformasi dan ajarannya, maka dapat dikatakan sebagai berikut: Martin Luther mengajarkan hanya oleh anugerah, John Calvin mengajarkan keagungan Allah, Ulrich Zwingli mengajarkan Kerajaan Allah. Menurut Aland, kata-kata itu hanyalah merupakan semboyan atau slogan dari setiap para reformator saja. Aland dalam bagian ini hanya memberikan gambaran umum tentang motif-motif terjadinya Reformasi itu dari para reformator dan akan dijelaskannya lebih dalam lagi dalam bab berikutnya. Misalnya Luther yang berjuang untuk melawan penurunan moral di dalam gereja Katolik degan 95 Dalilnya. Perjuangan ini didasarkan pada sebuah pengalaman rohaninya tentang Roma 1:17. Zwingli dengan cara yang berbeda pula. Dia tidak memiliki pengalaman rohani sedramatis Luther namun pengalaman humanismenya sangat banyak mempengaruhi pemikirannya. Demikian juga dengan Calvin yang mengalami pertobatan yang tiba-tiba. Calvin juga sangat banyak dipengaruhi oleh humanisme Erasmus. Lebih jauh Aland berpendapat bahwa jika kita berusaha menyimpulkan ciri-ciri ketiga reformator ini maka kita akan menemukan perbedaannya yaitu: Luther adalah seorang nabi dan penafsir Kitab Suci, Zwingli seorang humanis dan ahli negarawan Kristen, dan Calvin adalah seorang sarjana dan pemimpin gereja. Bahkan secara tempat mereka dapat dibedakan bahwa Luther berada di Jerman, Zwingli di Swiss, dan Calvin di Perancis. Luther dikenal dengan “German profundity”, Calvin dikenal dengan “French clarity” dan Zwingli dikenal dengan “practical sense” Swiss.

4. REFORMATOR-REFORMATOR “LEBIH KECIL”

Menurut Aland, di samping ketiga reformator yang terkenal seperti Luther, Zwingli dan Calvin, masih ada lagi banyak orang yang tak terbilang yang menyebarkan dan mempromosikan refomasi itu akibat dimenangkan oleh tulisan-tulisan Luther atau dengan studi Alkitab. Mereka ini disebut dengan Reformator-reformator “lebih kecil” (“lesser”). Misalnya: Johann Lang, seorang reformator di Erfurt dan penasihat asing di daerah Schwarzburg, Wenceslas Link, reformator di Altenburg dan Nuremberg, George Spalatin pengkhotbah penjara Frederick Yang Bijaksana, Justus Jonas dan Nicholas von Amsdorf yang membantu mendirikan Reformasi Wittenberg, Johannes Bugenhagen yang mendukung Reformasi di tempat-tempat lainnya mulai dari Brunswick, Hamburg hingga Hildesheim, Nicholas Hausmann reformator di Zwickau dan Dessau. Dan masih banyak lagi yang menjadi reformator kecil dari murid-murid Wittenberg seperti: Johann Hess, reformator Breslau dan Silesia, Johannes Briesmann, reformator di Riga. Dan masih banyak lagi yang menjadi reformator-reformator kecil yang menyebarkan Reformasi itu.

5. REFORMASI SEBAGAI SEBUAH FENOMENA YANG MENCAKUP SELURUH EROPA

Reformasi yang terjadi di Jerman oleh Martin Luther tidak hanya menggejala di German saja, melainkan gerakan Reformasi ini telah menggejala ke seluruh Eropa. Gerakan Reformasi ini terus mempengaruhi daerah-daerah lain di Eropa misalnya Reformasi di Belanda disebarkan oleh para pengungsi dari Perancis dan juga dari Swiss. Di negara Scandinavia, Reformasi mengambil tempat di Denmark. Begitu juga Reformasi di Inggris terjadi pada masa Henry VIII dan penggantinya Edward VI. Reformasi ini terjadi di Scotlandia dan Timur Eropa yang diprakarsai oleh kaum awam. Perkembangan selanjutnya hingga ke selatan Eropa seperti di Hungaria, Transylvania dan Polandia. Setelah kematian Luther, gerakan Reformasi dimulai dari Wittenberg. Melanchthon diserang sebagai kepala sekolah, dan Lutheran Jerman saling bermusuhan di antara mereka. Dalam situasi itulah Calvin menguasai Geneva dan menjadikannya sebagai pusat Reformasinya.

6. REFORMASI “SAYAP KIRI”

Kendati Reformasi bertumbuh berkembang, namun masih ada yang bertumbuh dan berkembang di samping Reformasi itu sendiri yang disebut dengan Reformasi “sayap kiri” yakni: Anabaptis dan Spritualist. Sejak permulaan Reformasi Anabaptis dan Spritualist ini telah hidup dan aktif baik di Jerman dan di Switzerland. Akar dari gerakan ini adalah jauh di belakang Abad Pertengahan yaitu gerakan spritual, apokaliptis, dan revolusi sosial. Reformasi Luther sudah sejak semula berlawanan dengan gerakan Nabi Zwickau tahun1521 yang berusaha mempengaruhi ajaran di Wittenberg selama Luther absen. Tahun 1525 Luther kembali datang dengan menghadapi konflik yang lebih keras dengan Karlstadt dan juga terhadap Thomas Munzer.

7. “REVOLUSI COPERNICUS”

Dalam bagian ini Aland mencoba membahas posisi dan kedudukan Reformasi Luther, apakah milik Abad Pertengahan atau dunia modern. Para filsuf (seperti Nietzsche) dan sejarawan (seperti Troeltsch) melihat Luther sebagai bagian dari Abad Pertengahan. Berbeda dengan Conrad Ferdinand Meyer yang mengatakan bahwa Luther berada dalam dua masa. Terkadang jika kita melihat pemikiran Luther, maka dapat dikatakan bahwa masa Luther adalah bagian dari masa Abad Pertengahan, namun jika kita lihat pekerjaan dan Reformasinya dapat dikatakan bahwa dia sudah termasuk bagian dari permulaan masa modern. Ada yang mengatakan bahwa “Revolusi Copernicus” sangat dekat dengan Luther. Teori Copernicus mengatakan bahwa bumi berputar mengitari matahari. “Revolusi Copernicus” ini telah lebih dulu dari Dalil 31 Oktober 1517.

II. REFORMASI MARTIN LUTHER Dalam membahas Reformasi Martin Luther ini, Aland mengemukakan delapan hal yakni: permulaan Martin Luther , permulaan Reformasi Martin Luther , dari perdebatan Leipzig 1519 hingga Worms 1521 , permulaan reorganisasi Gereja , Tahun 1525 dan akibatnya , perkembangan Augsburg 1530 , dari Augsburg 1530 hingga perang Smalkald 1546 , Lutheranisme dari kematian Luther hingga perdamaian keagamaan Augsburg 1555 .

1. PERMULAAN MARTIN LUTHER

Dalam bagian ini Aland membicarakan kelahiran dan keluarga Luther, pendidikan Luther, pengalaman rohani Luther, penahbisannya sebagai imam, penobatannya sebagai doktor teologi, dan pengajaran kitab sucinya. Martin Luther lahir pada tanggal 10 November 1483 di Eisleben, anak buruh tambang Hans Luther dan ibunya Margaretha Lindemann dari Mohra bagian barat-daya pinggiran hutan Thuringia. Mereka adalah keluarga petani yang beremigrasi dari “Ruhr” ke Mansfeld untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Kendati bekerja sebagai buruh tambang, Hans mampu berbisnis kecil-kecilan sehingga mengangkat perekonomian mereka. Martin Luther memasuki sekolah pada tahun 1488 di sekolah lokal Latin di Mansfeld, kemudian dia dikirim ke “sekolah terkenal” di Magdeburg (1497-1498) dan akhirnya ke Eisnach. Tahun 1501, dia memasuki universitas di Erfurt. Di universitas ini Luther sangat terkenal reputasinya secara khusus di bidang hukum. Sebab ayahnya sangat menginginkan Luther kelak menjadi seorang hakim yang akhirnya menjadi seorang penasihat pangeran. Namun dua minggu kemudian Luther memasuki ordo Eremit Augustinus yang aturannya paling keras, sehingga menggagalkan seluruh rencana dan keinginan ayahnya dan seluruh keluarganya. Pengalaman rohani Luther 2 Juli 1505 di Stotternheim ketika dia kembali dari rumah neneknya menuju Erfurt, tiba-tiba hujan angin ribut disertai petir hampir menyambarnya sehingga dia kehilangan kontrol dan dia berteriak,”Santa Ana, tolong saya. Aku ingin menjadi rahib.” Luther sadar bahwa hujan angin ribut disertai petir merupakan kejadian alam, namun di Stotternheim dia merasa bahwa kepribadiannya telah diubahkan kepada Allah. Janji itu ditepatinya juga, sesudah ia sampai ke Erfurt dengan selamat. Setelah peralihan profesinya ini, Luther dipersiapkan untuk menjadi imam. Setelah ditahbis tahun 1507, dia mulai belajar teologi dan sekaligus mengajar di Wittenberg (1508) hingga kembali ke Erfurt (1509). Lebih jauh Aland dalam bagian ini membahas tentang pernyataan-pernyataan Luther tentang kebiarawanannya dan penjelasan tentang 95 Dalilnya (Explanations of the Ninety-five Theses), perdebatan Luhter tentang “Allah yang beranugerah” (“gracious God”) dan “Allah yang adil” (“righteous God”) tahun 1545 dan perjalanannya ke Roma dan seterusnya kembali ke Wittenberg.

2. PERMULAAN REFORMASI MARTIN LUTHER

Menurut Aland, hanya sedikit laporan tentang gambaran hidup Luther hingga tahun permulaan Reformasi. Luther hanya sedikit menulis pembukaan volume pertama tulisan Latinnya yang disebut dengan edisi Wittenberg dari pekerjaannya, sebelum ia meninggal tahun 1545. Permulaan Reformasi Luther ini diungkapkan oleh Aland dari pengalaman rohani Luther yang disebut dengan “pengalaman di menara – pengalaman puncak” (‘tower experience’). Namun ada juga perdebatan tentang kapan Luther mengalami pertobatannya. Ada yang mengatakan pertobatan Luther itu tahun 1508, yang lain mengatakan antara tahun 1512 atau 1516 dan ada yang berpendapat tahun 1518. Tetapi jika kita menelusuri kronologi penulisan tulisan Luther 1518, dapat dikatakan bahwa masa tahun 1512-1516 adalah waktu yang tepat dari “pengalaman puncak” itu terjadi. Sebab Luther menulis tulisannya adalah antara tahun 1512-1516 dan pada tahun 1517 merupakan “Tahun Diam” (‘Years of Silence’). Permulaan Reformasi Luther ini menurut Aland dimulainya atas dasar kata pembukaan Martin Luther. Dalam kata pembukaannya tahun 1545, Luther memulai dengan mendiskusikan perlawanannya untuk merencanakan mengumpulkan edisi tulisannya. Menurut Aland, jika kita lebih jauh membaca tulisan Luther, akan timbul kesulitan membedakan apakah pernyataan suara Reformasi ini dari diri Luther sendiri atau ada pengaruh dari Augustinus tentang perseteruan dengan Pelagius. Luther juga banyak dipengaruhi tulisan-tulisan Augustinus seperti De spiritu et littera. Dengan demikian, Aland mengatakan bahwa untuk menentukan permulaan Reformasi Luther, pertama harus kita kenal tulisannya. Dalam arti nyata, Reformasi itu dimulai pada musim semi 1518 hingga 1520-an di mana langkah pertama teologi Reformasi dibangun. Aland menjelaskan Reformasi Luther dimulai dari perlawanan terhadap indulgensia (surat penghapusan siksa). Dalam bahasannya ini Aland mengupas sejarah indulgensia ini dan pemikiran-pemikiran Luther yang menolak keras indulgensia ini. Pemikiran Luther dalam “Melawan Hanswurst” yang ditujukan kepada Albrecht Mainz, mengundang banyak kecaman terhadap dirinya. Persoalan indulgensia sudah lama disampaikannya yakni pada tanggal 31 Oktober 1516. Bahkan dalam tulisannya Sepuluh Perintah, Luther dengan tegas melawan praktek indulgensia ini. Pada bagian lain, Aland juga membahas tentang “95 Dalil” Luther. 95 Dalil ini masih banyak diperbincangkan tentang keasliannya. Ada yang berpendapat bahwa 95 Dalil ini adalah: (1) bukan ditempelkan pada tanggal 31 Oktober 1517, tetapi tanggal 1 November 1517. (2) dikirim sebagai petisi kepada Uskup Albrecht Mainz dan (3) bukan bentuk pemikiran Luther pada saat itu namun kemudian. Pendapat lain mengatakan bahwa pada kenyataannya, Luther menulis surat kepada Albercht Mainz pada tanggal 31 Oktober 1517. Surat aslinya disimpan di Stockholm. Walaupun banyak yang harus dipertanyakan tentang keaslian tanggal 95 dalil Luther tersebut, akhirnya Aland tetap mengganggap bahwa 95 Dalil itu ditempelkan pada tanggal 31 Oktober 1517. Pada bagian permulaan Reformasi Luther ini, Aland juga membahas tentang isi 95 Dalil Martin Luther. Setelah membaca 95 Dalil tersebut, menurut Aland, kita melihat kata “iman” atau frase “pembenaran iman”. Jika dibandingkan dengan Pro Veritate inquirenda, “Bagi Ujian Kebenaran dan Penghiburan bagi Suara Hati yang Bermasalah” dari musim semi 1518, terlihat ada gambaran yang berbeda. Dengan melihat perbedaan pemahaman ini, maka Luther menulis Penjelasan 95 Dalil. Draft pertama selesai pada bulan Pebruari 1518 dan penjelasan ini ditunda diterbitkan setelah mendapat nasihat dari uskup. Dengan 95 Dalil ini, Luther dituduh di hadapan paus sebagai penyesat. Paus meminta agar Luther bertobat dari pandangan-pandangannya yang sesat itu, tetapi Luther tidak mau. Tuan tanah Luther, Frederik yang Bijaksana, melindungi Luther. Paus memerintahkan Luther untuk menghadap hakim-hakim di Roma dalam tempo 60 hari. Tetapi Frederik tidak mau menyerahkan Luther dan paus tak berani melawan Frederik. Jadinya Luther diadili di Jerman, yaitu di kota Augsburg. Luther kemudian menggambarkan bagaimana ia datang ke Augsburg tahun 1518 dan hasil yang didapatkan pada pertemuannya dengan Cajetanus (Kardinal Thomas de Vio). Cajetanus telah mempersiapkan diri bertemu dengan Luther dengan membaca tulisan-tulisan Luther. Pada pertemuan ini, Cajetanus meminta Luther untuk menarik kembali ajaran-ajarannya dengan berkata: “Bertobatlah dari tindakanmu yang sesat dan tarik kembali ajaranmu itu. Berjanjilah bahwa engkau tidak akan mengajar mereka lagi, dan hentikan segala kegiatan yang dapat mengganggu kedamaian gereja”. Akan tetapi Luther tidak dapat ditakut-takuti dengan perlawanan dan ancaman tuan besar itu. Ia tetap pada pendiriannya, lalu minta supaya diadili oleh paus sendiri, asal saja paus sudi menerima keterangan yang lebih tepat tentang maksud dan cita-cita Luther; tetapi jikalau paus tidak mau mendengarkan dia, baiklah suatu konsili yang am menimbang dan memutuskan perkaranya.

3. DARI PERDEBATAN LEIPZIG 1519 HINGGA WORMS 1521

Perdebatan ini merupakan perdebatan antara Luther dengan Johan Eck walaupun aslinya merupakan perdebatan antara Karlstadt dengan Eck. Eck mengeluarkan dua belas tesis untuk mendebat langsung melawan Luther dan bukan melawan Karlstadt. Pada bulan Pebruari 1519, Luther mengeluarkan tiga belas tesis melawan tesis Eck. Pada tanggal 4 Juli 1519, perdebatan Luther dengan Eck dimulai. Dengan adanya perdebatan ini, maka Luther menemukan pandangan-pandangan baru bahwa bukan indulgensia sendiri yang menjadi pokok perhatian, melainkan kuasa paus. Dalam perdebatannya dengan Eck, Luther memperbincangkan pangkat dan hak paus dengan panjang lebar. Mula-mula Luther membantah kurialisme dan memihak kepada orang konsiliaris dari abad ke-XV. Akan tetapi segeja juga ia sadar dan mengaku bahwa konsili pun tidak sempurna, bahkan mudah tersesat; sehingga Luther mengatakan bahwa konsili di Constanz yang menyalahkan dalil Johanes Hus telah salah. Pada debat kedua tanggal 7 Juli 1519, Eck berusaha memprovokasi Luther dengan mengatakan bahwa konsili itu tidak salah dan tidak akan pernah salah. Eck merasa menang dalam debat ini, sebab Luther menyatakan dirinya sebagai seorang penyesat di hadapan umum. Tetapi sebenarnya Lutherlah yang beruntung dengan debat itu, karena sekarang ia sadar bahwa hanya Alkitab saja yang harus menjadi ukuran dan patokan. Bukan paus atau konsili, melainkan Firman Tuhan saja yang berkuasa atas orang beriman. Menurut Aland ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam tulisan-tulisan Luther selama tahun 1520 yaitu: Pertama: Kepada Para Pemimpin Kristen Jerman – Mengenai Perbaikan Masyarakat Kristen (To the Christian Nobility of the German Nation Concerning the Reform of the Christian Estate). Di sini Luther mau merobohkan tiga tembok yang memungkinkan Gereja Roma bertahan. Tembok pertama: perbedaan antara imam (kekuasaan spiritual) dan awam (kekuasaan duniawi. Tembok kedua: hak istimewa hierarki untuk menafsirkan Kitab Suci. Tembok ketiga: previlese paus untuk memanggil konsili. Kedua: Malapetaka Pembuangan Babel untuk Gereja. (De captivitate Babylonica ecclesiae – The Babylonian Captivity of the Church). Tulisan ini dimaksudkan Luther untuk menghancurkan doktrin tradisional Gereja Roma tentang sakramen-sakramen. Luther mengaskan bahwa hanya dua sakramen yang ditetapkan Kristus sendiri dan yang ditemukan dasarnya dalam Alkitab, yaitu Baptisan dan Perjamuan Kudus. Makna sakramen serta hubungannya dengan firman Tuhan juga dirumuskan secara baru: sakramen bukanlah saluran anugerah sebagai penjamin keselamatan atas diri kita, melainkan tanda dari apa yang dinyatakan firman itu. Dengan kata lain: sakramen adalah firman dalam rupa tanda, dan sambutan kita dalam menerima sakramen itu hanyalah iman. Ketiga: Kebebasan Seorang Kristen (De libretate christiana –The Freedom of a Christian). Dalam tulisan ini, Luther menyanjung kebebasan (batin) manusia, yang dibenarkan oleh karena iman dan kesatuan dengan Kristus. Baginya perbuatan-perbuatan yang baik tidak bermanfaat samasekali untuk pembenaran. Manusia tentu saja tetap wajib melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik; akan tetapi hal itu tidak lebih daripada konsekuensi logis dari pembenaran. Dengan kata lain, justru karena manusia dibenarkan karena imannya, maka ia wajib melakukan pekerjaan-pekerjaan atau perbuatan-perbuatan baik. Dengan pemikiran Luther yang dianggap merugikan kepausan itu, maka pada tahun 1520, paus mengeluarkan surat bulla yang berisi peringatan terakhir agar Luther ‘bertobat’. Luther menolak dan membalas bulla itu dengan tulisan, Melawan Bulla yang terkutuk dari si-Antikristus (Adversus execrabilem Antichristi bullam – Against the Execrable Bull of the Antichrist), sambil membakar bulla itu di depan para guru besar dan mahasiswa Universitas Wittenberg pada tanggal 10 Desember 1520. Dan pada tanggal 2 Januari 1521, keluarlah bulla kutuk paus, dan ajaran Luther dicap sebagai ajaran sesat. Sungguhpun rakyat Jerman menghormati Luther selaku pahlawannya, tetapi kaisar Karel tak ragu-ragu lagi. Pada 25 Mei 1520 ia mengeluarkan Edik Worms, di mana Luther dengan para pengikutnya dikucilkan dari masyarakat dengan kutuk negara. Segala karangan Luther pun harus dibakar.

4. PERMULAAN REORGANISASI GEREJA

Segera setelah Worms, dalam perjalanannya kembali ke Wittenberg, Luther diculik oleh satuan laskar berkuda yang bertindak atas suruhan Frederik yang Bijaksana dan mengamankannya ke Watsburg sekitar 10 bulan dengan memakai nama samaran “Junker Georg”. Ketidakhadiran Luther di Wittenberg membuat ‘nabi’ Zwickau mengambil peranan, namun seorang yang kemudian menjadi pemimpin gerakan Reformasi, Melanchthon melawan Zwickau. Dalam perlawanannya, Melanchthon menulis buku dogmatika protestan yang berjudul Loci Communes (“Pokok-Pokok Teologi”) tahun 1521. Buku inilah buku sistematika yang pertama yang berisikan ajaran iman yang baru. Pengaruh Luther di berbagai tempat sudah mulai berkembang. Di Wittenberg sendiri ada tiga masalah yang timbul yakni: pertanyaan tentang orang-orang biara, pembaharuan ibadah, dan regulasi keuangan gereja. Kehidupan selibat bagi orang biarawan menjadi persoalan ketika Bartolomeus Bernhardi menikah di Kemberg. Pernikahan ini dilakukannya setelah membaca rekomendasi Luther yang sering melawan selibat. Dalam menanggapi persoalan selibat ini, Luther menulis buku De votis monasticis (On Monastic Vows). Pekerjaan Luther membuat huru-hara di Wittenberg dan mendorong sebuah gerakan. Gabriel Zwilling, jurubicara biara Augustinus Wittenberg mengatakan agar biara harus ditutup. Dalam tulisan Malapetaka Pembuangan Babel untuk Gereja, Luther telah menekankan pembaharuan gereja. Ajaran-ajaran Luther ini dikembangkan oleh Karlstadt. Karlstadt membubarkan segala biara, karena tidak sesuai dengan Injil. Luther menyokong kegiatan ini dari tempat perlindungannya. Akhirnya banyak para klerus kemudian menikah. Akibatnya, pada tanggal 6 Pebruari 1522, rakyat tak dapat ditahan lagi. Mereka menyerbu gedung-gedung gereja, lalu memusnahkan mezbah-mezbah, salib-salib dan patung-patung. Raja Frederik tidak dapat memadamkan huru-hara itu. Oleh karena itu Luther memutuskan untuk meninggalkan Watburg dan kembali ke Wittenberg pada tanggal 6 Maret 1522. Hal itu membuktikan keberanian Luther dengan keyakinan bahwa Allah sendiri yang melindunginya bukan pedang dan raja. Dengan keberaniannya ini, Luther menyampaikan Khotbah Invokavit untuk membaharui dengan tenang di Wittenberg. Dengan khotbahnya tersebut masyarakat mulai mengerti bahwa mereka telah gagal melakukan apa yang seharusnya dilakukan seperti kasih dan memperhatikan yang lemah. Pembaharuan gereja tidak dari atas ke bawah (top down), tetapi selalu dari bawah ke atas (bottom up). Karlstadt dilarang untuk mengajar, dan Zwilling menjadi salah seorang pengikut Luther yang setia dan nabi Zwickau meninggalkan Wittenberg. Gerakan pembaharuan ini juga akan diteruskan oleh penerus-penerus Luther kendatipun para pengikutnya menyalahgunakan ajaran Luther itu sendiri seperti Thomas Munzer yang memimpin gerakan pemberontakan petani.

5. TAHUN 1525 DAN AKIBATNYA

Menurut Aland ada beberapa hal yang terjadi pada tahun 1525 dan akibat-akibatnya. Pertama, terjadi pemisahan yang dikenal dengan gerakan pembaharuan sosial. Gerakan ini didasarkan pada Perang Petani (Peasants’ War). Para petani di Black Forest (Hutan Hitam) mengadaan revolusi di musim panas 1524. Pada permulaan 1525, revolusi ini disebut Perang Petani menyebar ke selatan Swabia. Mereka salah mengerti khotbah Luther tentang kebebasan tiap-tiap orang Kristen, sehingga menyangka Luther akan membantu mereka. Luther menulis pernyataannya tentang perang ini dengan tulisan Admonition to Peace, A Reply to the Twelve Articles of the Peasants in Swabia (Teguran untuk Damai, Sebuah Jawaban pada Dua belas Artikel Petani di Swabia). Dan Luther juga menulis tulisan kedua untuk melawan Perang Petani ini dengan tulisan Admonition to Peace, A Reply to the Twelve Articles of the Peasants in Swabia: [Also] Against the Robbing and Murdering Hordes of [the other] Peasants (Teguran untuk Damai, Sebuah Jawaban pada Dua belas Artikel Petani di Swabia: [Juga] Melawan Perampok dan Kelompok Petani Pembunuh [yang lain]). Walaupun Perang Petani ini bukan milik sejarah Gereja melainkan merupakan sejarah konflik sosial, namun kita harus mengatakan sesuatu tentangnya sebab banyak konsep yang salah yang dihubungkan dengan Gereja. Kedua, Luther berlawan dengan humanisme. Perlawanan ini diakibatkan oleh tulisan Erasmus The Freedom of the Will ( Kehendak Bebas) pada tahun 1524 yang menekankan bahwa rahmat saja tak sanggup menyelamatkan manusia. Putusan akhir bergantung pada kehendak bebas, yang dapat menerima dan menolak rahmat Tuhan. Luther dengan penuh semangat menyerang Erasmus dengan tulisan The Bondage of the Will (Kehendak yang diperbudak/terikat). Luther menekankan bahwa manusia yang sungguh beriman mengetahui dan mengaku bahwa hanya rahmat Allah yang hidup saja yang menyelamatkannya. Konflik Luther dan Erasmus menjadikan humanis terbagi dua. Yang mengikuti Luhter menjadi Injili, tetapi yang mempertahankan pokok humanisme tetap menganut agama Katolik Roma seperti Erasmus sendiri. Akibat yang paling dalam adalah orang-orang humanis yang di pemerintahan merasa posisi mereka sebagai “kekuatan ketiga“ dan berusaha untuk menghubungkan gereja tua dan muda (old and new church). Ketiga, Luther berpisah dengan Karlstadt. Konflik di antara mereka berdua dibayangi oleh Perang Petani dan perdebatan sakramen. Namun sebenarnya perpisahan mereka erat kaitannya dengan konflik pribadi mereka. Keempat, Melawan Nabi-nabi Sorgawi di dalam Bahan dari Gambar-gambar dan Sakrament (Against the Heavenly Prophets in the Matter of Images and Sacraments). Luther berhadapan dengan Karlstadt yang mengajarkan mistisisme dan yang diteruskan kemudian oleh Thomas Munzer. Luther menolak pandangan-pandangan dan cita-cita Munzer. Kelima, Zwingli dengan Karlstadt. Zwingli melawan Anabaptis di Wittenberg. Zwingli menulis keputusanya dalam tulisan: On Baptism, Rebaptism, and Infant Baptism; On the Ministry (Baptisan, Baptis Ulang dan Baptisan Anak; Atas Pelayanan) yang ditulis pada Juni 1525. Dalam perdebatan sakramen, Zwingli menolak transubstansiasi di dalam Perjamuan Kudus. Namun Zwingli menolak kehadiran nyata tubuh dan darah Kristus dalam Perjamuan Kudus. Sehingga Luther akhirnya berpisah dengan Zwingli. Perdebatan Luther dan Zwingli ini sangat panjang yang membahas sekitar keselamatan, predestinasi, dan lain-lain. Sebagai tambahan, pada tahun ini juga kematian Frederik yang Bijaksana dan digantikan oleh John Steadfast yang memulai generasi kedua Reformasi. Dan terakhir pada tahun ini juga Luther menikah yakni pada 13 Juni 1525 dengan Katherina von Bora. Dengan pernikahannnya ini Luther menegaskan protesnya dengan hidup selibat.

6. PERKEMBANGAN HINGGA KONFESSI AUGSBURG 1530

Dalam bagian ini Aland membahas Konferensi Marburg pada tanggal 1-4 Oktober 1529 yang membahas perdebatan sakramental. Konferensi Marburg ini berisikan motif-motif non-teologis. Luther tidak menyukai hal ini dan juga Zwingli, namun Philip dari Hesse memintanya sebab dia mempertimbangkan esensinya bagi rencana politiknya. Konferensi ini pada mulanya sejuk dan ramah; tetapi ketika berbicara mengenai pokok bahasan Perjamuan Kudus (Lord’s Supper), dan mendiskusikan kata institusi, konferensi ini tidak mencapai persetujuan. Semua usaha gagal dan akhirnya pada akhir acara Luther mengatakan,”Anda memiliki roh yang berbeda dengan kami”. Di Konferensi Marburg Luther dan Zwingli mencoba meminimalkan perbedaan mereka berdua. Namun konferensi ini gagal dan tujuan politik di balik konferensi ini juga tidak dapat diraih sehingga mengakibatkan konflik-konflik yang sengit di antara gereja Protestan (evangelical) dengan Katolik Roma. Pertikaian antara Katolik dan Protestan semakin memperjelas daerah kekuasaan masing-masing. Pada tahun 1525 Protestan menang dalam perang Habsburg-Valois dan membuahkan kedamaian di Madrid. Inilah yang disebut dengan pertemuan negara di Speyer 1526. Ada hal yang unik bentuk teritorial gereja injili yang berkembang setelah pertemuan negara di Speyer. Pada bulan Januari 1526, sebuah percobaan memimpin kunjungan di daerah Elektor Saxony dan secara sistematik setelah pertemuan negara di Speyer dan diperpanjang hingga tahun 1530, seluruh jemaat telah dikunjungi. Kunjungan ini membawa arti yang sangat mendasar. Lahirlah buku Katekismus Luther untuk menolong para penilik (visitator) dalam pelayanannya. Katekismus Kecil untuk membantu pemahaman iman baru bagi jemaat dengan plakat-plakat (placard) dan Katekismus Besar yang merupakan komentar yang lebih dalam yang biasanya untuk para pendeta. Perkembangan selanjutnya datang dari Elektor Saxony. Di Hesse mereka mengikuti kursus-kursus. Mereka melaksanakan sebuah sinode di Homber pada bulan Oktober 1526 yang dipimpin oleh Francis Lambert. Perkembangan berikutnya adalah pada tahun 1527, Universitas Marburg telah didirikan sebagai lembaga pendidikan bagi teolog-teolog injili. Gereja injili ini semakin meluas hingga ke Prusia tahun 1525 yang dipimpin oleh Albrecht Brandenburg. Pada pertemuan negara kedua di Speyer 20 April 1529, Katolik Roma memutuskan untuk melarang pengembangan dan pelaksanaan Reformasi di seluruh kekaisaran, namun pengikut-pengikut Luther terus memprotes keputusan itu. Sehingga Katolik menamakan mereka “Protestan”.

7. DARI AUGSBURG 1530 HINGGA PERANG SMALKALD 1546

Dalam bagian ini Aland membahas tentang Confessio Augustana (Augsburg Confession). Konfesi ini berasal dari dua dokumen berbeda yaitu: Artikel Schwabach dan Torgau. Konfesi ini dibagi dalam dua bagian yaitu: Artikel 1-21 berbicara tentang “iman” yang berasal dari Artikel Schwabach yang teks aslinya telah direvisi oleh Melanchthon. Artikel 22-28 berbicara tentang “siksaan yang diperbaiki” di dasarkan pada Artikel Torgau yang telah ditulis Melanchthon. Secara singkat dapat dikatakan bahwa konsep Konfesi Augsburg ini ditulis oleh Melanchthon dan beberapa ahli teologi lainnya, sebab Luther masih terkena kutuk kaisar. Luther sangat menyetujui konfesi ini dan bahkan ia menuliskan, “Segala sesuatunya sangat baik”. Konfesi Augburg ini diasumsikan merupakan tulisan konfesi Lutheran yang pertama, padahal dalam formulasi konfesi itu sendiri belum memuat kebenaran injili. Namun Luther mengatakan bahwa konfesi itu sudah lebih dari cukup memberikan kebenaran injili di dalamnya. Namun jika kita bandingkan nantinya dengan Artikel Smalkalden, kita akan menemukan banyak hal-hal yang diformulasikan sehingga lebih jelas, terang dan benar. Pada tanggal 3 Oktober 1530, Katolik Roma menyangkal Konfesi Augsburg ini dan menyarankan agar kembali mematuhi Katolik. Untuk menghadapi hal ini maka Melancthon menulis Apologi (Pembelaan) atas Konfessi Augsburg tersebut. Kendatipun Melanchthon begitu teoritis sekali dalam menjawab perlawanan dari Katolik, namun dalam konflik praktis ia kurang berani karena lawan-lawannya yang begitu kuat. Politik Melanchthon yang lemah ini makin memperkuat maksud golongan Katolik Roma untuk meniadakan Reformasi sesegera mungkin. Golongan Injili harus undur dari rapat negara. Edik Worms harus dibaharui dan diambil keputusan untuk mengadakan konsili am dalam waktu satu tahun. Melihat situasi tersebut, gereja Injili membuat pertemuan di Smalkalden pada tanggal 22 Desember 1530 untuk membentuk Perserikatan Smalkalden (perserikatan ini diorganisasikan resmi pada 27 Pebruari 1531). Dalam tulisan Luther Temporal Authorithy (Kekuasaan Temporal), Luther menggunakan terminologi “orang terkuat” dan “orang terendah”. Orang terendah melawan orang terkuat yaitu masyarakat melawan kaisar tidak masuk akal. Dengan kritikan yang keras dari Luther akhirnya kaisar tak berani meneruskan tindakan-tindakannya yang keras Di samping itu juga tekanan dari Turki yang dipimpin Archduke Ferdinand sangat kuat menyerang kaisar. Sehingga pada bulan Juli 1532 diadakanlah Perjanjian Neurenberg antara Karel V (Charles V) dengan golongan Protestan. Protestanisme dibiarkan menyebar pada tahun 1532. Dengan perjanjian ini, maka pada tahun 1534, Ulrich dari Wǜrttemberg memimpin Reformasi di Wǜrttember dan di tempat-tempat lain seperti di Pommeran, Nassau, Mecklenburg, Hannover, Sakson selatan, Magdeburg, Cologna, dan lain-lain. Kalangan Katolik Roma mengharapkan konsili segera akan diadakan, tetapi tak jadi. Atas permintaan raja Saksen, Luther menyusun lagi satu karangan yang disebut dengan “Pasal-pasal Smalkalden” (1537) yang lebih radikal dari Pengakuan Augsburg karangan Melanchthon. Pada bagian pertama berisikan apa yang telah dimuat dalam Pengakuan Augsburg sebagai doktrin tentang Allah. Pada bagian kedua, dialamatkan pada pertanyaan yang belum bersesuaian dengan Katolik Roma. Artikel Satu berbicara tentang rumusan sola fide, yaitu pembenaran oleh iman yang menjadi dasar Reformasi. Artikel Dua mediskusikan penghapusan Katolik atas hal-hal yang tidak bersesuaian dengan ajaran Katolik. Artikel Ketiga membicarakan pembaharuan praktis dan Artikel Keempat adalah penolakan Protestan atas kekuasaan paus. Pada akhir ulasannya, Aland menerangkan bahwa pihak Katolik Roma memerangi Reformasi sekuat-kuatnya. Pada tahun 1545 konsili besar yang dinanti-nantikan sekian lama, dibuka oleh paus di Trente. Akan tetapi pihak Protestan tidak mau menghadiri konsili, karena dianggap seperti menyerahkan diri kepada musuh. Akhirnya pecahlah perang yang disebut perang Smalkalden.

8. LUTHERANISME DARI KEMATIAN LUTHER HINGGA PERDAMAIAN KEAGAMAAN AUGSBURG 1555

Setelah perang Smalkalden pecah, tidak lama setelah itu, Luther meninggal dunia pada 18 Pebruari 1546 di kampung halamannya Eisleben, disebabkan penyakit, kelelahan dan kekecewaan karena sikap rakyat yang kurang Injili dan rohani. Berkali-kali Luther dalam tulisannya mengatakan bahwa dia sudah tua, sudah usang dan mengarah ke liang kubur. Secara ringkas Aland menjelaskan bahwa sejak kematian Luther, maka terjadilah perang melawan Protestanisme yang dipelopori oleh Kaisar Karel V dengan mengenakan kutuk negara kepada Philip dari Hessen dan Johan Frederik dari Saksen kecuali kepada Maurits dari Saksen yang membelot kepada kaisar karena mengejar kehormatan dan uang. Akibatnya Protestanisme mengalami kekalahan. Namun perlawan Protestan terus dilancarkan kepada kaisar. Sehingga dilakasanakanlah Perjanjian Passau pada tanggal 2 Agustus 1552. Oleh perjanjian ini kaisar terpaksa membebaskan kedua raja yang ditahannya dan membiarkan golongan Injili sampai kepada rapat negara yang berikut. Pertikaian Katolik Roma dan Protestan akhirnya diselesaikan pada tanggal 25 September 1555 yang disebut dengan “Perdamaian agama di Augsburg”. Agama Reformasi bukan saja dibiarkan untuk sementara, tetapi diakui sebagai agama resmi yang setara dan sama haknya dengan Gereja Katolik Roma. Akan tetapi perdamaian Augsburg tidak memberi kebebasan agama yang sebenarnya, karena hanya Gereja Lutheran saja yang diakui. Golongan Zwingli dan sekte-sekte kaum fanatik dengan tegas dikucilkan dari perjanjian itu. Maka timbullah rumusan Cuius regio eius religio (siapa punya daerah, dia punya agama). Namun dengan peraturan ini, banyak timbul lagi permasalahan-permasalahan baru baik antara Katolik dengan Luther dan golongan lain. Dan bahkan pihak Lutheran sendiri merasa dirugikan dengan peraturan ini.

III. REFORMASI HULDREICH ZWINGLI

Dalam bab ini, Aland membahas 6 pokok penting dalam perjalanan Reformasi Huldreich Zwingli yaitu:

1. PERMULAAN

Huldreich (=Ulrich) Zwingli lahir 1 Januari 1484 di Wildenhaus di Kabupaten Toggenburg. Ayahnya seorang pemuka dalam desa dan ibunya adalah saudara perempuan dari seorang imam. Zwingli sejak sekolah dasar sudah dipengaruhi oleh humanisme dan bahkan diperkuat lagi ketika dia memasuki Universitas Wina dan Basel. Zwingli juga dipengaruhi oleh skolastisisme dengan ajaran via antiqua, yang berlawanan dengan Luther yang mempelajari via moderna: dengan kata lain, Luther seorang Occamist; sedangkan Zwingli seorang Scotist. Pada tahun 1506, Zwingli meraih gelar MA, kemudian ia ditahbis menjadi imam di Glarus pada usia 22 tahun. Ia bekerja di Glarus selama 10 tahun dan sementara itu ia belajar bahasa Yunani tanpa guru, sehingga Perjanjian Baru (PB) dapat diselidikinya dalam bahasa aslinya. Pada waktu di Glarus, Zwingli berhubungan dengan Erasmus, seorang tokoh humanis Belanda yang tinggal di Basel. Tahun 1515 ia mengunjungi Erasmus. Dan dia menyebut Erasmus sebagai pemimpin intelektual dan dari Erasmus, Zwingli memperoleh pembaharuan dalam hidup gereja. Di samping itu, Zwingli juga dipengaruhi humanis Italia, Pico della Mirandola. Tahun 1516, Zwingli pindah dan menjadi imam di Einsiedeln (sebuah kota yang menjadi tempat pemujaan Anak Dara Maria hingga sekarang). Zwingli menyerang “ibadah Yudaisme“ yang berhubungan dengan Kristus sebagai hanya mediator dan menekankan peranan Alkitab dalam hidup sehari-hari.

2. KEGIATAN DI ZURICH

Hingga akhir tahun 1518 Zwingli dikenal sebagai seorang pengkhotbah umum pada Katedral Besar (Grosmǜnster) di Zǜrich. Secara ringkas Aland menjelaskan kegiatan Zwingli dalam membawa Reformasi di Zǜrich adalah melalui khotbah-khotbah yang melawan pengkultusan orang-orang kudus, melawan api penyucian, dan melawan penurunan moral hidup gereja. Kemudian Zwingli membuat metode penafsiran Kitab Suci yang baru dengan menjelaskan Kitab Suci bab demi bab. Misalnya kitab Matius, Kisah Para Rasul, Mazmur dan lain-lain. Di samping itu Zwingli juga menyerang rupa-rupa ada dan syariat Gereja Roma, misalnya undang-undang puasa, selibat kaum imam dan sebagainya.

3. ZWINGLI DAN LUTHER

Zwingli juga menampakkan pengaruh Luther dalam gerakan Reformasinya. Hal itu tampak jelas ketika Zwingli mengikuti konflik Luther dengan Eck. Zwingli memihak kepada Luther dengan pembaharuannya semenjak debat Leipzig (1519). Dia sadar bahwa pembenaran oleh iman saja yang harus menjadi pusat injili untuk pembaruan Gereja. Bahkan Zwingli menyebut Luther sebagai nabi Elia yang memproklamasikan kedatangan Allah. Pengaruh Luther dalam gerakan Reformasi Zwingli sangat banyak di samping pengaruh humanis yang dipelajarinya. Misalnya Zwingli banyak mengadopsi teologinya dari pemikiran Luther.

4. PEMBARUAN ZWINGLI

Menurut Aland untuk meringkaskan pandangan teologi fundamental Zwingli dalam sebuah kalimat pendek adalah suatu pekerjaan yang sulit, sebab banyak hal yang bisa membahayakan. Namun paling sedikit ada 5 catatan penting atas pembaharuan yang dilakukan Zwingli yaitu: Pertama, ajaran Kitab Suci Zwingli. Menurutnya Allah memberikan dokumen tentang Kristus tanpa kesalahan, jelas dan hukum yang menyatu dengan Allah sendiri. Kedua, ajarannya tentang Allah. Ada perbedaan yang tajam di antara kemuliaan Allah dengan apa yang diciptakan Allah. Ketiga, ide predestinasi yang dikembangkan Zwingli semakin tajam untuk melawan Anabaptis. Keempat, penolakan yang radikal terhadap sistim skolastik dan lembaga/ibadah Gereja Katolik. Kelima, berhubungan dengan perkembangan dari dalam dan dari luar. Zwingli sangat berbeda tajam dengan Luther tentang pengudusan orang Kristen. Menurut Zwingli, pemerintahan Kristen memiliki tugas membantu untuk mewujudnyatakan kehendak Allah yang tertulis dalam Kitab Suci.

5. PELAKSANAAN REFORMASI DI ZURICH

Pembaharuan yang dilakukan Zwingli di Zǜrich dimulai pada tahun 1520 setelah terjadi perpecahan dengan Katolik Roma. Permulaan Reformasi Swiss juga diakibatkan persoalan politik. Menurut Aland, hal pertama yang menjadi penyebabnya adalah perlawanan Zwingli terhadap sistim tentara sewaan bagi paus di Perancis. Kedua, karena perlawanannya secara langsung kepada praktek eksternal gereja Katolik. Dalam Supllicatio pada bulan Juli 1522 Zwingli bersama 10 imam lainnya mengirim petisi kepada uskup agar supaya diberi kebebasan untuk mengabarkan Injil dan menikah bagi imam. Petisi ini tidak digubris, karena menurut uskup soal itu adalah hak Paus atau konsili. Beberapa imam menyatakan perlawanannya secara terbuka, yaitu dengan menikah. Zwingli sendiri menikah sejak tahun 1522 dan diumumkan tahun 1524. Ia menikah dengan Anna Reinhart, seorang janda dari Hans von Knonau. Zwingli mengundurkan diri dari imam pada 10 November 1522 dan dia bekerja di bawah dewan kota sebagai pengkhotbah Injili. Zwingli berkeinginan agar dilaksanakan sebuat debat untuk menenangkan situasi. Oleh sebab itu dewan kota mengadakan debat umum pada 29 Januari 1523 di Zǜrich. Dalam pertemuan itu Zwingli membentangkan acara pembaharuannya dengan membela dan menguraikan 67 dalil. Dari dalil yang fundamental ini Zwingli menyimpulkan: Hanya satu yang tinggal di dalam Kristus yaitu anggota jemaat Allah. Barangsiapa bekerja tanpa Kristus tidak akan dapat melakukan segala sesuatu. Jika seseorang mendengar Kristus, dia akan belajar kehendak Allah. Akibatnya ialah dewan kota berpesan kepada segala pengkhotbah, supaya mulai hanya Injil yang sejati diberitakan sejak saat itu. Situasi ini tidak bertahan lama, karena kembali anasir-anasir radikal merebut kuasa, sehingga timbullah huru-hara besar, sama sepeti di Wittenberg setahun sebelumnya. Sehingga debat kedua pun diadakan kembali pada 26-28 Oktober 1523. Dewan kota menyuruh mengeluarkan segala salib, mezbah, patung dan orgel dari gedung-gedung gereja. Misa sama sekali dihentikan dan diganti dengan kebaktian sederhana. Mezbah diganti dengan meja Perjamuan. Dewan kota juga menggunakan undang-undang baru tentang pernikahan dan pengawasan kesopanan umum dan menjatuhkan disiplin kepada siapa yang melanggar hukum dan arturan-aturan.

6. KESINAMBUNGAN REFORMASI DI SWITZERLAND; KEMATIAN ZWINGLI

Kendatipun kemenangan Gereja Katolik sudah nyata dalam debat Baden Mei 1526, namun pengaruh Reformasi Zwingli sudah diperkenalkan di Bern oleh Haller, Bucer dan Capito dan pada bulan Januari 1529, hal yang sama juga terjadi di Basel. Pada tahun 1529 Zwingli berikhtiar untuk menggabungkan kuasa semua raja, daerah dan kota yang beragama Protestan untuk bersama-sama melawan keluarga Habsburg, yang merupakan lawan besar bagi kebebasan iman. Luther sendiri tidak setuju dengan rencana Zwingli ini, sehingga pada pertemuan di Marburg, segala rencana Zwingli itu dibatalkan. Di Swiss pergerakan Reformasi makin meluas dan tak lama kemudian kedua golongan yakni Protestan dan Katolik Roma mengangkat senjata untuk menyelesaikan pertikaian ini. Pada 11 Oktober 1531, Zwingli tewas bersama 20 imam lainnya dekat Kappel, dan mayatnya dibagi empat dan dibakar habis oleh para tentara Roma. Golongan Protestan terpaksa menerima syarat-syarat perdamaian (Second Peace of Kappel) yang merugikan Protestan, sehingga gerakannya tak sempat meluas lagi.

IV. REFORMASI JOHANES CALVIN

Dalam bab ini, Aland membahas 8 pokok penting dalam perjalanan Reformasi Johanes Calvin yaitu:

1. PERMULAAN

Johanes Calvin atau Jean Cauvin, lahir 10 Juli 1509 di Noyon Picardy, anak seorang pegawai uskup. Pada awalnya Calvin mau belajar teologi, namum ayahnya berbalik pikiran karena pengalaman pribadinya, maka Calvin disuruh belajar hukum. Pertama-tama Calvin pergi ke Paris untuk belajar Bahasa Latin tahun 1523. Kemudian ia pindah ke Orlean untuk belajar hukum dan memperoleh gelar Doktor Hukum tahun 1533. Di samping itu Calvin juga belajar Bourges. Namun bagi Calvin, belajar hukum tidak membuat dia merasa puas, sebab perhatian humanisnya telah bertumbuh. Bahkan tulisan pertamanya tahun 1532 tentang sebuah Komentar Kitab De Clementia, dipengaruhi pikiran humanismenya dan di dalamnya belum ada pemikiran Reformasinya.

2. PERTOBATAN

Menurut Aland, pertobatan Calvin yang didasarkan atas pengalamannya bukanlah sesuatu yang bisa diterima begitu saja. Sebab bagi Calvin, sangat segan untuk membuat pernyataan pribadi. Beberapa ahli mengatakan pertobatan Calvin ini terjadi antara tahun 1528 atau 1533. Aland tidak setuju bahwa tahun petobatan Calvin terjadi pada tahun 1528. Sebab jika Calvin telah bertobat tahun 1528, seharusnya Calvin tidak ikut berpartisipasi dalam pelayanan ibadah Katolik dan tidak boleh menerima gaji jika dia sudah lama menemukan posisi barunya. Bagi Aland, pertobatan Calvin terjadi pada tahun 1533, sebab setelah Calvin menemukan iman barunya, dia begitu bersemangat memberitahunan ajaran barunya. Sehingga tahun-tahun sebelum tahun 1533 adalah masa persiapan Reformasinya. Misalnya pada tahun 1529 di Bourges, Calvin dipengaruhi pemikiran Melkior Wolmar yang telah membaca tulisan Luther saat itu. Kemudian sekitar tahun 1531, Calvin mulai dipengaruhi humanisme dengan menerbitkan tulisan Komentar Kitab De Cementianya. Dan pada tahun 1533, ketika di Oleans, dia menerima khotbah-khotbah yang bersifat Injili, sebagaimana dia lakukan di Bourges. Pada 1 November 1533, pada saat perayaan Hari Orang-Orang Kudus di Universitas di Paris oleh rektor Cop, dimengerti sebagai saat penerimaan ajaran Reformasi bagi Calvin. Akhirnya, tahun 1534 Calvin mengumumkan ulang ajaran eklesia-nya. Dan inilah pertobatan Calvin kepada Reformasi pada tahun 1533 bukan pada tahun 1528.

3. INSTITUTIO

Calvin menulis bukunya Christianae Religionis Institutio (Pengajaran Agama Kristen) ketika tinggal di Basel akibat penganiayaan orang Kristen di Perancis. Calvin sendiri melarikan diri dari Perancis ke Swiss, dan ke Strausburg kemudia bertahan lama di Basel. Berdasarkan pernyataan Calvin, Institutio ditulis sebagai pembelaan atas penekanan terhadap orang-orang percaya di Perancis oleh raja Perancis yaitu Francis I. Dalam tulisannya ini Calvin mencoba menjelaskan kepada raja tentang keadaan orang percaya itu agar raja tidak menganiaya mereka. Di samping tulisan ini, Calvin juga menulis tulisan lainnya seperti: Pengetahuan tentang Allah Pencipta, Pengetahuan tentang Allah Penebus di dalam Kristus, Jalan di Mana kita Menerima Anugerah Kristus, Apakah Manfaat Yang Datang Kepada Kita dari itu, Apakah Akibat Pengikut dan Arti Kekekalan atau Pertolongan oleh Undangan Allah pada kita ke dalam Kemasyarakatan Kristus dan Merangkul Kita Di sana.

4. KEGIATAN AWAL DI GENEVA

Secara geografis Geneva adalah bagian dari Switzerland, dan kota ini menjadi posisi yang baik sebagai mata rantai stasiun transit di antara Switzerland dengan Italia, Perancis dan Jerman. Aslinya Geneva adalah bagian kota Jerman tetapi kemudia menjadi di bawah kekuasaan adipati Savoy. Farel telah berusaha membawa Reformasi di Geneva sejak tahun 1532, namun dia merasa bahwa dia tidak mampu sendirian untuk melakukan tugas ini. Ketika Farel mendengar bahwa Calvin berada di Geneva, maka Farel meminta Calvin untuk tinggal di Geneva bersama-sama dengannya menata kota Geneva menjadi kota reformasi. Permintaan Farel ditolak Calvin. Calvin mau hidup tenang dan terus menulis karya-karya teologia. Ia merasa tidak cocok dengan pekerjaan praktis dalam jemaat. Namun Farel mendesaknya dengan berkata: “Allah akan mengutuki engkau jika engkau menolak untuk membantu pekerjaan Tuhan dan engkau lebih mencari kehormatan dirimu sendiri daripada kemuliaan Kristus”. Calvin melihat panggilan Allah kepadanya lewat Farel sehingga ia tinggal di Geneva. Calvin menjadi Reformator di Geneva. Di sana ia menjadi pengajar Kitab Suci dan memimpin pemahaman Alkitab. Pada bulan Januari 1537 Calvin sudah menulis Tata Gereja yang baru (cikal-bakal Ordonnances Ecclesiastiques). Menurut Calvin, salah satu cara agar penduduk Geneva mau mengikuti Reformasi adalah dengan adanya sumpah iman. Untuk tujuan ini, maka dia menulis Katekismus Geneva sebagai ringkasan dari Institutio. Bersama Farel, Calvin merumuskan pengakuan iman sehingga tahun 1537 mereka menerbitkan Instruction et confession de foi (Instruksi dan Pengakuan Iman). Dengan ini maka setiap orang bisa menentukan apakah dia penganut Katolik atau tidak. Menurut Aland, Calvin telah berusaha meletakkan dasar Gereja Geneva sejak permulaan. Namun gagasan menyangkut sumpah yang dimulai bulan Juli 1537 ini ditolak keras oleh dewan kota, sehingga Calvin dan Farel dilarang berkhotbah di mimbar-mimbar gereja di Geneva dan pada akhirnya diusir dari Geneva.

5. TINGGAL DI STRASBOURG

Setelah gagal mendirikan kerajaan Allah di Geneva, Calvin dan Farel akhirnya kembali ke daerahnya masing-masing. Calvin pulang ke Strasbourg dan Farel ke Neuchatel. Calvin diterima Bucer dan Capito di Strasbourg dengan baik. Menurut Aland ada beberapa hal penting atas kehadiran Calvin di Strasbourg ini yaitu: Pertama, di Strausbourg Calvin menjadi lebih dekat hubungannya dengan teolog Reformasi Jerman seperti Melanchthon. Kedua, di Strasbourg Calvin menemukan pengertian yang dalam tentang damai untuk melanjutkan kesarjanaannya yang sudah lama diidamkannya. Ketiga, pengalaman persekutuannya di Strasbourg sungguh serasi yang selama ini dia cari-cari. Di sana dia menemukan iman yang Injili dan merasakan kehidupan bergereja yang sangat indah.

6. KEMBALI KE GENEVA DAN PEMBANGUNAN ORGANISASI GEREJA BARU

Pada tahun 13 September 1541, Calvin menerima panggilan untuk kembali lagi ke Geneva. Dan Calvin tinggal dan bekerja di Geneva hingga meninggalnya. Segera setelah ia di Geneva, Calvin menyusun suatu tatagereja yang baru yang bernama: Ordonnances ecclesiastiques (Undang-undang Gerejani). Gereja harus bertanggung jawab untuk mengatur dirinya sendiri (Self-government). Kota dibagi menjadi dua belas distrik yang dipimpin oleh seorang penatua. Calvin memisahkan penghukuman: setelah penghukuman spiritual dijatuhkan, barulah hukuman dari pemerintah dilaksanakan. Pokoknya bagi Calvin, seluruh kehidupan gereja dan negara baik hidup secara pribadi dan masyarakat harus memuliakan Allah. Calvin secara sistematik mengatur jabatan gereja untuk memurnikan jabatan para pendeta. Dia sangat perhatian untuk meningkatkan pendidikan bagi para pendeta dan kaum awam. Bagi Calvin, hubungan gereja dan negara sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Dia bercita-cita suatu negara teokrasi. Seluruh kehidupan masyarakat harus diatur sesuai dengan kehendak Allah.

7. PERJUANGAN MELAWAN OPOSISI

Aland dalam bagian ini lebih menekankan perseteruan Calvin dengan Mikael Servetus yang menganut paham Anti-trinitarian dan Bolsec yang menentang ajaran predestinasi Calvin. Bagi Calvin ajaran predestinasi adalah ajaran yang sangat mendasar dalam teologinya. Bolsec akhirnya dibuang ke luar Geneva. Sedangkan Servetus telah menuliskan keraguan dan ketidakpercayaannya kepada ajaran trinitarian tahun 1531 dalam bukunya De trinitatis erroribus (Kesalahan Trinitas). Servetus menuliskan pemikirannya dalam sebuah buku Christianismi Restitutio (Pemulihan Agama Kristen). Calvin sendiri telah menasihatkan Servetus agar tidak menerbitkan bukunya itu. Tetapi Servetus tetap bersikeras menerbitkannya tanpa menyebut nama pengarangnya. Servetus menerbitkan dengan rahasia di daerah Lyons pada permulaan 1533. Akhirnya Calvin menyebut Servetus sebagai Setan. Inkuisisi Gereja Katolik Roma terus menyelidiki perkara itu dan tidak lama kemudian mendapat cukup bukti bahwa Servetuslah pengarangnya. Ia ditangkap dan dipenjarakan di kota Vienne (=Wina) dan dijatuhi hukuman mati dibakar pada tanggal 27 Oktober 1553.

8. PEMBENTUKAN GEREJA YANG BERCIRI PENGAKUAN IMAN (KONFESIONAL)

Dalam bagian ini Aland menjelaskan perhatian Calvin kepada orang Perancis yang mengungsi ke Geneva karena diusir dari Perancis. Dengan perhatian Calvin ini, mereka akhirnya mendukung Calvin dalam mewujudkan cita-cita Calvin untuk menjadikan Geneva menjadi kota Kerajaan Allah. Calvinisme ini dengan cepat berkembang dari Geneva: ke Perancis, Belanda, Skotlandia, Eropa Timur, dan Italia. Calvin juga mencoba mendamaikan pihak Lutheran dengan Gereja Zwingli supaya Jerman dan Swiss bersatu dalam hal Reformasi. Calvin berhasil dengan mengadakan Consensus Tigurinus (Persetujuan Zurich) tahun 1549 yang berisikan persetujuan antara pengikut Zwingli dengan pengikut Calvin tentang ajaran Perjamuan Kudus yang menggabungkan ajaran Zwingli dan Calvin. Calvin berharap persetujuan ini menggambarakan kedekatan dengan Lutheranisme Jerman. Usaha Calvin ini ditolak oleh orang Lutheran sebab ajaran Zwingli dianggap telah menganut ajaran Anabaptis. Amatlah berbahaya jika Calvinis berusaha mempersatukan ajaran Zwingli dan Luther. Itulah makanya Joyakim Westphal di Hamburg menyerang ajaran Calvinis ini dengan keras. Walaupun demikian, Calvin mau memelihara perdamaian dan persatuan; tetapi lawan-lawannya berpendapat lain. Semenjak itu pembaharuan Lutheran dan Calvin masing-masing menurut jalannya sendiri-sendiri. Meski pun bercerai, kedua bagian Reformasi itu tidak lain dari dua saudara dari satu keluarga yang saling membutuhkan. Untuk menghadapi persoalan ini, maka Lutheranisme menerbitkan buku Formula of Concord (Rumusan Konkord) tahun 1577 dan The Book of Concord (Buku Konkord) tahun 1580. Konsep Confessio helvetica posterior,1556 baru dapat diterima sebagai dokumen konfessioanal setelah beberapa tahun kematian Calvin. Calvin meninggal pada tanggal 27 Mei 1564. Konsep ini dapat diterima oleh pihak Calvinis dan Lutheran sebagai gereja yang konfesional.

3. KEKRISTENAN SETELAH REFORMASI

Dalam bagian kedua buku ini, Aland membahas Kekristenan setelah Reformasi. Untuk melihat secara jelas, dia membagi bahasan ini dalam empat bagian besar yaitu: Pertama, Pertarungan antar Konfesi hingga perang tiga puluh tahun (1618-1648) ; kedua, Kekristenan sejak Abad Keenam belas ; ketiga, Kekristenan Abad Kesembilan belas ; dan keempat, Kekristenan Abad Kedua puluh .

I. PERTARUNGAN ANTAR KONFESI HINGGA PERANG TIGA PULUH TAHUN (1618-1648)

Bab ini berisikan enam pokok bahasan yaitu:

1. KEBANGKITAN KATOLIKISME; IGNATIUS LOYOLA DAN YESUIT

Sejak tahun 1545 Protestanisme selalu bersikap menyerang Katolikisme sementara Katolik sendiri bersikap bertahan, tetapi setelah tahun 1545 Katolikisme berbalik haluan dengan bersikap menyerang. Inilah yang disebut dengan masa kebangkitan Katolik. Atau masa ini lebih dikenal dengan masa Kontra-Reformasi. Tujuan utamanya adalah pembaruan gereja. Ordo Yesuit adalah ordo yang mendukung Kontra-Reformasi ini. Salah satu tokoh yang terkenal dan sekaligus pendiri ordo Yesuit ini adalah Ignatius dari Loyola. Dia adalah salah seorang tokoh penting dalam sejarah Katolik modern. Pada tahun 1526, ia memulai belajar teologi selama sembilan tahun. Setelah tamat, bersama dengan teman-temannya, ia pergi ziarah ke Tanah Suci. Setelah pengalaman ziarah ke Tanah Suci, mereka mengorganisasikan masyarakat (ordo) yang berspiritual berdasarkan tulisan Ignatius Exercitia spiritualia (Latihan rohani). Dan pada tanggal 27 September 1540, organisasi ini diresmikan menjadi sebuah ordo yang disebut dengan Societas Jesu (Ordo Yesus).

2. PERJUANGAN REFORMASI DI EROPA Dalam bagian Aland ini membahas perjuangan Reformasi di beberapa daerah seperti: pertama, Perancis. Protestan berkembang tidak hanya sebagai kekuatan Gerejawi saja melainkan sebagai kekuatan politik. Di bawah pimpinan Admiral Coligny, mereka memperoleh pengaruh dan bersaing dengan pemerintahan Perancis dan Katolik Perancis di dalam tiga perang. Pada tahun 1570 akhirnya pemerintah Perancis terpaksa mengakui Protestanisme. Tetapi hanya dua tahun kemudian, pada tanggal 24 Agustus 1572, pada Hari St.Bartolomeus, banyak pemimpin Hugenot dibunuh termasuk Admiral Coligny di dalamnya. Peristiwa ini dikenal dengan “Paris Berdarah” karena menelan korban sekitar dua atau tiga ribu orang dan bahkan sampai dua puluh ribu orang. Akhirnya pada 13 April 1598, pada Edik Nantes, Protestan diizinkan hidup dan bergerak dengan bebas dan penganiayaan dihentikan. Kendatipun kemudian, Louis XIII berusaha untuk mengusir orang Protestan. Kedua, Belanda. Perjuangan di Belanda ini dikenal dengan perjuangan berdarah, sebab banyak menelan korban. Secara ringkas Aland memberikan alasan mengapa hal itu terjadi. Hal itu diakibatkan percampuran masalah politik dan agama. Perjuangan kebebasan beragama adalah perjuangan yang sama untuk terbebas dari Perancis dan perjuangan terbebas dari kekuasaan Perancis bersamaan dengan perjuangan kebebasan keberagamaan. Ketiga, Switzerland. Gerakan Reformasi di Polandia diakibatkan ketidakpuasan mereka terhadap gereja Katolik yang tidak memperhatikan pendidikan. Sehingga mereka berpindah dari humanisme ke Reformasi dan mendukung pendidikan bagi para pendeta. Keempat, Inggris. Sejak pemerintahan Ratu Elisabet, Inggris menjadi pemimpin kekuatan Protestan di Eropa. Kelima, Swedia. Kontra-Reformasi berusaha untuk memenangkan kota agar kembali ke Katolikisme. Tetapi Protestanisme dimenangkan oleh Charles IX.

3. KEMAJUAN KONTRA-REFORMASI DI JERMAN

Kemajuan Kontra-Reformasi di Jerman kemungkinannya kecil sebab telah tercapai Perdamaian Agama di Augsburg (1555) yang memperdamaikan kedua belah pihak. Namun Ferdinan I (1556-1564) dan Maximilian II (1564-1576) berusaha melawan Protestanisme. Hal ini diteruskan oleh Rudolf II (1576-1612) yang telah dididik oleh ordo Yesuit menjadi adipati Bavaria. Akhirnya pada pemerintahan Albrecht V di Bavaria (1550-1579), ordo Yesuit memperoleh pengaruh yang besar baik di dalam Gereja dan pemerintahan. Akhirnya terjadilah konflik Kontra-Reformasi pertama yang diakibatkan prinsip-prinsip spiritual. Setelah Perdamaian Agama di Augsburg kedua belah pihak selalu berusaha untuk mengembangkan diri. Misalnya, Protestanisme sejak awal 1560 telah mengembangkan sayap mulai dari Trier hingga ke Salzburg. Demikian juga Katolikisme, mengembangkan diri di Constance, Bamberg, Paderborn, dan Breslau. Di Mainz sendiri pada saat pemilihan archbishop (uskup besar) yang baru, kemenangan Katolik begitu nyata mengalahkan Protestan. Namun tahun 1577, elektor Cologna menjadi penganut Protestan. Perkembangan Protestanisme ini akhirnya mengalami kemajuan hingga tercapainya Kesatuan (Union) Gereja Protestan pada 4 Mei 1608. Dan pihak Katolik pun membangun kesatuan mereka di Bavaria.

4. KONFLIK DI BOHEMIA DAN MELETUSNYA PERANG TIGA PULUH TAHUN

Setelah Rudolf II menandatangani Surat Mulia (Letter of Majesty) 1609 maka kebebasan beragama pun semakin nyata. Penduduk Bohemia mendukung Surat Mulia ini. Namun ketika Rudolf II turun tahta 1611, dia digantikan oleh Matthias 1612 dan Ferdinand menjadi raja muda di Bohemia, satu persatu dari konsensus ini ditarik kembali. Dan inilah yang menjadi cikal-bakal Perang 30 tahun sebagai perselisihan lokal. Bagi orang Bohemia, revolusi ini adalah perang internal Austria bukan sebuah revolusi di salah satu provinsi di kekaisaran Habsburg. Kematian Matthias bulan Maret 1619 menimbulkan pertanyaan siapakah yang akan menjadi penggantinya. Dua elektor Jerman menjadi calon terkuat yakni John George I dari suku Sakson dan Frederick V dari Palatinat. John George ditolak oleh orang Bohemia dan akhinya Frederick yang menjadi pengganti Matthias. Dengan kemenangan ini membuat pihak Protestanisme berdiri sama dengan Katolikisme di Bohemia. Pihak Protestan dari Sakson kembali mengangkat Perang Smalkalden misalnya pada masa Napoleon.

5. PERANG TIGA PULUH TAHUN

Menurut Aland perang tiga puluh tahun ini terdiri dari dua bagian yaitu: bagian pertama, terjadinya Perang Bohemia (1618-1620), Perang Palatinate (1621-1623), dan Perang Sakson Rendah (1625-1629). Dan bagian ini berakhir dengan Edik Pemulihan (Restitution) 6 Maret 1629. Bagian kedua, dari tahun 1630 hingga 1632. Pada bulan Juli 1630, Gustaf Adolfus menyeberang dan memasuki Jerman dengan tentaranya. Lambat laun ia mendapat sokongan dari negeri-negeri Lutheran. Pada tahun 1631 ia mengalahkan Tilly. Sekarang jalan ke Jerman-Selatan terbuka baginya. Kontra-Reformasi mundur dengan cepat, tetapi orang Katolik Roma tidak ditindasnya, karena ia mengetahui bahwa cara yang demikian tidak pernah mendatangkan damai. Menurut Aland ada beberapa motif Gustaf melakukan perlawanan ini yaitu: motif politik yang dilakukannya dalam invasi ke Jerman dan motif politik dan ekonomi. Gustaf Adolfus tewas dalam pertempuran dekat Lutzen (1632); kematiannya menghentikan perjuangannya yang indah dan sangat berharga itu bagi kebebasan Injil. Tetapi ia telah mencapai maksdunya, sebab penganiayaan dan pemusnahan terhadap kaum Protestan sudah dibatalkan. Reformasi di Eropa-tengah tidak dapat ditahan lagi. Gustaf Adolflah yang meluputlan Lutheranisme dari kebinasaan pada saat bahaya itu memuncak.

6. PERDAMAIAN WESTPHALIA DAN PERTANYAAN KONFESIONAL

Sesudah tahun 1632, perang 30 tahun itu hanya merupakan suatu perang politik saja antara Perancis dan Swedia melawan keluarga Habsburg dan Spanyol. Ketika segala partai sudah terlampau lemah dan lelah, barulah mereka mulai mencari kesepakatan sehingga negosiasi ditentukan pada tahun 1641 di Osnabruck dan Munster. Negosisasi dengan Swedia berakhir pada 8 Agustus 1648, dan dengan Perancis pada 17 September 1648. Negosiasi ini akhirnya, tercapai dan ditandatangani pada 24 Oktober 1648 di Munster yang sering disebut dengan Perdamaian Munster (Perdamaian Westphalia). Secara ringkas perdamaian ini menetapkan bahwa asas-asas Augsburg (1555) tetap berlaku, kebebasan beragama dijamin kecuali sekte-sekte baru, nasib golongan kecil diperbaiki. Perdamaian ini juga membawa sejumlah besar perubahan di dalam batas-batas kepemilikan. Swedia mendapatkan Hither Pomerania dan Rugen, sepanjang daerah Wismar, Bremen, Verden – seluruh kekuasaan gereja – dan bagian Farther Pomeriania. Perancis memperoleh kekuasaan atas kota Metz, Toul dan Verdum. Hasil lain yang diperoleh perdamaian ini ialah Belanda dan Swiss memperoleh kedaulatannya.

II. KEKRISTENAN SEJAK ABAD KEENAM BELAS

1. KEKRISTENAN ABAD KEENAM BELAS DAN KETUJUH BELAS

Uraian tentang kemajuan kontra-Reformasi dan Perang 30 Tahun, yang telah membawa kita pada pertengahan abad ketujuh belas, bisa dengan mudah mengaburkan kejadian-kejadian dan faktor-faktor lain dalam sejarah Kristendom di abad keenam belas dan ketujuh belas kemudian. Sebagai contoh, Raja Perancis Louis XIV (1634-1715) dicirikan bukan hanya oleh perjuangannya melawan Huguenot, yakni perjuangan melawan Protestanisme, tetapi juga dengan perselisihan di dalam Katolikisme itu sendiri. Pada saat yang sama Jansenisme dan Quietisme kedua-duanya diserang oleh Yesuit. Kedua-duanya menyerah pada kekuasaan penentang mereka, dan tak diragukan lagi menimbulkan kerugian pada gereja Perancis maupun pada Katolikisme secara umum. Jansenisme berusaha untuk bangkit dan menjaga kekudusan yang dalam dengan kembali kepada Augustinus. Quietisme adalah bentuk mistisisme, salah satu dari gerakan yang menarik di dalam Katolikisme selama abad ketujuh belas. Ketika kita melihat pada sejarah Protestanisme kepada Katolikisme, kita menemukan bahwa di abad ketujuh belas mereka, bukan hanya banyak tetapi juga spektakuler: bersama pangeran Jerman ada Ratu Kristina dari Swedia, dan banyak para maha guru dan teolog seperti penyair Angelus Silesius. Hal ini disebabkan pentingnya mistisisme quietistik yang berbalik ke Katolikisme pada saat itu. Tetapi mistisisime itu pun dihancurkan. Sebagai tambahan, semuanya itu dekat hubungannya dengan kerajaan yakni Katolikisme menjadi bagian integral dari sebuah regim yang absolutis dengan seluruh konsekuensinya. Aliansi ini membawa pengaruh yang besar. Revolus Perancis menuntut banyak korban. Bukan hanya merusak harta milik Gereja Katolik tetapi juga kehidupan para imam dan biarawan. Ketika kita kembali memperhatikan Protestanisme pada waktu itu, gambarannya adalah rasa ketidakenakan. Protestanisme dirundung oleh berbagai perdebatan yang ditandai dengan masa Orthodoksi. Perdebatan ini dimulai setelah kematian Luther dengan perdebatan tentang adiafora di dalam Perang Schmalkaden, yang diikuti perdebatan sinergistik, Majoristik, antinomian dan Osiandrian. Sebagai tambahan ada juga perdebatan Philippistik yaitu perdebatan tentang teologi Melanchthon. Generasi setelah kematian Luther memikirkan satu perdebatan tentang substansi dari Formula Konkord yang selesai pada 28 Mei 1577. Pada tgl 25 Juni 1580, Buku Konkord dipublikasikan termasuk pengakuan kuno Gereja dan seluruh pengakuan Reformasi (Konfesi Augsburg, Apologi, Risalat Melanchthon atas Kuasa dan Keuatan Paus, Artikel-Artikel Smalcald, Katekismus Kecil dan Besar Martin Luther), versi pendek dan panjang Formula Konkord. Hal kedua menurut Aland yang harus disebutkan, jika kita melihat abad ketujuh belas dan delapan belas hanya dengan dasar pertikaian pada masa itu, kita akan melakukan hal yang merugikan pada kedua abad tersebut. Perdebatan memang dilakukan teolog-teolog di setiap masa. Tetapi jika kita melihat hanya dari perspektif ini, kita tidak hanya melakukan sebuah ketidakadilan pada para peserta, tetapi juga memotong diri kita sendiri dari akses untuk mengerti peristiwa-peristiwa itu. Doktrin yang murni menjamin eksistensi gereja, ajaran murni diperlukan bagi keselamatan – hanya dari dasar pemikiran ini kita dapat mengerti perdebatan doktrinal abad ketujuh belas dan kedelapan belas kemudian. Ajaran murni ini telah diperoleh dan diakui hanya setelah melalui perjuangan yang sengit. Perdebatan doktrinal makin hebat ketika Pietisme muncul pada akhir abad ketujuh belas. Kita hanya butuh melihat tulisan-tulisan yang melawan Spener dan Pietisme dan bagaimana Spener menjawab seluruh perdebatan yang tidak menyenangkan itu. Satu hal penting lain menurut Aland adalah tentang penafsiran yang tepat pada abad ketujuh belas: pusat hati iman Protestan (Injili) bukan pada perdebatan ini. Kita melihat kekudusan pada waktu itu diekspresikan di dalam lagu-lagu pujian (hymne). Sebab pada waktu itu setelah kematian Luther dan pada abad ketujuh belas tulisan-tulisan lagu-lagu pujian tumbuh subur, hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Aland memberikan banyak gambaran tentang nyanyian ini dalam karya-karya Pietisme seperti Erdmann Neumeister dan Valentin Ernst Loscher. Aland juga menjelaskan bahwa abad ketujuh belas tidak dapat dikritisi dan dihukum dengan cara yang sering kita lakukan. Misalnya, ketika kita bertanya bagaimana pengaruh Perang Tiga Puluh Tahun bagi kehidupan gereja dan keagamaan, kita sering menemukan orang – dipengaruhi oleh pengalaman generasi kita dalam Perang Dunia II dan tahun-tahun setelahnya – yang memberikan sebuah evaluasi negatif ekstrem di dalam jawaban mereka.

2. PIETISME

Pietisme merupakan gerakan yang paling signifikan yang terjadi di dalam Protestanisme sejak Reformasi. Di dalam gereja, Pietisme menjadi tempat pertama bagi akibat dari Reformasi itu sendiri. Akarnya adalah pada abad keenam belas. Puncak Pietisme diraih pada tahun 1720 dan kemudian setelah itu mulai memudar. Pietisme ini mempengaruhi gereja hanya dalam waktu singkat. Nama Pietis dan Pietisme lahir pertama kali pada perdebatan Leipzig. Pada abad ketujuh belas Pietisme tumbuh secara simultan di beberapa daerah dan di dalam dua aliran yaitu: Lutheran dan Calvinis (Reformed). Kita pertama menemukannya pada lahan Calvinis: di Belanda dan Inggris dan kemudian di Jerman dan akhirnya Lutheranisme Jerman. Aland menyimpulkan bahwa ada hubungan ketergantungan antara Pietisme Reformed dengan Pietisme Lutheran. Melalui tulisan-tulisan teolog Reformed Belanda dapat dikatakan bahwa istilah-istilah mereka dicirikan Pietisme Lutheran Jerman. Kita juga mencatat bahwa Spener membaca tulisan-tulisan penulis devosional bahasa Inggris pada masa mudanya. Walaupun demikian, kita tidak dapat memperlihatkan hubungan yang segera antara Lutheran Jerman dan Pietisme Reformed Jerman. Reformed dan Lutheran saling mempengaruhi satu sama lain, tetapi mereka tidak dapat dijelaskan yang satu berasal dari yang lain, sebab “Pietisme” adalah sesuatu kesatuan yang abstrak yang tidak pernah nyata. “Pietisme” bukan sesuatu yang nyata, yang nyata hanyalah bermacam-macam manifestasinya yang harus diuji dan dievaluasi secara terpisah. Dan bahkan Lutheran dan Pietisme bukanlah suatu kesatuan tunggal, tetapi dibagi ke dalam banyak kelompok: Pietisme yang berasal dari Spener dan Francke, Moravian, Pietisme Wurttemberg, dan akhirnya Pietisme radikal. Pietisme radikal dipengaruhi oleh Pietisme Lutheran dan Reformed. Dari luar, Pietisme Jerman dilindungi dari pengaruh yang datang dari Pietisme Reformed dengan konfesi yang dibawa waktu itu. Kita tidak memiliki konsepsi bagaimana kuat keberadaan pembawa konfesi pada abad ketujuh belas secara umum. Misalnya, Spener menemukan dorongan untuk menulis Pia Desideria dari Labaidie. Spener telah mengetahui tulisan-tulisan Luther. Spener dibina oleh fakultas teologi Strasbourg yang didirikan Lutheranisme yaitu Lutheranisme Reformed (Reformluthertum). Ketika kita membaca seluruh penulis Lutheran dari abad keenambelas, kita mendapat pesan bahwa di sini kita sudah bertemu dengan Pietisme, paling sedikit di dalam langkah dasar. Menurut Aland, kita dapat menentukan secara pasti kapan Pietisme mulai sebagai sebuah gerakan di dalam Lutheranisme Jerman yaitu dalam musim gugur tahun 1675 ketika Pia Desideria atau Heartfelt Desire for a God-pleasing Reform of the true Evangelical Church Spener muncul. Kemudian Pia Desideria (Hasrat Kesalehan) menjadi sangat berarti dan sangat dalam mempengaruhi buku-buku yang pernah muncul dalam gereja Injili. Kita tidak dapat menghindari diskusi isi Pia Desideria, sebab hal ini adalah inti dari segala sesuatu yang kemudian Pietisme pikirkan. Pia Desideria aslinya muncul sebagai sebuah pengantar pada edisi baru tulisan Johann Arndt (1555-1621), superintendent di Luneburg pada akhir hidupnya, salah seorang representatif “Lutheranisme Reformed”. Spener memulai dengan imbauan umum bagi reformasi. Dia memulai dengan kondisi korup yang merembes ke seluruh negeri. Pertama dia menghitung satu persatu dosa-dosa lembaga-lembaga temporal yaitu mereka yang berkuasa/memerintah di dalamnya. Mereka melupakan bahwa mereka berhutang kepada Allah dan Allah memberikan mereka kekuasaan untuk mengembangkan kerajaan Allah. Kemudian Spener melawan para imam (“second” estate) dan masyarakat (“third” estate). Spener tidak akan berbicara tentang dosa yang sudah kita kenal sebagai dosa, tetapi tentang dosa-dosa yang tidak dipikirkan. Spener juga membuat enam usulan bagi Reformasi yaitu: Pertama, “Lebih luas menggunakan Firman Allah di antara kita”. Kedua, yang dikutip dari perhatian sentral Luther yang hilang dalam periode setelah dia, bahwa imamat am orang percaya dihidupkan kembali, sebab jemaat bukan direpresentasikan oleh imam melainkan para orang percaya. Ketiga, dapat ditemukan dalam Luther yaitu dalam pengantarnya atas Kitab Roma dalam terjemahannya atas PB. Umat harus belajar bahwa belumlah cukup mengetahui iman Kristen dan mengikuti ajaran gereja, tetapi segala sesuatu tergantung pada satu hidup, menggunakan satu iman secara praktik. Keempat, menekankan perdebatan keagamaan dan satu tindakan kepada orang-orang yang berbeda iman. Kelima, pendidikan bagi para imam. Kehidupan pada murid lebih baik diawasi. Menurut Spener, para calon imam tidak hanya dibekali secara teoritis saja, tetapi mereka juga harus berkesempatan selama pendidikan mereka mempraktekkan hal-hal yang akan mereka lakukan kemudian dalam pelayanan mereka: menghibur orang yang sakit, berkhotbah, dan lain-lain. Keenam, Sermon harus dikhotbahkan ”maka mereka lebih menyempurnakan tujuan mereka, menumbuhkan iman dan berbuah bagi orang yang mendengarnya“. Pengkhotbah tidah harus menunjukkan kemampuan belajarnya, tetapi harus mampu mengakomodasi dirinya sendiri untuk memampukan pendengarnya mengerti apa yang dikhotbahkan. Philipp Jakob Spener lahir tahun 1635 di Rappoltsweiler Alsace putra pegawai kantor daerah (bupati). Dia belajar di universitas Strasbourg. Dia adalah murid terbaik dari murid seusianya. Dosennya menginginkannya untuk tetap tinggal di universitas. Tetapi ketika masih dalam tingkat permulaan dari kegiatan akademiknya, panggilan tahu 1666 menjadi imam senior di Frankfurt membuat dia keluar dari karir di universitas pada usia tiga puluh satu tahun. Pengalaman rohani Spener terjadi ketika ia dalam perjalanan studi tour ke Switzerland dan Wurttenberg bertemu dengan Pietisme Wurttenberg. Ketika Spener meninggal 5 Pebruari 1705, Pietisme telah memiliki sebuah bentuk baru. Pietisme yang berasal dari Spener dilanjutkan keberadaannya. Tetapi secara meluas, Pietisme Spener dibayang-bayangi oleh Pietisme Halle yang lebih agresif daripada Spener. August Hermann Francke adalah pendiri sekaligus figur Pietisme Halle ini, lahir di Lubbeck tahun 1663. Ayahnya seorang pengacara yang melayani Duke Ernest the Pious (Ernest yang saleh) di Gotha. Masa muda Francke telah dipengaruhi praktik kesalehan di pengadilan Ernest the Pious. Tahun 1685, dia menyelesaikan magisternya dalam usia 22 tahun dan saat itu ia mengorganisasikan Collegium philobiblicum di Leipzig. Collegium philobiblicum ini bukanlah kelompok Pietistik, melainkan persekutuan para cendikiawan, sebuah persekutuan magister penafsiran Alkitab. Francke pergi ke Ernfurt untuk menjadi pendeta di sana tetapi dia hanya tahan satu setengah tahun atas penganiayaan yang dilakukan oleh rekannya imam. Tahun 1692 dia mendapat kedudukan baru di Halle bagian pinggiran kota Glaucha. Pekerjaan Francke berjalan langkah demi langkah dari tuntutan Glaucha menekannya. Dia menggambarkan mereka dalam buku pertamanya Blessed Footsteps of the Still Living and Reigning Lovely and Faithful God. Di sini Francke mengatakan bagaimana dia menemukan apa yang disebutnya “kotor dan kecurangan kebodohan” di antara penduduk miskin di Glaucha bahwa dia tidak tahu bagaimana memberikan mereka pertumbuhan Keristenan. Dengan melihat situasi itu maka Francke berusaha memperbaikinya dengan memberikan uang kepada anak-anak yang orang tuanya miskin dan tidak dapat membayar uang sekolah. Tetapi tindakan ini tidak efektif. Anak-anak bergembira menerima uang, tetapi mereka tidak pergi ke sekolah, dan jika pun mereka pergi ke sekolah tatapi tidak ada hasil yang diperoleh. Aland lebih jauh menjelaskan perjuangan Francke dengan mendirikan Panti Asuhan tahun 1698 dan selesai dibangun tahun 1699. Pada tahun 1714 Panti Asuhan ini telah menampung lebih dari 200 anak-anak dan diajar oleh 100 orang guru. Di Panti Asuhan ini mereka. Pekerjaan Francke ini semakin berkembang. Hal ini terbukti dengan pengiriman Justus Samuel Scharschmidt ke Rusia (1696), Anton Wilhelm Bohme ke Inggris (1704), Bartholomaus Ziegenbalg dan Johann Heinrich Plutschau mendirikan Penginjilan di India Timur di antara penduduk Tamil (1706), dan Henry Melchior Muhlenberg dikirim ke Pennsylvania. Dalam bagian ini Aland juga menjelaskan peranan Nikolaus Ludwig von Zinzendorf bagi perkembangan Pietisme. Nikolas lahir di Dresden tahun 1700 dan memperoleh pendidikan di Halle. Zinzendorf tunduk kepada keinginan keluarganya dan tahun 1722 dia menjadi pengacara di pemerintahan Sakson. Di Dresden dia membuka persekutuan yang disebut dengan “Persekutuan Empat Saudara”. Pada saat yang sama, dia juga memberikan tanahnya di Berthelsdorf bagi sisa imigrasi Persatuan Saudara-saudara Bohemia (Bruderunitat). Pada 17 Juni 1722, Zinzendorf membangun Herrnhut sebagai tempat bagi Saudara-saudara Bohemia ini. Tetapi segera setelah itu tempat ini menjadi pusat Pietisme radikal. Di samping keempat macam Pietisme Lutheran Jerman – Spener, Francke, Zinzendorf, Wurttenberg – ada juga Pietisme radikal yang merupakan gelombang berikut dari kelompok Pietisme Lutheran Jerman. Pietisme radikal ini timbul akibat gerakan separatis seperti yang terjadi di Frankfurt. Salah satu tokohnya yaitu Johann Wilhelm Petersen. Pietisme radikal ini di luar aturan keagamaan saat itu. Mereka menemukan pengungsi di Wetterau di sana mereka mengatur jemaat-jemaat. Kota Sayn-Wittgenstein dan Isenburg-Budingen menjadi pusat Ispirasi Kemasyarakatan (Inspirationsgemeinden). Mereka menerjemahkan Alkitab yang disebut Berleburg Bible sebagai sumber pendidikan mistik bagi mereka. Dari tempat ini mereka berkembang ke Switzerland dan Alsace. Apakah akibat Pietisme ini bagi para ahli teologi? Menurut Aland, Pietisme ini hanya berbicara mengenai teologi sistematik. Karena secara doktrin Pietisme ini masih tergantung pada doktrin Lutheran. Bagi “Pietis“ segala sesuatu dimulai dengan Alkitab. Tujuan mereka hanya untuk memperbaiki umat. Arti Pietisme bagi para ahli teologi jauh lebih kecil dibanding bagi umat. Sebab sejak permulaannya Pietisme bukan hanya memperhatikan pendidikan teologi tetapi juga lebih memperhatikan praxis pietatis, pembaharuan dan rekonstruksi kehidupan gereja. Pengaruh Pietisme ini sangat nyata dalam teologi praktika. Penganut Pietisme juga berusaha menceta Alkitab untuk segala umur dengan mendirikan Canstein Bible Society (1710). Pada tahun 1712 – 1719 telah mendistribusikan 80.000 Alkitab dan ratusan ribu PB. Pietisme melakukan seluruh usaha untuk mempromosikan kehidupan jemaat dan membuatnya hidup. Perkembangan kelompok studi Alkitab (Bibelstunden) dan sidi semakin maju. Buku-buku nyanyian rohani makin banyak dicetak.

3. PENCERAHAN

Menurut Aland, Pietisme bukanlah sebuah jalan mempersiapkan Pencerahan, sebab Pietisme itu sendiri hanya sebuah gerakan dalam gereja. Artinya Pietisme berbeda dengan Pencerahan tetapi ada persamaan mendasar (yang mungkin tidak dikatakan Aland secara eksplisit): sama-sama antroposentris (berpusat pada manusia: manusia yang saleh, manusia yang berpikir/rasional). Pencerahan adalah sebuah fenomena kehidupan intelektual umum dan mempengaruhi gereja hanya dalam satu pengaruh saja. Pencerahan ini terjadi di luar Kekristenan sebagai sebuah gerakan filsuf yang dimulai di Inggris, Belanda dan selanjutnya datang ke Jerman melalui Perancis. Akhirnya berkembang di Jerman dan mempengaruhi gereja. Pietisme dan Pencerahan saling berlawanan satu sama lainnya. Pencerahan di Jerman relatif begitu sejuk dibandingkan dengan apa yang terjadi dengan Pietisme. Pencerahan radikal – rasionalisme – yang ditunjukkan Frederick II dari Prusia atau Carl Friedrich Bahrdt, bukanlah terjadi di Jerman. Jika kita lihat Perancis, walaupun di sana tidak ada kaum Pietis, namun kita temukan di sana Pencerahan yang lebih radikal dari apa yang terjadi di Jerman. Pencerahan radikal di Perancis berhubungan erat dengan perkembangan hubungan erat di antara kerajaan dan ordo Yesuit. Faktor-faktor pendorong kebangkitan Pencerahan adalah Humanisme buah dari Renaissance. Humanisme telah ada dan memainkan peran yang ditandai dengan pemisahan dua bagian yang kita temukan dalam Pencerahan. Di Italia misalnya, semuanya terlihat murni berbentuk sekularisasi. Sekilas tunduk kepada norma-norma gereja, namun dalam kenyataan, anti-gereja, lebih dalam anti-orang Kristen. Begitu juga Renaissance sangat mempengaruhi timbulnya Pencerahan. Tetapi menurut Aland, hal itu belum cukup untuk mengerti Pencerahan. Lebih jauh Aland mengatakan bahwa untuk mengerti Pencerahan itu, kita harus kembali lagi ke Abad-abad Pertengahan. Ada banyak hal dalam filsafat Abad-abad Pertengahan yang nampak dalam bingkai teologi – tinggal dalam hubungan simbiotik dengan teologi – yang dipersiapkan bagi Pencerahan. Misalnya Francis Bacon, Viscount St. Albans (1561-1626) orang yang pertama memisahkan filosofi dari teologi. Teologi bertanggung jawab bagi pewahyuan dan iman dan segala sesuatu yang supernatural, sementara filosofi seluruh manifestasi alam adalah merupakan wilayah filosofi. Perkembangan selanjutnya dilakukan oleh Rene Descartes (1596-1650). Bagi Descartes, walau ragu dia berkata “Cogito ergo sum” (Aku berpikir, sehingga aku ada). Tindakan Descartes terhadap kekristenan ditanggapi secara positif. Bersama Spinoza, benda-benda telah dipandang secara berbeda. Descartes meyakini bahwa substansi sama dengan alam sama dengan Allah (substantia sive natura sive Deus). Allah sebagai natura naturans menjadikan segala sesuatu. Demikian juga dengan Edward Herbert, Lord Cherbury (1583-1648) mengatur sistem dari perbandingan keagamaan ini. Dia melihat lima ciri yang menentukan dalam keagamaan: Pertama: mereka mulai dengan keberadaan yang mahaada. Kedua: ada keharusan untuk beribadah kepada yang mahaada ini. Ketiga: Kebaikan adalah unsur utama dalam penyembahan kepada yang mahaada ini. Keempat: dari kebaikan ini kita harus berusaha keras menghindari dosa dan bertobat. Kelima: ada hadiah dan ada ganjaran atau penghukuman. Perkembangan selanjutnya terlihat dari Pierre Bayle (1647-1706) lahir sebagai orang Perancis, namun bekerja di Belanda – penulis Dictionnaire historique et critique. John Locke (1632-1704) dalam tulisannya Essay Concerning Human Understanding menerima dengan baik agama sebagai pewahyuan yang mengaktualisasian “super-rasional”. John Toland (1670-1722) menulis Christianity Not Mysterious (Kekristenan Bukanlah Misteri). Pencerahan di Inggris lebih besar berpengaruh di Perancis. Hal ini dibawa ke Perancis tahun 1721 melalui sindiran Montesquieu (1689-1755) dalam suratnya Letters persanes, ‘Surat-surat orang Persia’. Pencerahan ini kemudian berkembang dari Perancis dengan menggunakan sindiran ini. Misalnya Francois Maric Arouet de Voltaire (1694-1778) yang mengedarkan ide-ide filsafat Inggris di dalam formulasi-formulasi yang brilian. Dengan Pencerahan Perancis ini maka muncullah para Ensiklopedist seperti Denis Diderot (1713-1784) dan Jean Le Rond d’Alembert (1717-1783). Mereka adalah editor utama Enscyclopedie ou Dictionnaire raisonne des sciences, des arts et des metiers, yang diterbitkan dalam 28 jilid tahun 1772. Pada tahun 1748, Julien Offroy de La Mettie (1709-1751) memberikan pandangannya tentang mekanisme alam yang murni dari binatang dan tumbuhan pada kehidupan dalam L’Homme-machine (Manusia sebagai mesin). Dan pendapat ini bertolak belakang dengan pendapat Baron Paul-Henri-Dietrich d’Holbach (1723-1789) yang memformulasikannya tahun 1770 dengan Sistem dari alam, atau hukum-hukum fisikal dan dunia moralnya. Perdebatan inilah yang terjadi hingga Revolusi Perancis yang membicarakan ‘Ateisme materialistik Alkitab’. Jean Jacques Rousseau (1712-1778) termasuk dalam hal ini. Karyanya Du contrat social (Kontrak sosial) tahun 1762 merupakan salah satu prakondisi dasar Revolusi Perancis. Ada tiga pemikiran Rousseau yang terkenal yaitu : pertama, Rousseau percaya bahwa sebuah keinginan bergerak ke alam semesta dan menganimasi alam. Kedua, seseorang yang melihat alam semesta dengan mata terbuka, akan terlihat berdiri di sebelahnya inteligensia yang tinggi. Ketiga, Rousseau percaya bahwa Allah hadir di mana saja di dalam karya-Nya. Jika kita melihat Pencerahan di Jerman, maka kita akan membicarakan Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716). Bagi filsuf Jerman, Leibniz adalah permulaan era baru di Jerman. Leibniz dikenal sebagai ”crypto-Catholic” oleh teolog-teolog pada zamannya sebab perjuangannya untuk menyatukan gereja-gereja. Systema theologicum-nya dihargai sebagai pengakuan iman pribadinya. Sehingga Leibniz dikenal juga sebagai leluhur Pencerahan. Karya ilmu teologi-filosofi terbesarnya dipublikasikan sejak hidupnya adalah Essais de theodicee sur la bonte de Dieu, la liberte de I’homme et l’origine du mal tahun 1710. Pemikiran Leibniz ini kemudian dikembangkan oleh Christian Wolff (1679-1724) dengan menerbitkan karyanya Reasonable Thoughts. Di Jerman ada juga kita kenal propagandist seperti Christoph Friedrich Nicolai (1733-1811) dengan karyanya Allgemeine Deutschen Bibliothek (Perpustakaan Umum Jerman) yang memiliki bentuk popularitas yang cukup berarti dalam Pencerahan jika kita bandingkan dengan Pencerahan di Perancis dan Inggris. Walaupun mereka menggunakan kamus yang sama, namun pengertian mereka sangat berbeda. Perlawanan terhadap Pencerahan yang normal ini dilakukan oleh Carl Friedrich Bahrdt (1741-1792) dengan kasus celebre (Skandaludel) pada waktu itu. Bahrdt merupakan teolog Ortodoks melalui tulisan-tulisannya Der Christ in der Einsamkeit (Orang Kristen dalam kesunyian). Dari seluruh paparannya, Aland menyimpulkan, kita jangan lupa bahwa Pencerahan tidak pernah sempurna dalam kontrol gereja. Imajinasi kita pada waktu itu ditentutukan oleh apa yang ditulis dan dicetak saat itu. Di dalam jemaat sendiri, kendati mereka bisa memperoleh tulisan-tulisan itu, namun mereka kurang memahami apa yang dimaksudkan tulisan tersebut.

4. GEREJA KATOLIK HINGGA KONSILI VATIKAN PERTAMA

Untuk membahas topik ini Aland membicarakan hubungan Katolikisme dengan abad ketujuh belas. Melalui dukungan Louis XIV (1643-1715), kepausan memiliki posisi yan kuat. Namun hingga akhir hidupnya posisi kepausan ini mengalami kemunduran. Hal ini diakibatkan kesadaran nasional yang begitu kuat mendominasi para imam Katolik. Jemaat mengambil peranan penting dalam pemilihan kepausan. Clement XI (1700-1721) memprotes Frederick I tentang kedudukan raja Prussia tahun 1701 kendati tidak ada yang mendukungnya. Tahun 1728 Benedictus XIII (1724-1730) mengumumkan bahwa ulang tahun kematian Gregorius VII menjadi hari besar dalam tahun gereja sehingga diyakini mereka bahwa kepausan pada abad kedelapan belas sama dengan kepausan pada Abad Pertengahan. Sebab nama Gregorius VII adalah programatik. Namun penetapan hari ulang tahun kematian Gregorius ini pun ditentang oleh negara termasuk Katolik sendiri. Sehingga sejak itu negara tidak begitu menaruh hormat lagi kepada paus misalnya Spanyol dan Austria. Di Spanyol, hampir seluruh kegiatan gereja dikonfirmasikan kepada raja. Sehinga lama-kelamaan kuasa paus menjadi hilang. Di bawah paus Clement XIII (1758-1769), seorang paus yang berusaha memakai tuntutan gereja dengan paksaan khusus, akhirnya kemunduran kepausan semakin nyata. Perlawanan negara kepada tuntutan kepausan gereja dimanifestasikan dalam perjuangan melawan Yesuit. Perlawanan melawan Yesuit ini dimulai di negeri-negeri rumpun Romawi (Portugis, Spanyol, Italia dan Prancis). Di Portugis motifnya agak berbeda sedikit dengan perlawanan kepada Yesuit. Hal yang sama juga terjadi di Perancis dan di Spanyol. Tahun 1767 seluruh serikat Yesuit ditangkap. Paus Clement XIV (1769-1774) menghapuskan serikat Yesuit dengan mengeluarkan Dominus ac redemptor noser (Tuhan kita dan Penebus) pada 21 Juli 1773. Dengan keluarnya surat ini maka banyaklah penguasa Roma yang ditangkap dan 22 ribu pegawai dipindahkan sehingga mereka bergabung dengan kelompok Penebus (Redemptorist) atau Perhimpunan Hati Kudus Yesus (Society of the Sacred Heart of Jesus). Kemunduran di seluruh aspek kehidupan tidak bisa disangkal lagi. Katolikisme yang kuat secara politik di Eropa, sudah mulai kehilangan dasar dan berpindah ke Protestanisme. Setelah kematian Louis XIV, kekuatan Katolik Perancis surut secara drastis dan berlawanan dengan kebangkitan Protestan Inggris dan Prussia menjadi kekuatan baru di Eropa. Di Jerman sendiri gereja Katolik berkeinginan berdiri sendiri seperti yang dipelopori oleh Karl Theodor von Dalberg, kendati usaha ini tidak berhasil. Menurut Aland, sangatlah sulit menentukan tuntutan kepausan, sebab negara bukan hanya memperhatikan posisi yang mereka peroleh pada abad kedelapan belas, namun mendukung kepausan itu sendiri. Negara Eropa berusaha membawa ide-ide Pencerahan pada gereja dan negara kepada sebuah masa yang baru. Tetapi diplomasi kepausan begitu jauh berkuasa kepada seluruh tingkatan negara. Sehingga Katolikisme mengulangi apa yang pernah terjadi sebelumnya. Akhirnya, bukan hanya terjadi pembaharuan kembali Pemerintahan Gereja dan kedudukan paus, tetapi juga kebangunan kekudusan. Sejak itu, timbullah Ultramontanisme yang berorientasi pada “sisi lain dari pegunungan”, yang menjadi bukan hanya kekuatan politik tetapi menjadi kekuatan keagamaan yang dibawa kehidupan spiritual Katolik. Maka mulailah berkembang beberapa dogma (ajaran) kekudusan di dalam gereja Katolik. Misalnya Bishop Klemens August Freiherr von Droste-Vischering (1773-1845) melawan “perkawinan campur” (Mischehen). Perjuangan kebudayaan (Kulturkampf) pun terjadi di pemerintahan Prussia yang berusaha untuk mengendalikan gereja Katolik, namun usaha ini gagal. Prussia menang perang melawan Perancis ketika Konsili Vatikan I mengadopsi ketidakbersalahan paus, walaupun pada saat yang bersamaan hal ini diprotes sangat keras secara khusus di Jerman yang akhirnya terjadilah skisma Gereja Katolik Lama. Dari pembahasan yang begitu panjang lebar tentang Konsili Vatikan I, Aland berkesimpulan, percaya atau tidak, Keputusan Konsili Vatikan I (1864-1865) merupakan surat perintah untuk menjadi konsili yang bersatu yang hanya menjelaskan visi yang terbatas.

5. PERMULAAN KEKRISTENAN DI LUAR EROPA: PERKEMBANGAN HINGGA 1800, JEPANG, CHINA, AMERIKA

Secara umum sejarah kekristenan berpusat di Eropa, namun dalam perkembangan berikutnya perkembangan kekristenan itu sendiri mulai bergeser dari Eropa ke luar Eropa. Menurut Aland, ada bukti bahwa kekristenan telah ada dan berada di luar Eropa sejak permulaannya; padahal dalam kenyataannya, kekristenan aslinya di luar Eropa. Sebab tak seorang pun dapat mengklaim hari ini bahwa Palestina atau provinsi Roma Syria dengan Antiokhia, pusat pertama gereja bukan Yahudi, adalah bagian dari Eropa. Sudah ada jemaat Kristen di Mesir pada permulaan abad kedua dan tidak lama kemudian pada akhir abad kedua sudah ada sebuah jemaat di Afrika Utara yaitu jemaat Syria yang berpusat di Edessa. Dari abad keempat kekristenan sudah ada posisi yang dominan di Georgia dan Armenia dan dari sana tersebar jauh ke Timur. Secara umum orang mengganggap bahwa seluruh daerah dan gereja-gereja adalah milik “Eropa” pada waktu itu yaitu Kekaisaran Roma. Tetapi pada abad kelima terjadilah perubahan atau bahkan lebih tepat setelah Konsili Khalsedon. Sebab pada saat itu Mesir sama seperti Palestina dan Timur memisah dari gereja besar di Timur dan berkembang menjadi gereja Byzantin dan sekarang secara keseluruhan struktur gereja telah memisah dari Barat. Misalnya gereja yang masih ada sekarang adalah: di Mesir, Gereja Koptik; di Afrika, Gereja Etiopia; di Syria, Libanon, Turki, Mesopotamia, dan gereja Syria Ortodoks; Gereja Armenia, Gereja Ortodoks India. Kekristenan di luar Eropa telah ada dan kemudian dinamai dengan Gereja “non-Chalsedon”. Gereja ”Nestorian“ berpusat di Persia. Dari sinilah usaha penginjilan mereka berkembang hingga ke daerah Cina. Bahkan gereja ini telah memiliki 30 provinsi mulai dari Tarsus di Asia Kecil dan Yerusalem dan Beijing dan juga Jawa (mestinya Sumatera). Lebih jauh Aland mengatakan bahwa perkembangan kekristenan di luar Eropa adalah akibat perjalanan para petualang (voyages of discovery). Paus Aleksander VI tahun 1493 memutuskan pembagian dunia baru di antara Spanyol dan Portugis. Perjanjian ini dikenal dengan Perjanjian Teoesillas. Perhatian mereka bukan hanya untuk mengembangkan daerah kekuasaannya, namun mereka juga mengembangkan kekristenan itu sendiri. Yang kedua adalah penemuan Columbus yang diikuti oleh para imam (pastor) yaitu ordo Franciscan, Dominican dan disusul Serikat Yesuit di Amerika. Setelah perkembangan kekristenan yang spektakuler ke Amerika Utara dan Selatan, perlu juga memberikan catatan kecil bagi perkembangan kekristenan di luar Eropa. Pekerjaan Missionary sudah ada dilaksanakan di Afrika Barat pada akhir abad kelima belas, walaupun tidak memperoleh banyak keberhasilan. Pada tahun 1482 telah menjangkau Kongo dan tahun 1520 di Angola. Tahun 1506 GKR tiba di India dan dilayani oleh komisi kerasulan (apostolic commissioner). Dan tahun 1545 Francis Xavierus memulai usaha missi secara sistematik di India atas suruhan Ignatius Loyola. Tahun 1519 pekerjaan missi dimulai di Maluku, dan segera setelah itu Misi Yesuit memasuki Nusantara. Hal yang terpenting lagi adalah pengembangan ke Jepang yang dilakukan oleh Portugis (1542-1543). Di Jepang sama seperti di Cina, misi Yesuit mengasumsikan hal yang khusus – walaupun pada akhirnya gagal. Kedatangan Xavierus sukses sebab dia tidak mengkhotbahkan kekristenan “Eropa”, tetapi telah mengadaptasinya kepada mentalitas orang Jepang. Sehingga pada tahun 1570 telah ada 20 atau 30 ribu orang Kristen di Jepang dan tahun 1614 menjadi 300.000 orang. Berbeda dengan Cina, tahun 1583 Yesuit mendapat ijin bekerja di Cina sehingga tahun 1601 diutuslah Matteo Ricci ke sana yang tinggal di Beijing. Dalam penginjilannya, Ricci mengakomodasikan dirinya kepada mentalitas dari penduduk yaitu setiap orang yang berbalik menjadi Kristen dapat melanjutkan penyembahan kepada arwah leluhur mereka, dan agama Konghucu mereka.

III. KEKRISTENAN ABAD KESEMBILAN BELAS

Menurut Aland, Gereja abad kesembilan belas mendapatkan kritik yang sangat besar secara khusus pada parohan kedua abad tersebut. Sebab parohan pertama abad kesembilan belas berbicara mengenai salah satu bencana yang paling menghancurkan dalam sejarah dengan Revolusi Perancis dan era Napoleonik. Kemudian bukan hanya gereja Katolik yang menginginkan pembaharuan hidup gereja tetapi gerakan Protestan juga melakukan hal yang sama. Dalam bagian ini Aland membahas kekristenan abad kesembilan belas dalam 9 hal yaitu: kesatuan gereja-gereja dan perkembangan konstitusi gereja di Jerman, hilangnya substansi Kristen dan kekuatan-kekuatan penentang Kebangunan (Rohani) dan Konfesionalisme, asal-usul dan kegiatan-kegiatan Lembaga Alkitab, Misi ke dalam dan masalah sosial, Misi ke luar, Pembagian secara konfesional dan permulaan penyatuan gereja Protestan di Jerman, kekristenan di Eropa: Inggris, Skotlandia, Italia, Spanyol, Austria, Perancis, Belanda, Belgia, Polandia, Swedia, Denmark, Norwegia., kekristenan di luar Eropa: Amerika Serikat, Kanada, Amerika Pusat dan Selatan, India, Australia, kesarjanaan teologi.

1. KESATUAN GEREJA-GEREJA DAN PERKEMBANGAN KONSTITUSI GEREJA DI JERMAN

Terhadap latar belakang ini, kata Aland, kita melihat tidak sedikit daerah di mana kesatuan di antara Lutheran dan Reformed (Calvinis) dikembangkan tahun 1817. Sisa Pencerahan yang membuat perbedaan di antara Reformed dan Lutheran secara relatif tidak berarti, dikombinasikan dengan sisa-sisa Pietisme yang dihidupkan kembali dalam wujud Kebangunan. Kedua unsur ini kemudian disatukan dengan sisa-sisa abad kedelapan belas tentang hak kuasa mutlak para penguasa dalam abad kesembilan belas. Sebab beraneka ragam peta kegerejaan, kesatuan dari bermacam-macam perbedaan terjadi. Nassau memperkenalkan kesatuan pada sinode Idstein pada bulan Agustus 1817 di mana terjadi penyatuan pengakuan seperti yang dilakukan Hesse-Kassel (Kurhessen), dengan mendirikan “Evangelical Christian Church Communion“ (Evangelisch-christliche Kirchengemeinschaft) tahun 1818 dan Baden mendirikan “United Evangelical Protestant Church“ (Vereingigte evangelisch-protestantische Kirche) tahun 1821. Kesatuan gereja di Prussia dipelopori oleh Frederick William III (1770-1840) yang menikah dengan seorang Lutheran. Sejak semula perlawanan Kesatuan Gereja di Prussia ini sangat mendasar. Apakah kesatuan itu merupakan kesatuan konsensus atau kesatuan administratif. Perdebatan yang cukup hangat adalah tentang alasan konfesional pada ulang tahun Reformasi tahun 1817 yang tidak hanya menghasilkan kesatuan di berbagai tempat namun menghasilkan 95 Dalil Claus Harms (1778-1885) yang terdiri dari Dalil Luther dan diikuti dengan 95 dalil lainnya sebagai transisi dari tahun 1517 ke tahun 1817. Kebangkitan konfesionalisme ini merupakan salah satu ciri yang berarti pada permulaan abad kesembilan belas. Konfesionalisme merasa diri adalah benar. Lutheranisme begitu kuat dibandingkan dengan Reformed dan bahkan membaharui diri pada abad kesembilan belas yang dipelopori oleh Adolf von Harless (1806-1879) dan August Friedrich Christian Vilmar (1800-1869), serta Wilhelm Lohe (1808-1872). Pemahaman Lutheranisme lain dikemukakan oleh Johannes Konrad von Hofmann (1810-1877) dan Ernst Wilhelm Hengstenberg (1802-1869) yang sangat konservatif. Akibatnya, keaslian Gereja Lutheran Tua ditafsirkan secara berbeda-beda. Legitimasi konfesionalisme Lutheran yang benar menjadikan sebuah sumbangan, tetapi juga perusak mesin administratif Prussia. Sehingga negara tidak cocok dan melawan Kesatuan di Prussia. Bentuk Kesatuan Prussia adalah salah satu bentuk pembaharuan kehidupan gereja yang diobservasi Aland pada abad kesembilan belas.

2. HILANGNYA SUBSTANSI KRISTEN DAN KEKUATAN-KEKUATAN PENENTANG : KEBANGUNAN (ROHANI) DAN KONFESIONALISME

Menurut Aland, ketika abad kesembilan belas dimulai Pietisme bergabung dengan kekuatan Kebangunan yang membawa perkembangan baru bagi Pietisme. Pada tahun1780 berdirilah The Deutsche Christentumsgesellschaft (Kekristenan Sosial Jerman) berdasarkan karya pelayanan Johann August Urlsperger (1728-1806). Melalui Kebangunan ini kehidupan baru kekristenan dan gereja baru bermunculan bukan hanya di daerah Prussia melainkan di mana-mana di Jerman. Pada saat itu gerakan aestetik-idealistik (Fruhidealismus) mencirikan kekristenan yang dipelopori bukan hanya Johann Gottfried Herder (1744-1803) dan Johann Kaspar Lavater (1741-1801) tetapi juga Matthias Claudius (1740-1815) dan Friedrich Gottlieb Klopstock (1724-1803). Idealisme mereka mencoba membuat kekristenan sebuah kekuatan utama di dalam segala sesuatunya. Maka didirikanlah The Deutsche Burschenschaft (Persatuan Pelajar Jerman) tahun 1815 sebagai “pekerjaan Tuhan”. Dalam gerakan ini ada banyak elemen yang masih belum dewasa dalam kebangkitan ”angin topan dan tekanan stress“ (Sturm und Drang) yang mencirikan hal yang tidak jarang dikategorikan sebagai entusiasme (Schwarmerei). Di sini ada pekerjaan yang dipaksakan kepada kekristenan. Ini bukanlah kebetulan bahwa Neolutheranisme dicobai oleh Katolikisme. Kombinasi konfesionalisme dan Orthodoksi membawa kepada masa lampau secara khusus aliansi dengan kekuatan konservatif politik. Misalnya dengan penolakan pandangan Copernicus sebagai perkembangan ilmu pengetahuan. Ada beberapa pandangan tajam kritik yang menunjukkan situasi nyata: Sǿren Kierkegaard membangun pandangannya pada akhir parohan pertama abad kesembilan belas. Dia mengenal kepalsuan masa itu, pada waktu itu dia sudah mengumumkan dengan suara melengking bahwa budaya Eropa sedang bangkrut dan dia berjuang dengan keinginan besar melawan kekuatan kekristenan yang hilang, tetapi dia tetap tak didengar.

3. ASAL MULA DAN KEGIATAN-KEGIATAN LEMBAGA-LEMBAGA ALKITAB

Lembaga-lembaga Alkitab adalah produk dari abad kesembilan belas. Kehadiran Lembaga-lembaga Alkitab ini sangat memberi arti pada abad kesembilan belas. Lembaga-lembaga Alkitab pada abad kesembilan belas asalnya dihubungkan dengan lembaga-lembaga traktak antara lain lembaga-lembaga pendukung penginjilan, dengan menerbitkan traktak-traktak (buku-buku kecil berisi kutipan-kutipan Alkitab dengan, penjelasan seperlunya), pertama secara simultan didirikan di London dan Elberfeld tahun 1799, dan segera membuka cabang di mana-mana. Lembaga-lembaga Alkitab berusaha ke mana-mana menyebarkan berita Kekristenan sebisa mungkin dalam berbagai bahasa pada saat itu. Mereka menyadari kegiatan ini belumlah cukup, sehingga tahun 1804 didirikanlah British dan Foreign Bible Society. Mereka mulai menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Welsh. Bahkan motto mereka terkenal dengan, “Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Wales, mengapa juga tidak bagi Kingdom (Inggris), mengapa juga tidak bagi seluruh dunia?”. Inilah permulaan British Bible Society terjun ke dalam pelayanan internasional. Pada tahun 1817, mereka telah mencetak dan mendistribusikan 1,5 juta Alkitab ke dalam 13 bahasa Eropa dan 5 bahasa non-Eropa. Dan pada tahun 1955 telah mendistribusikan keseluruhannya sekitar 600 juta Alkitab, Perjanjian Baru dan porsion Kitab Suci lebih dari 800 bahasa yang berbeda-beda. Prakarsa menerjemahkan lebih 800 bahasa berasal dari British Bible Society kendati sejak tahun 1955 kegiatan ini diambil alih oleh American Bible Society yang akhirnya bersatu dalam United Bible Society (Persekutuan Lembaga Alkitab Se-Dunia). Bahkan kegiatan-kegitan lainnya yang dilakukan pada abad kesembilan belas adalah pelayanan pemuda dengan mengimport Alkitab ke Jerman dari luar negeri. Di Jerman Lembaga-lembaga Alkitab saling bersaing satu dengan yang lainnya. Yang terkenal di antaranya adalah Wurttenberg Bible Society (Wurttenbergische Bibelanstalt) yang didirikan tahun 1812; Central Prussian Bible Society (Preussische Hauptbibelgesellchaft) yang didirikan tahun 1814; dan Central Saxon Bible Society (Sachsische Hauptbibelgesellschaft) yang didirikan tahun 1814. Hingga sekarang mereka masih ada walaupun keberadaan mereka hanya sebatas teori saja. Pada tahun 1965 didirikanlah Evangelische Bibelwerk (Evangelical Bible Work) sebagai federasi Lembaga Alkitab di Republik Federasi Jerman, dan tahun 1981 menyatu dengan Deutsche Bibelstiftung (Lembaga Alkitab Jerman). Perkembangan selanjutnya kegiatan ini mengarah kepada lembaga Alkitab perseorangan yang dicirikan dengan pembagi-bagian Alkitab dan “Misi Alkitab” (Bible Mission).

4. MISI KE DALAM DAN MASALAH SOSIAL

Bukan hanya Lembaga Alkitab yang berasal dari abad kesembilan belas, juga dilakukan Misi ke dalam. Misi ke dalam ini dimulai dengan apa yang disebut “rumah pertolongan” (Rettungshauser) yang bertumbuh di mana-mana sejak permulaan abad kesembilan belas. Institusi ini disebut “rumah pertolongan” sebab mereka direncakan bagi anak-anak yang korban perang, yang tersesat. Rumah pertolongan ini didirikan pertama kali oleh Johannes Falk di Weimar tahun 1813, dan segera diikuti oleh banyak rumah pertolongan lainnya. Dengan pekerjaan Misi ke dalam ini maka mulailah didirikan pelayanan-pelayanan kepada seluruh yang membutuhkan seperti: Stadtmission (Misi Kota) tahun 1848; pelayanan ke rumah-rumah sakit; pelayanan diakonia; misi umat (Volksmission); pekerjaan evangelis dan kegiatan-kegiatan lainnya seperti kegiatan penerbitan (Pressearbeit). Dari sinilah muncul pelayanan kepada pemuda. Tahun 1823 didirikanlah Lembaga Missionari Pemuda (Missionsjunglingsverein) di Bremen-Gemarke. Tahun 1844 juga muncullah Young Men’s Christian Association (YMCA) di London. Melihat hal-hal tersebut di atas maka dapatlah dikatakan bahwa Misi ke dalam ini muncul akibat menjawab pertanyaan-pertanyaan sosial yang muncul pada sekitar abad kesembilan belas.

5. MISI KE LUAR

Bukan hanya Misi ke dalam yang dilahirkan abad kesembilan belas, tetapi juga melahirkan Misi ke luar. Lebih jelasnya, misi ke luar sebagai sebuah fenomena sudah cukup lama, di mana Pietisme telah mengirimkan misionaris yang pergi dari Halle ke India atau Misionaris Moravian yang pergi ke Greenland. Pada abad kedelapan belas misi Halle telah lenyap, sementara misi Moravian terus berlanjut, kendatipun misi lembaga Alkitab sudah mulai melakukan kegiatannya. Lembaga misi pertama muncul dalam wilayah bahasa Jerman adalah Basel Mission Society tahun 1815 . Lembaga ini pada dasarnya bergerak dalam bidang pendidikan, dan kemudian bekerja di Caucasus, Gold Coast, India, China, dan Kamerun. Kemudian diikuti oleh Berlin Mission Society tahun 1824 yang bekerja di Afrika Selatan dan China. Tahun 1828 muncul lagi Rhenish Mission Society yang mula-mula bekerja di Afrika Selatan dan Afrika Barat. Tahun 1836 dua lembaga misi didirikan yaitu North Jerman (Jerman Utara) dan Gossner yang bekerja di India. Gossner menandakan hubungannya dengan Kebangkitanunan dan Rhenish Society dihubungkan dengan Pietisme. Lembaga misi Jerman Utara memilih Afrika Barat sebagai lapangan misinya. Sejak itu, misi ke luar Jerman telah bekerja menyebarkan kekristenan. Penginjilan di diaspora juga dimulai pada parohan pertama abad kesembilan belas. Misalnya Evangelischer Verein der Gustav-Adolf-Stiftung (Yayasan Asosiasi Protestan Gustavus Adolphus) telah didirikan pada tahun 1832. Umat melihat misi ke dalam orang Kristen membawa seorang tetangga, dan misi ke luar membawa Injil ke daerah yang jauh dan pekerjaan diaspora membawa pertanggunjawaban bagi iman yang tinggal di wilayah yang didominasi gereja lain.

6. PEMBAGIAN SECARA KONFESIONAL DAN PERMULAAN PENYATUAN GEREJA PROTESTAN DI JERMAN

Secara umum memang harus dikatakan bahwa Lutheran Jerman membatasi seluruh kegiatan penginjilan hanya pada Gereja Lutheran Amerika Utara dan barulah mulai pertengahan abad ke-19 kemudian Lutheran menyebar ke seluruh dunia. Pada dasarnya abad kesembilan belas memimpikan sebuah gereja kerajaan/gereja negara (Reichskirche). Pada permulaan abad kesembilan belas konsep kekuasaan gereja ini bertumbuh melalui antusiasme nasionalis yang memotivasi pendirian kekaisaran tahun 1848. Tetapi usaha ini tidak menghasilkan hasil. Menurut Aland jika kita bertanya bagaimana kerjasama dan persatuan (Neben-und Beieinander) Gereja Protestan Jerman pada abad kesembilan belas, maka jawabannya adalah tidak memuaskan. Karena motif pekerjaan mereka tidak membangkitkan kebutuhan persaudaraan atau persatuan melebihi batas-batas teritorial gereja-gereja, tetapi agaknya hanya menekankan pertumbuhan kekuatan Katolikisme, dan ketakutan Ultramontanisme. Melihat kenyataan ini, maka mulailah timbul keinginan untuk penyatuan gereja Protestan di Jerman. Misalnya dengan diadakannya Konferensi Protestan (Berlin Evangelische Konferenz) tahun 1846 walaupun pertemuan ini belum membawa hasil apa-apa. Sinode Wittenberg (Kirchentag) tahun 1848 bukanlah sebuah pertemuan organisasi gereja tetapi merupakan pertemuan sinode yang tanpa memiliki otoritas. Akhirnya Sinode ini dilanjutkan tahun 1851 di mana para gereja-gereja setuju untuk mengadakan sinode secara berkesinambungan dengan gereja-gereja lainnya. Dan tahun 1852 terbentuklah kesatuan tubuh (Einheitsorgan) dari Gereja Protestan di Jerman dengan nama Konferensi Eisenach Administrasi Gereja Protestan Jerman (Eisenacher Konferenz deuthcheer evangelischer Kirchenregierungen).

7. KEKRISTENAN DI EROPA: INGGRIS, SKOTLANDIA, ITALIA, SPANYOL, AUSTRIA, PERANCIS, BELANDA, BELGIA, POLANDIA, SWEDIA, DENMARK, NORWEGIA

Berbicara mengenai Kekristenan di Eropa tidak akan terpisahkan dari peranan orang Kristen Inggris. Inggris bukan hanya memimpin kekuatan politik di Eropa pada abad kesembilan belas, tetapi juga memimpin kekuatan perkembangan industri dengan semua faktor-faktor positif dan negatif yang ada. Reformasi di Inggris dimulai di bawah Henry VIII (1509-1547). Ia disebut Defensor Fidei (Pembela Iman) sebab dia menulis melawan tulisan Luther Pembuangan Babel untuk Gereja Luther (The Babylonian Captivity of the Church). Sejarah kekristenan di Inggris setelah kematian Henry VIII diambil alih oleh anaknya dari tiga istrinya. Di bawah kekuasaan Edward VI (1547-1553) pernikahan imam dan perjamuan kudus dalam dua jenis diijinkan. Kejadian yang cukup berarti dalam Reformasi Inggris adalah dengan diterbitkannya Book of Common Prayer tahun 1549 dan kemudian direvisi tahun 1552 dan pengakuan iman dalam 42 Artikel tahun 1553. Namun terhadap yang menentang Reformasi ini tampillah Maria “berdarah” (“Bloody” Mary) tahun 1553-1558 sebagai reaksi keras dari pihak Katolik. Pada masa Elizabeth I (1558-1603) putri Henry VIII dari istri keduanya, membuat pre-program bagi Protestanisme dengan membaharui gereja Negara Anglikan. Dia mengeluarkan formulasi baru 39 Artikel isi 42 artikel tahun 1553. Pada tahun 1559 di dalam dokumen yang disebut Tindakan Penyeragaman (Act of Uniformity), gereja negara Inggris ditata-ulang lagi. Di Skotlandia, setelah ibunya turun takhta tahun 1567, James VI anaknya yang berumur satu tahun menjadi raja dan setelah kematian Elizabeth, dia juga menjadi raja Inggris sebagai James I (1603-1625). Di Skotlandia paham Reformed telah ditetapkan sebagai “satu-satunya kebenaran dan gereja kudus Yesus Kristus di dalam kerajaan” dan Buku Disiplin (Book of Dicipline) tahun 1561 dan Buku Disiplin kedua 1578 ajaran Calvin dan praktek kegerajaan dibuat sebagai model. Tetapi segera setelah James mengambil kekuasaan pemerintahan, dia memperkenalkan sistem episkopal gereja. Di bawah kepemimpinan penggantinya, Charles I (1625-1649) peraturan-peraturan masih dilanjutkan. Tahun 1635 Buku Kanon (The Book of Canons) telah diterbitkan, diikuti tahun 1637 dengan membaharui liturgi. Dalam masa Charles I ini terjadilah pemberontakan dari Katolik di Irlandia bahkan dengan larinya Charles I dari London Revolusi Besar pun mulai (1642-1649). Dalam perjalanan sejarahnya, gereja di Inggris adalah gereja rakyat (Volkskirche) yang bersama-sama gereja Eropa lain juga menderita oleh pengaruh Pencerahan. Yang membedakan gereja Inggris dari gereja di Eropa daratan adalah jenis lembaga misinya, apakah memajukan Misi ke dalam atau Misi ke luar. Didirikanlah Lembaga Memajukan Ilmu Pengetahuan Kristen tahun 1698, Lembaga Propaganda Injil di Luar Negeri tahun 1701 dan bahkan di London sudah ada sekitar 42 lembaga-lembaga kekristenan semacam itu. Kemudian yang sangat penting di dalam kekristenan Inggris ini adalah kelahiran Gereja Methodis tahun 1739 atas pelayanan Wesley bersaudara, John (1703-1791) dan Charles Wesley (1707-1788) bersama George Whitefield (1714-1770). Gereja Methodis ini pun akhirnya memisah dari Gereja Anglikan menjadi sebuah gereja yang independen (berdiri sendiri). Kekristenan di Inggris sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan kekristenan secara umum. Misalnya dengan beridirinya Lembaga Alkitab Inggris tahun 1804. Akhirnya, di Skotlandia tahun 1843 berdirilah organisasi Gereja Bebas yang memisah bukan karena doktrin melainkan karena bentuk organisasi gereja yang berbeda. Di Italia, kebebasan beragama belum diproklamasikan hingga 1848 atau hingga tahun 1859. Tetapi secara teori, kebebasan beragama sudah ada di Italia, walaupun orang-orang Kristen Protestan di daerah Naples masih dibunuh dalam sebuah pemberontakan tahun 1866. Barulah pada abad kesembilan belas keberadaan orang Kristen Protestan mulai diterima kendati masih banyak penderitaan dan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi. Pada tahun 1911 jumlah keseluruhan orang Protestan adalah 123.000 jiwa. Di Spanyol, kebebasan beragama itu tidak ada hingga konstitusi tahun 1855 di mana penganiayaan langsung Protestan dilarang, walaupun hal ini hanya teori, dan kebebasan beragama belumlah diumumkan hingga tahun 1876. Menurut Aland, pada saat yang sama seluruh lembaga kemasyarakatan kecuali agama negara Katolik, dilarang sehingga kita dapat melihat secara mudah bagaimana sulitnya kebebasan beragama ini dipraktekkan. Di Portugal juga, Katolikisme menjadi agama negara yang kuat, walaupun kekuatan liberal muncul tahun 1834 setelah penggulingan raja dari takhtanya dan gencar melawan gereja Katolik. Jemaat Protestan masih ditutupi pada saat itu tetapi hingga tahun 1911 gereja Katolik dan negara secara sah dipisahkan. Di Austria, dari abad keenambelas ke depan, seluruh persekutuan Protestan dihapuskan. Kalaupun ada kegiatan Protestan mereka menyingkir ke daerah Transylvania hingga memasuki abad kedelapan belas. Setelah Edik Toleransi yang dikeluarkan Joseph II tahun 1781, maka Protestan diberikan kebebasan (walaupun masih terbatas) untuk menyaksikan iman percaya mereka. Di Perancis, walaupun mengalami penghambatan berdarah yang dimulai Francis I, kalangan Protestan bukan hanya merupakan kekuatan agama saja, tetapi dalam kaitan dengan pemahaman ”dua kerajaan“ Calvin dan Luther menjelma menjadi kekuatan politik. Mereka berhasil melawan negara dalam tiga kali perang sampai terjadinya malam St.Bartholomew tahun 1572 yang menentukan seluruh kekuatan mereka. Dengan segera orang Huguenot ditata ulang dan setelah dua perang lagi, tanggal 13 April 1598 di bawah pimpinan Henry IV dikeluarkan Edik Nantes yang digambarkan sebagai “berkesinambungan dan tidak dapat dibatalkan”. Isinya 93 artikel yang menjamin kebebasan beragama dan kebebasan seluas-luasnya untuk beribadah, aman dengan jaminan politik. Tetapi Henry IV dibunuh tahun 1610 dan politik Perancis pun berubah. Khususnya setelah Richelieu memerintah tahun 1642, hak para Huguenot dibatasi. Setelah kejatuhan Napoleon, Katolikisme kembali menjadi agama negara dan tahun 1815-1816 mulailah perlawanan kepada Protestan. Namun pada tahun 1854-1855 status gereja bebas diakui. Gereja bebas pertama didirikan tahun 1818 yang diikuti berbagai macam organisasi gereja. Di bawah pengaruh Kebangunan, maka gereja bebas ini berkembang sama seperti di Inggris dan Jerman, akibat ketidakpuasan mereka atas Rasionalisme dan Deisme yang mempengaruhi gereja. Kebangunan juga mempengaruhi pertumbuhan berbagai lembaga sukarela seperti: Lembaga Alkitab (1818), lembaga traktak (1821-1822), lembaga misi (1822-1823), dan institusi dan fasilitas Inner Mission, seperti halnya sekolah-sekolah Protestan. Tentang gereja di Belanda, Aland mengupasnya mendetail. Namun pendapat dua orang mahaguru dari Leiden: Jacobus Arminius (1560-1609) dan Francis Gomar (1563-1641) dicatat oleh Aland secara khusus. Sebab kedua mahaguru ini mengajarkan Kekristenan ”liberal” di mana humanisme mempengaruhi kekristenan, yang ditolak dalam tulisan-tulisan pengakuan iman gereja Belanda (khususnya Konfesi Belgica tahun 1561 dan Katekismus Heidelberg tahun 1563). Aland juga mencatat tentang Sinode Dordrecht 1618-1619 dan keputusan-keputusannya (antara lain menolak Arminianisme/Arminus), munculnya sejumlah gereja konfesional, terutama gereja-gereja Calvinis (Gereformed, Hervormed), dan gerakan penyatuan gereja. Semua ini punya kaitan erat dengan perkembangan gereja-gereja di Indonesia. Kekristenan di Polandia menurut Aland adalah sangat unik sebab kekristenan di sana sangat erat kaitannya dengan sejarah politik. Iman Kristen menjadi ikatan tunggal dalam memelihara kesatuan identitas nasional. Katolikisme dan nasionalisme adalah anyaman yang unik. Kekeristenan di Swedia, pada mulanya Serikat Yesuit kembali menguasai Swedia di bawah pemerintahan John III (1568-1592) yang diteruskan anakanya Sigismud. Namun Sigismund dikalahkan tahun 1598 dan digantikan oleh raja Charles IX (1603-1611) yang memerintah Swedia. Sejak itu maka Lutheranisme dijamin aman di Swedia dan tahun 1686 Buku Konkord diadopsi sebagai sumber pengakuan iman. Pencerahan di Denmark yang menggantikan Pietisme di Skandinavia sebagai mana yang terjadi di mana-mana sangat besar didorong oleh pengaruh dokter Struensee dan Perdana Menteri Bernstorff. Akibat Kebangunan datang ke Swedia pada permulaan abad kesembilan belas dan dilanjutkan pada abad keduapuluh dengan Gerakan Pemuda Gereja. Gereja Lutheran di Swedia menjadi gereja negara. Di Denmark dan Norwegia, gereja adalah juga gereja negara. Di Norwegia, belum ada karakter berdiri sendiri sebelum berpisah dari Denmark tahun 1814. Keinginan untuk berdiri sendiri bertumbuh pada abad kesembilan belas ketika teologi modern memasuki gereja sehingga tahun 1908 Fakultas Independen Oslo didirikan untuk menetralisir keadaan. Di Denmark, Kebangunan abad kesembilan belas jelas terlihat dari Nikolai Fredrik Severin Grundtvig (1783-1872) dan Sǿren Kierkegaard (1813-1855). Grundtvig memasukkan Kebangunan itu ke dalam gereja, meskipun komponen nasional tidak memandangnya. Kierkegaard membawa suara tersendiri di padang gurun. Pengaruhnya ditemukan pertama sekali pada abad keduapuluh, yang berjuang menentang sekularisasi dan budaya deifikasi. Switzerland, hampir sama dengan Belanda, merupakan wilayah Protestan bagi Zwingli dan Calvin. Menurut Aland, saat ini diperkirakan bahwa 50% penduduk Switzerland adalah Katolik. Fakta mengatakan bahwa Zwingli gagal di Switzerland sebab superioritas wilayah Katolik. Gereja Reformed yang didirikan Calvin sangat mempengaruhi dunia, tetapi ada tujuh wilayah yang masih ditinggali oleh gereja Katolik. Pada abad ke delapan belas sudah ada kita temukan pembagian ke dalam liberal dan konservatif yang masih mencirikan gereja Swis saat ini.

8. KEKRISTENAN DI LUAR EROPA: AMERIKA SERIKAT, KANADA, AMERIKA TENGAH DAN SELATAN, INDIA, AUSTRALIA

Sejarah kekristenan di Amerika Serikat (AS) dimulai dengan Katolikisme dalam dua bagian: di selatan di bawah Spanyol dan di utara di bawah Perancis. Misionaris Spanyol telah bekerja di Texas sejak 1519, di Florida sejak 1565, di New Mexico sejak 1598, di Arizona sejak 1687 dan di California sejak 1769. Di bagian utara Amerika, misi Katolik datang ke Amerika dengan pekerjaan Perancis di Canada. Wali negara yang pertama sebenarnya adalah seorang Protestan dan dia membawa pendeta Protestan bersamanya, ketika dia mendirikan pemukiman pertama di Annapolis (Nova Scotia) tahun 1604. Tapi kemudian Raja Perancis menetapkan bahwa hanya misi Katolik yang boleh bekerja di sana. Tahun 1611 misionaris Yesuit tiba pertama kali dan 1615 orang-orang Perancis memulai pekerjaan misinya. Yesuit menyebarkan Katolikisme jauh hingga ke selatan (Louisiana). Kompetisi dengan penaklukan Inggris atas kota pun terjadi. Inggris telah mendirikan tempat berpijak di Newfoundland tahun 1578 dan negara jajahan Inggris pertama ditemukan di Virginia tahun 1607. Jemaat pertama di Amerika didirikan oleh para Peziarah (Pilgrims) Puritan tahun 1620 di daerah jajahan Plymouth di pantai Cape Cod. Lebih jauh Aland mengatakan, mengapa sejarah kekristenan Amerika begitu sulit untuk dipahami adalah sebab AS didirikan oleh orang-orang imigran dari Eropa. Para imigran Eropa ini membawa tradisi-tradisi gerejanya masing-masing dan pengakuan iman yang berbeda-beda yang sulit disatukan. Bisa saja mereka dari Eropa berasal dari pengakuan iman yang sama misalnya Lutheran, namun setelah mereka berada di Amerika belum tentu mereka akan memiliki pengakuan yang sama. Hal ini disebabkan oleh situasi dan kondisi di mana mereka tinggal dan hidup. Walaupun demikian, kita bisa menelusuri sejarah Kekristenan di Amerika Utara sebagai titik balik. Pertama, adalah Perang Tujuh Tahun (Perang Perancis dan Indian) yang secara esensial berawal dari perang Eropa antara Prussia dan Austria. Tetapi Austria bersekutu dengan Perancis dan Inggris bersekutu dengan Prussia. Sehingga perang ini tiba ke Amerika Utara dan dalam Perdamaian Paris tahun 1763 Perancis memberikan Kanada dan Lousiana kepada Inggris, sementara pada saat yang sama Florida pindah dari Spanyol ke tangan Inggris. Perubahan daerah kekuasaan yang cukup besar terjadi pada hak kepemilikan, sebab hingga tahun 1754 Perancis telah menguasai sekitar 80% Amerika Utara, Spanyol hanya 16% dan Inggris hanya 4%. Pengambilalihan ini membuat perubahan penting di dalam komposisi pengakuan iman masyarakat, sebab Kanada didominasi oleh Katolik. Kekristenan Amerika Utara ini mengalami kebangkitan dimulai pada tahun 1734 yang dikenal dengan Kebangunan Besar (Great Awakening) yang dipimpin oleh Jonathan Edwards. Kemudian kebangkitan kedua dimulai tahun 1790 yang menyebar di seluruh Amerika Serikat. Hingga tahun 1875 hampir seluruh gereja-gereja Protestan dicirikan dengan kebangunan ini. Kebangunan ini adalah kekuatan gereja bagi kegiatannya dan mempengaruhi masyarakat umum dan kehidupan budaya. Kebangunan ini juga mempengaruhi tumbuhnya Fundamentalisme tahun 1920. Gerakan Fundamentalisme yang siknifikan ini seharusnya tidak diremehkan. Fundamentalisme ini memainkan peranan penting termasuk di dalam politik di dalam Kekristenan Amerika saat ini. Tidak hanya pada abad ke delapan belas, tetapi juga pada abad kesembilan belas perang menjadi penentu keputusan bagi sejarah Kekristenan Amerika. Sebab tahun 1861 Perang Saudara dimulai yang ditimbulkan oleh perbudakan, membawa perselisihan di antara negara bagian selatan dan negara bagian utara kepada ledakan kekerasan. Kekristenan di AS pada abad kesembilan belas ditandai oleh pertumbuhan gereja Katolik sebagai kelompok Kristen yang terbesar. Di antara gereja Protestan, Gereja Baptis dan Methodis yang paling banyak dari pada yang lain. Perubahan terjadi secara perlahan-lahan sejak tahun 1850. Pada waktu itu AS sudah menjadi kekuatan dunia. Slogan, “Amerika bagi orang Amerika“, berasal dari permulaan abad kesembilan belas. Tahun 1823 Presiden Monroe mengumumkan ajaran yang menolak semua campur tangan negara Eropa dalam urusan Amerika dan mengumumkan bahwa AS akan menjadi pelindung bangsa-bangsa Amerika. Ekonomi bertumbuh besar sekali dan Amerika dikenal sebagai „tanah dengan kemungkinan tak terbatas” dan “negeri milik Allah sendiri” dan pada abad kesembilan belas “gaya hidup Amerika“ sebagai yang ideal. Negara dan warga negara – termasuk orang Kristen – dipenuhi dengan optimisme yang tak terbatas dan yang saling mendukung. Aland lebih jauh mengatakan bahwa begitu banyak variasi sejarah Kekristenan di AS hingga akhir abad kesembilan belas. Uraian tentang Kekristenan Protestan pada abad kesembilan belas di luar Eropa, kecuali AS, secara murni merupakan sejarah misi. Sama dengan di India, di mana jumlah orang Kristen India bertumbuh dari ratusan ribu hingga jutaan orang akibat pekerjaan para misionaris seperti William Carey (1761-1834). Pengecualian ialah gereja di Australia. Pada akhir abad kedelapan belas dan permulaan abad kesembilan belas negara Australia masih jajahan kerajaan Inggris. Ketika kehidupan gereja mulai bertubumbuh di sana, hal ini menjadi contoh hingga berdirinya gereja Anglican. Gereja-gereja Australia tidak hanya mendominasi peraturan di dalam sistem pendidikan Australia dari permulaan, melainkan sejak pertengahan abad kesembilan belas gereja telah melakukan pekerjaan misi.

9. KESARJANAAN TEOLOGIA

Menurut Aland, jika kita membuat kesimpulan tentang prestasi para ahli teologi pada abad kesembilan belas, merekalah yang memiliki kredit point tentang hal ini. Misalnya Friederich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834) dan Albrecht Ritschl (1822-1889) yang dikenal sebagai “bapa gereja abad kesembilan belas”, walaupun dikritisi oleh orang yang menggantikan mereka. Kritikan terhadap Schleiermacher adalah, Schleiermacher tidak pernah mendapatkan konfrontasi nyata dengan pesan Reformasi khususnya dengan teologi Martin Luther. Disamping mereka masih banyak lagi para ahli teologi seperti Julius Kaftan, Ferdinand Kattenbusch, Theodor Haring, Wilhelm Herrmann, Fiedrich Loofs, Adolf Harnack, Karl Muller, Albert Hauck, Gustav Kruger dan Reinhold Seeberg. Ada ahli Sejarah Gereja seperti Ferdinand Christian Baur (1792-1860) dan Franz Overbeck (1837-1905), ada ahli teologi Sitematik seperti Agustus Tholuck (1799-1877) yang mengajarkan „Teologi Kebangunan“ (Erweckungstheologie), dan Martin Kahler (1835-1912), ahli Perjanjian Lama (PL) seperti Julius Wellhausen (1844-1918) dan tidak ada ahli Perjanjian Baru (PB). Aland juga membahas para sarjana Jerman dan sarjana Protestan Jerman. Hampir seluruh pengajar teologi merasa puas dengan pengaruh dan reputasinya di universitas mereka. Harus diakui bahwa dalam kenyataan terlihat dominasi sarjana Protestan Jerman pada waktu itu. Protestanisme di luar Jerman pada abad kesembilan belas juga hanya terbatas pengaruhnya pada kesarjanaan teologi. Di Amerika misalnya, sekolah teologi pertama bagi pelatihan akademis bagi teolog (Andover di Massachusetts) didirikan pada tahun 1850 yang menekankan pada persiapan praktis kegiatan gerejawi. Gerakan kesarjanaan ini dilakukan lebih besar di Inggris dengan ahli Perjanjian Baru yang terkenal yaitu Brooks Foss Westcott dan Fenton John Anthony Hort yang menerbitkan Perjanjian Baru Yunani tahun 1881. Namun perkembangan selanjutnya para ahli teologi Jerman mengalami penurunan. Tidak ada lagi para ahli Jerman yang mau meneliti sehingga studi ini dikerjakan oleh orang-orang non-Jerman seperti Swedia.

IV. KEKRISTENAN ABAD KEDUA PULUH

1. TANDA-TANDA ZAMAN: 1914-1918 DAN 1939-1945 PERANG DUNIA, 1917 REVOLUSI RUSIA, AKHIR ERA KOLONIAL, KEBANGKITAN “DUNIA KETIGA”

Menurut Aland paling tidak ada tiga faktor untuk melihat kekristenan pada abad keduapuluh yaitu: 1. Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945) 2. Revolusi Rusia bulan Oktober 1917 3. Berakhirnya masa penjajahan dan kebangkitan „Dunia Ketiga“ Ketiga faktor ini merupakan sejarah politik umum bukan sejarah Kekristenan itu sendiri. Sehingga kita butuh memberikan alasan yang lebih mendalam bagi faktor-faktor tersebut. Perang Dunia I adalah perang oleh bangsa-bangsa di mana mereka menjadi Kristen yang pura-pura. Walaupun gereja dan negara tidak begitu berhubungan dekat, seperti di Czarist Rusia, Kekristenan masih semi atau agama negara. Di Jerman juga selama Perang Dunia I terlihat bahwa khotbah-khotbah kehilangan substansinya. Kekristenan tidak dapat mampu mencegah meletusnya perang sehingga Kekristenan terlihat hancur pada saat itu. Pada tahun 1917 banyak pidato ditujukan untuk memperingati 400 tahun ke-95 dalil Luther, seperti yang dilakukan oleh Hans Lietzmann. Pada tahun 1917 lagu-lagu militan mendominasi para ingatan Reformator. Hymne “Allahmu Benteng yang Teguh” (Ein feste Burg ist unser Gott) menjadi lagu Mars Jerman. Perang Dunia II tidak dapat disebut sebagai perang atas nama Kekristenan. Hingga tahun 1939 Nazi Jerman telah bertahun-tahun terlibat dalam pertikaian melawan gereja Kristen. Revolusi Rusia penting bagi kita bukan karena kekejaman yang menyerang gereja Othodoks. Di sini apa yang penting adalah fenomena negara ateistik. Sebab lebih dari 100 juta orang ateisme pada waktu itu. Berakhirnya masa penjajahan dan bangkitnya „Duna Ketiga“ menandakan akhir Kekristenan „putih“. Gereja-gereja pada “Dunia Ketiga” akhirnya membebaskan diri mereka sendiri dari penguasaan Eropa dan Amerika. Misi luar negeri tak bisa lagi eksis seperti yang sebelumnya.

2. KEKUATAN PEMIKIRAN EKUMENIS DAN PENURUNAN KEKUATAN DI ANTARA GEREJA-GEREJA

Abad kesembilan belas telah mengalami penderitaan pemisahan gereja yang diakibatkan faktor sejarah atau faktor kebetulan. Tetapi misalnya di Jerman sendiri pemisahan kekuasaan gereja dan negara belum tuntas hingga tahun 1918. Dalam bagian ini Aland akan mengupas secara mendalam peranan gerakan ekumenis dan persetujuan Leunberg sebagai tolok ukur bahwa gerakan ekumenis semakin menguat sementara kekuatan di masing-masing gereja semakin menurun.

GERAKAN EKUMENIS

Gerakan ini muncul akibat penginjilan para misionaris utusan gereja-gereja yang menyebar dan bertumbuh dengan subur. Oleh karenanya di sinilah kerjasama pertama kali dilakukan. Konferensi para missionaris pertama dilakukan pada tahun 1879 dan dilanjutkan bertemu secara regular yang biasanya di Amerika atau di daerah yang berbahasa Inggris. Di antaranya adalah Konferensi Misi Se-Dunia di Edinburgh tahun 1910 yang memutuskan menciptakan sebuah organisasi gerakan ekumenis. Demikian juga gereja-gereja Lutheran mendirikan Sinode Umum tahun 1820 dan Perserikatan Sinode Selatan dan Dewan Umum tahun 1867 dan tahun 1918 mendirikan Dewan Nasional Lutheran. Di tempat lain, Lutheranisme bersatu seperti pertama di Skandinavia tahun 1857 dan kemudian di Jerman tahun 1868 dengan mendirikan Allgemein Evangelische Konferenz (Konferensi Umum Gereja Protestan Lutheran) yang bergabung dengan Skandinavia tahun 1898. Lebih jauh lagi berdirilah Federasi Lutheran Se-Dunia (Lutheran World Federation) pada tahun 1947. Gerakan ekumenis lainnya yang sudah berdiri adalah Aliansi Gereja-gereja Reformed Se-Dunia (World Alliance of the Reformed Churches) di London tahun 1875. Dan pertemuan pertama mereka adalah pada tahun 1925 di Geneva. Gerakan ekumenis di luar Lutheran dan Reformed juga terjadi misalnya tahun 1881 Konferensi Ekumenis Methodis pertama dilaksanakan dan tahun 1898 Gereja Katolik Lama bersatu dalam Deklarasi Utrecht, sementara tahun 1867 gereja Anglikan telah melaksanakan Konferensi Lambeth pertama. Menurut Aland konsolidasi pada abad kesembilan belas memperlihatkan kemajuan penting untuk mengatasi keterpecahan pada abad mula-mula tetapi pertama, perkumpulan ini hanya memiliki karakter yang longgar; kedua, mereka sangat jauh dari semua gereja-gereja; ketiga, pembatasan konfesi perkumpulan-perkumpulan ini hanya memuaskan pengakuan yang sudah berurat-akar sehingga tidak memenuhi keinginan menjadi orang “Kristen yang serius”. Kekristenan Protestan semakin terbagi-bagi, hanya gereja Katolik yang bersatu pada waktu itu. Abad kedua puluh telah membawa keputusan pertama yang menguatkan pemikiran ekumenis ini dan mengurangi hambatan di antara gereja-gereja. Tahun 1846 Allianz-Gebetbund (Aliansi Doa) telah mampu melampaui batasan koonfesional. Dalam dunia internasional hal ini sama dengan YMCA (Young Men’s Christian Association) dan khususnya World Student Christian Federation (Federasi Mahasiswa Kristen Se-Dunia) yang didirikan tahun 1895 yang mendorong pemikiran ekumenis. Kemudian atas prakarsa Bishop Amerika Charles H.Brent muncullah komisi “Faith and Order” yang merupakan salah satu cabang dari gerakan ekumenis. Konferensi pertama Faith and Order ini dilaksanakan tahun 1927 di Lausanne yang diikuti 394 delegasi dari 108 gereja-gereja. Konferensi kedua dilaksanaan di Edinburgh tahun 1937, konferensi ketiga bertemu di Lund tahun 1952 dan konferensi keempat di Montreal tahun 1963. Konferensi “Faith and Order” ini menjadi akar dari World Council of Churches (Dewan Gereja-gereja Se-Dunia). Organisasi ini memiliki dua sayap/pendamping yaitu pertama, Aliansi Dunia untuk Promosi Persaudaraan Dunia melalui gereja-gereja, dan kedua, gerakan “Hidup dan Bekerja”. Organisasi ini eksis hingga tahun 1938 namun akibat Perang Dunia II maka organisasi ini terhenti hingga tahun 1946. Kemudian setelah itu dibuatlah pertemuan pertama kembali di Amsterdam tahun 1948 yang diikuti 148 delegasi Gereja-gereja dan 44 negara untuk mendiskusikan tema, “Man’s Disorder and God’s Design” (Kekacauan Manusia dan Rancangan Allah). Sidang Raya kedua bertemu di Evanston tahun 1954 dengan tema, “Kristus – Pengharapan Dunia”, ketiga di New Delhi dengan tema, “Yesus Kristus – Terang Dunia”tahun 1961, keempat di Uppsala dengan tema, “Lihatlah, Aku membuat segalanya baru”tahun 1968, kelima di Nairobi dengan tema, “Yesus Kristus Pembebas dan Pemersatu”tahun 1975, keenam di Vancouver dengan tema, “Yesus Kristus – Kehidupan Dunia”tahun 1983, ketujuh di Canberra (1991), kedelapan di Harrare (1998), dan kesembilan di Porto Allegre (2006).

PERSETUJUAN LEUENBERG

Pada saat yang sama transendensi doktrin (upaya mengatasi perbedaan doktrin) yang berbeda di antara teologi Lutheran dan Reformed dan konsekuensinya – paling tidak dalam prinsip – di antara gereja Lutheran dan Reformed telah berlangsung lama sejak abad kesembilan belas bahkan hingga parohan pertama abad kedua puluh. Ini terjadi pada Persetujuan Leuenberg pada 16 Maret 1973 yang dihadiri oleh gereja-gereja Lutheran, Reformed, dan Gabungan Gereja-gereja dari 16 negara-negara Eropa. Bagian ketiga dokumen tersebut mengatakan: “Di dalam Persetujuan ini gereja-gereja yang berpartisipasi mengakui bahwa hubungan mereka kepada yang lainnya telah berubah sejak zaman Reformasi. Pengertian umum tentang Injil digambarkan pada bagian II dokumen yang mengatakan: 1) Pesan Pembenaran sebagai Pesan Kebebasan Anugerah Allah; dan 2) “Khotbah, Baptisan, dan Perjamuan Kudus”. Kemudian dokumen ini memuat tentang pembahasan perbedaan pendapat pada abad keenambelas yaitu perdebatan Kristologi pada pasal 22-23. Dengan Persetujuan Leuenberg ini terbukalah persekutuan di antara gereja-gereja. “Persekutuan Gereja” artinya mereka memiliki pemahaman bersama tentang Injil kendati pun mereka memiliki pengakuan yang berbeda-beda namun mereka sama-sama bekerjasama untuk bersaksi dan melayani dunia (pasal 30-34).

3. KONSILI VATIKAN KEDUA

Pengakhiran saling mengucilkan di antara gereja terjadi tanggal 7 Desember 1965 sehubungan dengan Konsili Vatikan Kedua. Hal ini diikuti oleh banyak kejadian spektakuler seperti perjalanan Paus VI ke Konstantinopel bulan Juli 1967 dan mengunjungi pertemuan ekumenis, Athenagoras, ke Roma pada bulan Oktober 1967. Hubungannya dengan gereja Orthodoks Rusia juga dikuatkan oleh konsili ini pada waktu itu. Organisasi Sekretariat Promosi Kesatuan Orang Kristen di Jerman, Kardinal Augustinus Bea memainkan peranan penting sebagaimana Dekrit Ekumenisme Vatikan II yang menggambarkan secara empati bagaimana gereja Katolik kembali ke pemikiran ekumenis dengan semboyan Ut unum sint (Supaya mereka menjadi satu). Tetapi entusiasme ekumenisme ini menurun sejak saat itu, karena sikap restriktif dari Katolik sehingga mengakibatkan kekecewaan. Lebih dalam lagi Aland menguraikan perdebatan yang terjadi dalam Konsili Vatikan II ini. Tentunya teks Dekrit Ekumenis banyak mengalami perubahan yang mengakibatkan perasaan tidak senang di antara peserta sidang dan bahwa Konstitusi Dogmatik atas Hubungan Ilahi tidak diadopsi hingga revisi keempat.

4. PERKEMBANGAN KEKRISTENAN PROTESTAN DI JERMAN SETELAH PERANG DUNIA I

Untuk membicarakan kekristenan abad keduapuluh di Jerman harus dimulai dari tahun 1918 sebab dalam tahun itu bukan hanya Kekaisaran Jerman dan sistem teritorial Jerman yang runtuh, tetapi juga dasar konstitusional gereja pemerintahan teritorial dari seluruh gereja Protestan sebab pada waktu itu mereka dihubungkan dengan daerah kerajaan. Misalnya Oberkirchenrat kantor pusat Gereja Prussia tidak memiliki dasar kepemilikan secara hukum sebab Oberkirchenrat tidak eksis oleh kegiatan gereja bahkan oleh perundang-undangan pemerintah, melainkan oleh keputusan penguasa. Contoh yang lebih jelas lagi adalah gereja di Thuringia. Pada tahun 1918 wilayah Thuringia dibagi menjadi 8 (sebenarnya 9) wilayah negara bagian harus dihitung satu per satu supaya anakronisme semakin jelas. Seluruh negara bagian ini memiliki departemen gereja dan urusan pendidikan di dalam kementrian negara bagian masing-masing. Namun ketika wilayah pemerintahan gereja ini jatuh pada November 1918, setidaknya eksistensi eksternal gereja Thuringia ikut dihancurkan. Tetapi gereja Thuringia menunjukkan bahwa menciptakan sebuah organisasi eksternal bukanlah segalanya. Pada saat yang sama melalui Jerman, bukan hanya di Thuringia, namun masib ada lagi seperti konfesionalis, konservatif, liberal, pietis dan yang lainnya saling hidup berdampingan. Di Thuringia orang Kristen Jerman bukan hanya membentuk sebuah organisasi militan yang disebut “Kristen Jerman Thuringia”, tetapi mereka juga secara praktis mendominasi gereja provinsi. Fenomena ini memiliki prasupposisi di dalam teologi dan sejarah gereja, sebab Gereja yang Mengaku, juga mengambil bentuk yang berbeda dari yang lainnya. Perkembangan selanjutnya gereja-gereja di Jerman mengalami banyak perkembangan. Pada permulaan September 1919, Konvensi Gereja Protestan Jerman pertama bertemu di Dresden. Mulailah bermunculan beberapa organisasi gereja yang baru seperti Deutscher Evangelischer Kirchentag (Asosiasi Gereja Protestan Jerman) yang beranggotakan 210 gereja; Deutscher Evangelischer Kirchenbundesrat (Dewan Federasi Gereja Protestan Jerman); Deutscher Evangelischer Kirchenausschuss (Komite Gereja Protestan Jerman). Di dalam kehidupan internal gereja ada banyak pergumulan dengan gereja lain seperti: konservatif, liberal, dan centris, sementara tantangan dari luar datang dari perubahan Gereja Jerman ke arah Sosialis Religius sehingga pada tahun 1926 berdirilah Asosiasi Sosialis Religius Jerman dari berbagai kalangan. Bahkan masa ini dikenal dengan masa kebebasan masyarakat. Perkembangan selanjutnya adalah dengan timbulnya kebangkitan Luther kembali yang dipelopori oleh teolog-teolog seperti Karl Barth yang memunculkan teologi sistematik. Juga Rudolf Bultmann yang merupakan pakar dalam Perjanjian Baru memberikan pemahaman baru tentang „demitologisasi“. Demikian juga dengan Jurgen Moltmann yang mengajarkan “teologi pengharapan”.

5. TAHUN 1933-1945

Dalam bagian ini Aland membahas zaman di antara tahun 1933 dan 1945, namun bukan sungguh-sungguh untuk mendalami bagaimana zaman ini bagi bangsaJerman tetapi akan membahas Nasionalisme Sosialis yang Nazisme rayakan sebagai hari Machtergreifung (mengambil alih) pada 30 Januari 1933. Kelompok Nazi memiliki kekuatan penuh di tangan mereka dan menggunakan setiap propaganda untuk Orang Kristen Jerman untuk mencapai kemenangan. Hitler mengklaim bahwa dia murni sebagai Fuhrer politik tetapi tidak terlibat dalam soal iman, dogma dan atau doktrin. Aland begitu panjang lebar membahas bagian ini, namun ada beberapa catatan yang penting diperhatikan dalam hal ini yaitu tentang “Deklarasi Barmen” yang diselenggarakan pada tanggal 29-31 Mei 1934 yang diikuti 139 dari 19 wilayah gereja yang diikuti teolog yang terkenal Karl Barth, Hans Asmussen, Joachim Beckmann, Eduard Putz, dan Hermannus Obendiek. Deklarasi Barmen ini jika kita lihat secara teliti kita akan melihat penggunaan “kode bahasa”. Misalnya dalam kata pembukaan ditunjukkan bahwa Deklarasi Barmen menunjuk pada Gereja Protestan Jerman yaitu konstitusi yang diadopsi bagi gereja Protestan oleh sinode nasional di Wittenberg dan dikonfirmasi oleh pemerintah nasional pada 14 Juli 1933. Sementara itu, ketidakadilan dan menggunakan paksaan oleh pejabat gereja yang didominasi oleh Deutsche Christen Jerman dilanjutkan. Jager yang disebut “pelindung sah” (Rechtswalter), memerintahkan gereja-gereja di Wurttemberg dan Bavaria dengan paksa bergabung dengan Gereja Protestan Jerman. Segera setelah itu para bishop ditangkap. Oleh karena itu maka dilaksanakanlah sinode kedua Gereja yang Mengaku di Berlin-Dahlem pada 19-20 Oktober 1934 yang mendeklarasikan negara dalam keadaan darurat. Diminta agar pada jemaat dan imam untuk mematuhi hanya perintah yang datang dari Gereja yang Mengaku dan badan-badan lain yang bersaudara dan dari dewan Gereja Protestan Jerman. Sehingga pada 22 November 1934 berdirilah Pimpinan Sementara Gereja dari Gereja Protestan Jerman (Vorlaufige Kirchenleitung, VKL). Segera setelah itu Jager digantikan oleh Muller dan Karl Barth, Martin Niemoller dan yang lain berhenti dari Dewan Nasional Persaudaraan. Pada sinode ketiga Gereja yang Mengaku di Augsburg pada bulan Juni 1935, perbedaan telah dipecahkan, tetapi hal ini nyata ketika negara mendirikan kementrian khusus urusan gereja (Kirchenministerium) di bawah Hanns Kerl pada Juli 1935. Kemudian dibuatlah rapat Komite Nasional Gereja yang dipimpin Wilhelm Zoellner. Pada sinode keempat Gereja Mengaku di Bad Oeynhausen bulan Pebruari 1936, Petunjuk Sementara Gereja berhenti dan digantikan oleh Dahlem yang disebut dengan “Dahlemites“. Perkembangan berikut termasuk pengaturan dan rekonsiliasi di antara dua tubuh yakni Petunjuk Sementara Gereja kedua dan Dewan Gereja Protestan Lutheran di Jerman yang telah didirikan oleh “gereja-gereja yang utuh” hingga pemahaman baru diciptakan oleh Pekerjaan Kesatuan Gereja (Kirchliches Einigungswerk) atas inisiatif Bishop Wurm pada permulaan tahun 1740-an. Catatan lain yang dibuat Aland, Kekristenan Protestan di Jerman berjuang melawan pemerintahan Nazi dan membayar upeti atas tempat gereja berada berbeda dengan Gereja Katolik. Hingga tahun 1933 telah dicoba membentuk partai politik the Center (Pusat) sebagai perwakilan Protestan dan mereka mencoba melakukan perjuangan namun selalu gagal.

6. KEKRISTENAN SETELAH PERANG DUNIA II

Dari paparan Aland terdahulu sudah jelas diketahui bahwa pembahasan tentang Protestanisme dan Katolikisme sudah melampaui tahun 1945. Protestanisme berkembang dengan gerakan ekumenisme dan Persetujuan Leuenberg sementara itu Katolikisme berkembang dengan adanya Konsili Vatikan II dengan berbagai akibat-akibatnya. Oleh karenanya, menurut Aland jika kita membahas seluruh sejarah Kekristenan, hal itu tidak mungkin; yang bisa kita perbuat hanya mengerti Kekristenan itu sendiri sebagai fenomena pandangan dunia yang tidak hanya dibatasi di Eropa dan atau dibatasi hanya di Jerman saja. Ketika masa modern dimulai, Kekristenan masih diwarnai fenomena Eropa. Namun setelah perkembangan selanjutnya, Kekristenan telah menyebar ke seluruh dunia, dan hari ini tidak ada sebuah negara di mana Kekristenan tidak ada dan biasanya Kekristenan itu terdiri dari berbagai bentuk. Dalam bab ini Aland membahas dunia Kekristenan dan manifestasinya seperti: Katolik Roma, Orthodoks, Anglikan, Lutheran, Methodis, Reformed (Presbiterian) dan Kongregasionalis, Baptis, Gereja-Gereja Bersatu, Gereja-Gereja dan Lembaga-lembaga Lain.

KATOLIK ROMA

Gereja Katolik adalah gereja terbesar di dunia. Secara rinci Aland memaparkan jumlah data statik tahun 1978 orang Katolik di seluruh dunia mulai dari Afrika: 54.8 juta dari 442.8 juta penduduknya; Amerika Utara: 58.5 juta dari 241.7 juta penduduk; Amerika Tengah: 17.4 juta; Amerika Selatan: 207.8 juta; Asia: 58.2 juta; Oceania: 5.6 juta; dan Eropa: 266.4 juta. Di setiap gereja Katolik, yang “tradisionalis” dan yang “progresif” saling berlawanan satu dengan yang lainnya. Sama seperti yang tradisionalis, Katolik yang progresif dikontrol oleh berbagai macam motivasi dan harus dievaluasi. Teologi baru di Perancis dari para pelopornya Teilhard de Chardin, Henri de Lubac dan Maurice Blondel, turun ke Yves Congar, Jean Danielou dan rekan-rekannya. Bagi Katolik tradisionalis, mereka hanya menjaga status quo tetapi mereka gagal melihat bahwa tradisionalisme ini telah mengeras dan membatu dan akhirnya merusak Katolikisme itu sendiri. Khotbah yang disampaikan gereja pada umumnya sama, tetapi khusus tentang bentuk khotbah dan doa dibutuhkan kemampuan adaptasi agar khotbah itu dapat dimengerti oleh jemaat setempat. Inilah yang disebut dengan aggiornamento (pencocokan pada kebutuhan situasi) yang telah dikerjakan oleh Yohanes XXIII.

ORTHODOKS

Sebelum Turki menaklukkan Konstantinopel tahun 1453, patriarkh ekumenis di Konstantinopel dipegang kalangan Orthodoksi. Pada Konsili Konstantinopel tahun 381 gereja melihat bahwa Konstantinopel adalah tempat kedua di dalam gereja Katolik di samping Roma. Menurut Aland saat ini ada sekitar dua belas ribu Kristen Orthodoks di Turki. Lebih jauh Aland mengatakan bahwa seluruh gereja-gereja Orthodoks (kecuali bagi gereja-gereja Orthodoks non-Kalsedonian) telah terbagi dalam empat belas gereja-gereja „autocephalous“ (murni independen), tujuh gereja-gereja „autonomous“ (independen tetapi masih patriarkh) tambah beberapa gereja-gereja „independen“ (seperti di Amerika). Dalam bahasannya ini Aland juga melaporkan data statistik anggota gereja Orthodoks baik yang autocephalous (yang punya kepalanya sendiri tidak berkiblat ke Konstantinopel) maupun Gereja Ortodoks Oriental (non-Kalsedon – Gereja Ortodoks Syria). Mengenai sejarah dari gereja Orthodoks ini juga dibahas secara mendetail mulai dari permulaan sejarah Orthodoks tahun 989 oleh Grand Duke Vladimir I dari Kiev yang memerintahkan umatnya dibaptiskan di jalan (en masse). Akhirnya mulailah penginjilan di negara itu dengan didasari gerakan spiritual Monastry (biara) Cave di Kiev. Selanjutnya adalah gereja Orthodoks ini berkembang di negara-negara blok Timur. Tidak ada laporan khusus tentang Gereja Orthodoks Georgia walaupun gereja ini telah menjadi gereja autocephalous sejak tahun 634, sama seperti Gereja Orthodoks Rusia. Gereja terbesar setelah Gereja Orthodoks Rusia adalah Gereja Orthodoks Rumania. Rumania menjadi sebuah negara pada abad keempat belas. Sejak permulaan, para biarawan di Athos memainkan pemerintahan yang dominan di dalam formasi gereja Orthodoks di daerah ini. Namun setelah pertengahan abad kesembilan belas terjadilah perubahan. Penggunaan bahasa Yunani di dalam ibadah telah dilarang tahun 1863 namun tahun 1864 gereja autocephalous secara resmi memakai ibadah bahasa Yunani ini walaupun pemimpin tertinggi Orthodoks belum menyetujuinya hingga tahun 1885. Lebih jauh lagi Aland membahas perkembangan gereja Orthodoks ini di Serbia, gereja Orthodoks Internasional di Jepang, gereja Orthodoks Yunani yang populer dengan nama gereja Byzantium. Kemudian perkembangan selanjutnya dilaporkan Aland adalah Gereja Orthodoks Siprus dan Gereja Orthodoks Syria.

ANGLIKAN

Gereja Inggris adalah ibu gereja-gereja Anglikan di dunia yang menjadi Kekristenan terbesar ketiga secara jumlah. Namun harus dicatat bahwa walaupun Uskup Agung Kantebury merupakan tempat utama gereja Anglikan di seluruh dunia, tetapi fungsinya hanya sebagai fungsi spiritual saja bukan sebagai hakim. Persekutuan Anglikan bertemu secara reguler berjarak yang disebut dengan Konferensi Lambeth yang membicarakan seluruh permasalahan doktrin dan kehidupan gereja. Dari waktu ke waktu ada juga kongres pan-Anglikan yang membicarakan persoalan yang kontroversial dan mempromosikan kesatuan gereja-gereja Anglikan. Secara statistik jumlah Anglikan di seluruh dunia adalah 55.2 juta dengan rincian sebagai berikut: Afrika: 16.4 juta, Asia: 4.7 juta, Pasifik: 82.800, Eropa: 28.9 juta, Timur Tengah: 29.300, Amerika Latin: 30.000, Karibia: 976.800, Amerika Utara: 4.1 juta.

LUTHERAN

Lutheran disatukan dalam sebuah organisasi yang disebut dengan Federasi Gereja-Gereja Lutheran Se-Dunia (LWF) di dalam berbagai macam kesatuan di benua yang berbeda-beda. Gereja Lutheran aslinya berpusat di Eropa. Gereja Lutheran tersebar ke seluruh dunia adalah akibat dari emigrasi dari Eropa dan pekerjaan misionaris Lutheran di seluruh dunia. Secara keseluruhan jumlah Lutheran di seluruh dunia adalah 51.3 juta. Mengapa hal ini lebih sedikit? Karena ada beberapa anggota Lutheran yang tidak terdaftar ke Dewan Gereja Se-Dunia yang jumlahnya 3 juta misalnya Gereja Lutheran – Synode Missouri. Gereja Lutheran berada posisi keempat di dunia setelah gereja Anglikan. Menurut data DGD, statistik gereja Lutheran adalah sebagai berikut: Afrika: 2.2 juta, Asia: 2.8 juta, Eropa: 40 juta, Amerika Latin: 752.000, Amerika Utara: 5.5 juta. Gereja Lutheran – Synode Missouri berasal dari imigrasi Lutheran Sakson ke Amerika Serikat pada permulaan abad kesembilan belas. Pada tahun 1847 synode ini hanya memiliki 12 jemaat, tetapi tahun 1957 telah mencapai 5.306 jemaat. Gereja ini tidak hanya berada di AS dan Kanada, tetapi juga ada di Brazil dan Argentina, Nigeria, dan Asia Timur. Di Jerman tiga gereja Lutheran bebas (Freikirchen) telah menyatu sejak tahun 1946-1947 dan 1972 dalam Gereja Evangelis Lutheran Independen (Selbstandige Evangelisch-Lutherische Kirche, SELK). Menurut Aland, sebenarnya Lutheran jauh lebih banyak dari yang dilaporkan sebab di Gereja-gereja Bersatu (United churches) banyak jemaat yang memahami mereka sebagai gereja Lutheran di dalam Gereja Evangelis Bersatu di Jerman.

METHODIS

Gereja ini berasal dari kebangkitan yang terjadi di Inggris dan akibat gerakan misi dengan unsur komponen sosial. Gereja ini datang dari Inggris ke Amerika Utara di mana Gereja Methodis Episkopal didirikan tahun 1784. Sehingga terjadilah pemisahan dari gereja Anglikan walapun Methodis menerima 39 Artikel sebagai konstitusi gereja yang kemudian diperpendek oleh Wesley menjadi 25 Artikel. Nama „Methodis“ semula adalah istilah yang merendahkan sama seperti Lutheran, Pietis, dan lain sebagainya, sebab mereka sangat kuat mekankan metode hidup sehari-hari sebagai bentuk kebangkitan. Methodisme dibawa dari AS ke Jerman oleh para imigran yang datang bersama para misionaris. Di antara mereka misalnya, Christoph Gottlieb Muller (1785-1858), Ludwig Sigismund Jacoby (1813-1874) dan Wunderlich bersaudara, Erhard dan Friedrich. Pusat pertama Methodis adalah di Wurttenberg dan Sakson dan kemudian dibawa dari Jerman ke negara-negara tetangga. Jumlah keseluruhan Methodis adalah 37.4 juta yang terdiri dari: Afrika: 2.1 juta, Asia: 1,1 juta, Pasifik: 205.500, Eropa: 1,5 juta, Amerika Latin: 222.000, Karibia: 298.500, Amerika Utara: 31.9 juta.

REFORMED (PRESBITERIAN) DAN KONGREGASIONALIS

Jumlah keseluruhan Orang Kristen Reformed adalah 30.1 juta di mana 741.500 masih dianggap Kongregasionalis. Alasan utama untuk hal ini adalah alasan eksternal yakni: DGD menyebut keduanya „Reformed“, dibedakan hanya di antara Reformed Presbiterian dan Reformed Kongregasionalis. Tetapi ada juga alasan internal yakni: dasar doktrin dari Kongregasionalis adalah Calvinistik. Kongregasionalisme berasal dari Inggris dan lahir di dalam konteks Reformasi Inggris. Setelah tahun 1579 Robert Brown (kira-kira 1550-1635), yang dikenal sebagai “ayah” Kongregasionalisme, mulai melawan apa yang dia anggap sebagai kemerosotan gereja negara di Inggris, dan menyatakan bahwa hanya jika paus dipisahkan dari negara dan bergabung bersama akan membangun gereja yang murni. Secara statistik Gereja Reformed Presbiterian sebagai berikut: Afrika : 1.9 juta, Asia : 6.6 juta, Pasifik : 84.300, Eropa : 14 juta, Timur Dekat : 225.300, Amerika Latin : 18.500, Karibia : 40.000, Amerika Utara : 7.2 juta. Sementara Gereja Reformed Kongregasional adalah : Afrika : 289.200, Asia : tidak ada laporan, Pasifik : 82.500, Eropa : 369.800, Amerika Utara : tidak ada laporan.

BAPTIS

Nama baptis (Yunani: baptismos) mengindikasikan tanda identifikasi utama mereka adalah: baptisan dewasa (Mundigkeitstaufe) sebagai ganti baptisan anak (Sauglingstaufe) dipraktekkan. Tetapi tidak benar untuk berbicara baptisan „dewasa“, sebab baptisan dilakukan dari umur 10 tahun ke atas atas dasar ikrar iman pribadi. Tetapi ciri ini dapat juga menyesatkan kita, sebab di dalam kenyataan Baptis adalah sebuah gereja di mana seseorang masuk secara sukarela (Freiwilligkeitsgemeinde) dan satu prasyarat mutlak untuk masuk adalah pengakuan seseorang bahwa ia telah diselamatkan dan keinginan seseorang untuk mengikut Yesus. Asal berdirinya Baptis dihubungkan dengan Reformasi Inggris. John Smyth (1554-1612) memulai pertama jemaat Baptis di Lincolnshire. Tahun 1608, akibat penekanan dari negara, mereka melarikan diri ke Amsterdam, di mana mereka mengorganisasikan Baptis Umum. Tahun 1616 di Southwark dekat London mereka disebut Baptis Partikular. Setelah tahun 1641, atas anjuran Richard Blunt, baptisan di dalam gereja ini bukan dengan cara dipercik atau dituangkan tetapi dengan mencelupkan tubuh seseorang ke dalam air. Praktek seperti ini dengan cepat menyebar. Perkembangan selanjutnya adalah di Amerika Utara oleh Roger Williams (1604-1683), kemudian di Inggris oleh Charles Haddon Spurgeon (1834-1892) dan di benua Eropa oleh Johann Gerhard Oncken (1800-1884). Statistik gereja ini adalah sebagai berikut: Afika: 677.000, Asia: 1.2 juta, Eropa: 1.7 juta, Amerika Utara: 23.8 juta.

GEREJA-GEREJA BERSATU

Menurut Aland ada sekitar 29.5 juta anggota Gereja-Gereja Bersatu (United Churches) yang didaftarkan oleh DGD. Ini jumlah yang cukup besar, tetapi hal ini sangat mudah membahwa kita tersesat. Sebab Gereja Bersatu ini terdiri dari karakter yang berbeda-beda dan apakah mereka cermin kesatuan di antara Lutheran dan Reformed yang berlaku di Eropa; ada juga bermacam-macam kesatuan lainnya. Gereja Bersatu di Kanada misalnya, Methodis, Presbiterian dan Kongreagasionalis bersatu tahun 1925 dan tahun 1968 Konferensi Kanada dari Persatuan Persekutuan Persaudaraan, sebuah orientasi persekutuan secara evangelis. Di antara tahun 1925 dan 1970 kurang lebih persatuan dari dua puluh persekutuan terjadi dengan alasan yang eksternal. Di Jepang misalnya gereja Presbiterian, Methodis, Kongregasional, Baptis, Lutheran dan denominasi lainnya yang jumlahnya empat puluh dua, bersekutu bersama tahun 1941 dalam Gereja Kristus. Statistik Persekutuan Gereja ini adalah sebagai berikut: Afrika: 1.8 juta, Asia: 3.5 juta, Australia: 2.5 juta, Pasifik: 380.000, Eropa: 17.3 juta, Amerika Latin: 65.000, Caribbean: 25.0000, Amerika Utara: 3.9 juta.

GEREJA KATOLIK LAMA

Gereja Katolik Lama berasal dari Belanda ketika uskup Cornelius Steenhoven dikukuhkan sebagai uskup kepala Utrecht tahun 1724 tanpa restu paus – dia dikucilkan tahun 1725 – karena mendukung doktrin Jansenist tentang anugerah dan penggulingan Peter Codde dari tahta Uskup kepala tahun 1704. Tahun 1871 di bawah pemimpin spiritual Ignaz von Dollinger (1799-1890) kongres yang dipimpin Johann Friedrich Schulte (1827-1914), mempersiapkan pendirian Gereja Katolik Lama yang akhirnya terjadi tahun 1873 pada kongres di Cologne ketika Joseph Hubert Reinkens (1821-1896) dosen teologi di Breslau dipilih sebagai uskup.

GEREJA-GEREJA DAN LEMBAGA-LEMBAGA LAIN

Di sini hanya sedikit dan tidak semua ekspresi Kekristenan yang DGD klasifikasikan sebagai Gereja Independen atau Gereja yang Lain. Sebenarnya banyak juga di negeri-negeri lain (misalnya Filipina) tetapi umumnya tidak bergabung di dalam DGD ataupun wadah-wadah ekumenis lainnya. Hanya di benua Afrika ada gereja yang disebut gereja „Independen“ yang terdiri dari empat denominasi dengan jumlah keseluruhannya 5.9 juta anggota. Di antara Gereja yang Lain adalah Gereja Moravian yang dibentuk oleh Zinzendorf dengan ciri internasionalnya. Data statistik gereja ini adalah 54.000 di Afrika Utara, 10.000 di Federal Republik Jerman, 2.900 di Demokrasi Republik Jerman, 5.000 di Inggris Raya dan Irlandia, 52.000 di Suriname, 82.000 di Jamaika, 28.800 di Hindia Barat dan 54.000 di AS. Gereja Pentakostal ditemukan di Amerika Latin (1.2 juta), di Amerika Utara (200.000), dan di Australia (96.000), New Zealand (3.000), dan Inggris Raya dan Irlandia (12.000).

7. KEKRISTENAN MASA KINI – DAN MASA DEPAN

Dalam bab sebelumnya Aland telah menunjukkan secara langsung Kekristenan saat ini, walaupun mengungkapkannya secara eksplisit. Yang dimaksud Aland “saat ini” harus diletakkan dalam perspektif dan melakukan sebuah usaha yang memerlukan perhatian yang luar biasa untuk berbicara tentang “masa depan”. Menurut Aland perubahan begitu cepat terjadi dan begitu sering. Misalnya bangsa-bangsa Afrika mengubah pemerintahan mereka sejak kemerdekaan mereka, dari rejim penjajah. Aland juga melaporkan pengaruh perang yang terjadi di berbagai penjuru dunia ini seperti di Timur Dekat, Indocina, Afrika, Amerika Utara bagi situasi saat ini. Banyak orang mengalami penderitaan, kelaparan, kehilangan kebebasan, mengalami tekanan dan lain-lain. Dari situasi tersebut Aland bertanya bagaimanakah Kristendom saat ini. Untuk menjawab pertanyaan ini, Aland mendasarkannya pada data statistik dari penduduk dunia. Menurut data tahun 1960 dan tahun 1977 penduduk dunia secara khusus di Eropa dan di Amerika Utara mengalami penurunan sekitar 2,5% dan 7%. Aland berpendapat bahwa lebih dari setengah dari seluruh orang Kristen tinggal di Eropa dan sepertiga tinggal di Amerika. Jika figur penduduk di Eropa di dalam periode ini mengalami penurunan 2,5% dan 7% di Amerika Utara, maka ukuran Kekristenan masa depan akan mengarah ke daerah Afrika dan Asia. Berdasarkan laporan John S.Mbiti pada Konferensi Seluruh Gereja-gereja Se-Afrika, Kekristenan di Afrika sekitar 203 juta dan Gereja-gereja Kristen serta Yayasan Kristen bertumbuh sangat cepat dibandingkan dengan Islam. Pertanyaan Aland yang berikut adalah: bagaimanakah data statistik keagamaan saat ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, Aland kembali menjelaskannya dari tabel data yang dipelajarinya periode tahun 1960/61 hingga 1977/78. Pertama, hasilnya mengejutkan. Kekristenan berkembang pesat selama dua dekade terakhir dibanding agama lainnya. Kalkulasi ini sangat atraktif sekali sehingga bisa menyesatkan. Sebab data ini mengabaikan „bentuk ketiga iman“ yaitu ateisme ataupun agama alamiah. Karena data statistik keagamaan ini kurang akurat menurut Aland, maka data ketiga yang dia pakai adalah data tahun 1984 dari Laporan Tahunan Dunia Lembaga Alkitab Dunia. Menurut Aland dari data penyebaran Alkitab dan porsion ke seluruh dunia, kekristenan itu lebih akurat. Jika Lembaga Alkitab Internasional memberikan keseluruhan $16.7 juta bagi pendistribusian Alkitab tahun 1979 (1984: $23.2 juta) ditambah $2.5 juta (1984: $3.5 juta) bagi persiapan terjemahan baru sehingga total keseluruhannya $20 juta (1984: 26.7 juta), inilah gambaran kekuatan Kristendom saat ini. Menurut Aland lebih jauh jika memang seorang Kristen di Dunia Ketiga memiliki Alkitab atau porsion, maka kita menduga bahwa orang itu melek huruf dan mempelajari teks Alkitab secara mendalam.

4.TANGGAPAN HISTORIS

a. Tanggapan

Umum Buku Aland volume kedua ini merupakan lanjutan dari volume pertama. Tekanan utamanya hanya pada dua bagian besar yaitu: KEKRISTENAN PADA MASA REFORMASI dan KEKRISTENAN SETELAH REFORMASI.

b. Tanggapan Isi buku

Jika kita mengikuti alur pemikiran Aland dalam buku ini maka kita akan bisa secara jelas memahami proses perjalanan Kekristenan itu sejak Reformasi hingga perkembangan Kekristenan modern saat ini. Ulasannya yang begitu panjang dalam tiap topik akan semakin memudahkan kita memahami situasi yang terjadi pada tahun-tahun peristiwa itu terjadi. Dalam bagian pertama ulasannya, Aland memberikan pertimbangan-pertimbangan yang mendasar tentang munculnya Reformasi itu sendiri. Secara umum pertimbangan yang disodorkannya dapat diterima, karena pertimbangannya itu dikaitkannya dengan perkembangan yang terjadi di dalam negara dan situasi sosial ekonomi masyarakat waktu itu. Artinya munculnya Reformasi itu tidak hanya melulu karena akibat pergolakan teologi yang terjadi di Gereja saja, namun ada juga kaitan timbulnya Reformasi ini dengan kehidupan masyarakat itu sendiri dan kemajuan ilmu pengetahuan saat itu. Hal ini juga akan menjadi pemikiran yang terus berkembang nantinya dalam ulasan berikut yang dipaparkan Aland. Aland juga membahas secara mendalam beberapa tokoh terkenal yang menggerakkan Reformasi itu di berbagai tempat dan pengaruhnya bagi perkembangan Kekristenan di dunia hingga saat ini. Gaung Reformasi yang mereka kumandangkan bukan timbul begitu saja namun gerakan itu sendiri sudah dikerjakan oleh para pendahulu mereka. Artinya pemikiran Reformasi itu sendiri sebenarnya sudah ada jauh di belakang para tokoh Reformator itu. Mereka hanya pencetus Reformasi itu saja, namun isi gagasannya sebenarnya bukanlah murni dari pemikiran mereka sendiri. Dalam bagian kedua bukunya ini, Aland memfokuskan pembahasannya pada perkembangan Kekristenan setelah Reformasi. Dari ulasannya dapat terlihat bahwa perkembangan gerakan Reformasi itu tenyata tidak berjalan mulus di berbagai daerah. Reformasi itu terus berjalan kendati harus mengalami beberapa perjuangan dan tantangan baik dari negara, gereja, politik dan bahkan dari kalangan gerakan Reformasi itu sendiri. Jika kita cermati, Kekristentan setelah Reformasi mengalami perkembangan yang sangat pesat. Karena semangat penginjilan ke dalam dan ke luar semakin gencar dilakukan setiap gerakan Reformasi yang ada. Persaingan di antara kalangan Gereja Reformasi semakin terasa. Jika kita telusuri perkembangan Kekristenan sejak agama Kristen perdana hingga saat ini maka dapat digambarkan pembagian Kekristenan secara umum dalam Gereja-gereja Timur dan Barat. Setelah kedua kelompok besar ini muncullah cabang-cabang yang beraneka ragam dari agama Kristen. Setelah cabang-cabang ini muncullah kelompok-kelompok denominasional. Dalam sejumlah tradisi, kelompok-kelompok ini didefinisikan secara tegas (seperti misalnya gereja-gereja otosefalus dalam kedua cabang Gereja Ortodoks). Dalam tradisi-tradisi yang lainnya, mereka mungkin merupakan kelompok-kelompok ideologis yang longgar dan dapat bertumpang tindih. Hal ini khususnya terjadi dalam hal Protestanisme, yang mencakup Adventis, Anabaptis, Anglikan, Baptis, Kongregasionalis, Lutheran, Methodis, Pentakostal, Presbiterian, Gereja-gereja Reformaed, dan barangkali juga lain-lainnya, tergantung pada siapa yang menyusun skemanya. Dari situ muncullah denominasi, yang di Barat, memiliki kemandirian mutlak untuk menetapkan doktrin (misalnya, gereja-gereja nasional di lingkungan Persekutuan Anglikan atau di lingkungan Lutheranisme). Di sini, skemanya menjadi semakin sulit untuk diberlakukan kepada gereja-gereja Timur dan Katolik, karena struktur-struktur hierarkhis mereka yang dari atas ke bawah. Satuan-satuan yang lebih terinci setelah denominasi adalah dewan-dewan regional dan jemaat dan organisasi-organisasi gereja individual. Sebuah skisma besar secara tidak sengaja dimulai melalui penempatan 95 dalil Martin Luther di Sachsen pada 31 Oktober 1517. Mulanya ke-95 dalil tersebut ditulis sebagai serangkaian keluhannya untuk mendorong Gereja Katolik agar memperbarui dirinya, dan bukan untuk memulai sebuah sekte baru, tulisan-tulisan Luther, ditambah dengan karya teolog Swiss Ulrich Zwingli dan teolog dan politikus Perancis Yohanes Calvin memulai perpecahan dalam kekristenan di Eropa yang kini menciptakan cabang agama Kristen kedua terbesar setelah Gereja Katolik sendiri, Protestanisme. Di Inggris, Henry VIII dari Inggris menyatakan dirinya sebagai kepala tertinggi Gereja Inggris melalui Akta Supremasi pada 1531, mendirikan Reformasi Inggris, meskipun dengan tujuan-tujuan yang jauh lebih terbatas daripada Reformasi Calvin atau Ulrich Zwingli. Berbeda dengan cabang-cabang lainnya (Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur dan Ortodoks Oriental, Gereja Asiria, dan Anglikan), Protestanisme adalah sebuah gerakan umum yang tidak mempunyai struktur pemerintahanan internal. Oleh karena itu kelompok-kelompok yang sangat berbeda-beda seperti misalnya Adventis, Anabaptis, Anglikan, Baptis, Kongregasionalis, Lutheran, Methodis, Presbyterian, Reformasi, Pentakostal, dan bahkan mungkin pula Restorationis (tergantung pada skema klasifikasi yang digunakan) semuanya adalah bagian dari keluarga yang sama, dan dengan variasi doktriner yang lebih jauh di dalam masing-masing kelompoknya. Dibandingkan dengan masa satu setengah milenium pertama di seluruh Dunia Kristen, Protestanisme menghasilkan gereja-gereja dan denominasi baru dalam jumlah yang paling banyak. Misalnya saja Gereja-Gereja Lutheran di Indonesia memiliki organisasi yang cukup banyak, padahal sama-sama mengaku diri beraliran Lutheran. Selain HKBP, gereja-gereja Lutheran di Indonesia umumnya menyebar di Sumatera Utara, yakni wilayah pelayanan misi RMG (Rheinische Missions-Gesselschaft) dulu. Gereja-gereja tersebut adalah GKPI (Gereja Kristen Protestan Indonesia), GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun), GKPA (Gereja Kristen Protestan Angkola), GKPPD (Gereja Kristen Protestan Pakpak-Dairi), HKI (Huria Kristen Indonesia), GPKB (Gereja Punguan Kristen Batak), GKLI (Gereja Kristen Luther Indonesia), GPP (Gereja Protestan Persekutuan). Gereja-gereja di Nias dan Kepulauan Mentawai juga tergolong gereja-gereja Lutheran, yaitu BNKP (Banua Niha Keriso Protestan), AMIN (Angowulua Masehi Indonesia Nias), ONKP (Ora Niha Keriso Protestan), BKPN (Banua Keriso Protestan Nias), dan GKPM (Gereja Kristen Protestan Mentawai). Demikian juga dengan perkembangan gerakan Pentakosta. Gereja Pentakosta (di Indonesia sering disebut juga Pantekosta) adalah sebuah gerakan di kalangan Protestanisme yang sangat menekankan peranan karunia-karunia Roh Kudus. Aliran ini sangat mirip dengan gerakan Karismatik, namun gerakannya muncul lebih awal dan terpisah dari gereja arus utama. Orang Kristen Karismatik, setidak-tidaknya pada awal gerakannya, cenderung untuk tetap tinggal di dalam denominasi mereka masing-masing. Orang Pentakosta memiliki pandangan dunia yang trans-rasional. Meskipun mereka sangat memperhatikan ortodoksi (keyakinan yang benar), mereka juga menekankan ortopati (perasaan yang benar) dan ortopraksis (refleksi atau tindakan yang benar). Penalaran dihargai sebagai bukti kebenaran yang sahih, tetapi orang-orang Pentakosta tidak membatasi kebenaran hanya pada ranah nalar. Christianity Today melaporkan dalam sebuah artikel yang berjudul “World Growth at 19 Million a Year” (Bertumbuh 19 juta angota di seluruh dunia) bahwa menurut sejarahwan Vinson Synon, dekan Regent University School of Divinity (Sekolah Teologi Universitas Regent) di Virginia Beach bahwa 25% dari seluruh umat Kristen di dunia adalah Pentakostal atau karismatik. Denominasi-denominasi Pentakostal terbesar di AS adalah Assemblies of God (Sidang Jemaat Allah), Church of God in Christ, Church of God (Cleveland), dan United Pentecostal Church. Menurut sebuah artikel Musim Semi 1980 dari Christian History, ada sekitar 11.000 denominasi pentakostal atau karismatik di seluruh dunia. Di AS gereja-gereja Pentakostal diperkirakan mempunyai lebih dari 20 juta anggota, termasuk sekitar 918.000 (4%) penduduk Hispanik. Jumlah ini mencakup jemaat-jemaat yang tidak berafiliasi, meskipun jumlahnya tidak pasti. Hal ini sebagian disebabkan karena sebagian ajaran Pentakostalisme juga dianut oleh denominasi non-Pentakostal yang dikenal sebagai gerakan karismatik. Perhitungan konservatif atas penganut Pentakostalisme di seluruh dunia pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 115 juta. Perkiraan lain menyebutkan jumlah hampir 400 juta. Sebagian terbesar dari pemeluknya terdapat di negara-negara Dunia Ketiga, meskipun kebanyakan pemimpin mereka masih orang Amerika Utara. Pentakostalisme kadang-kadang disebut sebagai “gerakan ketiga Kekristenan”. Di Indonesia, gereja-gereja Pentakostal/Karismatik yang utama adalah • Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI), • Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), • Gereja Pentakosta Indonesia (GPI), • Gereja Isa Almasih (GIA), • Gereja Bethel Indonesia (GBI), • Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD), • Charismatic Worship Service (CWS), • Gereja Pantekosta Isa Almasih (GPIA), • Gereja Tiberias Indonesia (GTI), • Abbalove Ministries, • Gereja Bethany Indonesia, • Gereja Duta Injil, • Gereja Kristen Perjanjian Baru (GKPB), • Gereja Bethel Tabernakel (GBT), • Gereja Sidang-Sidang Jemaat Allah, • Gereja Gerakan Pentakosta (GGP) dan lain-lain. Dan jika diamati secara jujur perkembangan Kekristenan ini hingga sekarang, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Kekristenan itu tidak ‘statis’ namun ‘dinamis’. Artinya Kekristenan akan terus bergerak maju untuk mencari jati dirinya sesuai dengan tantangan zaman. Dengan demikian, gereja harus terus-menerus membaharui dirinya agar tidak tergilas oleh tantangan zaman. Gereja yang mampu bertahan dalam segala zaman adalah gereja yang terus merevitalisasi diri sesuai dengan kebutuhan dan tantangan zaman.

1. PENDAHULUAN

A. PENERJEMAH Buku Kurt Aland ini aslinya ditulis dalam bahasa Jerman yakni Geschichte der Christenheit yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh James L.Schaaf pada tahun 1984. Tebal buku volume I terjemahan ke dalam bahasa Inggris ini adalah 474 halaman. Buku ini terbit dalam dua volume. Volume I membahas tentang Dari Kekristenan Mula-mula hingga ke Ambang Pintu Reformasi. Sedangkan volume II membahas tentang Dari Reformasi hingga kini. Kurt Aland, yang lahir di Berlin tahun 1915, adalah seorang Guru Besar Sejarah Gereja dan Peneliti Teks Perjanjian Baru di Universitas Münster di Westphalia. Aland dikenal orang karena dia salah seorang editor buku Novum Testamentum Graece, dan dia juga menulis buku tentang studi Perjanjian Baru dan sejarah Reformasi. Khusus buku volume I ini, Kurt Aland hanya membahas dua bagian besar yakni Permulaan Kekristenan dan Kekristenan di Abad Pertengahan. Untuk lebih memudahkan pemahaman tentang pemikiran Aland, di bawah ini akan dibahas bagian demi bagian dari bukunya A History of Christianity volume I.

B. PENULIS

Buku ini dilatarbelakangi dari bahan kuliah yang diajarkan oleh Aland dalam mengajarkan teologi yang berjudul “Garis Besar Sejarah Gereja”. Menurut Aland, buku ini tidak hanya semata bertujuan untuk para mahasiswa dan para teolog tetapi juga – di dalam kenyataan – untuk “kaum awam”, yaitu, kepada seluruh yang tak memperhatikan keanggotaan gereja mereka, yang tertarik pada sejarah umat Kristen (Christenheit) dan ingin untuk mengetahui apa yang telah terjadi di dalam sejarah ini dan apa yang memaksa perkembangan dari permulaan hingga saat ini. Aland mengakui bahwa buku ini bukan pengetahuan sejarah yang mendetail yang penting, melainkan mengerti konteks di mana mereka hidup.

2. PERMULAAN KEKRISTENAN

Menurut Aland, untuk mengerti permulaan Kekristenan itu sedikitnya ada 5 hal yang harus dibahas, yakni: argumen dengan penyembah berhala, sejarah eksternal Kekristenan mula-mula, sejarah internal Kekristenan mula-mula, sejarah di antara umat, masa Konstantin dan akhir sejarah Kekristenan mula-mula. Kelima pokok bahasan inilah yang menjadi perhatian dasar Aland untuk melihat permulaan Kekristenan itu sendiri.

I. Pertarungan dengan Penyembah Berhala Untuk membahas bagian ini, Aland membagi dua bagian yaitu iman penyembah berhala pada peralihan zaman pra-Kristen ke zaman Kekristenan mula-mula ( abad I-III) dan alasan-alasan kemenangan Kekristenan atas para pengikut penyembah berhala.

1. Iman Penyembah Berhala pada pra-Kristen ke zaman Kekristenan mula-mula ( abad I-III)

Menurut Aland, untuk memperoleh sebuah gambaran luas yang hidup tentang keagamaan di sekitar kekristenan, diperlukan sebuah peta dunia agama-agama untuk dapat melihat geografi dan statistik penyebaran dari bermacam-macam tipe orang percaya. Arkeologi telah menemukan tempat-tempat candi-candi purbakala; sebagai sebuah contoh, di sana ada peta-peta yang mengindikasikan tempat yang terkenal di mana Mithra disembah. Tetapi hanya beberapa penemuan-penemuan tempat kultus pada masa itu yang dapat dikonfirmasikan; banyak yang telah hilang tanpa meninggalkan bekas di sekitarnya. Paham/aliran filsafat dan gerakan intelektual pada abad itu tidak dapat memastikan secara geografis. Sebagai tambahan, ada sebuah fakta bahwa sebetulnya tidak mungkin memiliki informasi statistik tentang pendukung-pendukung bentuk-bentuk persaingan keagamaan saat itu. Oleh karena itu tidak akan ada sebuah peta dapat dibandingkan kepada atlas keagamaan-keagamaan kita saat ini yang dapat memberi kita pandangan yang sempurna dari bentuk-bentuk keagamaan pada saat itu. Walaupun ketika kita melintas sebuah jalan melalui satu cagar daerah-daerah candi seperti Paestum, atau melalui sebuah kota kuno yang dibawa dari reruntuhan di masa lalu seperti Pompeii, atau walaupun berjalan melalui forum Roma, belum lagi agama seperti misalnya Delphi, semua itu memperlihatkan bahwa Kekristenan tidak muncul di tengah-tengah sebuah kekosongan (vacuum), melainkan di tengah-tengah dunia yang sudah dihuni oleh masalah keagamaan. Tak satu pun dari kultus-kultus, tak satu pun dari bentuk-bentuk agama, tak satu pun sekolah-sekolah philosofi dan gerakan intelektual pada masa itu yang siap untuk menyerah kepada Kekristenan tanpa sebuah perjuangan. Inilah hal penting yang harus diperhatikan, kata Aland. Hal ini menurut Aland benar, sebagaimana dinyatakan berulang-ulang, bahwa kepercayaan tradisional tentang penyembahan berhala-berhala di dalam periode ini sebagian besar hilang kuasanya. Hal ini benar pernyataan ulang Augustus tentang iman penyembah berhala ditandai hanya oleh perubahan, di mana ada usaha untuk merubah sebuah bentuk luar penyembahan berhala dan mentransfusinya dengan kuasa baru. Hal ini juga benar bahwa skeptisisme secara partikular mendominasi iman di kalangan atas pada waktu itu dengan akibat-akibat demoralisasi yang mengikuti skeptisisme pada waktu yang lain. Tetapi jika seandainya kita memandangan konteks keberagamaan pada Kekristenan mula-mula hanya didominasi dengan demoralisasi, kita akan jatuh pada penghakiman-penghakiman yang fatal dan rusak. Kita hanya butuh melihat pada akhir abad keempat, ketika Kekristenan telah meraih kemenangan atas perlawanan pemerintah dan menang memiliki perlindungan kuasa penuh dari kaisar, hingga hal ini akhirnya mendeklarasikan pegawai agama kaisar. Pada waktu itu kita melihat bahwa penyembah berhala telah kehilangan perjuangan melawan Kekristenan. Menurut Aland, jika kita berbicara kehidupan iman penyembah berhala pada masa kuno, kita tidak hanya melihat perjuangan intelektual penyembah berhala dengan Kekristenan namun juga harus dilihat dengan orang Yahudi yang begitu keras menganiaya orang Kristen pada dunia kuno. Tetapi penyembah berhala dan orang Yahudi berjuang melawan Kekristenan bukan hanya dengan pengertian sebelah luar, tetapi juga membawa perjuangan intelektual dan keagamaan, misalnya makan tubuh dalam persekutuan Kristen, immoralitas Kekristenan yang mempraktekkan perkawinan sedarah. Pagan juga melawan otoritas PB dan otoritas seluruh Alkitab. Menurut Aland, kehidupan penyembah berhala di dunia kuno dapat didokumentasikan dalam berbagai sumber. Namun bisa juga ditemukan dalam buku Kisah Para Rasul. Misalnya Kis. 17 membawa kita kepada metropolis. Di sini Paulus mengembara melalui Atena dan menemukan kota yang penuh dengan gambaran ilah-ilah. Dalam Kis.19 kita membaca bagaimana pandai perak Demetrius di kota besar Efesus dapat mengacaukan rakyat banyak sebab – sebagaimana dia klaim – Artemis telah dilukai dengan khotbah Paulus dengan iman baru. Dan pengajaran Paulus mendapat banyak reaksi dari para penyembah berhala.

2. Alasan-alasan Kemenangan Kekristenan atas Para Penyembah Berhala

Menurut Aland, banyak jawaban telah diberikan pada pertanyaan tentang bagaimana Kekristenan dapat menang dalam persaingan dengan beraneka bentuk-bentuk iman, kendatipun di dalam setiap hal para pesaing melampauinya di dalam keanggotaan maupun di dalam sumber-sumber. Sebuah generasi yang lalu, beberapa ahli sering memahami Kekristenan sebagai sebuah agama-agama misteri dan berpikir bahwa kemenanganya atas agama-agama misteri lain disebabkan dia (kekristenan) mengambil dari mereka apa yang menentukan dan efektif dan memformulasikannya ke dalam sebuah bentuk baru. Hal ini dipercayai bahwa hal ini didokumentasikan dengan sebuah contoh tentang Paulus. Walaupun sebuah perbandingan superfisial di antara agama-agama misteri dan Kekristenan akan ditunjukkan – maka mereka berargumentasi – bahwa Kekristenan mudah mengekspresikan hal yang sama sebagai agama-agama misteri, tetapi di dalam jalan yang berbeda. Di dalam keduanya, Allah dimuliakan sebagai Tuhan. Hal lain yang menyebabkan orang Kristen mengalami kemenangan adalah karena orang Kristen memiliki sebuah kesatuan kekuatan, sementara para pesaing mereka tidak bersatu dan saling memburuk-burukkan kawannya. Padahal Kekristenan hingga abad ketiga belum merupakan sebuah “kekuatan”. Kekristenan sering juga diidentifikasikan dengan agama misteri. Menanggapi hal ini Aland berkata bahwa paling sedikit kita dapat katakan bahwa ada tema-tema di dalam agama misteri yang juga dinampakkan di dalam Kekristenan dan yang salah satunya mungkin diklaim Kekristenan diadopsi dari mereka. Misalnya tema-tema: kematian dan kebangkitan, kelahiran kembali dan menjadi anak Allah, pencerahan dan penebusan, ketuhanan dan kesusilaan.

II. Sejarah Eksternal Kekristenan Mula-Mula

Untuk melihat sejarah eksternal Kekristenan mula-mula, Aland melihat dari sisi penyebaran Kekristenan, struktur sosial gereja-gereja mula-mula, posisi perempuan di dalam Kekristenan mula-mula, penganiayaan orang-orang Kristen, dan “Kemenangan” Kekristenan.

1. Penyebaran Kekristenan

Menurut Aland, jika kita ingin belajar sejarah penyebaran Kekristenan di dalam periode mula-mula, kita memiliki hanya satu dokumen – Kisah Para Rasul dan membandingkannya dengan surat-surat Paulus. Para sarjana kontemporer, khususnya di Jerman, didominasi oleh “skeptisisme tak terkalahkan” (invincible skepticism) ketika mereka menafsirkan Kisah Para Rasul. Hal ini dibenarkan oleh Aland, bahwa Kisah Rasul bukanlah sebuah buku sejarah di dalam pengertian modern, melainkan laporan penyebaran Kekristenan di periode mula-mula. Tetapi Aland yakin bahwa “skeptisisme tak terkalahkan” ini melangkah terlalu jauh – dengan kata lain, ini bukan secara meluas dibagikan di luar negara-negara yang memakai bahasa Jerman – dan bahwa paling sedikitnya di antara pekerjaan dari tipe ini – untuk kembali pada apa yang telah kita sebutkan terdahulu – Kisah Para Rasul memiliki sebuah perbedaan secara menyeluruh sejarah pendek dari pada yang sering kita percayai. Menurut Aland, komunitas orang Kristen berada di Yerusalem, tetapi tidak membatasi kegiatan orang Kristen pada daerah di sekitarnya. Dalam Kis. 9:32 dilaporkan tentang perjalanan misi Petrus dari Lidda, Yope dan Kaisarea. Tetapi perjalanan Petrus itu bukanlah satu-satunya bukti bahwa sudah ada jemaat di Yerusalem. Bukti lain misalnya ketika Saulus menganiaya orang Kristen di Damaskus membuktikan bahwa sudah ada orang Kristen di Yerusalem (Kis. 9:2). Penyebaran Kekristenan itu dimulai ketika terjadi penganiayaan Stefanus di Yerusalem, sehingga banyak orang Kristen akhirnya keluar meninggalkan Yerusalem misalnya ke Palestina dan Siria. Dalam Kis. 11:26 dilaporkan bahwa di Antiokialah pertama sekali disebut orang “Kristen”. Dari Antiokia inilah Paulus semakin menyebarkan Kekristenan itu ke Siria dan Siprus dan Asia Kecil dan juga hingga ke Eropa. Paulus bekerja di Makedonia dan Akaya kemudian pergi ke Italia dan bahkan mungkin ke Spanyol. Menurut Aland ada dua observasi tentang pekabaran Injil yang dilakukan Paulus yang sangat penting. Pertama, Kisah Para Rasul adalah laporan singkat penyebaran Kekristenan. Kedua, pekabaran Injil ini didominasi oleh kegiatan presentasi Paulus. Tetapi juga kita tidak melupakan orang-orang yang melakukan Pekabaran Injil disamping Paulus dalam penyebaran Kekristenan pada abad mula-mula misalnya Barnabas, Lewi dari Siprus yang berkoloborasi dengan Paulus. Hal kedua yang kita harus tidak kita lupakan adalah bahwa Paulus tidak sendirian melainkan memiliki sekelompok pembantu di sekitarnya yang memberi masukan demi kesuksesan misinya misalnya Titus, dan Timotius. Untuk mengerti penyebaran Kekristenan itu lebih jauh dan mendalam, Aland juga mengutip pemikiran Adol von Harnack dalam bukunya Die Mission und Ausbreitung des Christentums in den ersten drei Jahrhunderten (“The Mission and expansion of Christianity in the first three centuries”) edisi keempat 1924. Menurut Harnack dalam sebuah peta dinampakkan penyebaran Kekristenan tahun 180, dia mengidentifikasi seluruh lokasi di mana laporan-laporan jemaat Kristen hidup pada waktu itu. Pertama kita temukan di beberapa tempat di Palestina, walaupun di sana dapat tidak diragukan bahwa arti jemaat Palestina secara pasti mengalami kemunduran setelah bencana alam di Yerusalem tahun 70 misalnya jemaat di Asia Kecil, Siprus, Kreta, Akaya, Makedonia. Peta kedua dalam pikiran Harnack adalah menggambarkan Kekristenan yang luas di sekitar tahun 325. Umat telah mencoba menentukan berapa besar persentase orang-orang Kristen di Kekaisaran Romawi pada saat Konsili Nicea. Ada yang memperkirakan di antara 8%, atau mungkin 12% atau bahkan 50%. Jika kita ingin menggambarkan banyaknya orang Kristen pada abad keempat menurut Harnack, kita harus melihat 4 kategori. Pertama termasuk daerah-daerah di mana Kekristenan itu hidup dan sejauh mana melampaui kebudayaan-kebudayaan lainnya. Kedua tergantung kepada daerah-daerah lain di mana orang Kristen telah menang secara pertimbangan jumlah populasi, dan ketiga jumlah tempat-tempat dan provinsi-provinsi di mana Kekristenan ditemukan secara meluas dan keempat termasuk tempat-tempat di mana Kekristenan menyebar sangat sedikit atau secara besar ditemukan. Kesimpulan yang diambil Aland dari fakta-fakta ini adalah pertama, kita tidak dapat menekankan, bahwa kekuatan Kekristenan di abad pertama adalah di Timur, bukan di Barat. Sebab dikemudian hari Barat memainkan peranan.

2. Struktur Sosial Gereja-Gereja Mula-Mula

Untuk mengetahui struktur sosial gereja mula-mula, Aland mengembangkan komposisi ilmu sosiologi jemaat mula-mula berdasarkan 1 Kor.1:26-29. Kita harus mengasumsikan bahwa gambaran yang dibuat Paulus di sini juga dipakai untuk jemaat-jemaat Kristen pada waktu itu. Paulus katakan bahwa Allah telah memilih apa yang bodoh di dalam dunia, apa yang lemah di di dalam dunia, apa yang rendah di dalam dunia dan yang dipandang rendah di dunia ini, walaupun hal ini bukan demikian. Kekristenan di periode mula-mula ditemukan di antara orang rendah – kita hampir dapat katakan “terendah” – kelas sosialnya. Di samping jumlah orang Kristen yang sederhana yang banyak, sejumlah orang yang merepresentasikan kelas menengah dan atas ditemukan juga di dalam gereja-gereja mula-mula. Kisah Rasul memberikan kita seluruh daftar nama penduduk dari kelas-kelas ini. Sebuah Jemaat seperti Roma – kaya, berpengaruh, luas dan banyak orang terkemuka di antara anggotanya – tidak dianggap aneh seperti yang telah disebutkan bahwa dalam kenyataan Kallistus terpilih menjadi uskup; jemaat memilih budak sebagai perlawanan kepada Hippolytus yang berpendidikan dan dari kelas atas. Struktur gereja pada gereja mula-mula tidak ada yang sudah baku, melainkan struktur gereja itu mengikuti struktur masyarakat di mana gereja itu hadir. Setelah mendalami struktur sosial gereja mula-mula, akhirnya Aland berkesimpulan bahwa kita tidak harus pergi ke ekstrim yang lain: umat berkeinginan untuk membaca gambaran Paulus sebagai sebuah bentuk proletar di dalam Kekristenan mula-mula. Hal ini salah. Kenyataan bahwa orang-orang Kristen kelihatan keseluruhan menjadi terendah dan terendah.

3. Posisi Perempuan di dalam Kekristenan Mula-mula

Menurut Aland, bukan berlebihan bila berbicara tentang posisi perempuan di dalam gereja. Bukan hanya gereja Katolik dan gereja Ortodoks tetapi juga gereja-gereja Protestan mengkhususkan laki-laki untuk memegang seluruh jabatan. Perempuan dikeluarkan dari mereka; tingkatan tertinggi perempuan di Katolik dan Ortodoks adalah menjadi seorang kepala biarawati; sedangkan di gereja Protestan menjadi “seorang pendeta perempuan”, sangat jarang. Di Gereja Katolik dan Ortodoks sudah pasti tidak akan berubah. Kendati pun di antara gereja-gereja Protestan kita tak dapat mengatakan bahwa laki-laki telah membuat itu sangat mudah bagi perempuan untuk mencapai pelayanan kantor. Hal ini benar bahwa hingga sekarang belum pernah memiliki seorang perempuan yang menjadi superintendent atau bishop, paling tidaknya di Eropa. Tetapi Gereja Reformed Francis jemaat-jemaat di Jerman yang pada akhir tahun 1979 memilih seorang perempuan sebagai moderator mereka. Tetapi jika kita melihat kehidupan sehari-hari gereja, kita mendapatkan perbedaan penekanan. Jika kita menghadiri sebuah ibadah “normal”, baik Protestan maupun Katolik dan Ortodoks, di jemaat-jemaat Kristen terjadi penonjolan perempuan. Dalam hal ini partisipasi perempuan di dalam gereja dinampakkan begitu besar dari pada indikasi pejabat. Di periode mula-mula partisipasi perempuan bukan hanya dinampakkan lebih besar dari pada laki-laki, sebagai mana yang dilakukan saat ini, melainkan dalam kenyataan sama besar, jika tidak lebih besar dari pada laki-laki. Sedikitnya dalam kelas atas lebih banyak perempuan menjadi Kristen dari pada laki-laki. Perempuan ini adalah perempuan yang serius dan tidak ingin menikah dengan suami penyembah berhala. Peranan perempuan sangat berpengaruh sekali pada periode mula-mula. Mereka mendampingi Yesus dalam pelayanNya. Kemudian gereja di Yerusalem mengadakan pertemuan di rumah Maria ibu Markus. Jemaat Kristen pertama di Eropah di rumah perempuan – Lidia.

4. Penganiayaan Orang-orang Kristen

Menurut Aland, kalimat pertama dalam gambaran penganiayaan adalah: penganiayaan adalah sama tuanya dengan Kekristenan, sama tuanya dengan gereja Kristen; kalimat kedua seharusnya menjadi: penganiayaan adalah sebuah komponen yang sangat diperlukan dari eksistensi gereja Kristen. Dalam bukunya Von den Konzilen und der Kirche (“Majelis Jemaat dan Gereja”), Luther pada tahun 1539 berbicara tentang jalan kita mengenal gereja. Dia menyebutkan satu per satu tujuh tanda: kita mengenal gereja Kristen (1) di dalamnya ada Firman Allah, (2) lihat di dalamnya ada sakramen baptisan, (3) ada sakramen Perjamuan Kudus, (4) ada pengampunan dosa, (5) ada pejabat gereja, (6) di dalamnya ada pemujian-pemujian, doa-doa, dan ucapan syukur, (7) kata Luther, “umat Kristen yang kudus adalah secara luar dikenal dengan memiliki rahasia salib kudus. Mereka harus memikul setiap kemalangan dan penganiayaan, seluruh pencobaan dan jahat … dengan kata lain menjadi seperti kepala mereka, Kristus.” Penganiayaan bukanlah hanya sama tuanya dengan Kekristenan melainkan penganiayaan juga sebuah tanda sejati dengan mana kita mampu mengenal gereja Kristen. Penganiayaan Kekristenan sama tuanya dengan gereja Kristen itu sendiri. Kebencian orang Yahudi adalah apa yang membawa Yesus kepada kematianNya. Yudaisme juga secara sedih menganiaya para rasul, sehingga Kekristenan memisah dari Yudaisme. Dengan demikian Stefanus dibunuh dan pengikutnya diceraiberaikan. Yudaisme juga berperang melawan Kekristenan atas dasar keagamaan. Di sisi lain, Kekristenan juga menganiaya Yudaisme dengan alasan keagamaan. Penganiayaan Yudaisme paralel dengan penganiayaan orang Kristen kepada orang penyembah berhala hingga penganiayaan negara datang ke permukaan dan menjadi ancaman eksternal pada gereja muda. Hingga abad ketiga penganiayaan ini masih sering terjadi. Di bawah Diokletianus penganiayaan berkobar kembali dengan ukuran yang lebih besar dan lebih kejam. Pada permulaan abad keempat, penyembah berhala melakukan pencobaan untuk memusnahkan Kekristenan. Pada tahun 303 penganiayaan mulai lagi. Pada tahun 311 setelah penganiayaan berakhir, Galerius penganiaya orang Kristen, harus menerima kenyataan dan Dekrit Toleransi Nikomedia. Dalam Dekrit ini kekaisaran mendeklarasikan bahwa orang-orang Kristen akan menikmati kebebasan dari penganiayaan. Dekrit ini tidak sama secara fundamental dengan Dekrit Toleransi Milan tahun 313. Di Barat penganiayaan besar nampak pada akhir dan bahkan sebelum Dekrit Nikomedia, sementara di Timur penganiayaan berlangsung walaupun setelah tahun 311.

5. “Kemenangan” Kekristenan

Ketika penganiayaan secara aktual berakhir (tahun 312 di Barat dan 324 di Timur), Konstantin tidak menemukan – sebagaimana mungkin diduga setelah penganiayaan-penganiayaan yang dahulu – gereja yang hancur dan putusasa. Benar bahwa penganiayaan telah mengambil banyak korban. Kita tidak dapat gambaran tentang persentase mereka yang masih tetap hidup ketika penganiayaan. Penganiayaan terbesar, khususnya di kota-kota besar, menghabiskan banyak orang Kristen. Penurunan besar juga pada tingkat pendeta, serta uskup, bagi keputusan-keputusan yang telah diaplikasikan pada para teolog sangat parah. Secara karakteristik, penganiayaan besar pada tahun 303 mulai di pusat kota Nikomedia ketika satu kompi tentara disuruh menghancurkan gereja besar Kristen yang melawan istana; mereka dengan segera meratakan gereja dengan tanah dan pada saat yang sama membakar manuskrip-manuskrip yang mereka temukan di sana. Tetapi penganiayaan tidak dapat menghancurkan kekuatan gereja; sementara, gereja Kristen dimurnikan dengan penganiayaan Diokletia dan penggantinya dan timbul dari hal itu dengan kekuatan-kekuatan baru. Kita lihat gereja setelah 312 atau 324 berkonfrontasi kepada kaisar dengan kepercayaan diri (self-confidence). Inilah salah satu aspek menurut Aland. Gereja dengan kepercayaan diri berhadapan pada kaisar. Tapi hal ini juga bentuk sebuah persekutuan dengan kaisar – dengan negara – yang berkembangan kuat dari dekade ke dekade. Ada beberapa alasan untuk hal ini kembali kepada Kekristenan mula-mula. Pada awal abad ketiga kehidupan orang Kristen bukan hanya keharusan loyal kepada negara tetapi juga keharusan setuju dengan negara. Dengan jelas orang Kristen tidak dapat menegaskan bentuk yang penyembah berhala berikan kepada negara dan kaisar yang menuntut balas dendam pribadinya – di dalam analisis akhir, milik negara pengertian pribadi (self-understanding). Kendati pun mereka menghormati penyembah berhala negara sebagai milik mereka. Mereka selalu berdoa untuk kaisar dan negara, walaupun ketika kaisar dan negara menganiaya mereka. Pernyataan positif Perjanjian Baru (PB) tentang negara harus dilihat melawan latar belakang penganiayaan oleh negara ini; dengan demikian mereka beruntung sebuah karakter khusus dan kepentingan khusus. Menurut Aland, masa baru itu dimulai ketika Konstantin menghentikan penghambatan, walaupun ia baru menerima Kristus pada tanggal 22 Mei 337. Hal ini juga terus dilanjutkan oleh anak-anaknya kendatipun Konstantius belum menerima Kristus hingga menjelang mati. Mereka meninggalkan praktek-praktek penyembahan berhala dan menikmati persekutuan dengan orang-orang Kristen. Ketika Julianus memerintah tahun 361, penyembahan berhala kembali dihidupkan. Pada hal Julianus sendiri sudah dibaptis secara Kekristenan. Dia menghidupkan kembali penyembahan berhala ini karena keluarganya dibunuh oleh Kontantius. Julianus kemudian menggabungkan ajarannya dengan filosopi kebijaksanaan kontemporer seperti Neoplatonisme. Masa penyembahan berhala ini berkahir ketika Julianus meninggal dan digantikan oleh Valens (364-378). Pada tahun 380 dikeluarkanlah Deklarasi Theodosius (379-395) yang menekankan ke-Tritunggal-an Allah Bapa, Yesus dan Roh Kudus. Melalui deklarasi ini penyembahan berhala dikeluarkan dari negara. Pada tahun 341 Konstantinus melarang orang mempersembahkan korban kepada berhala dan jika dilanggar maka mereka akan dihukum dengan hukuman mati. Kemudian Theodosius pada tahun 391-392 melarang penyembahan berhala dan memberi hukuman bagi orang yang memasuki kuil.

III. Sejarah Internal Kekristenan Mula-Mula

Menurut Aland, untuk menyebutkan sejarah gereja kuno yang berusaha untuk menghadirkan dalam satu jalan perkembangan dari permulaan hingga akhir abad keempat harus pertama mengalamatkannya sendiri pada perkembangan eksternal, tetapi kemudian harus dengan segera menjelaskannya dengan mempertimbangkan perkembangan internal Kekristenan. Hal ini jelas dapat dilakukan hanya dengan gaya-gaya luas, sehingga segala sesuatu dapat disebutkan hanya secara insidental atau sebagai isyarat; tetapi kita akan memasukkan segala sesuatu untuk membangun sebuah gambaran yang tidak hanya dapat dimengerti dan satu lagi kita berharap juga dapat menjadi mengesankan, tetapi satu hal lagi yaitu sempurna. Inilah beberapa alasan menurut Aland.

1. Pudarnya Pengharapan pada Akhir Zaman

Jika kita berusaha untuk meringkaskan perkembangan internal Kekristenan di dalam abad mula-mula, kita menemukan sebuah hal yang menentukan di dalam parohan kedua abad kedua. Abad kedua bukan hanya titik batas, tetapi di sini ada juga keputusan bagi perkembangan gereja Kristen. Dapat dikatakan, apa yang datang sebelum akhir abad kedua dapat disebut masa “prasejarah” (prehistoric) Kekristenan. Hingga pertengahan abad kedua, dan juga kemudian, orang-orang Kristen tidak tinggal di dalam dan untuk masa kini, melainkan mereka tinggal di dalam dan untuk masa yang akan datang; dengan demikian masa yang akan datang berasal dari masa kini, sehingga masa yang akan datang dan masa kini menjadi satu – masa yang akan datang secara jelas berdiri di bawah tanda tentang kehadiran Tuhan. Inilah pengharapan yang pasti dari generasi pertama bahwa akhir dunia bukan hanya dekat, tetapi hal itu sudah sesungguhnya datang. Inilah keyakinan yang pasti bukan hanya bagi Paulus, tetapi bagi seluruh orang Kristen pada masa itu, yakni mereka sendiri mengekspresikannya dengan kembali kepada Tuhan. Dalam 1 Tesalonika 4, kita melihat bahwa gereja sudah terganggu oleh fakta bahwa beberapa orang Kristen mati sebelum masa akhir datang. Aland membahas tentang pergumulan orang Kristen mula-mula tentang Parusia baik dari laporan Paulus (1 Tes. 4:16-18), dan Yohanes tahun 96 (Why. 22:12) yang mengatakan bahwa Tuhan akan datang segera. Namun dalam kenyataan kedatangan Tuhan tidak seperti apa yang diberitakan oleh para rasul. Hal ini mengakibatkan memudarnya iman orang Kristen mula-mula.

2. Organisasi Gereja Katolik Mula-mula

Presupposisi-presupposisi

Menurut Aland, pengorganisasian gereja Katolik mula-mula dipercepat oleh krisis yang dialami Kekristenan pada masa itu. Itu tentu tidak berarti bahwa krisis-krisis itu merupakan sebagai penyebab nyata bagi formasi gereja Katolik mula-mula. Agaknya, melalui kemunduran perhatian secara eskatologi, sebuah perkembangan terjadi ketika berhadapan dengan krisis-krisis internal, dalam membentuk pengakuan iman. Hal ini mengambil bentuk pasti pada pertengahan abad kedua, tetapi embrio mereka mulai pada waktu mula-mula. Ketika beberapa sarjana PB berbicara tentang “Katolik mula-mula di dalam PB”, mereka secara pasti berkata itu benar. Tetapi di dalam pelaksanaan – mereka meninggalkan bahaya kesalahpahaman, sebab kekurangan mereka secara frekuensi adalah sebuah presentasi terpercaya tentang bagaimana gereja Katolik mula-mula eksis dekat pada abad kedua.

“Kitab Suci” di abad kedua

Menurut Aland, pada awalnya banyak sekali gerakan-gerakan yang mencoba untuk menyatakan bahwa merekalah yang paling benar. Orang Kristen seharusnya dapat membedakan secara jelas dan mudah Kekristenan dari Gnostisisme, Marsionisme, Montanisme, dan kelompok-kelompok yang lain yang selalu dengan tegas menuntut pada saat itu bahwa ajarannya yang benar. Hal pertama yang tak dapat diragukan harus ditentukan ialah apa yang benar – dan apa yang tidak – dalam menyatakan Kitab Suci. Gnostisisme dan Montanisme menawarkan secara jelas sesuatu yang positif di dalam perbandingan dengan apa yang dipertimbangkan gereja tentang Kitab Suci pada masa itu: apakah ramalan-ramalan Montanus dan nabi-nabi dan kitab-kitab mereka sendiri, atau injil-injil Gnostik dan tindakan-tindakan Para Rasul. Marsion, sebaliknya, menawarkan yang negatif: dia menghilangkan tiga Injil; dia menghilangkan pernyataan-penyataan penting Lukas dan bagian-bagian panjang surat-surat Paulus. Jadi, hal ini secara esensial untuk menegaskan kanon PB, untuk menentukan apa yang dilakukan dan tidak dilakukan atau paling tidak untuk membangun kriteria yang pasti tentang apa yang dapat diterima di dalam kanon PB. Tanpa jalan lain kanon PB mencapai bentuk pada akhir abad kedua yang kita ketahui; hal ini tidak terjadi hingga abad keempat. Perdebatan mengenai Kitab Suci ini dijelaskan secara mendetail oleh Aland dengan memaparkan pendapat para ahli teologi dan literatur seperti 1 Klemens. Persoalan yang dibahas juga ialah mengenai keaslian dari Injil dan isi dari PB itu sendiri. Aland juga mengutip pendapat Luther yang mengatakan bahwa PB adalah “proklamasi Kristus” (“Christum treibt”). Pada akhirnya Aland mengakui bahwa akan selalu ada usaha gereja dan Kekristenan pada setiap saat untuk mengadakan suatu perubahan. Misalnya sebelum 1933 disebut “godless movement” (Gottlosenbewegung); dan setelah 1933 gerakannya berbeda disebut “The German-Christian movement” (Deutschglaube). Keaslian kanon Perjanjian Baru Menurut Aland, kesatuan kanon PB yang terdiri dari 27 buku itu pada awalnya tidak ditemukan pada gereja mula-mula. Kesatuan kanon PB ini baru mencapai tahap kesempurnaan pada akhir abad keempat. Dan untuk mencapai kesatuan kanon ini harus mencapai tujuh tahapan. Perkembangan tahap pertama ialah pada saat antara Paulus dan tulisan-tulisan tua Bapak-bapak Gereja pada permulaan abad kedua. Perkembangan tahap kedua dicirikan oleh tulisan-tulisan Bapak-bapak Gereja kemudian dan Justinus sekitar tahun 150. Sekitar tahun 150 berlangsung perkembangan tahap ketiga di mana kanon sudah mulai dibentuk. Empat Injil sudah disusun dan surat-surat Paulus diterima namun belum bisa dipergunakan. Sekitar tahun 200 perkembangan tahap keempat keempat Injil sudah lengkap dan surat-surat Paulus sudah bisa digunakan dalam ibadah. Perkembangan tahap kelima dimulai dari memasuki abad ketiga hingga permulaan abad keempat. Surat 1 Petrus, 1 Yohanes diterima sejajar dengan Injil dan surat-surat Paulus. 2 Petrus dan 2 dan 3 Yohanes, Yakobus dan Yudas diusahakan untuk diterima. Perkembangan tahap keenam mulai pada tahun 350 hingga permulaan abad kelima. Dalam tahap ini sebenarnya kanon PB sudah diterima oleh gereja-gereja, namun masih memperbincangkan pendapat Athanasius, Hieronimus dan Augustinus. Dan tahap ketujuh keduapuluh tujuh buku telah diterima oleh gereja-gereja kendati pun masih terus diperdebatkan. Tahap ketujuh ini terlihat dengan jelas ketika kita melihat gereja Yunani. Aturan Iman Jika kita mengikuti proses formasi kanon secara mendetail, kita dapat dengan keras menghindari anggapan bahwa abad kedua sungguh tidak membutuhkan sebuah kanon. Perkataan-perkataan ini paradoksal. Tetapi jika kita sekali membaca tulisan-tulisan pada masa itu di dalam konteks mereka, pengaruh ini hampir tidak bisa dihindari. Ketika kita lihat seruan akhir ilmu teologi yang dapat dipertanggungjawabkan untuk menerima tulisan-tulisan yang dapat diperdebatkan ke dalam kanon, apa yang kita temukan adalah norma iman, aturan iman (the regula fidei, the regula veritas, the canon aletheias). Melawan aturan iman, regula fidei ini, semuanya telah diukur, termasuk tulisan-tulisan perkembangan PB. Apakah salah satu dari bilangan sirkulasi tulisan-tulisan di bawah nama rasul secara langsung dapat diterima oleh gereja adalah akhirnya diputuskan dengan apakah isinya disetujui dengan kanon ini, dengan regula fidei. Regula fidei berhubungan dengan Kitab Suci dan bertumbuh dari Kitab Suci dan diterima sebagai ringkasan iman yang dimiliki oleh gereja. Tradisi Rasuli dan Keuskupan Monarkial Menurut Aland, regula fidei adalah sangat penting di dalam gereja pada abad kedua untuk menentukan apakah sebuah organisasi baru gereja atau sebuah kelompok dapat disebut sebagai orang Kristen. Itulah cara untuk menunujukkan kepada keaslian kelompok tersebut. Sekali lagi presupposisi untuk hal ini adalah revisi kesadaran mengenai eskatologi. Ketika pengharapan pada masa akhir mulai memudar, umat mulai berpikir secara sejarah. Mereka mulai memperhatikan sejarah mereka sendiri. Mereka tidak hanya dapat merencanakan masa yang akan datang, tetapi untuk melihat mereka sendiri dan usia mereka sebagai kesinambungan masa lampau. Setiap gereja kembali memperhatikan tradisi rasul dan atau paling sedikit para pendahulu mereka misalnya dengan sejarah para pendiri gereja mereka mulai dari Kisah Para Rasul dan Surat-surat Paulus. Hal yang menarik juga ialah keuskupan monarkial yang begitu berbahaya, di mana jemaat menjadi milik pemimpin jemaat bukan sebuah komite. Komite tidak praktis, berbeda pendapat dengan yang lain.

3. Perkembangan Jabatan Imamat dan Struktur Hirarki

Aland berpendapat bahwa periode mula-mula tidak mengenal keuskupan secara monarkhial walaupun siginifikansinya memegang tuntutan-tuntutan yang penting. Ketika Paus Paulus VI dalam kata sambutannya pada Sidang Raya Gereja-Gereja Se-Dunia berkata, “Aku adalah Petrus”, pernyataan ini terutama adalah ungkapan simbolik dan tidak berhubungan dengan realita sejarah. Petrus meninggal di Roma, tetapi Petrus tidak pernah menjadi uskup di kota itu dan secara pasti bukan uskup secara monarkhial. Di abad pertama dan permulaan abad kedua, Gereja Roma dipimpin oleh sekelompok presbiter. Kita tidak bicara banyak tentang sebuah suksesi kerasulan, di mana Petrus meninggalkan jabatan keuskupan dengan lambaian tangan. Ide ini adalah hasil dari abad kedua ketika ide suksesi keuskupan yang tak dapat dielakkan dibangun dari konsep atau persyaratan dari tradisi keuskupan. Kita mengenal dua tipe jemaat yakni jemaat Paulus dan Kristen Yahudi non-Paulus. Sebagai pimpinan jemaat Paulus ialah rasul-rasul yang menjadi saksi hidup Yesus dan kebangkitanNya seperti Yakobus, Petrus dan Yohanes. Bagi jemaat Paulus, Paulus menjadi pemimpin spritual tetapi jemaat menjadi anggota tubuh Kristus dan otoritas yang nyata bagi mereka adalah Roh Kristus. Sehingga dalam jemaat Paulus kita temukan pelayan kharismatik rasul-rasul, nabi-nabi, dan guru-guru. Paulus hanyalah seorang rasul walaupun dia mengklaim dirinya sebagai pusat otoritas. Mengenai nabi-nabi tidak bisa didapat informasinya. Sedangkan guru-guru kita temukan dalam permulaan Kekristenan baik sebagai individu dan pengajar dalam sekolah katekisasi di Aleksandria. Didache adalah sebuah tata gereja yang ditulis sekitar tahun 100-200 yang di dalamnya akan terlihat bahwa telah terjadi penurunan pelayan kharismatik itu sendiri. Kemudian Aland menggambarkan perkembangan selanjutnya para pelayan kharismatik ini seperti presbiter, bishop dan diakon. Presbiteros mungkin pertama kali adalah gelar kehormatan bagi orang yang berbalik di dalam jemaat. Episkopoi (“bishop”) dan diakonoi (“diakon”) adalah tenaga pelayan suka rela bagi kehidupan jemaat. Namun perkembangan selanjutnya gereja mengalami kekurangan para pelayan. Tidak ada lagi para rasul, nabi-nabi dan guru-guru. Tidak ada lagi yang melayani Perjamuan Kudus. Maka timbullah masa transisi di mana ‘officeholder’ memegang peranan hingga ke ‘ficeholder’. Berdasarkan laporan 1 Klemens jemaat di Roma kemudian membuat tiga jabatan yaitu episkopos, presbiteros, dan diakonos. Namun tugas administrasi jemaat dipegang oleh officeholder. Perkembangan selanjutnya terlihat dalam surat Igantius antara tahun 110 dan 120 yang menampakkan kerajaan keuskupan di mana sebuah jemaat dipimpin oleh uskup dan officeholder hanya sebagai bawahan. Perkembangan selanjutnya adalah bahwa kerajaan keuskupan itu makin dipersempit lagi dengan adanya pemimpin provinsi gereja sehingga terbentuklah uskup Demetrius di Aleksandria sekitar tahun 200.

4. Tulisan-tulisan pada Periode Awal

Adalah tidak mungkin untuk berurusan dengan sejarah internal Keristenan mula-mula tanpa memasukkan tulisan-tulisan, yang adalah sumber-sumber eksklusif bagi penyataan-pernyataan mengenai abad pertama yang menjadi fundasi-fundasi gereja di abad kemudian. Untuk mengerti hal ini Aland membicarakan hubungan antara Timur dan Barat, para penulis di sekitar abad pertama serta perkembangan literatur itu sendiri. Hubungan Antara Timur dan Barat Menurut Aland, dalam penulisan PB itu sendiri ada yang menganggap bahwa itu ditulis di Barat, seperti Markus, Lukas, Kisah Para Rasul, Ibrani, dan 1Petrus yang lain di tulis di Timur. Baik Timur maupun Barat sama-sama memiliki tulisan-tulisan. Di Timur misalnya ada Acta Petri (Acts of Peter”) dan Acta Pauli (“Acts of Paul”), Epistula Apostolorum (“Epistle of the Apostles”). Orang Kristen di Barat juga membuat apokrif misalnya Stoic Seneca yang berhubungan dengan Paulus. Dari Timur muncul beberapa teolog misalnya Quadratus (sekitar 130) dari Asia Kecil, Aristides, dari Atena; Theophilus yang bekerja di Antiokia; Athenagoras juga dari Atena dan Melito dari Sardis. Begitu juga dari Barat misalnya Justinus dan atau juga Tatianus. Namun perlu juga diketahui bahwa pada abad ketiga teolog-teolog dari Barat ini berasal dari Timur misalnya Hippolytus. Kemudian sekitar tahun 180 Ireneus yang bekerja sebagai uskup Gaul diduga berasal dari Asia Kecil. Dengan demikian Aland benar-benar memaparkan bahwa hubungan antara Timur dan Barat tidak bisa dipisahkan dan saling berkaitan erat. Para Penulis Untuk menghempang dan melawan ajaran Gnostisisme, Marcion, dan Montanisme, menurut Aland setidaknya ada tiga nama yang membuat tulisan membantu gereja pada waktu itu yakni Tertullianus, Irenaeus, dan Hippolytus. Irenaeus menulis kira-kira tahun 180, Tertullianus kira-kira tahun 200, dan Hipplytus pada permulaan abad ketiga (meninggal mungkin 235). Ketiga orang inilah yang pertama pelawan-pelawan bidah. Perkembangan Literatur Gereja Mula-Mula Dalam bukunya ini Aland memaparkan perkembangan literatur gereja mula-mula dengan munculnya para apologet seperti Julianus, Origenes, Laktantius, Eusebius, Augustinus dan juga Tertullianus. Dan tulisan-tulisan apologet mereka itu akhirnya memunculkan rumusan dogma.

IV. Sejarah di Antara Umat

Dalam bagian ini Aland semakin menganalisis sejarah Kekristenan itu lebih khusus lagi yakni sejarah disekitar orang-orang Kristen itu sendiri. Bagian ini dimulai dengan melihat konflik yang terjadi pada awal periode, melihat keadaan Roma dan Asia Kecil, membahas pemikiran para apologet Kristen pada gereja mula-mula seperti: Origenes dan Demetrius, Hippolistus dan Kallistus, Cyprianus dan Stepanus, juga membahas tentang Roma dan Konstantinopel sebagai pusat Kekristenan mula-mula, serta membahas tentang perdebatan Arius dan Kaum Donatis.

1. Konflik pada Awal Periode

Konflik yang terjadi pada awal periode ini adalah mengenai Origenes. Origenes memperoleh kelengkapan ilmu teologi secara unik. Jika kita membaca presentasinya, yang disajikan Eusebius di dalam buku keenam dari sejarah gerejanya, kita akan secara mendalam penekanan bukan hanya dengan kesempurnaan ilmu teologi Origenes tetapi juga dengan kepribadiannya, imannya, dan karakter moralnya. Origenes, salah satu di antara umat pada masanya, punya modal cukup untuk menjadi Santo (orang suci). Namun demikian, gereja di negeri asalnya mengutuk dia selama hidupnya; dan gereja kembali memecat dia pada masa Justinus. Luther mengutuk Origenes dengan alasan teologis. Gereja pada masa Justinus tidak menghukum Origenes untuk alasan teologis, tetapi dengan alasan-alasan kekuasaan politik. Peristiwa ini bukan hanya terjadi sekitar tahun 230 di Aleksandria tetapi di daerah lain hingga permulaan abad ketiga namun juga yang terbesar pada permulaan Kekristenan itu sendiri.

2. Roma dan Asia Kecil

Asia Kecil adalah asal gereja pada periode mula-mula. Di sisi lain, gereja Roma juga sangat penting. Namun pada zaman Petrus dan Paulus bekerja Roma menjadi pusat gereja. Gereja Roma juga membantu gereja lain dalam kesulitan finansial sejak periode mula-mula seperti Korintus, Mesir, Kartage dan tempat-tempat lainnya. Menurut Aland yang perlu kita perhatikan adalah baik Roma maupun Asia Kecil pada abad kedua saling membangun opini sendiri menjadi pusat Kekristenan. Konflik pertama terjadi lebih awal, ketika Polikarpus mengunjungi Roma sekitar tahun 150. Selama kunjungan ini konflik terjadi atas perbedaan perayaan Paskah. Dan hal ini terulang kembali pada tahun 190.

3. Origenes dan Demetrius

Dalam buku ini Aland memaparkan perseteruan antara Origenes dengan Demetrius. Bishop Aleksandria sangat bergembira bahwa Origenes yang adalah direktur sekolah katekisasi dapat mengajar di Palestina karena pada tahun 216 uskup Kaisarea meminta dia mengajar di Yerusalem. Namun ketika Demetrius mempelajari pengajaran Origenes di Palestina, Demetrius menyurati uskup bahwa Origenes bukanlah imam oleh karena itu tidak memiliki kuasa untuk mengajar di gereja. Akhirnya tahun 230 Origenes ditahbis menjadi imam di Kaisarea sehingga dia telah berhak mengajar di gereja. Namun Demetrius bereaksi degan membuat surat ke synode Aleksandria dan synode orang Mesir. Synode Aleksandria memenuhi permintaan Demetrius sehingga Origenes dikeluarkan dari gereja Mesir, tetapi tidak mengeluarkannya dari jabatan penatua. Akhirnya Demetrius membuat surat ke synode nasional yang meminta agar Origenes dipecat dari direktur sekolah katekisasi dan mencabut tahbisan imamnya sebagai penatua. Alasan yang Demetrius berikan adalah tidak cukup untuk menjelaskan aksinya. Dia katakan bahwa Origenes tidak dapat memegang jabatan imam karena dia tidak mememnuhi tuntutan kesempurnaan tubuh seperti yang dirinci dalam Buku Imamat.

4. Hippolitus dan Kallistus

Dalam paparan ini Aland kembali menjelaskan perseteruan antara Hippolistus dan Kallistus. Seharusnya secara struktur sosial Hippolistuslah yang pantas menjadi uskup namun kenyatannya jemaat memilih Kallistus sebagai bishop di Roma. Gereja Roma sangat selektif dalam memilih Kallistus sebab menurut mereka dialah yang pantas dan yang dibutuhkan gereja untuk memimpin mereka kendatipun dia dulunya adalah seorang budak.

5. Cyprianus dan Stefanus

Pada bagian ini Aland menjelaskan beberapa perbedaan teologi dan pemikiran antara Cyprianus dan Stefanus. Aland juga menuliskan bahwa terjadi skisma gereja antara Kornelius di Roma dan Cyprianus di Kartago. Seorang uskup menghukum orang yang berdosa dan seorang lagi mengampuni mereka. Ketegangan ini akhirnya tidak berakhir. Permusuhan ini terus berlangsung kepada pengganti Kornelius yaitu Stefanus yang membahas keabsahan baptisan yang dilakukan oleh para bidah. Cyprianus menjawab bahwa orang yang berbalik seharusnya dibaptis. Dengan demikian benarlah apa yang dikatakan: Extra ecclesiam nulla salus (Di luar gereja tidak ada keselamatan), sehingga sakramen di luar gereja tidak sah. Namun Stefanus tidak menyetujui hal ini dan bahkan dia menyatakan bahwa baptisan tidak harus diulang bagi setiap orang yang kembali dari perpecahan gereja.

6. Roma dan Konstantinopel

Dalam bagian ini Aland membicarakan pusat gereja. Di antaranya adalah sebuah periode selama pusat kekaisaran dipindahkan ke Timur, sehingga Romawi dan Barat nampaknya diabaikan. Di bawah orang Diokletia, kekaisaran telah diperintah dari Timur. Ketika Konstantin mendirikan pusat ibu kota baru Konstantinopel di Timur, hal ini sangat keras membangun sebuah persaingan secara politik dengan ibu kota lama, Roma. Untuk alasan ini, beberapa orang merasa bahwa posisi Roma di dalam gereja lemah selama masa Konstantin.

7. Perdebatan menyangkut Arius dan Kaum Donatis

Aland juga mencatat bagaimana perdebatan antara Arius dan kaum Donatis. Jika kita sederhanakan, kita dapat katakan bahwa perdebatan Arius disebabkan hanya pemisahan diri Arius sendiri dari partai radikal dan pergi ke gereja besar. Ketika dia bergabung dengan partai Melitius, Arius membuktikan bahwa dialah yang memiliki iman yang benar. Dan ketika dia kembali ke gereja besar dia memulai teologi yang radikal. Sejak itu mulailah terjadi perlawanan kepada Arius. Sementara bagi kaum Donatis perdebatan terjadi dari faktor non teologis. Misalnya Uskup Mensurius di Kartago memiliki seorang musuh yakni seorang wanita kaya dalam jemaatnya yang bernama Lucilla. Sebelum menerima Perjamuan Kudus, dia suka mencium patung orang martir.

V. Masa Konstantinus dan Akhir Sejarah Kekristenan Mula-Mula

Bagian ini adalah paling terakhir dalam pembahasan permulaan Kekristenan menurut Aland. Di sini kita akan melihat bagaimana sikap dan reaksi kaisar Konstantinus terhadap Kekristenan. Dan akan kita lihat juga uraian yang cukup mendalam tentang Monastisisme. Kemudian Aland juga kembali membahas perdebatan pengikut Arius tentang Kristologi. Dan pada bagian terakhir akan diuraikan tentang organisasi dan perpisahan gereja serta perseteruan pengikut Augustinus dan Pelagius.

1. Kaisar Konstantinus dan Kekristenan (Hubungan Gereja dan Negara)

Tindakan Konstantinus di dalam pertikaian mengenai orang Donatis dan Arius secara jelas menunjukkan bagaimana kekaisaran berpartisipasi bukan hanya secara luarnya saja, melainkan secara langsung di dalam kejadian-kejadian di dalam gereja Kristen. Kendatipun secara enggan, dia setuju pada permintaan orang Donatis, pertama satu synode bishop, kemudian kedua yang berhubungan dengan keputusan kekaisaran. Di dalam konteks ini, dia membuat deklarasi yang mutlak: “Mereka bermohon kepada penghakimanku, tetapi saya menunggu penghakiman Kristus”. Kalimat ini tidak seharusnya ditafsirkan seolah-olah Konstantinus berbicara tentang penghakiman Kristus atas dirinya sendiri. Lebih jauh ia bermaksud – ini adalah jalan ringan yang menyisihkannya, tetapi hal ini masih terus berlangsung cukup jauh – bahwa dia mengharapkan penghakiman Kristus tentang perselisihan yang berasal dari pertemuan synode. Kristus akan berbicara melalui synode ini; Konstantin akan menghakimi berdasarkan keputusannya. Dia pertama berusaha membimbing perlawanan orang Arius dengan bujuk rayu, dengan mengirim surat kepada yang termasuk di dalamnya, dan akhirnya dengan pertemuan Konsili Nicea tahun 325. Kekaisaran berpartisipasi secara pribadi. Tidak hanya menampakkan diri dalam sidang namun berpartisipasi dengan sengaja dan memasukkan otoritasnya dalam penerimaan pengakuan konsili. Pengakuan yang diputuskan adalah homoousios – deklarasi bahwa Bapa dan Anak adalah sama. Dari semua penjelasan Aland ini dapat disimpulkan bahwa peranan Konstantin sangat besar bagi kehidupan orang Kristen pada saat itu, kendati ada tantangan dari Eusebius yang mempertanyakan keaslian Vita Constantini (“Kehidupan Konstantin”). Eusebius mengatakan bahwa Vita Constantini adalah palsu.

2. Monastisisme

Dalam membahas Monastisisme ini Aland mengutip buku bacaan tentang Vita Antonii (“Kehidupan Anthonius”). Dalam buku ini terlihat gambaran kehidupan Anthonius sahabat Athanasius. Di dalamnya dijelaskan: pertama, para eremit tinggal dekat desa-desa kecil. Tetapi bagi Anthonius hal itu belum cukup; dia pergi jauh dan jauh dari masyarakat sebab dia lebih suka tidak memiliki sesuatu untuk melakukan bersama mereka. Petapa percaya bahwa dia mampu tinggal hidup benar hanya jika dia bebas dari setiap orang dan segala hal. Kemudian kita dapat katakan, petapa dapat berbahagia atas siapa saja yang tidak mengunjunginya. Petapa percaya pada dunia dan menjauhkan mereka dari kenyataannya, kehidupan spiritual. Lebih dalam lagi ke dalam padang gurun pelarian para emigran, oleh karena itu, semakin banyak menjadi mempraktikkan askese mereka, hingga kita melihat konsekuensi akhir di dalam patung orang-orang suci pada abad kelima. Di dalam patung ini ditemukan sebuah podium hanya beberapa yard kuadrat ukurannya. Di sini para asket menghabiskan hidup mereka memuja Allah. Hal yang mengherankan adalah bahwa fenomena ini tidak tampak pada kekristenan pada waktu itu. Agaknya, para asket ini, mulai dari para eremit ke patung para orang suci, tidak lain merupakan objek kemajuan bagi kehidupan orang-orang Krsiten di dunia pada waktu itu. Orang-orang Kristen dan gereja memandang kehidupan eremitik sebagai perbuatan yang seolah mengalami sendiri pada yang mana mereka menakjubkan, tetapi yang juga mengijinkan mereka puas dengan mereka sendiri dan kemudian mulai lagi kehidupan normal mereka. Kekuatan Monastisisme pada saat itu adalah ekspresi kekuasaan kekuatan yang diakibatkan luka perasaan pada gereja yang secara bertahap pada mulanya untuk menghilangkan kekerasan aslinya.

3. Pengikut Arius dan Perdebatan Kristologi

Untuk membahas perdebatan ini lebih dalam Aland menyinggung beberapa pendahuluan yang melatar belakangi perdebatan itu kemudian membahas tentang perdebatan tentang ke-Tuhan-an Kristus dan perdebatan tentang kemanusiaan Kristus. Catatan Pendahuluan Sebagaimana pertimbangan Arian dan perdebatan-perdebatan Kristologi, beberapa kata-kata pendahuluan yang bisa kita catat menurut Aland adalah: pertama adalah langsung kepada dari siapa perdebatan-perdebatan ini sering menjadi isu aktual kehidupan gereja pada abad keempat dan kelima. Orang Arian dan perdebatan-perdebatan Kristologi sering didiskusikan sehingga membuat ini kelihatan bahwa tak ada sesuatu yang sedang terjadi kemudian, sementara kebenaran adalah bahwa di sisi lain argumen-argumen ini kehidupan gereja berlangsung di dalam keseluruhannya – ibadah, doa, penafsiran Alkitab, dan khotbah – dan tulisan-tulisan teologi pada saat itu tidak begitu dicurahkan oleh mereka sendiri secara khusus tema ini, serta ketika dialamatkan kepada orang Arian atau perdebatan Kristologi. Kedua: ada selalu bahaya tentang pandangan perdebatan-perdebatan ini di dalam kesalahan ringan ketika orang, unsur seluruh-terlalu-manusia (all-too-human) ditempatkan begitu banyak di bagian depan. Ketiga: orang yang memandang Arian dan perdebatan-perdebatan Kristologi seolah-olah mereka hanya berjanji dengan defenisi-defenisi teologi akan juga gagal untuk mengerti perseteruan ini. Keempat: Di dalam buku-buku sejarah gereja, perdebatan Arian biasanya dimulai pada abad keempat. Hal ini tidak benar. Konflik ini dimulai agaknya pada abad kedua, pada saat ketika umat tidak begitu lama mampu melakukan pernyataan PB tentang Trinitas. Kelima: perdebatan Arian menerangkan defenisi Trinitas. Perdebatan tentang ke-ilahi-an Kristus (Perdebatan Arian) Aland mengupas perdebatan ini dengan melihat perdebatan Monarkianistik di dalam PB dan Bapa-bapa gereja. Pernyataan Monarkianisme berusaha menjaga monoteisme. Allah adalah satu – sebuah prinsip dasar yang tidak dapat dikompromikan. Namun kesimpulan pada abad kedua adalah Kristologi Logos di mana Kristus digambarkan sebagai Logos yang berasal dari Allah. Kristologi Logos mengatasi Monarkianisme di kalangan teolog-teolog dan pelayan gereja dan bukan pada kaum awamnya. Aland juga memaparkan tentang Athanasius yang merupakan orang yang selalu bermusuhan dengan Arius. Athanasius banyak menulis tulisan yang melawan kelompok Arius. Dari beberapa tulisan itu, Aland menyimpulkan bahwa Athanasius adalah orang yang sungguh tertarik dengan ajaran bahwa Kristus sehakikat dan sama kuasanya dengan Allah. Bahkan Athanasius adalah dianggap pembela homoousios yang diakui pada Konsili Nicea 325. Banyak perdebatan juga tentang homoousios. Beberapa ahli mengatakan bahwa homoousios Nicea berasal dari Uskup Hosios dari Kordoba, bukan dari Konstantin. Aland berpendapat bahwa Hosios menghabiskan waktunya di penjara kekaisaran dan merupakan penasihat episkopal Konstantin tentang masalah teologi dan gereja namun dalam Konsili Nicea, pengaruh Hosios tidak kelihatan dalam pikiran Konstantin. Pandangan homoousios sendiri sebenarnya sudah dikenal pada parohan kedua abad ketiga yang menganggap homoousios sebagai standar kekudusan jemaat, dan standar orang Kristen awam di Mesir. Bahkan sebenarnya Tertullianus telah mempergunakan kata itu untuk mengungkapkan ide, bahwa Bapa dan Anak itu berasal dari satu substansi. Semasa Konstantin pemahaman homoousios dan Trinitas telah diterima sebagai rumusan teologi yang dianut umat. Namun setelah Konstantin meninggal, perdebatan ini mulai timbul kembali. Perdebatan “ousia” dan “hypostatis” menjadi topik yang hangat diperdebatkan. Perdebatan ini akhirnya diputuskan pada tahun 381 di mana homoousios bukan diartikan sebagai “of identical essence – esensi yang identik” (wesenidentisch) atau “of the same essence – esensi yang sama” (weseneins) melainkan diartikan sebagai “of one essence – satu esensi” (eines Wesens). Perdebatan mengenai Roh Kudus belum dapat diselesaikan hingga akhir periode perdebatan Arius. Perdebatan tentang ke-Manusia-an Kristus (Perdebatan Kristologis) Menurut Aland, ke-ilahi-an Kristus sudah dapat diterima dan dimengerti, namun mengenai kemanusiaan Kristus masih terus diperdebatkan. Kaum Monofisit (mia physis = satu tabiat) menekankan kemanusiaan dan ke-Tuhan-an telah bersatu di dalam Yesus. Manusia Yesus tercakup di dalam Kristus Allah. Kelompok Arian, Monarkianisme dan Monofisitisme terus mempersoalkan ke-ilahi-an Kristus. Di kalangan Arian sendiri mereka juga belum sepaham. Ada yang berpendapat bahwa kesatuan ke-Allah-an dan ke-Manusia-an hanya dalam penebusan-Nya tetapi mereka menemukan kesulitan ketika menggambarkan dua hakikat yang disatukan dalam seorang pribadi. Yang lain beranggapan bagaimana mungkin dua hakikat bersatu bersama di dalam satu pribadi? Namun ada bahaya yang harus dijaga dari pihak Doketisme yang mengatakan kemanusiaan Yesus yang berpura-pura. Tertullianus sendiri telah memberikan pemahamannya tentang unitas substantiae – kesatuan substansi dan coniunctio duarum personarum – kesatuan dua pribadi di dalam satu substansi. Pendapat Tertullianus ini akhirnya diterima dalam Kosili Kalsedon 451 dengan sebuah rumusan yakni: Videmus duplicem statum, non confusum, sed coniuntum – Kita lihat status rangkap dua, tidak bercampur, melainkan bergabung. Namun pendapat ini mendapat kritikan dari kelompok Apollinaris dari Laodekia yang mengatakan: “Tidak mungkin Kristus manusia sempurna, sebab manusia memiliki dosa, dan Kristus tidak berdosa. Kritikan dari Nestorius tahun 428 ialah tentang kedudukan Maria sebagai Bunda Allah (theotokos) atau Bunda Yesus (anthropotokos). Menurut Nestorius, “Bagaimana mungkin manusia Maria melahirkan Allah?” Manusia hanya bisa melahirkan manusia dan manusia tidak bisa melahirkan Allah. Kemudian pernyataan Cyrilius yang dibesar-besarkan oleh Eustathius (Eutyches) mengatakan: “Sebelum penyatuan dua habitat, saya mengenal dua habitat, tetapi setelah penyatuan hanya satu. Daging Tuhan tidak sama dengan tubuh kita.” Akhirnya pada “Sinode Perampok” di Ephesus 449, Eustathius dan Diodorus (Dioscurus) dipecat karena Diodorus memaksa agar monofisitisme dari Eustathius diakui sebagai ajaran ortodoks. Konsili keempat oikumenis di Kalsedon tahun 451 mencapai suatu keputusan kompromi dengan bunyi: Kristus bukan bertabiat satu dan bukan bertabiat dua, melainkan Ia “bertabiat dua dalam satu oknum”. Dalam Konsili Kalsedon ini, pertikaian diakhiri walaupun pemimpin gereja Timur menolak menandatangani keputusan ini. Setelah beberapa tahun mereka mencoba untuk memenangkan Monofisit ini namun gagal, akhirnya mereka meninggalkan gereja.

4. Pengorganisasian Gereja yang terpisah; Pertikaian Agustinus dan Pelagius

Monofisit berpisah dari gereja dan membentuk gereja sendiri seperti Gereja Koptik di Mesir dan Gereja Yakobit di Siria. Kendati pun demikian di gereja Timur itu sendiri terjadi perdebatan. Di bawah Justinus, hubungan gereja dan negara dicirikan dengan gereja dan negara digabungkan begitu dekat bahkan nampaknya sudah difusikan menjadi satu. Dalam pemisahan organisasi gereja ini Aland membahas tentang “Kekristenan kelas dua”. Pertama, ekspresi “Kekristenan kelas dua” itu sudah terlalu, dan kedua, Kekristenan seperti itu bukan hanya di Timur di mana kita menemukan apa yang disebut kemenangan “Kekristenan kelas dua”; itu juga terdapat di Barat. Pada abad kelima dan bahkan abad kemudian, Barat masih berpartisipasi aktif di dalam argumentasi teologi di Timur. Secara sederhana Augustinus mengatakan perbedaan keduanya adalah: Di Timur kita temukan teologi spekulatif (“theologia speculativa”), dan di Barat kita temukan teologi praktika (“theologia practica”). Dalam perlawanannya dengan ajaran Pelagius, Augustinus melahirkan pandangan teologinya tentang kehendak bebas, dosa turunan dan rahmat. Bahkan dia telah menuliskan ajarannya dalam buku 8 dari Konfesinya. Sementara Pelagius dan Coelestinus melawan ajaran Augustinus dan membuat keributan di Kartago. Pertikaian ini disampaikan kepada uskup Innocentius I namun tidak dapat diselesaikan, dan pada masa penggantinya Zosimus masalah ini dibicarakan lagi dan Zosimus lebih cenderung kepada Pelagianisme. Zosimus mengatakan bahwa Afrika Utara telah berbuat salah. Akhirnya, pada abad keenam, di bawah Paus Gregorius (590-604) perseteruan ini diakhiri. Ajaran Gregorius berdiri atas nama dan perlindungan Augustinus. Dengan demikian Augustinus memperoleh kemenangan atas musuh-musuhnya. Sehingga sejak saat itu gereja menerima ajaran Augustinus.

3. KEKRISTENAN ABAD PERTENGAHAN

Untuk melihat Kekristenan Abad Pertengahan, Aland membahas berdasarkan pembagian waktu atau juga wilayah misalnya Kekristenan Jerman Abad Petengahan , Kekristenan Katolik Abad Pertengahan , kemudian kesimpulan masa Abad Pertengahan Katolik dan Perkembangan hingga ke Ambang Pintu Reformasi .

I. Kekristenan Germanik Abad Pertengahan

Menurut Aland, pada abad ketujuh, Eropa Barat telah berada dalam kekuasaan suku-suku German. Perpindahan suku-suku German dijelaskan secara mendetail misalnya suku Visigoth di bawah Alarik pindah ke Italia untuk pertama kali tahun 401. Kemudian tahun 405 invasi suku-suku Jerman diulangi lagi dengan suku Ostrogoth, dan suku-suku lainnya. Untuk memahami Kekristenan Germanik Abad Pertengahan ini, Aland memulainya dengan Kekristenan di Jerman pada saat Perpindahan penduduk , Kekristenan di Frank , Skot-Iris dan Anglo-Saxon , Bonifatius dan Pembaharuan Gereja Frank , Masa Karolingian .

1. Kekristenan Kalangan suku-suku German pada saat Perpindahan penduduk

Untuk menelusuri Kekristenan di kalangan suku-suku German pada saat perpindahan penduduk ini, menurut Aland, kita harus melihat mengapa suku-suku German bertobat dan beralih kepada Kekristenan. Seluruh penduduk German sudah Kristen, kecuali suku Lombard yang masih militan dengan penyembahan berhala hingga permulaan abad ketujuh. Bagaimana Kekristenan datang ke suku-suku German dan apa motif-motif yang membuat mereka menerima Kekristenan? Aland menjelaskan bahwa awal masuknya Kekristenan ke German bermula dari orang-orang German yang dipenjarakan di Kekaisaran Roma. Sehingga ketika di dalam penjara dimungkinkan orang Jerman yang terpenjara itu dipaksa menerima Kekristenan. Misalnya di daerah Danube ada cerita tentang Ulfilas. Kakek dan neneknya di penjara perang yang ditangkap sebagai budak oleh orang Goth dalam sebuah kampanye di Kapadokia. Kakek, neneknya sudah Kristen. Putri mereka menikah dengan orang Goth, putri mereka itu adalah seorang Kristen sebab Ulfilas dibaptiskan pada saat anak-anak. Dia inilah bekas orang penjara Kekaisaran Roma yang menjadi Kristen, dan membawa Kekristenan ke German. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa orang German pertama adalah orang orang dari suku Goth. Dan akhirnya banyak orang yang menjadi Kristen seperti Visigoth di German. Perpindahan agama ini membangkitkan amarah dari pihak paganisme German. Ulfilas dan orang Kristen Gotik harus meninggalkan daerah suku-suku German mengungsi ke daerah Roma di mana orang Kristen berada. Penganiayaan yang dilakukan Atanarik (369) semakin membuat banyak suku-suku German berbalik kepada agama Kristen yang dipimpin oleh Fritigern (376). Hal yang kedua yang dilihat Aland dalam Kekristenan di German adalah iman penyembah berhala orang German. Dalam ulasannya ini memang tidak begitu dipaparkannya iman penyembah berhala itu di daerah German. Namun yang jelas Kekristenan itu datang ke German bukan dengan paksaan melainkan dengan bujukan damai. Dari kesaksian Augustinus misalnya kita mengetahui bahwa Ostrogoth masih penyembah berhala ketika mereka menyerang Italia untuk pertama kali tahun 405 di bawah Radagaisus. Namun tahun 488, ketika mereka memasuki Italia kembali di bawah Theodorius, mereka adalah pengikut Kristen Arian. Aland menjelaskan bahwa iman penyembah berhala tidak begitu bertahan lagi ketika Kekristenan masuk ke daerah German. Hal yang ketiga yang perlu diperhatikan dalam bagian ini adalah motif-motif pertobatan orang Jerman kepada Kekristenan. Aland mengemukakan beberapa motif yang membuat orang German menjadi Kristen. Pertama karena kesamaan budaya dan sejarah di kalangan suku yang menerima Kekristenan. Misalnya Ulfilas dari suku Visigoth akhirnya bisa membawa sukunya menjadi pengikut Kristen Arian karena kemampuannya untuk membahasakan secara langsung ajaran itu dalam budaya dan sejarah mereka. Kedua, motif politik. Hal ini mungkin ketika kita melihat sejarah Kekristenan di antara suku Visigoth. Athanarik dan Fritigern berada dalam posisi yang berlawanan. Athanarik dari iman penyembah berhala sementara Fritigern dari Kekristenan. Fritigern mencoba membujuk orang Visigoth menjadi Kristen agar dia dipandang di Kekaisaran Roma. Pemerintah Roma juga memberikan perlindungan kepada orang German yang sudah Kristen dan memberikan bantuan kepada mereka sementara penyembah berhala dibiarkan hancur. Ketiga, ada juga motif keagamaan. Bangsa German secara sadar dapat menerima Kekristenan. Misalnya ketika kerajaan Vandal dihancurkan, Gelimer raja terakhir dibawa sebagai tawanan ke Byzantium dan mereka membujuknya agar menerima Kekristenan. Artinya ada usaha untuk mengajak Gelimer menjadi Kristen dari sudut keagamaan. Hal yang terakhir yang diperhatikan dalam Kekristenan di German adalah struktur internal gereja-gereja Jerman. Struktur dan pola hidup suku-suku German berbeda sekali dengan penduduk Roma. Monastikisme banyak mengambil peranan dalam aturan German di mana para pendeta secara umum menikah. Memang Aland akui bahwa agak sulit menentukan yang mana organisasi gereja yang disebut gereja nasional kendatipun penganut Arian sangat banyak di German. German sendiri tidak berusaha menyatukan gereja di bawa ke suku-suku yang beraneka ragam itu untuk semakin dekat dan bersatu. Mereka membatasi diri mereka pada daerah kesukuan yang walaupun gereja-gereja di suku-suku yang berbeda itu dihubungkan dengan organisasi dan doktrin yang sama. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa gereja-gereja di German memiliki aturan sendiri-sendiri di dalam suku mereka masing-masing.

2. Kekristenan di Frank

Ada keunikan Kekristenan suku Frank ini, karena seluruh suku-suku German pada umumnya menganut Kekristenan Arianisme sementara mereka menganut faham Katolik. Kekristenan di Frank ini bermula dari pertobatan anak Childerik, Klovis menjadi Kristen Katolik. Pertobatan ini bagi sebagian kalangan sejarawan dan sejarawan gereja dianggap sebuah pertobatan dengan motif politik. Pernyataan ini menurut Aland tidak benar. Alasannya karena Klovis tidak memilih Kristen Arian. Padahal saudara perempuannya sendiri menikah dengan Theodorius seorang Arian. Dan Klovis sendiri selalu bermusuhan dengan Theodorius, misalnya ketika Klovis berhasil menginjili orang Jerman (Alemanni) dan Burgundia, Theodorius memblok sumber dana. Dan ketika Klovis berjuang melawan Visigoth, Theodorius mengirimkan tentara melawan Frank dan Burgundia. Ayahnya sendiri, Childerik menjalin hubungan yang baik dengan kekaisaran Roma dan juga dipengaruhi budaya Roma. Pertobatannya sangat dipengaruhi oleh istrinya, Clotilda. Klovis menerima Katolikisme sebagai bentuk Kekristenan yang dia yakini bukan karena perhitungan politik. Selanjutnya Aland membahas perkembangan aturan Frank setelah Klovis. Ekspansi kerajaan Frank setelah kematian Klovis tidak mengarah ke selatan atau barat tetapi ke arah timur. Anak Klovis menundukkan sisa-sisa suku-suku Burgundia, Thuringia, dan Jerman di daerah yang belum selesai diinjili ayahnya karena berkonsentrasi melawan Theodorius. Cucu Klovis, Theodebert, mengembangkan ke arah Italia. Perpindahan Theodebert ke Italia ini disebabkan karena masih persaingan/pertarungan di antara Ostrogoth dan Byzantium. Dan terakhir dalam bagian ini Aland melihat Gereja di dalam Kerajaan Frank setelah Klovis. Gereja Katolik di Kerajaan Frank berkembang menjadi bentuk gereja nasional. Rajanya disebut uskup, dipilih secara langsung dan dia memerintah atas umat. Memang kelemahan sistem ada, yaitu mengenai moral dari kerajaan Frank ini akhirnya rendah. Sistem seperti ini akan banyak menimbulkan masalah, baik di kalangan pelayan tahbisan dengan umat. Gereja tidak menjadi mandiri artinya tidak terlihat lagi pemisahan antara gereja dengan kerajaan.

3. Skot-Iris dan Anglo-Saxon

Menurut Aland, untuk melihat perkembangan gereja Skot-Iris ini pertama kita harus melihat Gereja Skot-Iris itu sendiri. Kekristenan ke Irlandia di bawa oleh Patrick yang hidup pada parohan pertama abad kelima. Pada permulaannya gereja di Irlandia ini sangat tertutup dengan dunia luar karena letak geografisnya yang dikelilingi lautan. Namun ada kekhususan Kekristenan di daerah ini, yakni sistem organisasi pelayanan bukan sistem keuskupan atau episkopal melainkan sistem kebiarawan yang menekankan kesalehan para rahib. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gereja di Irlandia didominasi oleh rahib-rahib gereja dan gereja biarawan yang saleh. Dengan sistem ini, gereja Irlandia memperluas penginjilan mereka ke daerah Skotlandia. Di Skotlandia, Columba mendirikan biara baru yakni di pulau Iona yang terkenal dengan ibu para biarawan. Dari tempat ini akhirnya semakin berkembang ke daerah pulau Orkney, pulau Shetland, Islandia dan akhirnya ke benua Eropa. Pulau Iona dan Luxeuil di pegunungan Vosges akhirnya menjadi pusat pendidikan dan pengutusan biarawan Skot-Iris di daerah Frank. Berbeda dengan Columbanus bersama dua belas sahabatnya yang melawan kepala biara dan memulai misi baru. Gerakan ini membawa sebuah pembaharuan di gereja Frank. Gereja harus menampakkan iman yang tangguh di dalam negara dan dunia ini. Uskup harus lebih menjadi seorang serdadu daripada gembala untuk melawan musuh-musuh internal di kalangan masyarakat kalangan atas. Columbanus dan saudaranya mendapat pengaruh yang luar biasa bahkan mereka membentuk gereja baru di dalam gereja Frank yang akhirnya memicu konflik gereja. Columbanus akhirnya dipenjarakan dan melarikan diri dari sana dan meninggalkan kerajaan Frank pergi ke Gregenz di Daau Constance dan meninggal pada tahun 615. Kedua adalah pertobatan Anglo-Saxon. Pada permulaannya masyarakat Anglo-Saxon adalah penyembah berhala. Pada tahun 596 seklompok rahib mendarat di bagian selatan Inggris. Setelah setahun, pemimpin rahib Augustinus melaporkan ke Roma bahwa pertobatan pertama Anglo-Saxon terjadi di Kent. Misi di Anglo-Saxon ini merupakan keputusan pribadi Paus Gregorius (590-604). Memang ada sebuah legenda tentang Kekristenan di Anglo-Saxon ini. Dari legenda itu terlihat bahwa Paus sangat memberikan perhatian yang mendalam bagi Anglo-Saxon sehingga dia membekali mereka dengan pendidikan katekisasi dan membaptiskannya dan menyuruh mereka kembali ke daerah mereka masing-masing yang dipimpin oleh Augustinus. Namun ada cerita lain yang mengatakan bahwa raja Kent telah menikah dengan seorang Kristen dari putri Frank sehingga dengan pernikahan ini maka Kent masuk menjadi Kristen. Namun yang jelas menurut Aland bahwa Kekristenan di Anglo-Saxon ini sangat erat kaitannya dengan misi Gregorius dari Roma. Lebih jauh Aland mengatakan setidaknya ada beberapa masa Kekristenan di Jerman yang dicirikan dengan pertama Ulfilas – dengan berdirinya gereja nasional Arian di Eropa, kedua dengan pertobatan Klovis ke Katolik – dengan berdirinya gereja nasional Frank, ketiga ditandai dengan kegiatan Skot-Iris – yang menekankan gereja biara, dan keempat Kekristenan Anglo-Saxon – di mana gereja Katolik diorientasikan ke Roma. Dan ketiga, permulaan misi Anglo-Saxon di benua Eropa di bawah Wilfrid dan Willibrord. Pelayanan Wilfrid sangatlah penting di gereja Inggris, walaupun dia kurang dikenal oleh gerejanya sendiri. Dia adalah uskup York. Ketika dalam perjalanannya ke Roma dia singgah di Frisia. Di sana dia sangat mengenal situasi Kekristenan di sana dan membuat langkah untuk menguatkan keberadaan jemaat dan pengembangan ke depan Kekristenan di sana. Dan tugas ini dilanjutkan oleh Willibrord, murid Wilfrid yang bertumbuh dan belajar di dalam biara di bawah bimbingan Wilfrid. Willibrord meninggalkan Inggris ke Irlandia mungkin berkaitan dengan kesulitan pengalaman yang dihadapi Wilfrid. Di Irlandia, dia mendengar kunjungan Wilfrid ke Frisia yang sangat membutuhkan pelayanan di sana dan dia memiliki keinginan untuk melanjutkan pelayanan itu. Keinginan Willibrord itu mendapat sambutan dari Pepin kemudian Willibrord meminta persetujuan negara ke Roma. Tetapi ketika ia kembali dari Roma, dia mempelajari bahwa sahabat-sahabatnya telah bekerja di pabrik. Kemudian kali kedua dia pergi lagi ke Roma atas petunjuk Pepin. Pepin berkeinginan agar Willibrord menjadi uskup kepala sehingga dia dapat memainkan peranan yang lebih hebat dalam penginjilannya dan membuat perkembangan bagi gereja Frank. Dan memang setelah kembali dari Roma Willibrord menjadi uskup kepala di Clement. Kemudian Willibrord dapat membangun kembali apa yang telah hancur dan membangun sesuatu yang baru mengembangkan Kekristenan, membuka biara di Thuringia di sekitar Gotha, Meimar dan di benteng Hamelburg di Saale.

4. Bonifatius dan Pembaharuan Gereja Frankish

Dalam membahas bagian ini Aland pertama melihat hidup dan kerja Wynfrith (= Bonifatius). Kita tidak banyak mengetahui kehidupan Wynfrith. Dia lahir sekitar 675 dari keturunan Saxon. Semasa kecil, dia tertarik menjadi biarawan. Dia seorang yang sangat cerdas yang menjadikannya seorang guru pada sekolah biara dan ditahbiskan menjadi seorang rahib. Namun dia meninggalkan Inggris dan menjadi seorang misionaris dan bekerja di Eropa Kontinen. Sebenarnya dia memiliki karir yang baik di gereja, namun semuanya itu dia tinggalkan demi menyebarkan Injil di tengah penyembah berhala. Tahun 716 dia memulai perjalanan pertamanya ke Frisia. Namun perjalanan ini sangat singkat dan menghasilkan sedikit tuaian, sebab penyembah berhala di Frisia telah dikuasai oleh tangan yang membingungkan setelah kematian Pepin. Sehingga Wynfrith kembali ke biara. Tetapi kegagalan ini tidak memadamkan semangat Wynfrith untuk melakukan tugas utamanya. Perhatian utamanya bukan lagi Frisia namun lebih mengarah ke daerah timur Jerman secara khusus ke Roma. Tugas misi ini diperolehnya dari Paus Gregorius II. Wynfrith mendapat nama baru yakni Bonifatius (Boniface = pekerja yang baik). Perjalanan pertama Bonifatius adalah ke Thuringia, kemudian ke Frisia (719) setelah kematian Radbod dan dia menolak pergi ke daerah Sungai Lahn dan Hesse. Bonifatius merekomendasikan agar Karel (Charles) Martel melanjutkan tugas misi itu di daerah Hesse. Dia juga pergi ke daerah Oak Thor dekat Geismar. Dari penginjilan ini dapat dikatakan bahwa Kekristenan di daerah itu telah mengakar kuat. Hubungan Karel Martel dengan Bonifatius sangat bagus dengan mendukung segala penginjilan yang dilakukan Bonifatius. Bahkan anak Karel Martel sendiri Carloman memilih menjadi biarawan dengan meninggalkan kekuasaannya demi keselamatan jiwanya. Bonafatius mengakhiri hidupnya di antara orang Frisia di mana dia memulai pelayanannya dan meninggal dunia pada tanggal 5 Juni 754 yang dibunuh oleh orang penyembah berhala. Kalimat terakhir yang dikatakannya adalah: Kuatlah di dalam Roh Kudus dan jangan takut. Kedua adalah permulaan hubungan antara Kepausan dan kerajaan Frank. Agaknya mula-mula pangeran Frank berkali-kali mengembangkan hubungan dengan Roma, misalnya: mengirimkan Willibrord ke Roma oleh Pepin untuk konsentrasi uskup kepala. Di bagian lain, paus menjalin hubungan dengan pemerintah Frank melalui bantuan pekerjaan penginjilan. Beberapa tahun kemudian, Paus Stepanus II (752-757) secara pribadi mengunjungi kerajaan Frank dan menggunakan gereja mendukung pemerintahan Pepin dengan permintaan agar pemerintah Frank membantu Stepanus II melawan Lombard. Hal ini juga sudah dilakukan pada masa Karel Martel. Hubungan kepausan dan pemerintahan Frank begitu akrab sehingga timbul pertanyaan, “Apakah motivasi paus dan raja? Motif paus sudah jelas: dia membutuhkan bantuan jika dia dan pemerintahannya dikecam dan dihancurkan. Sehingga dia mendekatkan diri kepada penguasa yakni raja Frank. Sementara motif raja adalah memberi penghormatan kepada paus dengan memberikan pemberian kepada paus baik bantuan material maupun bantuan pengamanan. Namun apakah ini yang menjadi motif raja Frank? Sebenarnya masih ada motif lain yang diinginkan oleh raja yakni agar daerah kekuasaannya makin meluas ke Italia.

5. Masa Karolingian

Bagian terakhir dalam Kekristenan Abad Pertengahan ini adalah masa Karolingian. Dalam bahasan ini Aland melihat beberapa hal penting yang terjadi pada masa Karolingian yakni: pertama, Kerajaan Karel Agung (Charlemagne). Setelah kematian Pepin tahun 768, kerajaannya dibagi pada anaknya Karel Agung dan Carloman dengan pembagian yang seimbang di daerah Romawi dan Jerman. Setelah memerintah menjadi raja, Karel Agung memfokuskan diri pada pengembangan kerajaannya. Selama 32 tahun (772-804) berperang melawan Saxon (Saxon ini terdiri dari empat suku: Engerian di Sungai Weser, Westphalian, Eastphalian dan Albingian di Utara). Keempat suku ini tidak pernah bersatu melawan kerajaan Frank. Perjuangan kerajaan Frank terhadap suku Saxon ini bukan hanya merupakan perjuangan politik saja tetapi termasuk perjuangan terhadap iman yang berbeda. Dalam perjuangan Frank melawan Saxon terlihat adanya pemaksaan misi dalam sejarah Kekristenan di Jerman. Setelah mengalami beberapa kali peperangan, maka pada tahun 777 suku Saxon dikuasai oleh Frank dan banyak suku Saxon berbalik menjadi Kristen dengan baptisan masal. Charlemagne merasa bangga akan prestasinya ini. Muncullah Capitulatio Saxonica (“Penyerahan Saxon”) yang diumumkan secara resmi. Bahkan ada peraturan yang harus dipatuhi yakni: Di mana pun gereja Kristen didirikan di daerah Saxon tidak boleh dihina melainkan harus dihormati melebihi penghormatan kepada dewa. Lebih jauh peraturan ini menegaskan: Barang siapa melarang seseorang ke gereja dan mencuri sesuatu dari gereja atau membakar gereja harus dihukum mati. Bahkan dikatakan lagi bahwa barang siapa tidak menerima baptisan akan dihukum mati. Dengan peraturan yang ketat ini, akhirnya hingga pada tahun 804 suku Saxon sudah dikristenkan. Kedua, hubungan dengan Kepausan. Penobatan Pepin menjadi kaisar menciptakan aliansi di antara pemerintah Frank dan paus. Hal ini semakin dikembangkan semasa pemerintahan Karel Agung. Pepin sendiri telah menyandang gelar Patricius Romanarum (“Penjaga Roma”) yang Karel Agung tambahkan kepada gelar raja Frank dan Lombard. Puncak kejayaan Karel Agung adalah pada tahun 800 di mana Paus Leo II memahkotai dia sebagai kaisar di gereja St.Petrus. Memang Aland sendiri mengakui bahwa hubungan Karel Agung dengan kepausan sulit ditentukan. Karel Agung sendiri begitu menghormati paus dengan mencium tangga gereja St.Petrus sebelum memasukinya dan berjalan bersama dengan bergandengan tangan dengan paus. Di sisi lain Karel Agung merasakan bahwa dia adalah penguasa (superior). Ketika Leo III mencoba mengkritik Charlemagne, maka Leo III dimasukkannya ke dalam penjara dan kemudian harus mengambil sumpah pengampunan di gereja St.Petrus. Ketiga, hubungan Gereja dan Negara. Hubungan gereja dengan negara pada masa Charlemagne tidak begitu jelas, karena dia sendiri yang menjalin hubungan dengan paus, bukan negara yang berhubungan dengan gereja. Oleh karenanya ada beberapa pendapat yang mengatakan tentang hubungan gereja dan negara ini. Ada yang mengatakan hubungan itu sebagai kesadaran teokrasi kaisar karena Karel Agung merasakan bahwa Allah-lah yang memberikan dia tugas itu sama dengan Pepin yang mengatakan bahwa kerajaan itu diperoleh hanya karena anugerah Allah (dei gratia). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam kerajaan Frank, Karel Agung adalah penguasa dalam kerajaan sementara paus hanya sebagai kepala uskup di dalam kerajaan. Pendapat lain mengatakan bahwa gereja negara berada di bawah Karel Agung. Namun pendapat ini kurang disetujui Aland dan mengatakan bahwa hubungan gereja dan negara adalah begitu dekat. Para klerus memiliki kantor pelayanan dan berada dalam struktur gereja, namun bisa saja mereka mengambil bagian dalam pemerintahan. Keempat, hidup internal Gereja. Perhatian Karel Agung tidak hanya terfokus pada hal-hal luar tetapi juga memperhatikan kehidupan internal gereja dengan melanjutkan pelayanan di Skot-Iris dan Anglo-Saxon agar tercipta keamanan di daerah-daerah tersebut. Salah seorang dari Anglo-Saxon, Alcuin (730-804) memainkan peranan yang penting bahkan dia sangat berpengaruh bagi perkembangan teologi dan pendidikan di kekaisaran Frank, sama seperti Melanchthon di era Reformasi. Dalam kehidupan internal gereja ini ada banyak perdebatan teologi yang digumuli seperti perdebatan Adopsionis yang membicarakan “adopsi anak Allah” (filius Dei adoptivus). Adopsionis ini telah dihukum gereja namun kekaisaran Frank agak lebih condong kepada aliran ini. Perdebatan lain adalah masalah “dan Anak” (filioque) dalam rumusan Roh Kudus berasal dari Bapa dan Anak (processio spritus santi ex patre filioque). Dalam perdebatan ini peranserta teolog Frank sarat dengan kepentingan politik dengan menerbitkan “Buku Charlemagne” (Libri Carolini). Mereka mengatakan bahwa ikon seharusnya tidak dihancurkan, dan tidak harus dimuliakan tetapi mereka harus dihormati. Masih banyak lagi yang diperdebatkan dalam kehidupan internal gereja ini yang dicatat Aland seperti pengaruh ajaran Pelagius yang begitu besar bagi kerajaan Frank tentang Predestinasi, perdebatan ekaristi antara Paschasius Radbertus dan Ratramnus. Dan kelima, kehancuran Carolingian. Ternyata tak selamanya kejayaan itu bertahan selamanya. Itulah yang terjadi dalam kerajaan Carolingian ini. Akibat perseteruan di kalangan saudara mengenai kekuasaan mengakibatkan kehancuran kerajaan. Sejak Karel Agung merencanakan melanjutkan kekuasaannya kepada tiga anaknya, itulah bukti betapa lemah posisi Karel Agung dalam kerajaannya. Semenjak Karel Agung memberikan kekuasaannya kepada Louis Pious, Lothair, dan Norman, mulailah terjadi peperangan di antara mereka yang bersaudara dan akhirnya kerajaan itu dibagi di Treaty Verdun (843) menjadi tiga yakni: di sebelah Barat kerajaan Charles (II) di Bald, di sebelah Timur kerajaan Louis (II) di Jerman dan Lotharing. Dan perkembangan selanjutnya adalah kerajaan ini terbagi menjadi lima kekaisaran yaitu: Franconia Timur, Franconia Barat, Italia, dan dua kaisar di Burgundia. Pada akhir bahasan ini Aland memberikan komentarnya terhadap Kekristenan Abad Pertengahan ini. Menurutnya German memainkan peran yang luar biasa di dalam abad-abad yang akan datang. Walaupun kita tidak bisa berbicara lagi tentang Abad Pertengahan German karena masa itu telah berlalu. Mereka masih ada tetapi tidak mendominasi lagi pusat Eropa seperti abad yang mendahuluinya. Kekaisaran Frank tidak ada lagi dan telah dibagi menjadi wilayah Romawi dan German dengan kehidupan dan identitas masing-masing. Dengan demikian masa Germanik Abad Pertengahan harus ditinggalkan dan memasuki Kekristenan Katolik Abad Pertengahan.

II. Kekristenan Katolik Abad Pertengahan

Bagian kedua dari Kekristenan Abad Pertengahan ini dibahas Aland dengan membahas enam sub-pokok pikiran yaitu: tuntutan Paus untuk Supremasi , Gereja dan Negara hingga pemerintahan Otto , perkembangan di bawah pengganti Otto I hingga Henry III , perjuangan di antara Kepausan dan Kuasa dibawah Heny IV dan Henry V , kejatuhan Kerajaan Jerman dan kebangkitan kepausan sebagai penguasa dunia , dan kehidupan dalam Gereja .

1. Tuntutan Paus untuk Supremasi

Jalan paus menuju supermasi sangat sulit. Sejak masa Charlemagne perjuangan ini selalu mengalami tantangan. Sejak permulaan memang kepausan berusaha keras untuk mencapai tujuan ini, akhirnya dapat diperoleh pada masa Innocentius III. Pada masa paus Nikolas I pun supermasi kepausan itu pada posisi lebih tinggi menjadi kaisar. Namun gagal. Nikolas I membuat tuntutan agar gereja terbebas dari kekuasaan temporal. Kekuasaan temporal tidak memiliki hak mengklaim kepemilikan gereja tetapi harus melayani gereja. Namun tuntutan ini juga gagal ketika disampaikan kepada gereja Yunani.

2. Gereja dan Negara hingga Pemerintahan Otto yang Agung

Pada masa pemerintahan Otto I ini perubahan mendasar pun terjadi. Dia berbeda dengan ayahnya Henry I yang memerintah atas dasar wilayah kekuasaan dan dari perspektif mereka sendiri. Bagi Otto sendiri, ia mencoba memulihkan pusat kekuasaan yang mengakibatkan konflik di antara suku-suku. Tetapi karena dia diwarisi teritorial yang kuat dari ayahnya akhirnya dia menang dalam konflik ini. Dia juga memulihkan kesatuan kerajaan sehingga memampukan dia mengembangkan kerajaannya. Ketika Otto kembali ke gereja, gereja sangat menyambut kedatangannya. Otto I mempersekutukan dirinya sendiri dengan gereja melalui uskup dan membuat aliansi ini menjadi dasar atas dominasinya. Sehingga pada masa Otto I ini, para pemimpim imam di gereja Jerman merasakan dirinya milik raja dan merasa pegawai negara. Gereja menjadi digaji oleh negara dan bahkan menjadi lapangan politik kekuasaan. Aliansi gereja dan negara ini sangat berbahaya sekali. Gereja berbeda dari negara ketika dihubungkan dengan otonomi dan berbicara tentang kekuasaan, siapakah yang memiliki supremasi kekuasaan, negarakah atau paus? Aliansi keduanya ini berbeda dengan hakiki dasarnya dan bertolak belakang dengan tugas uskup dan posisinya di dalam gereja dan begitu juga sebaliknya dengan kaisar.

3. Perkembangan di bawah Pengganti Otto I hingga Henry III

Aland begitu panjang membahas perkembangan setelah Otto I ini. Namun jika kita melihat secara umum perkembangan Kekristenan setelah Otto I tidak berkembang pesat karena Otto II dan III memerintah dalam waktu yang relatif singkat. Otto II memerintah pada usia 18 tahun dan meninggal pada usia 28 tahun. Demikian juga Otto III yang memerintah pada usia 15 tahun dan meninggal pada usia 22 tahun. Pada masa Otto II terjadilah pemberontakan Slav yang banyak merusak daerah kekuasaan Otto I dan juga termasuk Kekristenan di dalamnya. Demikian juga ketika Otto III, situasi makin lebih terpuruk lagi. Uskup Jerman bergabung dengan pemerintah sekuler melawan Otto III karena Otto III meninggalkan prinsip dasar politik Otto I dengan menghapuskan sistim aliansi gereja dan negara. Pada masa ini terjadilah pembaharuan biarawan dengan reorganisasi biarawan yang bersih dari sekularisasi. Menurut Aland inilah langkah perkembangan ketiga yakni gerakan pembaharuan yang ditujukan secara langsung kepada paus. Pusat gerakan pembaharuan ini adalah di biara Cluny. Tuntutan biarawan Cluny ini adalah pertama, gaya hidup yang sesuai dengan peraturan gereja, yakni hidup selibat bagi para pastor, kemudian kedua, menekankan kehidupan moralitas dan ketiga, penghapusan “simoni” yaitu penjual belian pangkat-pangkat gereja.Tuntutan ini pada masa Henry II tidak dapat diselesaikan, namun pada masa Henry III yang didorong pengaruh hidup kekudusan mulai memberikan respon atas tuntutan para biarawan ini. Ketika dalam perjalanan ke Roma, Henry III dia mengikuti sinode Pavia. Sinode ini menghasilkan resolusi melawan praktik simoni dan mengecam orang-orang yang melakukan praktik simoni ini. Kemudian pada sinode di Sutri tahun 1046 Henry III berusaha untuk mengatasi masalah kepausan dengan memecat 3 paus yakni paus Silvester, paus Gregoruis VI dan paus Benediktus IX dan mengangkat uskup Bamberg menjadi paus Klement II.

4. Pertarungan Di antara Kepausan dan Kekaisaran di bawah Henry IV dan Henry V

Tentang hubungan kepausan dan kekaisaran menurut dua kardinal, Petrus Damianus dan Humbert Silva Candida dalam tulisan dan khotbah mereka menekankan bahwa kepausan dan kekaisaran di dasarkan pada Lukas 22:38 (Teori dua pedang; [ sama dengan Luther]) yakni paus dan kaisar bagaikan dua kekuatan yang berdiri berdampingan satu sama lainnya. Dalam bukunya, Libri tres adversus Simoniacos (“Tiga buku melawan praktik simoni”), Humbert menekankan kebebasan paus dari monarki dan dominasi gereja atas dunia. Pemikiran Humbert ini kemudian menjadi dasar pemikiran Hildebrand dan dikembangkan bahkan ditekankan pada masa Stefanus IX. Kemudian di bawah Nikolas II, kepausan mendapat posisi yang lebih kuat. Dia beraliansi dengan Norman yang mengakibatkan posisinya secara politik semakin kuat. Setelah kematian Nikolas II, posisi Hildebrand semakin hebat dan bahkan setelah kematian Aleksander II, Hildebrand menjadi paus dan menobatkan diri menjadi Paus Gregorius VII (1073-1085). Sejak permulaan Gregorius VII dan Henry IV telah bermusuhan, kendati pun mereka selalu berusaha untuk hidup berdampingan dengan damai. Permusuhan ini bukan dimulai oleh Gregorius VII melainkan oleh Henry IV. Pertikaian ini bermula dari tindakan Gregorius VII yang berkeinginan mereformasi gereja German dan perlawanannya terhadap uskup German. Henry IV tidak dapat mengantisipasi persoalan ini di mana “gereja atas – high church” (Hochkirche) tidak berkembang di German sebagaimana di tempat lain. Henry mengirimkan surat kepada Gregorius karena rekonsiliasi tidak mungkin terjadi lagi. Henry memproklamasikan dirinya sangat dekat dengan Allah: dia ditempatkan oleh gratia Dei (“oleh anugerah Allah”), independen (merdeka) dari paus. Henry memakai kekuasaannya melawan paus. Pada tanggal 25 Januari 1077, ia membuat demonstrasi yang memaksa paus untuk bernegosiasi, sebab paus bukan pemain politik dan bukan politikus melainkan seorang rahib. Perselisihan ini diselesaikan di Cannosa. Paus menjatuhkan larangan kepada Henry. Henry merendahkan diri dan berjanji akan memerintah atas dasar perintah dari paus. Namun pada tahun 1083, Henry dengan menggunakan para tentaranya selama tiga kali menguasai kembali kota Roma. Henry menyatukan keduanya yakni kepausan dan kekaisaran di Roma. Mereka mendeklarasikan anti paus. Paus Gregorius tidak menyetujui hal ini. Sehingga pada tahun 1084, pada sinode Roma, paus Gregorius VII dipecat dan digantikan oleh paus Klemens III yang akhirnya paus inilah yang menobatkan Henry IV sebagai kaisar di Castel Sant’Angelo. Gregorius akhirnya dibuang dan meninggal pada tanggal 25 Mei 1085. Keadaan ini terus berlanjut hingga kaisar Henry V (1106-1025) yang dikenal dengan pertarungan investitur yakni pertarungan di antara kerajaan dan kepausan. Dan pertarungan ini akhirnya diselesaikan pada Konkordat Worms tanggal 23 September 1122 yang memutuskan bahwa uskup-uskup harus dipilih oleh klerus dan disahkan oleh paus, tetapi di samping itu kaisar berhak memberi pangkat raja. Dan raja masih memiliki pengaruh langsung dalam pemilihan.

5. Kejatuhan Kerajaan Jerman dan Kebangkitan Kepausan sebagai Penguasa Dunia

Pada masa Henry V kekaisaran Frankonian berakhir. Pengganti Henry adalah Lothair dari Supplinburgh (1125-1137). Lothair menang atas calon Henry, Hohenstaufens. Namun setelah kematian Lothair, Hohenstaufens menjadi penguasa bersama dengan Conrad III (1138-1152). Lothair dipengaruhi kesalehan baru yang diimplementasikan dalam hidup pribadi dan kegiatan Bernard Clairvaux (1091-1153). Conrad III digantikan oleh Frederick I Barbarossa (1152-1190) yang menolak keputusan Worms dan berusaha membangun kekuasaan di Italia. Perintah-perintah paus tidak diterimanya. Setelah kematian paus Hadrian, mayoritas memilih Alexander III (1159-1181) sebagai penggantinya. Namun Frederick tetap memimpin baik gereja maupun negara. Setelah kematian Alexander III, kekuasaan Frederick semakin kuat dan memperluas kekuasaannya sampai ke Napels dan Sisilia. Di bawah kekuasaan anaknya, Henry VI, kuasa kaisar bertambah besar lagi. Namun setelah Henry VI meninggal, maka kekuasaan kekaisaran mulai pudar dan hancur. Setelah kematian Henry VI, maka kembalilah kepausan memegang kekuasaan. Paus Innocentius III (1198-1216), seorang kardinal yang paling muda yang berusia 37 tahun, meluaskan kekuasaan paus di Italia, Roma dan kemudian ke Sisilia. Innocentius juga menaklukkan Francis, Raja Philip II dan Raja John di Inggris. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sejak masa Innocentius III, paus diakui selaku satu-satunya penguasa dalam gereja. Dialah pengurus dan hakim yang tinggi dan segala undang-undang ditetapkan atau ditiadakan olehnya. Ia berhak mengutuki orang dengan pengucilan (ekskomunikasi) dan menghukum dengan interdik, yaitu pelarangan pelaksanaan sakramen di satu daerah.

6. Kehidupan batiniah Gereja

Menurut Aland, Katolik Abad Pertengahan berurusan dengan hal-hal yang secara esensial berkaitan dengan kejadian-kejadian dan pertimbangan-pertimbangan sejarah politik. Bahkan Aland yakin bahwa hal inilah yang menjadi bukti yang jelas bahwa penampilan pengaruh Kekristenan selama Abad Pertengahan ini tidak semata-mata buruk walaupun berlangsung hubungan yang dekat di antara kejadian politik dan gerejawi. Pertanyaan struktur gerejawi juga didiskusikan dalam hubungannya dengan perkembangan pengalaman struktur episkopal selama abad keempat. Menurut Aland, ada beberapa alasan mengapakah begitu penting masalah kesalehan selama Abad Pertengahan Katolik: pertama, karena berkaitan langsung dengan arena politik. Misalnya biara Cluny di Burgundia yang menjalankan Reformasi Cluny. Para biarawan membaharui dari dalam dengan tindakan nyata mereka di dalam gereja melalui hidup saleh. Kedua, gerakan perubahan besar pada Abad Pertengahan Katolik yang dapat kita lihat pada masa Karel Agung yang menekankan kesamaan hak dengan negara. Ketiga, kebangkitan golongan asketik seperti gerakan Kathari (Yunani, Katharos artinya “suci”). Dan terakhir adalah gerakan yang diikuti oleh pegawai rumah sakit dan tentara. Gerakan ini dihubungkan dengan perang salib. Aland juga membahas perang salib sebagai bagian dari kehidupan batiniah gereja. Pihak kepausan berkeinginan membebaskan tempat-tempat suci Kristen di Palestina dari penguasa dan pendudukan laskar Islam dan kemudian menetapkan dan mempertahankan ketentuan-ketentuan Kristen di tempat itu. Perang salib ini sendiri terjadi tujuh kali (Perang salib pertama, 1096-1099; kedua, 1147-1149; ketiga, 1189-1192; keempat, 1202-1204; kelima, 1228-1229; keenam, 1248-1254; ketujuh, 1270). Menurut Aland, kendatipun perang salib mengakibatkan citra negatif bagi Kekristenan, namun masih ada hal-hal positif yang diambil dari perang salib itu yaitu: pertama, bangkitnya semangat penginjilan. Kedua, mereka menemukan kembali filsafat dan kesusateraan klasik klasik yang sudah sempat diambil oleh Islam yang digali ulang kembali yang disebut dengan Renaisance. Ketiga, munculnya ‘skolastisisme’. Para tokoh yang terkenal dari skolastik ini adalah: Anselmus (1033-1109), Abelardus (1079-1142), Thomas Aquinas dan Scot Johannes Duns Scotus. Pemikiran Thomas Aquinas ini sangat populer di kalangan Katolik. Menurut Thomas, dunia ini dan kehidupan manusia terbagi atas dua tingkat. Tingkat yang di bawah dibentuk oleh hidup kodrati (hidup alamiah) yang dapat dipahami dengan akal budi. Pengetahuan ini pun memberi pengenalan kodrati akan Allah. Hidup biasa ini menuju kepada persekutuan dengan Allah, sehingga belum sempurna selama persekutuan itu belum diwujudkan. Sebab itu hidup kodrati perlu ditambah dan digenapi oleh suatu tingkat atas, yaitu hidup rahmat yang datang dari Tuhan. Hidup rahmat, yang mengatasi tabiat kodrati dunia ini, mencukupi segala kekurangan hidup kodrati, dengan menyempurnakannya. Semboyan Thomas bunyinya: Tabiat kodrati bukan ditiadakan, melainkan disempurnakan oleh rahmat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dengan gerakan pembaharuan batin gereja ini membuktikan bahwa tidak selamanya gereja pada Abad Pertengahan dipandang negatif, karena masih ada hal-hal positif yang dapat dilihat dari perkembangan para pemikir skolastisisme ini.

III. Akhir Masa Katolik Abad Pertengahan dan Perkembangan hingga ke Ambang Pintu Reformasi

Untuk membahas akhir masa Katolik Abad Pertengahan ini, Aland melihat dari beberapa aspek yaitu: kemunduran kepausan hingga perpecahan besar dan Konsili Pisa, kebangkitan kesadaran Nasional dan akibatnya dalam suasana hidup Gereja, maknanya bagi Reformasi, kritik dalam Gereja, Konsili Pembaruan, Kepausan pada Akhir Masa Abad Pertengahan, kesalehan dan iman masyarakat pada Ambang Pintu Reformasi.

1. Kemunduran Kepausan hingga Perpecahan Besar dan Konsili Pisa

Menurut Aland, kemunduran kepausan ini terjadi pada masa Bonifatius VIII (1294-1303) yang memerintah hanya tujuh puluh delapan tahun setelah Innocentius III. Bonifatius VIII mengeluarkan bulla Unam sanctam ecclesiam (Satu Gereja Kudus) 18 November 1302. Bulla ini menekankan kuasa kepausan bahwa satu dan hanya gereja, hanya satu tubuh dan kepala – Kristus dan wakil Kristus, Petrus dan penerus Petrus. Bulla ini berbicara tentang dua pedang yang dikutip dari Injil (Lukas 22:38) bahwa di dalam gereja dan kuasanya ada dua pedang yakni pedang rohani dan pedang temporal (duniawi). Paus mencoba menguasai kaisar-kaisar yang ada di Italia, German, Hongaria dan Polandia, dan di Perancis. Namun di Prancis kekuasaan paus ini mengalami perlawanan dari raja Philip IV. Pertentangan ini terjadi tatkala paus Bonifatius melarang raja Philip memungut pajak untuk negara dari klerus dan biara-biara serta segala milik Gereja yang lain. Larangan ini tidak diperdulikan oleh Philip. Maka paus mengutus uskup Pamiers, Bernhard de Saisset kepada Philip untuk menerangkan bahwa raja harus mematuhi perintah paus sebab paus telah menguasai seluruh kaisar-kaisar. Namun Philip tetap menolak segala perintah paus dan berkeinginan untuk memisahkan diri dari kekuasaan paus. Akhirnya paus hendak menjatuhkan hukuman kepada Philip, namun dengan tiba-tiba paus sendiri disergap dan ditawan oleh suatu pasukan Perancis atas perintah raja Philip. Dan beberapa hari kemudian paus dibebaskan lagi, tetapi karena akibat segala pengalamannya yang berat ini, tak lama kemudian Bonifatius mangkat tanggal 11 Oktober 1303. Kemuduran kepausan ini berlanjut kepada pengganti Bonifatius yakni Benediktus XI (1303-1304) dan bahkan hingga pada masa Clemens V (1305-1314). Raja Philip telah menguasai para paus dan memindahkan istananya ke kota Perancis Avignon pada tahun 1309 hingga tahun 1377. Paus/gereja dipimpin oleh Perancis hingga hampir memasuki abad keempat belas. Masa inilah yang disebut dengan masa “Pembuangan ke Babel”. Raja Philip melihat bahwa ordo yang kaya dari tuan-tuan Templar merupakan kelompok yang sangat membahayakan dirinya, maka raja memerintahkan paus Clemens V untuk membubarkan ordo ini. Tidak lama setelah masa pembuangan ini, pada tahun 1377 tahkta paus dipulangkan ke kota Roma. Namun pada masa ini terjadilah skisma besar di Barat. Kardinal di Perancis memilih Clement VII yang berkedudukan di Avignon dan kardinal Italia memilih Gregorius XI di Roma. Skisma di antara kedua kepausan ini dimulai tahun 1378 hingga 1415. Kedua paus itu saling mengutuki, sehingga segenap umat Kristen pada masa itu kena kutuk. Sebab itu banyak orang percaya kehilangan ketenangan hatinya. Akibat dari skisma ini adalah orang mulai tidak percaya kepada paus dan memikirkan kemungkinan gereja-gereja kebangsaan.

2. Kebangkitan Kesadaran Nasional dan Akibatnya dalam suasana hidup Gereja

Kebangkitan kesadaran nasional yang diungkapkan oleh Aland di sini merupakan akibat dari kemunduran kepausan itu sendiri. Skisma yang terjadi pun semakin membangun jiwa nasionalisme. Dan hal ini sangat berpengaruh dalam kehidupan gereja. Misalnya di Jerman, Perancis, Inggris: John Wycliffe, Bohemia: John Huss, dan Italia: Renaisanse dan Humanisme. Di Jerman, kritik terhadap kepausan sangat tajam sekali. Kekuatan intelektual juga mengambil bagian dalam gerakan ini. Dalam sebuah tulisan Walther von der Vogelweide atau Dante terlihat jelas kekuatan yang melawan gereja dan mendukung kekuatan temporal (duniawi). Tidak berbeda di Perancis, kesadaran gereja nasional sangat dominan. Mereka menghendaki memisahkan diri dari kuasa paus di Avignon. Sehingga pada tahun 1408 akhirnya mereka memisahkan diri dari paus di Avignon dan memproklamasikan dirinya dengan nama Gereja Nasional Perancis. Di Inggris, tokoh yang terkenal dalam kebangkitan ini adalah John Wycliffe yang lahir sekitar tahun 1320 dari kaum bangsawan Anglo-Saxon. Wycliffe membangun kesadaran nasionalisme yang menekankan bahwa gereja seharusnya tidak mengambil bagian dalam politik. Bahkan menurut Wycliffe, segala miliki gereja di Inggris harus dianggap kepunyaan negara. Kegiatannya dilakukan melalui khotbah, pengajaran, mengajar dan tulisan. Pemahamannya yang dalam tentang Alkitab menjadikan dia mampu menyerang gereja Roma. Bahkan dia mengatakan bahwa paus adalah anti-Kristus. Di Bohemia: tokoh yang terkenal adalah John Huss yang lahir pada tahun 1369/1370 di Husinec. Dia merupakan penerus Conrad Waldhausen, Jan Milic dan John Wycliffe. Huss tidak mengadopsi seluruh ajaran-ajaran para pendahulunya, walaupun pemikiran Wycliffe sangat mempengaruhi perjuangannya. Huss juga memproklamasikan ide nasionalisme Wycliffe. Tetapi ide nasionalisme Wycliffe yang diterapkan di Inggris tidak bisa diterapkan Huss di Bohemia. Huss mengalami banyak tantangan dalam perjuangannya. Raja Sigmund ingin menyelesaikan perkara ini dengan cepat dan mengajak Huss untuk berunding di Constanz dan berjanji melindungi Huss. Tetapi Huss ditangkap atas perintah gereja dan dipenjarakan serta disiksa dengan kejam. Dan akhirnya dia dihukum mati dan dibakar hidup-hidup di Constanz pada tanggal 6 Juli 1415, karena dia tidak mau menarik ajarannya. Akibat kematian Huss ini, maka terjadilah perang Hussit melawan raja dan gereja. Akhirnya, Paus terpaksa mengakui sebuah gereja Hussit di samping gereja Roma. Terakhir di Italia. Di daerah ini kesadaran nasional membangkitkan Renaissance (kelahiran kembali) dan humanisme (kemanusiaan). Di Italia sudah timbul condottiere, yakni pemimpin prajurit upahan, yang mengambil bagian di dalam perjuangan pribadi-pribadi. Salah seorang yang terkenal dari gerakan ini adalah Cola di Rienzi. Pada tahun 1347, dia telah memperluas kekuasaannya hingga ke Roma dan lebih jauh perjuangannya adalah dengan mendirikan Kerajaan Kristus di seluruh dunia ini.

3. Maknanya bagi Reformasi

Apakah arti dan makna gerakan Wycliffe dan Huss, humanisme dan Renaissance bagi Reformasi? Menurut Aland, gerakan-gerakan pembaharuan dalam gereja ini akhirnya menjadi cikal-bakal gerakan Reformasi di kemudian hari. Timbulnya gerakan Reformasi Luther adalah akibat dari gerakan yang dilakukan oleh Wycliffe dan Huss, walaupun mereka hanya dibedakan dari kesuksesannya. Gerakan humanisme ini juga mempengaruhi pemikiran Melanchthon, Zwingli dan Erasmus. Gerakan ini kemudian dipopulerkan oleh tiga tokoh yang terkenal yakni: Lorenzo Valla (Italia), Reuchlin (German), dan Erasmus. Humanisme sangat mempengaruhi ilmu dan kesusasteraan di tanah Jerman, tetapi renaissance tidak terdapat di sana. Sebab itu kaum humanis di Jerman tidak menolak Gereja sebagai perbendaharaan kebudayaan, tetapi berusaha melayani Gereja dengan pendapat-pendapatnya yang baru itu. Sementara itu, Reuhclin, membuka jalan bagi pelajaran baru bahasa Yunani dan Ibrani. Dengan demikian disediakannya alat-alat untuk membaca Alkitab nas asli. Dalam bukunya yang berjudul De rudimentis hebraicis (“Permulaan Ibrani”) tahun 1506 mengajarkan bagaimana penggunaan leksikon dan grammar bagi bahasa Ibrani. Humanis yang paling terkenal lainnya adalah Desiderius Erasmus. Humanisme Erasmus adalah campuran pandangan-pandangan Yunani-Romawi dengan ajaran Injil. Ia boleh disebut “bapa aliran kekristenan yang serba bebas (liberal)”. Artinya, pada pendapat Erasmus, Injil adalah suatu ajaran yang indah tentang kebajikan manusia.

4. Kritik Dalam Gereja

Gerakan-gerakan pembaharuan yang telah dikerjakan oleh Wycliffe dan Huss merupakan kritik dari dalam Gereja yang mencoba membaharui gereja itu sendiri dari dalam. Gerakan dari dalam gereja ini akhirnya membangkitkan kesadaran nasional dan humanisme dan Renaissance. Kemerosotan gereja pada Abad Pertengahan adalah akibat supermasi paus yang begitu kuat atas gereja dan negara. Kehidupan asketik dan kesalehan pada masa itu membantu paus untuk memenangkan kekuasaannya atas kekaisaran. Gerakan yang berikut yang mengkritik gereja dari dalam adalah gerakan Kathar dan Waldensian. Kemudian gerakan Mistisisme juga memprotes perkembangan gereja dengan serangan Mistisisme Kristus dan Mistisisme Allah yang antara lain Johan Tauler, Meister Eckhart, Henry Suso dan Jan van Ruysbroeck. Kemudian gerakan pembaharuan gereja ini semakin jelas dan memuncak pada masa Luther. Luther banyak mengkritik gereja dari dalam demi pembaharuan. Luther dua kali mempbulikasikan German Theology (Theologia deutsch).

5. Konsili-Konsili Pembaruan

Konsili-konsili Pembaruan ini lahir dari keinginan gereja untuk kemurnian gereja itu sendiri dari setan-setan. Namun dalam kegiatannya konsili ini lebih bergerak untuk menghancurkan posisi kepausan. Sehingga timbullah skisma besar di dalam gereja. Konsili Pembaruan menentang klaim paus atas kekuasaannya dalam gereja dan kaisar. Aland mengulas sejarah Konsili Pembaruan ini yang dimulai dari Konsili Pisa 1409, kemudian Konsili Konstance hingga Konsili di Basel secara mendetail.

6. Kepausan pada Akhir Masa Abad Pertengahan

Masa kepausan akhirnya berakhir pada masa Pius II (1458-1464). Masa gelap terlihat pada masa pengganti paus Pius II, paus Paulus II (1464-1471). Namun berbeda dengan masa paus Julius II dan Leo X. Mereka berdua merupakan gembala domba Kristus. Julius II adalah cermin, sedangkan Leo X adalah seorang yang humanis. Dengan berakhirnya kepausan ini, maka mulailah timbul masa baru yaitu masa Reformasi.

7. Kesalehan dan Iman Masyarakat pada Ambang Pintu Reformasi

Menurut Aland, sebagai kesimpulan tentang kesalehan pada Abad Pertengahan dan kemudian Reformasi, kita sangat berbeda dengan orang tua dan nenek kita. Tanpa adanya gambaran situasi keagamaan dan moral Protestan tak akan muncul gerakan Reformasi itu sendiri. Karena gerakan Reformasi mengajarkan pembenaran orang berdosa (Rom.1:17).

4. TANGGAPAN HISTORIS

a. Tanggapan Umum

Karena merupakan kumpulan dari bahan-bahan kuliah yang disadur dan dibukukan, maka buku Kurt Aland ini merupakan karya ilmiah populer, artinya secara isi tidak sulit untuk dimengerti. Namun memang harus diakui bahwa secara bahasa buku, buku ini agak sulit dimengerti. Hal ini diakibatkan buku aslinya adalah dalam bahasa Jerman dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sehingga gaya tata bahasa Jermannya lebih menonjol.

b. Tanggapan Isi buku

Dalam bagian pertama tentang “Permulaan Kekristenan” Aland membahasnya dari lima segi yaitu: yakni: argumen dengan penyembah berhala, sejarah eksternal Kekristenan mula-mula, sejarah internal Kekristenan mula-mula, sejarah di antara umat, masa Konstantin dan akhir sejarah Kekristenan mula-mula. Kelima segi ini sangat memudahkan kita untuk mengerti bagaimanakah sebenarnya kehidupan dan perkembangan Kekristenan itu pada Abad Mula-mula. Pembahasan ini hampir bersamaan dengan pemaparan oleh para ahli sejarah gereja lain seperti: I.H.Enklaar , H.Berkhof & I.H.Enklaar , Eddy Kristiyanto , Th.van den End . Namun pendekatan yang dilakukan mereka tentunya berbeda-beda. Namun harus diakui bahwa pendekatan Aland ini agak lebih jelimet dan mendetail dibandingkan dengan bahasan ahli-ahli lain tadi. Pembahasan Aland terhadap satu-satu topik begitu dalam sekali sehingga kita mendapatkan informasi yang lebih banyak. Dalam pemaparannya ini, Aland menjelaskan bagaimana Kekristenan itu berhadapan dengan dunia penyembah berhala. Apakah Kekristenan itu menolak atau menerima penyembah berhala ini? Memang harus kita sadari bahwa Kekristenan itu hadir dan berada di tengah-tengah dunia maupun masyarakat dengan segala aspek yang beraneka ragam termasuk di dalamnya paganisme. Paganisme ini sendiri tidak harus dibuang begitu saja. Karena memang banyak hal yang diserap oleh Kekristenan dari paganisme itu sendiri. Dengan kata lain, ada yang terus berlangsung (kontinuitas) dan ada yang tidak berlangsung lagi (diskontinuitas) dari paganisme itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Kekristenan tidak muncul dari dunia yang kosong. Kekristenan itu menyerap sesuatu dan menggunakan tradisi-tradisi yang ada seperti: tradisi Yahudi, budaya Hellenisme dan filsafat-filsafat Yunani. Hal-hal yang masih terus berlangsung itu sendiri telah mengalami pemaknaan baru secara kristiani. Misalnya: (a) Perayaan Natal. Perayaan ini pada dasarnya merupakan perayaan bagi dewa “Matahari” dalam dunia paganisme. Namun perayaan ini dimaknai oleh Kekristenan sebagai hari kelahiran Yesus Kristus. (b) Pemakaian jubah (toga) imam (pendeta). Jubah ini pada dasarnya merupakan jubah para pemuja dewa-dewa untuk memimpin umat menyembah para dewa-dewa. Namun sekarang jubah ini masih terus dipakai oleh para pendeta sebagai jubah keimaman setelah diberi pemaknaan yang baru secara Kekristenan. (c) Pemakaian istilah-istilah yang sudah dikenal pada zaman paganisme seperti: Deus, Theos, Kristos, Kurios, dan Logos. Perkataan ini dipakai oleh Kekristenan setelah dimaknai ulang secara Kekristenan. Dapatlah dikatakan bahwa proses perjumpaan pagan dengan Kekristenan berlangsung sepanjang abad, sehingga tidak mudah menolak praktik-praktik paganisme itu sendiri. Dari paparan Aland dalam bukunya ini, dapat dikatakan bahwa Kekristenan bukanlah agama individual tetapi juga merupakan agama komunitas. Sehingga penyebaran Kekristenan mula-mula sangat didukung oleh faktor-faktor eksternal seperti: (1) Penindasan yang terjadi bukan merupakan sebuah penindasan yang sistematik, artinya penindasan itu tidak mencakup seluruh Roma, (2) cukup banyak pejabat-pejabat yang sudah Kristen, dan (3) karena adanya peranan tulisan-tulisan yang mengenai ajaran Kekristenan itu sendiri. Berbicara mengenai struktur gereja mula-mula, harus diakui bahwa tidak ada struktur gereja yang alkitabiah. Struktur gereja itu biasanya selalu mengikuti struktur masyarakat di mana mereka hidup dan tinggal. Struktur Gereja sepanjang sejarah gereja selalu beradapatasi dengan struktur budaya dan masyarakat di mana gereja itu berada dan hadir. Menurut Aland, perkembangan Kekristenan itu juga dipengaruhi faktor internal. Faktor ini sangat mendukung perkembangan Kekristenan itu sendiri, misalnya: (1) secara politik, pada tahun 70 orang-orang Kristen diusir dari Palestina. Sehingga orang Kristen menyebar ke luar Palestina. (2) Pemerintahan sudah ditata dengan baik. Ketika terjadi mutasi di kalangan pejabat, maka pejabat yang Kristen menyebarkan Kekristenan itu di daerah kekuasaannya. (3) Secara transportasi: transportasi jalan raya, laut sudah sangat baik sehingga penyebaran Kekristenan itu semakin cepat bahkan hingga ke negara lain. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dalam penyebaran Kekristenan ini, Tuhan memakai perangkat-perangkat yang ada, baik itu politik, ekonomi, sehingga Kekristenan itu menyebar ke mana-mana. Perlu juga dicatat bahwa pengaruh Monastisisme sangat kuat dalam perkembangan Kekristenan itu. Kelompok ini dicirikan dengan: (1) hidup asketisme. (2) selibat, (3) kontak dengan masyarakat artinya mereka keluar dari biara pergi melayani masyarakat. Secara umum kehidupan gereja bisa bertahan dan berkembang karena Monastisisme. Namun dalam perjalanan sejarah gereja, Gereja Protestan agak jarang mendirikan biara-biara dibandingkan dengan gereja Katolik. Gereja Katolik masih memelihara kehidupan biara ini hingga saat ini. Monastisisme ini sangat kuat perananannya melawan Abad Kegelapan (“dark ages”) ketika itu. Abad Kegelapan itu sendiri dicirikan dengan: (1) banyaknya pertikaian yang menyangkut ajaran-ajaran gereja yang mengakibatkan skisma besar, (2) merosotnya pola hidup Kekrisenan, karena gereja menjadi agama negara sehingga gereja tidak merasa ada lagi tantangan. Akibatnya kualitas Kekristenan merosot sekali karena Kekristenan itu sudah merupakan Kekristenan yang otomatis, (3) Gereja berangkulan dengan penguasa. Dalam situasi yang demikian justru Monastisisme menjadi nyala lilin untuk memperbaiki kualitas Kekristenan itu. Pertikaian yang sangat mendasar dalam paparan Aland ini adalah pertikaian antara Pelagius dan Augustinus. Perseteruan ini adalah karena perbedaan pemahaman tentang keselamatan. Bagi Pelagius, yang menyelamatkan manusia adalah perbuatan baiknya. Manusia memiliki kehendak bebas yaitu hak untuk menerima atau menolak keselamatan ini. Sementara Augustinus berpendapat lain, manusia diselamatkan bukan karena perbuatan baiknya karena manusia itu berdosa. Oleh karena itu manusia diselamatkan hanya anugerah Allah semata. Manusia tidak punya hak untuk menolak keselamatan itu. Pertikaian ini akhirnya ditengahi dengan ajaran Semi Pelagian (Sinergisme) yang mencari suatu jalan kompromi supaya moralisme Kristen dapat dipertahankan. Kata mereka: Oleh jatuhnya Adam kehendak manusia hanya dilemahkan saja, sehingga manusia dapat berbuat baik lagi. Ia tidak mati (Augustinus), dan tidak pula sehat (Pelagius), melainkan sakit. Oleh karena itu kekuatan manusia sendiri tidak cukup untuk mencapai keselamatan itu. Ia memerlukan bantuan rahmat Tuhan. Rahmat itu ialah suatu khasiat secara batin diberikan oleh Tuhan kepada tiap-tiap oknum. Kehendak manusia yang bebas harus menerima pertolongan ini, supaya dengan demikian manusia dan Allah boleh bekerja bersama-sama sampai keselamatan itu diperoleh. Dalam bagian kedua bukunya ini, Aland membahas “Kekristenan Abad Pertengahan”. Dalam bagian kedua ini, Aland membahas berdasarkan pembagian waktu atau juga wilayah misalnya Kekristenan Jerman Abad Petengahan, Kekristenan Katolik Abad Pertengahan, kemudian kesimpulan masa Abad Pertengahan Katolik dan Perkembangan hingga ke Ambang Pintu Reformasi. Berkhof dan Enklaar juga menjelaskan bahwa Kekristenan di Jerman ini banyak diakibatkan oleh perpindahan bangsa-bangsa. Perpindahan bangsa-bangsa ini akibatnya besar juga bagi Gereja Katolik, karena sebagian besar dari suku German masuk Gereja Arian. Sebab pada abad ke-IV orang Got Barat dimasehikan oleh seorang uskup Arian, Wulfila namanya. Beberapa bagian dari terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Got yang disediakan oleh Wulfila itu hingga kini masih tersimpan. Kemudian suku-suku German yang lain-lain pun menganut ajaran Arian. Sejajar dengan pendapat di atas, Dietrich Kuhl mengatakan bahwa pada abad IV sampai abad VII bangsa-bangsa dan suku-suku Eropa masih banyak yang berpindah-pindah. Menurutnya, dengan melihat kenyataan sejarah penginjilan di Eropa pada abad-abad Pertengahan dengan coraknya ‘pertobatan multi-individual (multi-individual conversion), maka arti dan pola pemuridan di tengah-tengah ‘perpindahan umat’ (people movement) perlu dipikirkan, supaya pengkristenan tidak hanya menghasilkan anggota gereja yang secara lahiriah menjadi Kristen, namun tidak ber-Kristus dan dalam pola berpikir mereka tetap kafir. Mengapa Kekristenan Arian lebih diminati di daerah Jerman? Karena cara memahami Allah yang Mahatinggi itu sulit dipahami sehingga mereka memilih memahami Allah dari segi kemanusiaanNya. Yesus dipahami pada awalnya di Eropa hanyalah sebagai raja yang memerintah. Sehingga bagi mereka berperang bukan bertentangan dengan Kekristenan karena Yesus adalah pemenang dan panglima. Jika diperhatikan penyebaran Kekristenan di Jerman ini, timbul pertanyaan, apakah penyebaran Kekristenan di Jerman ini alkitabiah? Memang harus diakui bahwa pengkristenan di Jerman ini pasti jauh dari pengkristenan pada jemaat mula-mula yang penuh dengan kedamaian. Kekristenan di Jerman sendiri nampaknya ditandai dengan kekerasan melalui perang di antara raja-raja German. Kekerasan ini seolah-olah tidak alkitabiah, namun harus kita sadari bahwa metode penyebaran Kekristenan pasti mengalami perbedaan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh Kekristenan itu sendiri. Kekistenan di Jerman ini jika dibandingkan dengan Kekristenan di Indonesia jauh berbeda. Di Jerman sendiri, Kekristenan dapat diterima oleh hampir seluruh daerah Eropa. Sementara di Indonesia Kekristenan itu mengalami banyak tantangan dan kesulitan. Hanya sedikit yang bisa dikristenkan. Padahal para penginjil dari Jerman banyak melayani di Indonesia. Mengapa hal ini bisa terjadi? Alasannya: (a) karena di Nusantara sudah ada banyak agama-agama besar yang relatif kuat yaitu Islam, Hindu dan Budha. Masyarakat sudah merasa puas dengan agama mereka anut, (b) karena orang Kristen yang datang dari Eropa mencampuradukkan ajaran agama dengan perangai, perilaku gaya hidup ala Barat yang tidak dikenal di Indonesia. (c) praktek paganisme di German mereka terima di dalam Kekristenan, sementara praktek paganisme di Indonesia mereka tolak. Inilah beberapa hal yang menyebabkan Kekristenan di Indonesia begitu lamban dan tidak berkembang. Berbicara mengenai supremasi paus, ini adalah perkara yang sangat diperdebatkan dalam sejarah Kekristenan di Eropa. Apa yang melatarbelakangi timbulnya sistem paus ini? Gereja Roma menganggap dirinya didirikan oleh Petrus, dan karena kedudukannya di ibu kota dan sebagai gereja yang terkaya dan terbesar; di kala Arius mengancam daerah Jerman, mereka masih mempertahankan imannya yang benar, maka kedudukan dan nama dari keuskupan Roma lambat laun melebihi daerah-daerah lain. Uskup Roma mulai berkuasa atas segala uskup yang lain serta dengan daerahnya, teristimewa di Barat. Bahkan paus sendiri menganggap dirinya sebagai yang dipanggil Tuhan untuk menjadi kepala Gereja selaku “pengganti Petrus”(Matius 16:17-18), bahkan sebagai “wali Kristus” di bumi ini. Jika kita bandingkan di Indonesia, hal yang sama juga pernah terjadi di mana Gereja di jemaat Batavia merasa diri lebih tinggi dari pada jemaat-jemaat yang lain karena mereka berada di pusat ibu kota. Dalam paparannya, Aland menjelaskan bahwa paus sering sekali bergandengan dengan para penguasa. Gereja yang selalu bergandengan dengan penguasa akan menyebabkan banyak konflik. Biasanya memang praktik seperti ini masih dilakukan oleh gereja Katolik hingga saat ini, misalnya: di Filipina dan Amerika Latin. Gereja yang bergandengan tangan dengan pengusa akan menyebabkan kemerosotan moral di kalangan pendeta maupun di kalangan jemaat. Berbicara mengenai kebangkitan kepausan sebagai penguasa dunia yang diulas Aland, tidak akan kita alami di Indonesia, karena Gereja tidak akan bisa menjadi penguasa di Indonesia, namun sedikit banyak ada juga gema dari gerakan-gerakan seperti itu terjadi di Indonesia yakni bagaimana gereja memposisikan dirinya berhadapan dengan penguasa. Di Indonesia sering sekali gereja tidak tepat memposisikan dirinya di hadapan negara. Pada zaman penjajahan, gereja takluk dihadapan negara. Sementara di Eropa, gereja seperti pendulum, kadang-kadang gereja menjadi penguasa dan bisa saja negara menjadi penguasa. Di Indonesia sendiri yang minoritas orang Kristen, godaan di dalam gereja untuk menjadi penguasa dunia, kadang-kadang tidak bisa dihilangkan. Sebagai salah satu contoh, para pejabat gerejawi ikut terjun dalam kancah politik dan menjadi penguasa dunia (seperti menjadi gubernur, bupati, anggota dewan, dll). Hal sangat jelas sangat merusak citra gereja. Kendatipun di dalam gereja selalu ada peluang untuk tergoda menjadi penguasa dunia, namun masih ada juga sekelompok orang-orang yang tidak mau tergoda dengan hal-hal tersebut. Kelompok inilah yang terus menerus membaharui gereja dari dalam yang tidak begitu tergantung kepada aturan-aturan gereja yang berlaku. 4. DAFTAR KEPUSTAKAAN Aland, Kurt. A History Of Christianity, Philadelphia: Fortress Press, Vol.I, 1985 Berkhof, H. & Enklaar,I.H. Sejarah Gereja, Jakarta: BPK GM, 1992 End, Th.van den. Harta Dalam Bejana: Sejarah Ringkas Gereja, Jakarta: BPK GM End, Th. van den. Ragi Carita 1, Jakarta: BPK GM, 1993 End, Th. van den. & Weijens, J. Ragi Carita 2, Jakarta: BPK GM, 1993 Enklaar, I.H. Sedjarah Gereja Ringkas, Djakarta: BPK GM, 1966 Kristiyanto, Eddy. Visi Historis Komprehensif, Yogyakarta: Kanisius, 2003 Kull, Dietrich. Sejarah Gereja: Gereja Katolik Roma, Batu Malang: Departemen Literatur YPPII, 1997 Wongso, Peter. Sejarah Gereja, Malang: Departemen Literatur SAAT, 2001

Older Posts »

Categories